RAJA - RAJA PASAL 11 : 3 MENYATAKAN, Salomo(Nabi Sulaiman mempunyai isteri 1000 orang
Kitab Taurat ini memperkenalkan bahwa poligami itu bagi yang mampu memang sudah disyari;atkan untk laki-laki normal dan beriman. Tapi jumlahnya saat ini, jangan seribu, dua jadilah, paling banyak ya empat saja.
By Muhammad Rakib
SH.,M.Ag
Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuhu.
Ada
hikmahnya, beristri dun,
Khuausnya bagi yang kaya raya
Agar tidak, berbuat zina
Penyakit AIDS, tidak ada obatnya
Hal
yang baru dari maqashid syari’ah adalah ia menjadikan tujuan dan
substansi sebagai hakim/penentu arah bagi semua sarana/media hukumnya.
(Al-Ijtihad, Al-Waqi’, An-Nash wa Al-Maslahat, hlm. 112)
كلام عبد المجيد الشرفي:
وان العبرة ليست بخصوص السبب ولا
بعموم اللفظ وانما بالمقاصد (الاسلام بين الرسالة والتاريخ ص82)
Hikmah beristri dua, menurut Abdul
Majid Al-Syarafi: Yang dipegang bukanlah kekhususan sebab dan bukan pula
keumuman lafazh poligami namun yang jadi
panglima adalah tujuan pensyariatan. (Al-Islam bayn Al-Risalah wa At-Tarikh,
hlm. 82)
كلام محمد سعيد العشماوي:
ونظام الحدود في الاسلام يؤكد ذلك
أيضا فالشروط التي وضعها الفقهاء لإدانة السارق والزاني و إقامة الحد عليه يصعب ان
تتحقق (أصول الشريعة ص122-124)
Sa’id Al-Asymawi: System hukum
pidana Islam menguatkan hal itu pula; bahwa syarat-syarat yang diberikan fuqoha
untuk menghukum pencuri dan pezina sulit untuk diwujudkan. (Ushul Al-Syari’ah,
hlm. 122-124)
تطبيق الرجم يبدو أنه من خصوصيات رسول
الله صلى الله عليه وسلم (ص122)
Penerapan hukuman rajam tampak bahwa
ia adalah salah satu keistimewaan Rasulullah saja. (Ibid., hlm. 122)
كلام الصادق بلعيد:
فإن هذه العقوبات لا تتفق مع روح
الإسلام وأحكامه لأنها تقرنه بالعنف والتشدد والقسوة أمام الرأي العام العالمي
(القرآن والتشريع ص 197)
Shadiq Bal’id: Sanksi-sanksi pidana
itu tidak sesuai dengan spirit ajaran Islam dan hukum-hukumnya, karena dinilai
sadis, keras dan kejam oleh opini public internasional. (Al-Al-Qur’an wa
At-Tasyri’, hlm. 197)
B. Konsep Maqashid Syari’ah dalam Pandangan
Ulama Islam:
Cendekiawan liberal itu baru lahir
belakangan, dan nihil penguasaan epistemologi dan falsafah di balik kemunculan
konsep maqashid syariah. Sebaliknya, ulama salaf yang melahirkan konsep
aslinya, berangkat dari keterangan Al-Quran, sunnah dan prinsip-prinsip umum
syariah setelah dilakukan istiqra’ (induksi) seluruh bentuk formal syariah dan
substansinya, baik dalam persoalan ibadah, muamalah, pernikahan, hudud, qisas
dan lain-lain.
Maka sewajarnya kita memahami konsep
maqashid ini dan menerapkannya sesuai dengan kerangka berfikir (framework)
ulama salaf yang melahirkannya, bukan malah keliru membacanya sesuai hasil
pembacaan kaum liberalis yang sudah jauh menyimpang, bias, dan rancu, terhadap
konsep ini. Berikut adalah highlights pandangan ulama salaf dalam mendudukkan
maqashid syariah:
لم يخرج الشاطبي عن النظام الأصولي
البياني السلفي مادام يعتبر العربية هي الأساس الأول في معرفة المقاصد
Imam Al-Syathibi Rahimahullah tidak
keluar atau merevolusi system dan kerangka ushul fiqh bayani ala salaf yang
dibangun oleh Imam Syafi’I Radhiyallahu ‘Anhu, sebab ia selalu menekankan
dimensi bahasa/redaksi Arab sebagai titik tolak memahami maqashid.
