KAJIAN HIKMAH MEMUKUL ANAK
M.Rakib Muballigh IKMI Pekanbaru
Jl.Ciptakarya Panam Riau Indonesia 2015
Memukul anak
itu, ada hikmahnya. Ketika hal ini saya ungkapkan kepada
seorang profesor, beliau menghina saya, karena saya sering ceramah di pinggiran kota Pekanbaru Riau Indonesia, tentang “Hikmah” di surau-suarau, belau
mengatakan “ ah itu biarlah kajian disruau-suarau saja”, dengan nada yang sangat
merendahkan. Sakit rasanya di sini, di
hati ini, nada merendahkan itu yang berlebihan. Pertanyaan saya kepada
beliau (Prof A..Lf) tidak pernahkah Bapak membaca buku Maqoshid al-Syari’ah
karya Al_syatiby?
Hikmah
memukul anak yang tidak shalat, merupakan bagian dari kajian Falsafah asy-syari’ah,
yang mengungkapkan masalah ibadah, muammalah, jinayah dan ‘uqabah dari materi
hukum Islam. Falsafah syari’ah mencakup asrar al-ahkam, khasha’ilah
al-ahkam, mahasin al-ahkam dan thawabi’ al-ahkam.
–
Falsafah Tasyri’, yaitu filsafat yang memancarkan hukum islam,
menguatkan dan memeliharanya. Falsafah tasyri’ meliputi ushul
al-ahkam, maqasid al-ahkam dan qawa’id al-ahkam.
–
Hikmah at-Tasyri wa Falsafatuh, yaitu kajian mendalam dan radikal
tentang prilaku mukallaf dalam mengamalkan hukum Islam sebagai undang-undang
dan jalan kehidupan yang lurus.
Menurut Prof.Dr.Muhaya di radiao, … 4 tahap bagaimana
mendidik anak mengikut sunnah Rasulullah s.a.w adalah :
1) Umur anak-anak 0-6 tahun. Pada
masa ini, Rasulullah s.a.w menyuruh kita untuk memanjakan, mengasihi dan menyayangi
anak dengan kasih sayang yg tidak berbatas. Berikan mereka kasih sayang tanpa
mengira anak sulung mahupun bongsu dengan bersikap adil terhadap setiap
anak-anak. Tidak boleh dipukul sekiranya mereka melakukan
kesalahan walaupun atas dasar untuk mendidik.
Sehingga, anak-anak akan lebih dekat dengan kita dan merasakan kita sebagai bagian dari dirinya saat besar, yang dapat dianggap sebagai teman dan rujukan yang terbaik. Anak-anak merasa aman dalam meniti usia kecil mereka karena mereka tahu anda (ibu bapak) selalu ada disisi mereka setiap masa.
Sehingga, anak-anak akan lebih dekat dengan kita dan merasakan kita sebagai bagian dari dirinya saat besar, yang dapat dianggap sebagai teman dan rujukan yang terbaik. Anak-anak merasa aman dalam meniti usia kecil mereka karena mereka tahu anda (ibu bapak) selalu ada disisi mereka setiap masa.
2) Umur anak-anak 7-14
tahun. Pada tahap ini kita mula menanamkan nilai DISIPLIN
dan TANGUNGJAWAB kepada anak-anak. Menurut hadits Abu Daud,
“Perintahlah anak-anak kamu supaya mendirikan shalat ketika berusia tujuh tahun
dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika berumur sepuluh
tahun dan asingkanlah tempat tidur di antara mereka (lelaki dan
perempuan). Pukul itu pula bukanlah untuk menyiksa, cuma sekadar untuk
mengingatkan mereka. Janganlah dipukul bagian muka karena muka adalah tempat
penghormatan seseorang. Allah SWT mencipta sendiri muka Nabi Adam.
Sehingga, anak-anak akan lebih bertanggungjawab pada setiap suruhan terutama dalam mendirikan sholat. Inilah masa terbaik bagi kita dalam memprogramkan kepribadian dan akhlak anak-anak mengikut acuan Islam. Terserah pada ibu bapak apakah ingin menjadikan mereka seorang muslim, yahudi, nasrani ataupun majusi.
