KELOMPOK SEMPALAN TAHUKAH
KAMU?
M.Rakib SH. M.Ag, Drs.
Pekanbaru Riau Indonesia 2015
Nasi
lemak buah bidara
Sayang
selasih hamba lurutkan
Hilang
sanak, hilang saudara
Kelompok sempalan, membawa perpecahan
Kelompok sempalan, membawa perpecahan
Pasir putih di pinggir kali
Pekan menyabung, ayam berlaga
Kasih sayang, harganya tinggi
Janganlah hilang, jika berbeda
Petik sayur si daun mamanPekan menyabung, ayam berlaga
Kasih sayang, harganya tinggi
Janganlah hilang, jika berbeda
Makan berulam daun pegaga
Habis tahun berganti zaman
Berbeda mazhab, jangan mencela
Hijau nampaknya Bukit Barisan
Puncak Merapi dengan Singgalang
Terbang nyawa dari badan
Ukhuwah Islamiyah, janganlah hilang
Indragiri pasirnya lumat
Kerang bercampur dengan lokan
Ingatlah Nabi kasihkan umat
Jangan mencaci, berbeda aliran.
Gara-gara
merasa "tidak ada dalil" bersalaman ketika habis sholat, lantas tidak
mau menyambut uluran tangan orang yang mau bersalaman. gara-gara merasa
"tidak tegak hujjah" berdoa berjamaah habis sholat, lantas tiap
sholat melakukan amalan rutin sendiri dipojok atau dibelakang tiang tengah
mesjid tiap sholat, dengan niat ingin menyelisihi bid'ah.
ILMU TANPA ADAB.
Inilah jadinya jika tidak menanamkan adab sebelum mengajarkan ilmu, sehingga ilmu yang seharusnya menjadi kemaslahatan ummat, bergeser 180 derajat menjadi ilmu yang mendatangkan mudharat. Berikut ku kutip ucapan-ucapan ulama terdahulu berkaitan posisi adab dan ilmu :
Berkata Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri -rahimahullah :
“Mereka dulu tidak mengeluarkan anak-anak mereka untuk mencari ilmu hingga mereka belajar adab dan dididik ibadah hingga 20 tahun.” (Hilyatul-Aulia Abu Nuaim 6/361)
Berkatalah Abdullah bin Mubarak -rahimahullah :
“Aku mempelajari adab 30 tahun dan belajar ilmu 20 tahun, dan merekadulu mempelajari adab terlebih dahulu baru kemudian mempelajari ilmu.” (Ghayatun-Nihayah fi thobaqotil Qurro 1/446)
Dan beliau juga berkata:
“Hampir-hampir adab menimbangi 2/3 ilmu.” (Sifatush-shofwah Ibnul-Jauzi 4/120)
Banyak perpecahan yang terjadi saat
ini dengan mengatasnamakan ras, suku, bangsa, bahkan agama. Bahkan, dalam agama
Islam sendiri, terjadi perpecahan yang sudah terjadi sejak lama. Perpecahan
dalam agama Islam sudah berjalan selama hadirnya Islam itu sendiri. Tidak bisa
dipungkiri bahwa setiap perpecahan pasti diawali dari perbedaan, perbedaan
pandangan atau pendapat. Begitu pula dalam Islam, perpecahan yang terjadi saat
ini hingga memunculkan beberapa aliran dan firqah (golongan) dalam Islam, tidak
lepas dari asal muasal perbedaan pendapat pada masa nabi. Sehingga, bisa
dikatakan bahwa embrio perpecahan dalam Islam telah hadir sejak masa nabi.
Istilah
"gerakan sempalan" beberapa tahun terakhir ini menjadi populer
di Indonesia sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang
dianggap "aneh", alias menyimpang dari aqidah, ibadah, amalan atau
pendirian mayoritas umat. Istilah ini, agaknya, terjemahan dari kata "sekte"
atau "sektarian", kata yang mempunyai berbagai konotasi negatif,
seperti protes terhadap dan pemisahan diri dari mayoritas, sikap eksklusif,
pendirian tegas tetapi kaku, klaim monopoli atas kebenaran, dan fanatisme. Di
Indonesia ada kecenderungan untuk melihat gerakan sempalan terutama sebagai ancaman
terhadap stabilitas dan keamanan dan untuk segera melarangnya.
