KEKERASAN PROFESOR TERHADAP MAHASISAWA S.3
M.RAKIB JAMARI,
SH.,M.Ag Muballigh IKMI Riau Indonesia.
2015
Ini kejadian 20 tahun yang lalu, di luar negeri, terutama di Afrika benua hitam
yang tercacat, ada faktor-faktor yang mendukung terjadinya penganiayaan GURU besar terhadap mahasiswa S.3 antara lain
immaturitas/ketidakmatangan jiwa sang profesor, kurangnya pengetahuan bagaimana
menjadi pembimbing disertasi mahasiswa dewasa bahkan tua, harapan yang tidak
realistis terhadap kemampuan mahasiswa, pengalaman negatif masa dari dosen sang perofesor ketika menjadi
mahaiswa dulunya, seakan pelampiasan dendam, juga isolasi sosial, problem rumah tangga sang profesor,
serta problem obat-obat l. Ada juga guru besar yang tidak menyukai peran sebagai pembimbing,
karena honornya kecil, sehingga terlibat pertentangan dengan pembimbing yang
lebih muda. Tanpa menyadari mahasiswa
S.3 menjadi sasaran amarah, dendam dan kebencian.
Bukan Penyiksaan fisik
Bukan Penyiksaan fisik
Menahan nilai mahasiswa S3 memang bukan bukan kekerasan fisik tapi lebih pedih. Maahasiswa seharusnya selesai 4 tahun, ditahan sang dosen nilainya, menjadi 9-10 tahun, msyaAllah. Segala bentuk penyiksaan non fisik bahkan fisikpun bisa terjadi ketika Sang profesor tua itu frustrasi atau marah, kemudian melakukan tindakan-tindakan agresif secara fisik, dapat berupa mencampakkan karya mahaiswanya. Tindakan ini seakan tendangan fisik, mirip dengan menyulut dengan rokok, membakar, dan tindakan - tindakan lain yang dapat membahayakan anak kecil. Sangat sulit dibayangkan bagaimana guru besar, ibarat orang tua dapat melukai anaknya. Sering kali penyiksaan fisik adalah hasil dari hukuman fisik yang bertujuan menegakkan disiplin, yang tidak sesuai dengan usia anak. Banyak orang tua ingin menjadi orang tua yang baik, tapi lepas kendali dalam mengatasi perilaku sang anak.
Efek dari penyiksaan fisik
Penyiksaan yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, dan meninggalkan bekas baik fisik maupun psikis, anak menjadi menarik diri, merasa tidak aman, sukar mengembangkan trust kepada orang lain, perilaku merusak, dll. Dan bila kejadian berulang ini terjadi maka proses recoverynya membutuhkan waktu yang lebih lama pula.
Penyiksaan emosi
Penyiksaan emosi adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan orang lain. Jika hal ini menjadi pola perilaku maka akan mengganggu proses perkembangan anak selanjutnya. Hal ini dikarenakan konsep diri anak terganggu, selanjutnya anak merasa tidak berharga untuk dicintai dan dikasihi. Anak yang terus menerus dipermalukan, dihina, diancam atau ditolak akan menimbulkan penderitaan yang tidak kalah hebatnya dari penderitaan fisik.
Bayi yang menderita deprivasi (kekurangan) kebutuhan dasar emosional, meskipun secara fisik terpelihara dengan baik, biasanya tidak bisa bertahan hidup. Deprivasi emosional tahap awal akan menjadikan bayi tumbuh dalam kecemasan dan rasa tidak aman, dimana bayi lambat perkembangannya, atau akhirnya mempunyai rasa percaya diri yang rendah.
Jenis-jenis penyiksaan emosi adalah:
- Penolakan
Orang tua mengatakan kepada anak
bahwa dia tidak diinginkan, mengusir anak, atau memanggil anak dengan sebutan
yang kurang menyenangkan. Kadang anak menjadi kambing hitam segala problem yang
ada dalam keluarga.
- Tidak diperhatikan
Orang tua yang mempunyai masalah
emosional biasanya tidak dapat merespon kebutuhan anak-anak mereka. Orang tua
jenis ini mengalami problem kelekatan dengan anak. Mereka menunjukkan sikap
tidak tertarik pada anak, sukar memberi kasih sayang, atau bahkan tidak
menyadari akan kehadiran anaknya. Banyak orang tua yang secara fisik selalu ada
disamping anak, tetapi secara emosi sama sekali tidak memenuhi kebutuhan
emosional anak.
- Ancaman
Guru besar ibarat orangtua
mengkritik, menghukum atau bahkan mengancam anak. Dalam jangka panjang keadaan
ini mengakibatkan anak terlambat perkembangannya, atau bahkan terancam
kematian.
- Isolasi
Sang Profesor, bisa saja bentuknya
dapat berupa orang tua tidak mengijinkan anak mengikuti kegiatan bersama teman
sebayanya, atau bayi dibiarkan dalam kamarnya sehingga kurang mendapat
stimulasi dari lingkungan, anak dikurung atau dilarang makan sesuatu sampai
waktu tertentu.
- Pembiaran
Guru besar bisa pula ibaarat orangtua
yang membiarkan anak terlibat penyalahgunaan obat dan alkohol, berlaku kejam
terhadap binatang, melihat tayangan porno, atau terlibat dalam tindak kejahatan
seperti mencuri, berjudi, berbohong, dan sebagainya. Untuk anak yang lebih
kecil, membiarkannya menonton adegan-adegan kekerasan dan tidak masuk akal di
televisi termasuk juga dalam kategori penyiksaan emosi.