Sehingga, anak-anak akan lebih bertanggungjawab pada setiap suruhan terutama dalam mendirikan sholat. Inilah masa terbaik bagi kita dalam memprogramkan kepribadian dan akhlak anak-anak mengikut acuan Islam. Terserah pada ibu bapak apakah ingin menjadikan mereka seorang muslim, yahudi, nasrani ataupun majusi.
3) Umur anak-anak 15-
21 tahun. Inilah fasa remaja yang penuh sikap memberontak. Pada tahap ini,
ibubapa seeloknya mendekati anak-anak dengan BERKAWAN dengan
mereka. Banyakkan berborak dan berbincang dengan mereka tentang perkara yang
mereka hadapi. Bagi anak remaja perempuan, berkongsilah dengan mereka tentang
kisah kedatangan ‘haid’ mereka dan perasaan mereka ketika itu. Jadilah
pendengar yang setia kepada mereka. Sekiranya tidak bersetuju dengan sebarang
tindakan mereka, hindari menghardik atau memarahi mereka terutama dihadapan
saudara-saudaranya yang lain tetapi gunakan pendekatan secara diplomasi
walaupun kita adalah orang tua mereka. Sehingga, tidak ada orang ketiga atau
‘asing’ akan hadir dalam hidup mereka sebagai tempat rujukan dan pendengar
masalah mereka. Mereka tidak akan terpengaruh untuk keluar rumah untuk mencari
kesenangan lain karena memandangkan semua kebahagian dan kesenangan telah ada
di rumah bersama keluarga.
4) Umur anak 21
tahun dan ke atas. Fase ini adalah masa ibu bapak untuk memberikan sepenuh KEPERCAYAAN
kepada anak-anak dengan memberi KEBEBASAN dalam membuat
keputusan mereka sendiri. Ibu bapak hanya perlu pantau, menasehati dengan
diiringi doa agar setiap tindakan yang diambil mereka adalah betul. Berawal
dari pengembaraan kehidupan mereka yang benar di luar rumah. InsyaAllah dengan
segala displin yang diasah sejak tahap ke-2 sebelum ini cukup menjadi benteng
diri buat mereka. Ibu bapak jangan lelah untuk menasihati mereka, kerana
kalimat nasihat yang diucap sebanyak 200 kali atau lebih terhadap anak-anak
mampu membentuk tingkah aku yang baik seperti yang ibu bapak inginkan.
- C. Maqashid Syari’ah dalam Wacana Global
Al-Qur’â
n dan al-Sunnah banyak meyinggung tentang maqâ shid baik dalam ibadah,
muâ malah, sosial dan sebagainya. Keduanya merupakan sumber otentik syari’ah
Islam telah memberikan alternatif dalam setiap pembahasan yang berkaitan dengan
dimensi kehidupan. Sedangkan syari’ah Islam datang untuk menghilangkan
kesusahan dan kesusahan manusia, meminimalisir bahaya dan mencari nilai mashlahah
bagi manusia. Kalau ada orang yang mengatakan bahwa syari’at Islam itu, hanya
membahas tentang akhirat saja, sebenarnya mereka lupa bahwa syari’at Islam juga
mengatur tentang siklus kehidupan manusia di dunia, sebagaimana firman Allah
swt: “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang
aku larang kamu dari padanya. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan)
perbaikan selama aku masih berkesanggupan.” (QS.Hud:88) . Dari sini
nampak jelas bahwa tasyrî’ hukum senantiasa memperhatikan mashlahah manusia,
yang diimplementasikan lewat maqâ shid syari’ah tadi.
1.
Definisi Maqashid Syari’ah
Secara
etimologis, maqashid berasal dari kata qasada yang berarti menghadap
pada sesuatu. Sedangkan secara terminologis adalah sasaran-sasaran yang dituju
oleh syari’at dan rahasia-rahasia yang diinginkan oleh Syâ ri’ dalam
setiap hukum-hukum-Nya untuk menjaga kemaslahatan manusia.
Sebagian
ulama memberikan definisi dengan membagi maqâ shid dalam beberapa
bagian, diantaranya:
a.
Imam Syatibi. Menurutnya maqâ shid syarî ah terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
1.