Karena itu,
sulit membedakan gerakan sempalan dengan gerakan terlarang atau gerakan oposisi
politik. Hampir semua aliran, faham dan gerakan yang pernah dicap "sempalan",
ternyata memang telah dilarang atau sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis
Ulama. Beberapa contoh yang terkenal adalah: Islam Jamaah, Ahmadiyah
Qadian, DI/TII, Mujahidin'nya Warsidi (Lampung), Syi'ah,
Baha'i, "Inkarus Sunnah", Darul Arqam
(Malaysia), Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf
berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah
(Aceh). Serangkaian aliran dan kelompok ini, kelihatannya, sangat
beranekaragam. Apakah ada kesamaan antara semua gerakan ini? Dan apa
faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan-gerakan tersebut? Tanpa
pretensi memberikan jawaban tuntas atas pertanyaan ini, makalah ini berusaha
menyoroti gerakan sempalan dari sudut pandang sosiologi agama.[2]
Gerakan sempalan: ada definisinya?
Berbicara
tentang "gerakan sempalan" berarti bertolak dari suatu pengertian
tentang "ortodoksi" atau "mainstream" (aliran induk);
karena gerakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang atau memisahkan diri
dari ortodoksi yang berlaku. Tanpa tolok ukur ortodoksi, istilah "sempalan"
tidak ada artinya. Untuk menentukan mana yang "sempalan", kita
pertama-tama harus mendefinisikan "mainstream" yang ortodoks. Dalam
kasus ummat Islam Indonesia masa kini, ortodoksi barangkali boleh dianggap
diwakili oleh badan-badan ulama yang berwibawa seperti terutama MUI, kemudian Majelis
Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU, dan sebagainya.
Istilah "gerakan sempalan" memang lazim dipakai, secara normatif,
untuk aliran agama yang oleh lembaga-lembaga tersebut dianggap sesat dan
membahayakan. Akan tetapi, definisi ini menimbulkan
berbagai kesulitan untuk kajian selanjutnya. Misalnya, apakah Ahmadiyah Qadian
atau Islam Jamaah baru merupakan gerakan sempalan setelah ada fatwa yang
melarangnya? Atau, meminjam contoh dari negara tetangga, berbagai aliran agama
yang pernah dilarang oleh Jabatan Agama pemerintah pusat Malaysia, tetap
dianggap sah saja oleh Majelis-Majelis Ugama Islam di negara-negara bagiannya. Bagaimana
kita bisa memastikan apakah aliran tersebut termasuk yang sempalan? Ortodoksi,
kelihatannya, adalah sesuatu yang bisa berubah menurut zaman dan tempat, dan
yang "sempalan" pun bersifat kontekstual.
Pengamatan terakhir ini boleh jadi
menjengkelkan. Dari sudut pandangan orang Islam yang "concerned",
yang sesat adalah sesat, apakah ada fatwanya atau tidak. Dalam visi ini, Ahlus
Sunnah wal Jama'ah merupakan "mainstream" Islam yang ortodoks,
dan yang menyimpang darinya adalah sempalan dan sesat. Kesulitan dengan visi ini menjadi jelas kalau kita
menengok awal abad ke-20 ini, ketika terjadi konflik besar antara kalangan
Islam modernis dan kalangan "tradisionalis". Dari sudut pandangan
ulama tradisional, yang memang menganggap diri mewakili Ahlus Sunnah wal
Jama'ah, kaum modernis adalah sempalan dan sesat, sedangkan para modernis
justeru menuduh lawannya menyimpang dari jalan yang lurus.
Kalau kita mencari kriteria yang obyektif untuk mendefinisikan dan memahami
gerakan sempalan, kita sebaiknya mengambil jarak dari perdebatan mengenai
kebenaran dan kesesatan. Gerakan sempalan tentu saja juga menganggap diri lebih
benar daripada lawannya; biasanya mereka justeru merasa lebih yakin akan
kebenaran faham atau pendirian mereka. Karena itu, kriteria yang akan saya
gunakan adalah kriteria sosiologis, bukan teologis. Gerakan sempalan yang
tipikal adalah kelompok atau gerakan yang sengaja memisahkan diri dari
"mainstream" umat, mereka yang cenderung eksklusif dan
seringkali kritis terhadap para ulama yang mapan.
