RAHASIA-RAHASIA HUKUM yang luar biasa
M.RAKIB SH.,M.Ag..
Pekanbaru Riau Indonesia 2015
RAHASIA-RAHASIA Maqashid Syari’ah dalam
konteks ke Indonesiaan.
Hadits tentang mukul isteri atau anak, yang tidak disiplin, ada sebab-sebab turunnya:
Asbabul Wurud Al-Hadis, mempunyai ketajaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan
dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum, mereka juga mempunyai
pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang
juga bahasa al-Quran dan as-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu,
mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.
Pada
masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan
III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke
daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak
berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya.
Banyak di antara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak
sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin
tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut,
menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak
didapati ketetapan hukumnya dalam al-Quran dan as-Sunnah. Untuk itu para ulama
yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena
banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan
ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang
terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan
lebih bersemarak. Dalam pada itu, pada
masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama
mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan
perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang
lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.
Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah
syariah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara'
dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian
pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang
bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara
orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan
mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam
bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik
dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit
menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash
syara'. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah
(bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara' sebagaimana dipahami oleh
orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut. Dengan
disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam
berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fikih.
Orang
yang pertama kali merumuskan dan membukukan ilmu ushul fikih ini adalah
Muhammad ibn Idris al-Syafi'i (150-204 H atau 767-820 M) dengan kitabnya
berjudul al-Ris�lah.
Sebenarnya metodologi untuk memahami hukum Islam itu sudah ada sebelum
al-Syafi'i; hanya saja pada waktu itu metodologi ini belum dirumuskan dan belum
pula dibukukan secara sistematis, sehingga al-Syafi'i dikenal sebagai penyusun
pertama ilmu ushul fikih.
Sedangkan,
menurut Murtadha Muthahari, di kalangan ulama Syiah tokoh yang pertama menyusun
kitab-kitab Ushul ialah Sayyid Murtadha �Alam Ul-Huda. Sejumlah kitab Ushul disusun oleh Sayyid
Murtadha, yang paling masyhur di antaranya adalah Thariyah (Perantara).Sayyid
Murtadha hidup selama akhir abad keempat dan awal abad kelima Hijriah. Beliau
wafat pada 436 H. Setelah Sayyid Murtadha dalam tradisi Syiah, sosok figur
terkenal dan penting dalam studi Ushul ialah Syaikh Tusi yang wafat pada 460 H.
Tokoh selanjutnya dalam tradisi Syiah, dalam studi Ushul ialah Wahid Bahbahani
(1118-1208 H) dan Syaikh Murtadha Anshari (1214-1281 H). Berikutnya adalah
murid dari Syaikh Anshari yakni Mullah Khorasani.
Dalam
tradisi Ahlusunnah, munculnya ilmu ushul fikih ini tidak terlepas dari kondisi
pada waktu itu, di mana di satu pihak terdapat aliran ahl al-hadis yang lebih
menekankan arti harfiah dalam memahami hukum; dan di lain pihak terdapat aliran
ahl al-ra'y yang memahami hukum dengan banyak menggunakan rasio dan bahkan sering
meninggalkan Hadis. Sayangnya, masing-masing dari kedua aliran ini tidak
memiliki metodologi yang sistematis dan konsisten, sehingga menimbulkan semakin
beranekanya dan meruncingnya perbedaan pendapat, yang di antaranya bahkan
mengarah kepada pemahaman menurut keinginannya sendiri, terutama di kalangan
aliran ahl al-ra'y. Al-Syafi'i terpanggil untuk menertibkan perbedaan pemahaman
tersebut dengan memperkenalkan sebuah metodologi yang sistematis dan konsisten
serta menempatkan kedua aliran itu secara proporsional. Hal ini bisa dilakukan,
karena didukung juga oleh latar belakang al-Syafi'i yang pernah belajar dengan
guru yang beraliran ahl al-hadis (Malik ibn Anas) dan yang beraliran ahl
al-ra'y (al-Syaibani).
Indonesia
merupakan Negara dengan kemajemukan yang sangat banyak. Berbagai macam suku,
ras, budaya, bahasa dan agama berkeliaran di negeri ini. Maka menjadi
keniscayaan ketika perbedaan-perbedaan itu tidak lagi melahirkan konflik. Para funding
father memiliki cita-cita mulia ketika membuat landasan bangsa kita.
perdamaian, kesetaraan dan saling menghargai adalah kunci untuk mewujudkan
cita-cita tersebut, maka lahirlah Pancasila yang akhirnya hingga kini menjadi
ideology Negara kita.