Kemauan taklîf, maknanya adalah kemauan seorang mukallaf dalam
mengerjakan beban yang telah ditentukan oleh Syâri’. Selanjutnya as-Syatibi
mengatakan bahwa perkara yang maklum adalah yang sesuai dengan perbuatan
mukallaf. Sedangkan keterkaitan antara perbuatan dengan perkara tersebut,
itulah yang dimaksud oleh Syâri’.
2.
Maqâshid sebagai dalalah dari khithâb syara’
atau menurut ahli ushûl adalah nash.
3.
Maqâshid syari’ah dari hukum, yaitu menarik kemaslahatan dan
menghindari kesusahan.
b.
Imam Muhammad at-Thâhir ibn Ashûr. Menurutnya maqâ shid terbagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Maqashid al syarî’ah al ‘ammah adalah makna-makna dan hukum yang telah
didiskripsikan oleh Syâ ri’ dalam segenap permasalahan syara’ tanpa
mengkhususkan pada hal-hal tertentu. Pembahasannya meliputi: Karakteristik
syari’ah, Tujuannya secara umum, makna-makna yang mempunyai korelasi dengan
pensyari’atan dan sebagainya.
2.
Maqâ shid al syarî’ah al khã shah adalah tata cara yang dimaksudkan oleh
syara’ untuk merealisasikan maqâ shid manusia yang mempunyai nilai
kemanfaatan atau untuk menjaga mashlahah manusia dalam aktifitasnya.
Lebih
spesifik lagi, sasaran maqâ shid syariî’ah adalah melestarikan tatanan
dunia dengan jaminan hak-hak asasi manusia, sebagai subyek dalam pelestarian
dan pemakmuran alam. Perspektif ini berusaha untuk memelihara hak-hak manusia
yang pada implementasinya terarah pada akidah, mengekspresikan amal dan juga
status sosial individu di tengah masyarakat. Karena reformasi yang dicita-citakan
oleh Islam adalah perbaikan yang menyeluruh pada setiap permasalahan umat
manusia. Kreatifitas seseorang sangat di pengaruhi oleh keleluasaannya dalam
mengaplikasikan hak-haknya, dan kesalehannya sangat dipengaruhi oleh kelurusan
akidah sebagai sumber etika dan pemikiran. Adapun pemberdayaan sosial diawali
oleh kesalehan individu plus aturan syari’at dan lingkungan yang
mempengaruhinya.
2.
Pembagian Maqâshid Syari’ah
Inti
dari tasyrî’ Islam adalah jalbu al-mashâ lih dan dar’u al-mafsadah. Inilah
yang dimaksud dengan pelestarian tatanan dunia dan pengaturan perilaku manusia
sehingga terhindar dari tindakan-tindakan destruktif. Akan tetapi, mashlahah
ini terkait oleh besar atau kecilnya pengaruh dari kesalehan ummah atau jamaah.
Tinjauan mashlahah dari sisi pengaruh ini terbagi kedalam dlarû riyah, hâ
jjiyah dan tahsî niyah.
Secara
garis besar maqâ shid syarî’ah terbagi dua bagian: Pertama, maqâ shid
yang dikembalikan kepada maksud syâri’. Syâri’ menurunkan hukum bagi
makhluknya dengan satu illat yaitu kemaslahatan manusia, baik
kemaslahatan duniawi, maupun kemaslahatan ukhrawi. Kedua, hukum syari’ah
yang dikembalikan kepada maksud mukallaf. Hal ini dapat diimplementasikan dalam
tiga visi; dlarû riyah, hâ jjiyah dan tahsî niyah
Menjaga
maqshâ shid syarî’ah sebagaimana yang digariskan oleh ahli Ushul Fiqh
terbagi kepada tiga tingkatan: dlarû riyah, hâ jjiyah dan tahsî
niyah. Dalam fiqh aulawiyâ t kita dituntut untuk mendahulukan dlarû
riyah dari pada yang hâ jjiyah. Demikian halnya jika terjadi
pergesekan antara hâ jjiyah dan tahsî niyah, kita dituntut untuk
mendahulukan hâ jjiyah daripada tahsî niyah. Pertama, dlarû
riyah adalah bentuk kemaslahatan primer yang mendesak untuk dipenuhi oleh
masyarakat baik secara kolektif maupun oleh masing-masing individu. Sekiranya
terabaikan maka akan mengakibatkan destruktif bagi manusia sendiri atau tatanan
yang telah mapan.