Dalam pendekatan sosiologis ini, "ortodoksi" dan "sempalan"
bukan konsep yang mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis. Ortodoksi atau
mainstream adalah faham yang dianut mayoritas umat -- atau lebih tepat,
mayoritas ulama; dan lebih tepat lagi, golongan ulama yang dominan. Sebagaimana
diketahui, sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam
faham dominan - pergeseran yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak
hal, ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang
tidak disetujui dicap sesat; gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan
faham dominan dan sekaligus merupakan protes sosial atau politik.
Faham aqidah Asy'ari, yang sekarang merupakan ortodoksi, pada masa 'Abbasiyah
pernah dianggap sesat, ketika ulama Mu'tazili (yang waktu itu didukung oleh
penguasa) merupakan golongan yang dominan. Jadi, faham yang sekarang dipandang
sebagai ortodoksi juga pernah merupakan sejenis "gerakan sempalan".
Bahwa akhirnya faham Asy'ari-lah yang menang, juga tidak lepas dari faktor
politik. Kasus ini mungkin bukan contoh yang terbaik -- golongan Asy'ari tidak
dengan sengaja memisahkan diri dari sebuah "mainstream" yang sudah
mapan; faham yang mereka anut berkembang dalam dialog terus-menerus dengan para
lawannya. Contoh yang lebih tepat adalah gerakan Islam reformis Indonesia pada
awal abad ini (seperti Al Irsyad dan Muhammadiyah) yang dengan
tegas menentang "ortodoksi" tradisional yang dianut mayoritas ulama,
dan dari sudut itu merupakan gerakan sempalan.
Sejak kapan mereka tidak bisa lagi dianggap
gerakan sempalan dan menjadi bagian dari ortodoksi? Di bawah ini akan dibahas
beberapa faktor yang mungkin berperan dalam proses perkembangan suatu sekte
menjadi denominasi. Untuk sementara, dapat dipastikan bahwa penganut
gerakan reformis pada umumnya tidak berasal dari kalangan sosial yang marginal,
namun justru dari orang Islam kota yang sedang naik posisi ekonomi dan status
sosialnya, dan bahwa dalam perkembangan sejarah telah terjadi proses akomodasi,
saling menerima, antara kalangan reformis dan tradisional.
Apakah di antara "gerakan sempalan" masa kini ada juga yang berpotensi
menjadi "ortodoksi" di masa depan? Tidak satu orang pun yang akan
meramal bahwa aliran seperti Bantaqiyah bisa meraih banyak penganut di
Indonesia. Perbandingan antara gerakan reformis, apalagi madzhab aqidah
Asy'ari, dan gerakan sempalan yang disebut di atas, terasa sangat tidak tepat. Orang
Islam pada umumnya merasa (kecuali para penganut gerakan tersebut, barangkali),
bahwa mereka secara fundamental berbeda. Tetapi ... apa sebetulnya perbedaan
ini, selain perasaan orang bahwa yang pertama mengandung kebenaran, sedangkan
yang terakhir adalah sesat? Padahal, aliran tersebut menganggap dirinya sebagai
pihak yang benar, semntara yang lain sesat! Sejauhmana penilaian kita
obyektif dalam hal ini?
Memang di antara gerakan sempalan tadi terdapat aliran yang kelihatannya punya
dasar ilmu agama yang sangat tipis. Penganut aliran itu biasanya juga orang
yang marginal secara sosial dan ekonomi, dan berpendidikan rendah. Tetapi tidak
semua gerakan sempalan demikian. Baik dalam Islam Jama'ah maupun gerakan
Syi'ah Indonesia, malahan juga dalam Ahmadiyah dan gerakan tasawwuf
wahdatul wujud terdapat pemikir yang memiliki pengetahuan agama yang cukup
tinggi dan pandai mempertahankan faham mereka dalam debat. Mereka sanggup
menemukan nash untuk menangkis semua tuduhan kesesatan terhadap mereka,
dan tidak pernah kalah dalam perdebatan dengan ulama yang "ortodoks"
-- sekurang-kurangnya dalam pandangan mereka sendiri dan penganut-penganutnya.