Sebagai perbandingan, mari kita
cermati seksama pernyataan kedua tokoh tersebut:
كلام الإمام الشافعي:
ليست تنزل بأحد من أهل دين الله نازلة
الا في كتاب الله الدليل على سبيل الهدى فيها (الرسالة ص 20)
بأن استنباط الأدلة يكون إما بنص
القرآن او سنة نبوية او ما فرض الله على خلقه من الاجتهاد وفي طلبه (ص 21-22)
Penegasan Imam Syafi’i: Tiada
satupun perkara/peristiwa yang dialami oleh pemeluk Islam kecuali di dalam
kitabullah terdapat dalil petunjuk yang meneranginya… Konklusi hukum Islam
dapat ditempuh dengan cara ditarik dari petunjuk teks/nash Al-Al-Qur’an dan
sunnah atau ijtihad yang telah Allah wajibkan kepada makhluknya untuk mencari
petunjuk-Nya. (Ar-Risalah, hlm.20-22)
كلام الشاطبي:
ان القرآن فيه بيان كل شيء من امور
الدين والعالم به على التحقيق عالم بجملة الشريعة ولا يعوزه منها شيء (الموافقات
3\333)
Imam Syatihibi: Al-Al-Qur’an di
dalamnya ada penjelasan segala sesuatu dari urusan agama, orang yang
menguasainya adalah orang yang faham keseluruhan syariah dan ia tidak akan
kekurangan suatu apapun dari perkara agama itu. (Al-Muwafaqat, vol.3/333)
لا بد في كل مسألة يراد تحصيل علمها
على أكمل الوجوه أن يلتفت الى أصلها في القرآن (3\339)
Dalam tiap masalah yang ingin
dipecahkan , dan harus peroleh ilmunya secara sempurna, maka harus merujuk
kepada pokoknya di dalam Al-Al-Qur’an. (Ibid., vol.3/339)
إذا تعارض النقل والعقل على المسائل
الشرعية فعلى شرط ان يتقدم النقل فيكون متبوعا و يتأخر العقل فيكون تابعا فلا يسرح
العقل في مجال النظر إلا بقدر ما يسرحه النقل (الموافقات 1\78)
Jika dalil naqli dan akal
bertentangan dalam soal-soal cabang syariah maka syaratnya harus didahulukan
dalil naql sbb ia harus diikuti, dan dibelakangkan dalil akal sb ia harus
mengekor. Dalil akal tidak boleh lepas begitu saja dalam menilai persoalan
kecuali dalam batas yang telah disisakan/ditinggalkan oleh dalil naql. (Ibid.,
vol.1/78)
والعقل إنما ينظر من وراء الشرع
(1\36)
Akal itu hanya dapat menilai sesuatu
dari belakang syara’/dalil naql. (Ibid., vol.1/36)
فالعقل غير مستقل البتة ولا ينبني على
غير أصل وإنما ينبني على أصل متقدم مسلم على الاطلاق ولا أصل مسلم إلا من طريق
الوحي (الاعتصام 1\45)
Akal itu tidak independen sama
sekali dan bukan tanpa dasar/asas yang kuat. Tetapi akal itu harus berdiri di
atas fondasi kuat yang disepakati/ditaati secara absolut. Dan tak lain fondasi
yang absolut itu adalah wahyu/naqli. (Al-I’tishom, vol.1/45)
لأن العقل اذا لم يكن متبعا للشرع لم
يبق له الا الهوى والشهوة (الاعتصام 1\50)
Karena jika akal tidak mengikuti
petunjuk syar’I, maka yang tersisa hanyalah hawa nafsu dan syahwat belaka.