Dalam
kaitannya dengan dlarû riyah ini — sebagaimana yang akan dirinci nanti
dibagi menjadi lima bagian—hifdz al dîn lebih diprioritaskan daripada hifdz
al nafs, dan hifdz al nafs lebih diprioritaskan daripada hifz al
‘aql dan begitu seterusnya.
Kedua,
hâjjiyah adalah kemaslahatan yang diperlukan
oleh masyarakat demi peningkatan kestabilan tatanan hidup, atau guna
terciptanya kondisi yang lebih baik. Jika mashlahah ini terabaikan
bahayanya tidak sampai mengganggu kemapanan yang ada, hanya terjadi kekurang
serasian hidup. Seperti pensyari’atan rukhshah (keringanan) dalam hifdz
al din, dan hifdz nashl menasabkan anak hasil adopsi kepada orang
tua asli dan diperbolehkannya berbuka puasa bagi musafir serta yang sakit.
Termasuk dalam hal ini penciptaan cara-cara lain sebagai sad al dzarâi’.
Ketiga,
tahsî niyât adalah hal-hal yang dibutuhkan untuk
menumbuhkan sikap kepribadian dan kemuliaan akhlaq, berorientasi pada
legitimasi sosial yang tidak kontradiktif dengan syari’at. Kemashlahatan tahsnî
yât melahirkan kondisi umat yang mendekati kesempurnaan, sehingga bisa
menarik simpati dari umat lain terhadap masyarakat Islam. Seperti
disyari’atkannya menjaga kebersihan, berhias dan dalam mu’amalah terdapat
pelarangan menjual barang najis dan kotoran yang membahayakan kesehatan umum.
Lebih
terperinci lagi, maqâ shid syari’ah dalam visi dlarû riyah terbagi
menjadi lima yang kemudian lebih dikenal dengan al-kulliyâ t al-khams,
diantaranya: Pertama, hifdz al dî n; (Perlindungan terhadap keyakinan
agama). Shari’ah Islam mengajarkan untuk menciptakan sikap hormat dan menjaga
keyakinan yang ada, agar dalam masyarakat yang berada di dalam naungan shari’ah
Islamiyyah, agama yang bervariasi dapat hidup berdampingan secara damai, saling
menjaga dan menghormati, tidak terjadi saling intervensi dan interpolasi ajaran
sehingga keyakinan masing-masing tergambar jelas, (QS. Al-Kafirun 109: 1-6).
Shari’ah Islam juga melarang ada pemaksaan untuk memeluk agama di luar
keyakinannya (QS. Al-Baqarah 2: 256). Dampaknya adalah membuahkan kerjasama
yang seimbang antara ummat beragama dalam kegiatan social, ekonomi, pertahanan,
keamanan, lingkungan hidup dan lain sebagainya. Yang digambarkan oleh QS.
Al-Mumtahanah 60: 8.
Kedua,
hifdz al nafs (Perlindungan terhadap keselamatan
jiwa); Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati keamanan dan keselamatan
diri manusia, dan menjadi tetap dihormatinya kemuliaan, martabat manusia
sebagai anugrah dari Alah SWT. Dampaknya adalah terjaminnya ketentraman dan
kondisi masyarakat yang santun dan beradab (masyarakat madani/civil society),
(QS. Al-an’am 6: 151), (al-Baqarah 2: 179).
Ketiga,
hifdz al áql (Perlindungan terhadap eksistensi
akal); akal adalah dimensi paling penting dalam kehidupan manusia.
Keberadaanya menjadi pembeda utama dengan makhluk lain serta menjadi alas an
mengapa Allah menetapkan kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia. Akal juga amat
menentukan baik buruknya perilaku hidup dan peradaban. Oleh karena itu,
shari’ah Islam mengajarkan untuk memelihara dan mengembangkan kejernihan
apemikiran manusia serta amannya produk pemikiran manusia, sehingga tidak mudah
kegalauan dan kebingungan yang dapat menimbulkan keberingasan. Oleh karena itu
apapun yang dapat merugikan fungsi pemikiran, baik dalam bentuk fisik maupun
non fisik, dicegat oleh shari’at Islam.