Mereka dapat dianggap "sempalan"
karena mereka merupakan minoritas yang secara sengaja memisahkan diri dari
mayoritas ummat. Sebagai fenomena sosial, tidak terlihat perbedaan fundamental
antara mereka dengan, misalnya, Al Irsyad pada masa berdirinya. Dan perlu kita
catat bahwa di Iran pun, Syi'ah berhasil menggantikan Ahlus Sunnah
sebagai faham dominan baru kira-kira lima abad belakangan!
Lalu, bagaimana dengan Darul Islam
dan gerakan Usroh? Keduanya dapat dianggap gerakan sempalan juga, baik
dalam arti bahwa mereka tidak dibenarkan oleh lembaga-lembaga agama resmi
maupun dalam arti bahwa mereka memisahkan diri dari mayoritas. Namun saya tidak
pernah mendengar kritik mendasar terhadap aqidah dan ibadah mereka. Yang
dianggap sesat oleh mayoritas umat adalah amal politik mereka.
Seandainya pada tahun 1950-an bukan Republik yang menang tetapi Negara Islam
Indonesia'nya Kartosuwiryo, merekalah yang menentukan ortodoksi dan
membentuk "mainstream" Islam. Seandainya itu yang terjadi, tidak
mustahil sebagian "mainstream" Islam sekarang inilah yang mereka
anggap sebagai "sempalan".
Klasifikasi gerakan sempalan
Untuk menganalisa fenomena gerakan sempalan secara lebih
jernih, mungkin ada baiknya kalau kita merujuk kepada kajian sosiologi agama
yang sudah ada untuk melihat apakah ada temuan yang relevan untuk situasi
Indonesia. Hanya saja, karena sosiologi agama adalah salah satu disiplin ilmu
yang lahir dan dikembangkan di dunia Barat, sasaran kajiannya lebih sering
terdiri dari umat Kristen ketimbang penganut agama-agama lainnya. Oleh karena,
itu belum tentu a priori temuannya benar-benar relevan untuk dunia
Islam. Beberapa konsep dasar yang dipakai barangkali sangat tergantung pada
konteks budaya Barat. Mengingat keterbatasan ini, biarlah kita melihat apa saja
telah ditemukan mengenai muncul dan berkembangnya gerakan sempalan pada waktu
dan tempat yang lain.
Dua sosiolog agama Jerman mempunyai
pengaruh besar terhadap studi mengenai sekte selama abad ini, mereka
adalah Max Weber dan Ernst Troeltsch. Weber terkenal dengan tesisnya mengenai
peranan sekte-sekte protestan dalam perkembangan semangat kapitalisme di
Eropa, dan dengan teorinya mengenai kepemimpinan karismatik. Troeltsch,
teman dekat Weber, mengembangkan beberapa ide Weber dalam studinya mengenai
munculnya gerakan sempalan di Eropa pada abad pertengahan.[4] Troeltsch memulai analisanya dengan membedakan dua jenis
wadah umat beragama yang secara konseptual merupakan dua kubu bertentangan,
yaitu tipe gereja dan tipe sekte.
Contoh paling murni dari tipe gereja
barangkali adalah Gereja Katolik abad pertengahan, tetapi setiap ortodoksi
(dalam arti sosiologis tadi) yang mapan mempunyai aspek tipe gereja.
Organisasi- organisasi tipe gereja biasanya berusaha mencakup dan mendominasi
seluruh masyarakat dan segala aspek kehidupan. Sebagai wadah yang established
(mapan), mereka cenderung konservatif, formalistik, dan berkompromi dengan
penguasa serta elit politik dan ekonomi. Di dalamnya terdapat hierarki yang
ketat, dan ada golongan ulama yang mengklaim monopoli akan ilmu dan karamah,
orang awam tergantung kepada mereka.
Tipe sekte, sebaliknya, selalu lebih kecil dan hubungan antara sesama
anggotanya biasanya egaliter. Berbeda dengan tipe gereja, keanggotaannya
bersifat sukarela: orang tidak dilahirkan dalam lingkungan sekte, tetapi masuk
atas kehendak sendiri. Sekte-sekte biasanya berpegang lebih keras (atau kaku)
kepada prinsip, menuntut ketaatan kepada nilai moral yang ketat, dan mengambil
jarak dari penguasa dan dari kenikmatan material. Sekte-sekte biasanya
mengklaim bahwa ajarannya lebih murni, lebih konsisten dengan wahyu
Ilahi.