Efek dari penyiksaan emosi
Penyiksaan emosi sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Dengan begitu, usaha untuk menghentikannya juga tidak mudah. Jenis penyiksaan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak seperti tiba-tiba membakar barang atau bertindak kejam terhadap binatang, beberapa melakukan agresi, menarik diri, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.
Pelecehan seksual
Sampai saat ini tidaklah mudah membicarakan hal ini, atau untuk menyadarkan masyarakat bahwa pelecehan seksual pada setiap usia – termasuk bayi - mempunyai angka yang sangat tinggi. Bahkan Hopper (2004) mengemukakan bahwa hal ini terjadi setiap hari di Amerika Serikat.
Pelecehan seksual pada anak adalah kondisi dimana anak terlibat dalam aktivitas seksual dimana anak sama sekali tidak menyadari, dan tidak mampu mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang diterimanya.
Semua
tindakan yang melibatkan anak dalam kesenangan seksual masuk dalam kategori ini:
- Pelecehan seksual tanpa sentuhan. Termasuk di dalamnya jika anak melihat pornografi, atau exhibitionisme, dsb.
- Pelecehan seksual dengan sentuhan. Semua tindakan anak menyentuh organ seksual orang dewasa termasuk dalam kategori ini. Atau adanya penetrasi ke dalam vagina atau anak dengan benda apapun yang tidak mempunyai tujuan medis.
- Eksploitasi seksual. Meliputi semua tindakan yang menyebabkan anak masuk dalam tujuan prostitusi, atau menggunakan anak sebagai model foto atau film porno.
Ada beberapa indikasi yang patut kita perhatikan berkaitan dengan pelecehan seksual yang mungkin menimpa anak seperti keluhan sakit atau gatal pada vagina anak, kesulitan duduk atau berjalan, atau menunjukkan gejala kelainan seksual.
Efek pelecehan seksual
Banyak sekali pengaruh buruk yang ditimbulkan dari pelecehan seksual. Pada anak yang masih kecil dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll. Pada remaja, mungkin secara tidak diduga menyulut api, mencuri, melarikan diri dari rumah, mandi terus menerus, menarik diri dan menjadi pasif, menjadi agresif dengan teman kelompoknya, prestasi belajar menurun, terlibat kejahatan, penyalahgunaan obat atau alkohol, dsb.
Pengabaian anak
Pengabaian terhadap anak termasuk penyiksaan secara pasif, yaitu segala ketiadaan perhatian yang memadai, baik fisik, emosi maupun sosial. Pengabaian anak banyak dilaporkan sebagai kasus terbesar dalam kasus penganiayaan terhadap anak dalam keluarga.
Jenis-jenis pengabaian anak:
- Pengabaian fisik merupakan kasus terbanyak. Misalnya keterlambatan mencari bantuan medis, pengawasan yang kurang memadai, serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.
- Pengabaian pendidikan terjadi ketika anak seakan-akan mendapat pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal. Lama kelamaan hal ini dapat mengakibatkan prestasi sekolah yang semakin menurun.
- Pengabaian secara emosi dapat terjadi misalnya ketika orang tua tidak menyadari kehadiran anak ketika ´ribut´ dengan pasangannya. Atau orang tua memberikan perlakuan dan kasih sayang yang berbeda diantara anakanaknya.
- Pengabaian fasilitas medis. Hal ini terjadi ketika orang tua gagal menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial memadai. Dalam beberapa kasus orang tua memberi pengobatan tradisional terlebih dahulu, jika belum sembuh barulah kembali ke layanan dokter.
Efek pengabaian anak
Pengaruh yang paling terlihat adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak. Bayi yang dipisahkan dari orang tuanya dan tidak memperoleh pengganti pengasuh yang memadai, akan mengembangkan perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab (Hurlock, 1990), dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi besar/kecil dampak yang diderita anak
Disamping segala bentuk penganiayaan yang dialami anak sebagaimana yang tercantum diatas, ada beberapa hal yang mempunyai andil dalam besar / kecilnya dampak yang diderita anak, antara lain:
- Faktor usia anak. Semakin muda usia anak maka akan menimbulkan akibat yang lebih fatal.
- Siapa yang terlibat. Jika yang melakukan penganiayaan adalah orang tua, ayah atau ibu tiri, atau anggota keluarga maka dampaknya akan lebih parah daripada yang melakukannya orang yang tidak dikenal.
- Seberapa parah. Semakin sering dan semakin buruk perlakuan yang diterima anak akan memperburuk kondisi anak.
- Berapa lama terjadi. Semakin lama kejadian berlangsung akan semakin meninggalkan trauma yang membekas pada diri anak.
- Jika anak mengungkapkan penganiayaan yang dialaminya, dan menerima dukungan dari orang lain atau anggota keluarga yang dapat mencintai, mengasihi dan memperhatikannya maka kejadiannya tidak menjadi lebih parah sebagaimana jika anak justru tidak dipercaya atau disalahkan.
- Tingkatan sosial ekonomi. Anak pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah cenderung lebih merasakan dampak negatif dari penganiayaan anak.
Dalam beberapa kasus anak-anak yang mengalami penganiayaan tidak menunjukkan gejala-gejala seperti diatas. Banyak faktor lain yang berpengaruh seperti seberapa kuat status mental anak, kemampuan anak mengatasi masalah dan penyesuaian diri. Ada kemungkinan anak tidak mau menceritakannya karena takut diancam, atau bahkan dia mencintai orang yang melakukan penganiyaan tersebut. Dalam hal ini anak biasanya menghindari adanya tindakan hukum yang akan menimpa orang-orang yang dicintainya, seperti orang tua, anggota keluarga atau pengasuh.
No comments:
Post a Comment