Perlindungan
terhadap kerusakan pemikiran maupun fungsi aqliyah manusia merupakan
kebutuhan yang sangat vital bagi masyarakat yang menginginkan kemajuan, sebab
hal ini merupakan kebutuhan semua orang tanpa memandang suku, bangsa ataupun
agama. (QS. Al-Maidah 5: 90).
Keempat,
Hifdz al nasl (Perlindungan terhadap keturunan);
Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati system keluarga (keturunan),
sehingga masing-masing orang mempunyai nisbah dan garis keluarga yang jelas
demi kepentingan di dalam masyarakat guna mewujudkan kehidupan yang tenteram
dan tenang. (QS. Al-Rum 30: 21)
Kelima,
Hifdz al mâl (Perlindungan terhadap harta);
Islam mengajarkan untuk menjamin perkembangan ekonomi masyarakat yang saling
menguntungkan, menghormati dan menjaga kepemilikan yang sah sehingga akan
tercipta dinamika ekonomi yang santun dan beradab (economical civility).
Untuk itu Islam mengajarkan tata cara memperoleh harta, seperti hukum bolehnya
jual beli disertai persyaratan keridlaan dua belah pihak dan tidak ada praktik
riba dan monopoli, (QS. Al-Baqarah 2: 275), (QS. An.Nisa 4: 29)
- D. Maqashid Syari’ah dalam konteks ke Indonesiaan.
Indonesia
merupakan Negara dengan kemajemukan yang sangat banyak. Berbagai macam suku,
ras, budaya, bahasa dan agama berkeliaran di negeri ini. Maka menjadi
keniscayaan ketika perbedaan-perbedaan itu tidak lagi melahirkan konflik. Para funding
father memiliki cita-cita mulia ketika membuat landasan bangsa kita.
perdamaian, kesetaraan dan saling menghargai adalah kunci untuk mewujudkan
cita-cita tersebut, maka lahirlah Pancasila yang akhirnya hingga kini menjadi
ideology Negara kita. Dengan lambang garuda yang bertuliskan Bhinneka
tunggal Ika, dan semua itu bukanlah diciptakan hanya untuk menjadi symbol
atau formalitas belaka. Sungguh sangat disayangkan ketika masih saja terjadi
kekerasan dan peperangan yang dimulai karena perbedaan. Apalagi Negara ini adalah
Negara demokrasi, maka semangat demokrasi seharusnya menjadi semangat untuk
menjadi mediasi perbedaan yang ada pada masyarakat, mempromosikan pluralisme,
menghormati minoritas serta perbedaan etnis dan agama.
Dan
semua itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tujuan diturunkannya al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan kepada Rosulullah saw, di tengah semrawutnya tatanan
kehidupan masyarakat ketika itu di mana struktur social budayanya
patriarki, system ekonominya opresif, politiknya despotic dan juga koruptif. Di
tengah system sedemikian rupa kehidupan tidak lagi berharga. Perbudakan
merajalela, perempuan dimarjinalkan dan dijadikan barang mainan, para kapitalis
berkuasa sementara kaum miskin akan terus hidup menderita. Al-Qur’an turun
untuk memperbaiki kerusakan itu, kembali mengangkat jati diri manusia dari
penindasan dan kesengsaraan dan menciptakan sebuah masyarakat yang adil (al-‘adalah),
egaliter (musawah), merdeka (al-huriyah), serta damai dan rukun (as-salamah,
al-mashlahah).
Dalam
konteks inilah Allah melalui al-Qur’an menetapkan bahwa riba adalah haram,
sementara jual beli itu halal, poligami halal, tetapi gonta ganti pasangan
haram, tabarruj (bersolek) haram, akan tetapi berjilbab wajib bagi kaum
perempuan, hudud dikenakan bagi pelaku tindak kriminalitas dan rajam
bagi pezina, dan begitulah seterusnya. Hukum-hukum ini yang dalam perkembangan
selanjutnya dielaborasi secara rinci oleh fuqaha dan mufassirin,
sehingga melahirkan disiplin ilmu yang dikenal dengan fiqh, ushul fiqh
dan tafsir. Inilah yang dimaksudkan Fazlur Rahman dalam tulisannya
“(pewahyuan) al-Qur’an merupakan respon ilahiah pada waktu al-Qur’an
diturunkan, yang menembus nalar nabi Muhammad, terkait dengan situasi
moral-sosial kawasan Arabia tempat Nabi tinggal.