Mereka cenderung membuat pembedaan
tajam antara para penganutnya yang suci dengan orang luar yang awam dan penuh
kekurangan serta dosa. Seringkali, kata Troeltsch, sekte- sekte muncul
pertama-tama di kalangan yang berpendapatan dan pendidikan rendah, dan baru
kemudian meluas ke kalangan lainnya. Mereka sering cenderung memisahkan diri
secara fisik dari masyarakat sekitarnya, dan menolak budaya dan ilmu
pengetahuan sekuler.
Selain sekte, Troeltsch menyoroti suatu jenis gerakan lagi yang muncul sebagai
oposisi terhadap gereja (atau ortodoksi yang lain), yaitu gerakan mistisisme
(tasawwuf). Sementara sekte memisahkan diri dari gereja karena mereka
menganggap gereja telah kehilangan semangat aslinya dan terlalu berkompromi,
gerakan- gerakan mistisisme merupakan reaksi terhadap formalitas dan
"kekeringan" gereja. Gerakan mistisisme, menurut Troeltsch,
memusatkan perhatian kepada penghayatan ruhani-individual, terlepas dari
sikapnya terhadap masyarakat sekitar.
(Oleh karena itu, Troeltsch juga
memakai istilah "individualisme religius"). Penganutnya bisa saja
dari kalangan establishment, bisa juga dari kalangan yang tak setuju
dengan tatanan masyarakat yang berlaku. Mereka biasanya kurang tertarik kepada
ajaran agama yang formal, apalagi kepada lembaga-lembaga agama (gereja, dan
sebagainya). Yang dipentingkan mereka adalah hubungan langsung antara individu
dan Tuhan (atau alam gaib pada umumnya).
Analisa Troeltsch ini berdasarkan
pengetahuannya tentang sejarah gereja di Eropa, dan tidak bisa diterapkan
begitu saja atas budaya lain. Organisasi "tipe gereja" tidak terdapat
dalam setiap masyarakat, tetapi tanpa kehadiran suatu gereja pun sekte bisa
saja muncul. Ketika tadi saya bertanya "gerakan sempalan itu menyempal
dari apa?", saya sebetulnya mencari apakah ada sesuatu wadah umat yang
punya ciri tipe gereja, dalam terminologi Troeltsch. Ortodoksi Islam
Indonesia seperti diwakili oleh MUI dan sebagainya, tentu saja tidak sama
dengan Gereja Katolik abad pertengahan; ia tidak mempunyai kekuasaan atas
kehidupan pribadi orang seperti gereja.
Situasi di Amerika Serikat masa kini, sebetulnya, sama saja. Hampir-hampir
tidak ada wadah tipe gereja versi Troeltsch, yang begitu dominan terhadap
seluruh masyarakat. Yang ada adalah sejumlah besar gereja-gereja Protestan
(sering disebut denominasi), yang berbeda satu dengan lainnya dalam
beberapa detail saja, dan tidak ada di antaranya yang dominan terhadap yang
lain. Denominasi-denominasi Protestan ini mempunyai baik ciri tipe sekte
maupun ciri tipe gereja. Gerakan mistisisme, seperti yang digambarkan
Troeltsch, beberapa dasawarsa terakhir ini sangat berkembang di dunia Barat
dengan mundurnya pengaruh gereja. Para penganutnya seringkali dari kalangan
yang relatif berada dan berpendidikan tinggi, bukan dari lapisan masyarakat
yang terbelakang.
Kajian berikut yang sangat
berpengaruh adalah studi Richard Niebuhr, sosiolog agama dari Amerika Serikat,
mengenai dinamika sekte dan lahirnya denominasi.[6] Teori yang diuraikan dalam karya ini sebetulnya agak
mirip teori sejarah Ibnu Khaldun. Niebuhr melihat bahwa banyak sekte, yang
pertama-tama lahir sebagai gerakan protes terhadap konservatisme dan kekakuan
gereja (dan seringkali juga terhadap negara), lambat laun menjadi lebih lunak,
mapan, terorganisir rapih dan semakin formalistik.