(Ibid., vol.1/50)
واذا ثبت هذا وان الأمر دائر بين
الشرع والهوى تزلزلت قاعدة حكم العقل المجرد فكأن ليس للعقل في هذا الميدان مجال
إلا من تحت نظر الهوى فهو إذا اتباع للهوى بعينه في تشريع الأحكام (1\52-53)
Jika telah terbukti bhw pilihan
antara aturan syar’I dan hawa nafsu, maka akan goncanglah kaidah hukum akal.
Seakan-akan akal tidak memiliki wilayah apapun kecuali dibawah kendali hawa
nafsu. Yaitu mengikuti nafsu semata dalam membina hukum syariat. (Ibid.,
vol.1/52-53)
على الناظر في القرآن ان يسلك في
الاستنباط منه والاستدلابه مسلك كلام العرب في تقرير معانيها و منازعها في انواع
مخاطباتها خاصة فإن كثيرا من الناس يأخذون أدلة القرآن بحسب ما يعطيه العقل فيها
لا بحسب ما يفهم من طريق الوضع وفي ذلك فساد كبير وخروج عن مقصود الشارع
(الموافقات 1\41)
Orang yang ahli Al-Al-Qur’an dalam
menggali dan mencari dalil darinya, harus menempuh metode orang Arab dalam menetapkan
makna redaksionalnya dan kecenderungannya dalam jenis-jenis pembicaraannya.
Terlebih, banyak orang yang mengambil dalil-dalil Al-Qur’an hanya sebatas apa
yang diberikan akal, dan bukan dalam batasan apa yang difahami dari metode
peletakan asal makna dlm bahasa Arab. Inilah pangkal kerusakan yang besar dan
mengangkangi maksud/tujuan syari’. (Al-Muwafaqat, vol.1/41)
إن الفارق الأساسي بين الإسلاميين
والعلمانيين في البحث عن المقاصد أن الأولين يبحثون عن مقاصد الشارع سبحانه وتعالى
ومراده من النص. أما الأخرون فيبحثون عن مقاصد أنفسهم ومرادات عقولهم ومطالب
أهوائهم.
Perbedaan mencolok antara Islamis
dan sekularis dalam penentuan maqashid syariah adalah: kaum Islamis mencari dan
menggalinya dari teks, dan kaum sekularis mencari-cari maksud/tujuan mereka
semata sesuai kemauan akal dan tuntutan nafsu mereka saja.
مقاصد الشريعة مبدأ أصولي له ضوابطه
ومعاييره التي تحكمه حتى لا تصبح ذريعة يتوسل بها الى تورخة النص والغائه وتمييعه
فإن تحديد مقاصد الشارع لا ينبني على ظنون وتخمينات غير مطردة. إن الشاطبي مؤسس
علم المقاصد هو نفسه الذي يحدد هذه الضوابط, فهل يلتزم العلمانيون بذلك؟
Maqashid Syariah adalah suatu
prinsip dasar ilmu ushul fiqh yang memiliki aturan dan standar pasti agar tidak
dijadikan alat untuk merelatifkan teks, dan menganulirnya. Sebab penetapan
tujuan-tujuan syar’I tidak bisa dibangun oleh asumsi-asumsi dan prakiraan yang
labil. Oleh sebab itu, Imam Syathibi sebagai peletak dasar ilmu maqashid telah
menetapkan berbagai aturan bagi upaya menggali maqashid syari’ah. Namun apakah
kaum sekuleris mau mendisiplinkan diri dengan beragam aturan itu?
Secara khusus tulisan
ini akan mengkaji hikmah puasa dalam konteks kekinian, bagi penanganan krisis
kemanusiaan, yang berupa penyakit-penyakit fisik dan psikis, dimana puasa
digunakan sebagai alternatif bagi penanggulangan terhadap hal-hal tersebut.
Berbagai hikmah puasa yang terdapat dalam Kitab karya al-Jurjawi tersebut, ada
beberapa hikmah puasa yang dikelompokkan dalam empat aspek: spiritual,
sosiologis, medis, dan psikologis yang memiliki dayaguna bagi penyelesaian
problematika kemanusiaan dan lingkungan hidup.