Dengan
nada yang sama Abdullah Ahmed An-Na’im , ketika mengomentari hukum Islam yang
berhubungan dengan urusan public seperti hudud, qishas dan sejenisnya
mengatakan “hukum public yang terkandung dalam shari’ah adalah
sepenuhnya dapat dijadikan landasan dan konsisten dengan konteks historisnya.
Akan tetapi tidak dapat dijadikan alasan dan tidak secara konsisten bersesuaian
dengan konteks kekinian”. Nasr Hamid abu Zaid meringkas dengan mengatakan
al-Qur’an sebagai muntaj tsaqafi (Produk budaya). Apa yang tersirat
dalam masalah ini adalah hukum-hukum al-Qur’an sangat dipengaruhi nuansa
social-budaya, ekonomi, politik masyarakat Arab diabad ke tujuh. Oleh sebab
itu, bukanlah sikap yang bijak ketika mengadopsi apa yang ditetapkan dalam nash
secara literal dan formal legalistic tanpa lebih jauh mengapresiasi tujuan
serta hikmah terdalam dari hukum tersebut.
Karena setiap hukum yang lahir pasti bertujuan mencari kemaslahatan dan ini
sangatlah sesuai dengan prinsip Maqashidus syari’ah, maka hukum
pun harus menyesuaikan pada waktu dan tempat.
- E. Kesimpulan
Imam
al-Syatibi membagi kemaslahatan dalam tiga tingkatan, yaitu pertama,
Kemaslahatan yang bersifat primer (al-dharuriyyat), yaitu kemaslahatan
yang mesti menjadi acuan utama bagi implementasi syari’at. sebab jika tidak,
maka akan terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang mengakibatkan ambruknya
tatanan social. Kemaslahatan dalam kategori menjadi penyeimbang dan mediasi
antara kecenderungan ukhrawi dan duniawi. Titik temunya terletak pada upaya
pembumian nilai-nilai yang diidealkan Tuhan untuk kemanusiaan universal.
Yang
dimaksud kemaslahatan primer yaitu perlunya perlindungan agama (hifzh al-din,
melindungi jiwa (hifzh al-nafs), melindungi akal (hifzh al-‘aql),
melindingi keturunan (hifzh nasaab) dan melindungi harta (hifzh
al-mal). Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain,
menghormati jiwa, menghargai kebebasan berfikir dan berpendapat, menjaga
keturunan (hak reproduksi) serta menghargai kepemilikan harta setiap orang.
Imam Syatibi menegaskan, bahwa kemaslahatan yang bersifat primer tersebut
merupakan inti semua agama dan ajaran.
Kedua,
kemaslahatan yang bersifat sekunder (al-hajiyat), yaitu kemaslahatan
yang tidak menyebabkan ambruknya tatanan social dan hukum. Misalnya dalam hal
ibadah, bahwa dalam praktek peribadatan diberikan dispensasi (al-rukhash
al-mukhaffafah) apabila dal;am pelaksanaannya terdapat kesulitan. Bagi
mereka yang melakukan perjalanan jauh, sakit dan orang tua renta diberikan
keringanan yang diatur dalam fiqih. Kemaslahatan sekunder ingin memberikan
pesan, bahwa dalam pelaksanaan peribadatan pun diberikan beberapa keringanan
dalam rangka memberikan kemaslahatan dan kenyamanan bagi pemeluknya, sehingga
beragama dan beribadah tidak merasa adanya keberatan dan keterpaksaan.
Ketiga,
kemaslahatan yang bersifat suplementer (al-tahsiniyat), yaitu kemaslahatan yang
memberikan perhatian pada masalah estetika dan etiket. Misalnya, ajaran tentang
kebersihan, berhias, shadaqah dan bantuan kemanusiaan. Kemaslahatan ini juga
menjadi penting dalam rangka menyempurnakan kemaslahatan priomer dan sekunder.
No comments:
Post a Comment