Setelah dua-tiga generasi, aspek
kesukarelaan sudah mulai menghilang, semakin banyak anggota yang telah lahir
dalam lingkungan sekte sendiri. Semua anggota sudah tidak sama lagi,
bibit-bibit hierarki internal telah ditanam, kalangan pendeta- pendeta muncul,
yang mulai mengklaim bahwa orang awam memerlukan jasa mereka. Dengan demikian
bekas sekte itu sudah mulai menjadi semacam gereja sendiri, salah satu di
antara sekian banyak denominasi. Dan lahirlah, sebagai reaksi, gerakan sempalan
baru, yang berusaha menghidupkan semangat asli... dan lambat laun berkembang
menjadi denominasi... dan demikianlah seterusnya.
Teori Niebuhr ini sekarang dianggap terlalu skematis; sekte- sekte tidak selalu
menjadi denominasi. Niebuhr bertolak dari pengamatannya terhadap situasi
Amerika Serikat yang sangat unik; semua gereja di sana memang merupakan
denominasi yang pernah mulai sebagai gerakan sempalan dari denominasi lain.
Siklus perkembangan yang begitu jelas, agaknya, berkaitan dengan kenyataan
bahwa masyarakat Amerika Serikat terdiri dari para immigran, yang telah datang
gelombang demi gelombang. Setiap gelombang pendatang baru menjadi lapisan
sosial paling bawah; dengan datangnya gelombang pendatang berikut, status
sosial mereka mulai naik. Pendatang baru yang miskin seringkali menganut
sekte-sekte radikal; dengan kenaikan status mereka sekte itu lambat laun
menghilangkan radikalismenya dan menjadi sebuah denominasi baru.
Tigapuluh tahun sesudah Niebuhr, sosiolog Amerika yang lain, Milton Yinger,
merumuskan kesimpulan dari perdebatan mengenai sekte dan denominasi, bahwa
sekte yang lahir sebagai protes sosial cenderung untuk bertahan sebagai sekte,
tetap terpisah dari mainstream, sedangkan sekte yang lebih menitikberatkan
permasalahan moral pribadi cenderung untuk menjadi denominasi. Itu tentu
berkaitan dengan dasar sosial kedua jenis sekte ini - sekte radikal cenderung
untuk merekrut anggotanya dari lapisan miskin dan tertindas. Dengan demikian
hubungan sekte ini dengan negara dan denominasi yang mapan akan tetap tegang.
Jenis sekte yang kedua lebih cenderung untuk menarik penganut dari kalangan
menengah, dan akan lebih mudah berakomodasi dengan, dan diterima dalam, status
quo.[7] Pengamatan ini, agaknya, relevan untuk memahami
perbedaan antara Al Irsyad atau Muhammadiyah di satu sisi dan sebagian besar
gerakan sempalan masa kini di sisi lainnya.
Klasifikasi sekte dalam beberapa
jenis dengan sikap dan dinamika masing-masing dikembangkan lebih lanjut oleh
seorang sosiolog Inggeris, Bryan Wilson. Ia berusaha membuat tipologi yang
tidak terlalu tergantung kepada konteks budaya Kristen Barat. Tipologi ini
disusun berdasarkan sikap sekte-sekte terhadap dunia sekitar.[8] Wilson melukiskan tujuh tipe ideal (model murni)
sekte. Sekte-sekte yang nyata biasanya berbeda daripada tipe-tipe ideal ini,
yang hanya merupakan model untuk analisa. Dalam kenyataannya, suatu sekte bisa
mempunyai ciri dari lebih dari satu tipe ideal. Tetapi hampir semua tipe ideal
Wilson terwakili oleh gerakan sempalan yang terdapat di Indonesia.
Tipe pertama adalah sekte conversionist, yang perhatiannya terutama
kepada perbaikan moral individu. Harapannya agar dunia akan diperbaiki kalau
moral individu-individu diperbaiki, dan kegiatan utama sekte ini adalah usaha
untuk meng-convert, men- tobat-kan orang luar. Contoh tipikal di
dunia Barat adalah Bala Keselamatan; di dunia Islam, gerakan dakwah seperti Tablighi
Jamaat mirip tipe sekte ini.