Meskipun secara
praktis, oleh al-Jurjawi tidak diuraikan secara detail dalam bentuk
operasionalnya, namun melalui analisis kontekstual dapat dikemukakan bentuk
alternatif yang menjadikan puasa sebagai salah satu kunci utama penanganan
problem yang muncul di era kekinian. Al-Jurjawi muncul dari setting historis
pendudukan Perancis berusaha menguak makna dari puasa yang telah disyariatkan
oleh Allah dari zaman ke zaman.
Pengkajian
akan hikmah puasa dalam konteks kekinian terkait dengan nilai-nilai utama:
aplikasi watak kasih sayang dan kepedulian akan nasib orang lain yang disertai
dengan jiwa kesabaran dan keikhlasan; aktualisasi konsep taubat, di mana
kesadaran akan dosa diaplikasikan dalam pola-laku yang mendatangkan manfaat
bagi kehidupan sesama; minimalisir konflik kejiwaan yang dicurahkan bagi
ketenangan hidup; menjadikan puasa sebagai tonggak penyembuhan; dan menjadikan
puasa sebagai kunci penataan moral individual maupun kolektif.
Diharapkan
diaplikasikan oleh umat Islam, sehingga mampu menghadapi sebagian tantangan
zaman yang kian kompleks. Ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat Islam
umumnya terhadap berbagai aturan keagamaan masih berhenti pada konsep aplikasi
formal, belum menyentuh pada pemahaman filosofis, dan tidak/belum memiliki
orientasi pemanfaatan nilai-nilai syari'at sebagai alternatif pemecahan masalah
bagi kehidupannya.
Masalah pokok yang menjadi kajian skripsi ini adalah kontekstualisasi hikmah puasa dalam konteks kekinian, yang didasarkan pada Pendapat Syekh Ali al-Jurjawi yang tertuang dalam Kitab Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuhu. Secara khusus skripsi ini akan mengkaji hikmah puasa dalam konteks kekinian, bagi penanganan krisis kemanusiaan, yang berupa penyakit-penyakit fisik dan psikis, dimana puasa digunakan sebagai alternatif bagi penanggulangan terhadap hal-hal tersebut. Berbagai hikmah puasa yang terdapat dalam Kitab karya al-Jurjawi tersebut.
Ada
Beberapa Hikmah Puasa yang dikelompokkan dalam empat aspek: spiritual, sosiologis,
medis, dan psikologis yang memiliki dayaguna bagi penyelesaian problematika
kemanusiaan dan lingkungan hidup. Meskipun secara praktis, oleh al-Jurjawi
tidak diuraikan secara detail dalam bentuk operasionalnya, namun melalui
analisis kontekstual dapat dikemukakan bentuk alternatif yang menjadikan puasa
sebagai salah satu kunci utama penanganan problem yang muncul di era kekinian.
Al-Jurjawi muncul dari setting historis
pendudukan Perancis berusaha menguak makna dari puasa yang telah disyariatkan
oleh Allah dari zaman ke zaman. Pengkajian akan hikmah puasa dalam konteks
kekinian terkait dengan nilai-nilai utama: aplikasi watak kasih sayang dan
kepedulian akan nasib orang lain yang disertai dengan jiwa kesabaran dan
keikhlasan; aktualisasi konsep taubat, di mana kesadaran akan dosa
diaplikasikan dalam pola-laku yang mendatangkan manfaat bagi kehidupan sesama;
minimalisir konflik kejiwaan yang dicurahkan bagi ketenangan hidup;
Menjadikan Puasa Sebagai Tonggak
Penyembuhan; dan menjadikan puasa sebagai kunci
penataan moral individual maupun kolektif. Hasil penelitian ini diharapkan
diaplikasikan oleh umat Islam, sehingga mampu menghadapi sebagian tantangan
zaman yang kian kompleks. Ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat Islam
umumnya terhadap berbagai aturan keagamaan masih berhenti pada konsep aplikasi
formal, belum menyentuh pada pemahaman filosofis, dan tidak/belum memiliki
orientasi pemanfaatan nilai-nilai syari'at sebagai alternatif pemecahan masalah
bagi kehidupannya.
No comments:
Post a Comment