Tipe kedua, sekte revolusioner, sebaliknya mengharapkan perubahan
masyarakat secara radikal, sehingga manusianya menjadi baik. Gerakan
messianistik (yang menunggu atau mempersiapkan kedatangan seorang Messias,
Mahdi, Ratu Adil) dan millenarian (yang mengharapkan
meletusnya zaman emas) merupakan contoh tipikal. Gerakan ini secara implisit merupakan kritik sosial dan
politik terhadap status quo, yang dikaitkan dengan Dajjal, Zaman
Edan dan sebagainya. Gerakan messianistik, seperti diketahui, banyak
terjadi di Indonesia pada zaman kolonial -- dan memang ada sarjana yang
menganggap bahwa gerakan jenis ini hanya muncul sebagai reaksi terhadap kontak
antara dua budaya yang tidak seimbang.[9]
Kalau harapan eskatologis tetap tidak terpenuhi, suatu gerakan yang semula
revolusioner akan cenderung untuk tidak lagi bekerja untuk transformasi dunia
sekitar tetapi hanya memusatkan diri kepada kelompoknya sendiri atau
keselamatan ruhani penganutnya sendiri - semacam uzlah kolektif. Mereka
mencari kesucian diri sendiri tanpa mempedulikan masyarakat luas. Wilson
menyebut gerakan tipe ini introversionis. Gerakan Samin di Jawa
merupakan kasus tipikal gerakan mesianistik yang telah menjadi introversionis.
Tipe keempat, yang dinamakan Wilson manipulationist atau gnostic
("ber-ma'rifat") mirip sekte introversionis dalam hal
ketidakpeduliannya terhadap keselamatan dunia sekitar. Yang membedakan adalah
klaim bahwa mereka memiliki ilmu khusus, yang biasanya dirahasiakan dari orang
luar. Untuk menjadi anggota aliran seperti ini, orang perlu melalui suatu
proses inisiasi (tapabrata) yang panjang dan bertahap. Tipe ini
biasanya menerima saja nilai-nilai masyarakat luas dan tidak mempunyai tujuan
yang lain. Klaim mereka hanya bahwa mereka memiliki metode yang lebih baik
untuk mencapai tujuan itu. Theosofie dan Christian Science merupakan
dua contoh jenis sekte ini di dunia Barat. Di Indonesia, ada banyak aliran
kebatinan yang barangkali layak dikelompokkan dalam kategori ini; demikian juga
kebanyakan tarekat, yang mempunyai amalan-amalan khusus dan sistem bai'at.
Tipe lainnya adalah sekte-sekte thaumaturgical, yaitu yang berdasarkan
sistem pengobatan, pengembangan tenaga dalam atau penguasaan atas alam gaib.
Pengobatan secara batin, kekebalan, kesaktian, dan kekuatan
"paranormal" lainnya merupakan daya tarik aliran-aliran jenis ini,
dan membuat para anggotanya yakin akan kebenarannya. Di
Indonesia, unsur-unsur thaumaturgical terlihat dalam berbagai aliran kebatinan
dan sekte Islam, seperti Muslimin-Muslimat (di Jawa Barat).
Tipe ke-enam adalah sekte reformis, gerakan yang melihat usaha reformasi
sosial dan/atau amal baik (karitatif) sebagai kewajiban esensial agama. Aqidah
dan ibadah tanpa pekerjaan sosial dianggap tidak cukup. Yang membedakan
sekte-sekte ini dari ortodoksi bukan aqidah atau ibadahnya dalam arti sempit,
tetapi penekanannya kepada konsistensi dengan ajaran agama yang murni (termasuk
yang bersifat sosial).
Gerakan utopian, tipe ketujuh, berusaha menciptakan suatu komunitas
ideal di samping, dan sebagai teladan untuk, masyarakat luas. Mereka menolak
tatanan masyarakat yang ada dan menawarkan suatu alternatif, tetapi tidak
mempunyai aspirasi mentransformasi seluruh masyarakat melalui proses revolusi. Tetapi mereka lebih aktivis daripada sekte
introversionis; mereka berdakwah melalui contoh teladan komunitas mereka.
Komunitas utopian mereka seringkali merupakan usaha untuk menghidupkan kembali
komunitas umat yang asli (komunitas Kristen yang pertama, jami'ah Madinah),
dengan segala tatanan sosialnya. Di Indonesia, kelompok Isa Bugis (dulu di
Sukabumi, sekarang di Lampung) merupakan salah satu contohnya, Darul Arqam
Malaysia dengan "Islamic Village"nya di Sungai Penchala adalah contoh
yang lain.
No comments:
Post a Comment