Dengan lambang garuda yang bertuliskan Bhinneka
tunggal Ika, dan semua itu bukanlah diciptakan hanya untuk menjadi symbol
atau formalitas belaka. Sungguh sangat disayangkan ketika masih saja terjadi
kekerasan dan peperangan yang dimulai karena perbedaan. Apalagi Negara ini
adalah Negara demokrasi, maka semangat demokrasi seharusnya menjadi semangat
untuk menjadi mediasi perbedaan yang ada pada masyarakat, mempromosikan
pluralisme, menghormati minoritas serta perbedaan etnis dan agama.
Dan
semua itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tujuan diturunkannya al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan kepada Rosulullah saw, di tengah semrawutnya tatanan
kehidupan masyarakat ketika itu di mana struktur social budayanya
patriarki, system ekonominya opresif, politiknya despotic dan juga koruptif. Di
tengah system sedemikian rupa kehidupan tidak lagi berharga. Perbudakan
merajalela, perempuan dimarjinalkan dan dijadikan barang mainan, para kapitalis
berkuasa sementara kaum miskin akan terus hidup menderita. Al-Qur’an turun
untuk memperbaiki kerusakan itu, kembali mengangkat jati diri manusia dari
penindasan dan kesengsaraan dan menciptakan sebuah masyarakat yang adil (al-‘adalah),
egaliter (musawah), merdeka (al-huriyah), serta damai dan rukun (as-salamah,
al-mashlahah).
Dalam
konteks inilah Allah melalui al-Qur’an menetapkan bahwa riba adalah haram,
sementara jual beli itu halal, poligami halal, tetapi gonta ganti pasangan
haram, tabarruj (bersolek) haram, akan tetapi berjilbab wajib bagi kaum
perempuan, hudud dikenakan bagi pelaku tindak kriminalitas dan rajam
bagi pezina, dan begitulah seterusnya. Hukum-hukum ini yang dalam perkembangan
selanjutnya dielaborasi secara rinci oleh fuqaha dan mufassirin,
sehingga melahirkan disiplin ilmu yang dikenal dengan fiqh, ushul fiqh
dan tafsir. Inilah yang dimaksudkan Fazlur Rahman dalam tulisannya
“(pewahyuan) al-Qur’an merupakan respon ilahiah pada waktu al-Qur’an
diturunkan, yang menembus nalar nabi Muhammad, terkait dengan situasi
moral-sosial kawasan Arabia tempat Nabi tinggal.
Dengan
nada yang sama Abdullah Ahmed An-Na’im , ketika mengomentari hukum Islam yang
berhubungan dengan urusan public seperti hudud, qishas dan sejenisnya
mengatakan “hukum public yang terkandung dalam shari’ah adalah
sepenuhnya dapat dijadikan landasan dan konsisten dengan konteks historisnya.
Akan tetapi tidak dapat dijadikan alasan dan tidak secara konsisten bersesuaian
dengan konteks kekinian”. Nasr Hamid abu Zaid meringkas dengan mengatakan
al-Qur’an sebagai muntaj tsaqafi (Produk budaya). Apa yang tersirat
dalam masalah ini adalah hukum-hukum al-Qur’an sangat dipengaruhi nuansa
social-budaya, ekonomi, politik masyarakat Arab diabad ke tujuh. Oleh sebab
itu, bukanlah sikap yang bijak ketika mengadopsi apa yang ditetapkan dalam nash
secara literal dan formal legalistic tanpa lebih jauh mengapresiasi tujuan
serta hikmah terdalam dari hukum tersebut. Karena setiap hukum yang lahir pasti bertujuan
mencari kemaslahatan dan ini sangatlah sesuai dengan prinsip Maqashidus
syari’ah, maka hukum pun harus menyesuaikan pada waktu dan tempat.
Imam
al-Syatibi membagi kemaslahatan dalam tiga tingkatan, yaitu pertama,
Kemaslahatan yang bersifat primer (al-dharuriyyat), yaitu
kemaslahatan yang mesti menjadi acuan utama bagi implementasi syari’at. sebab
jika tidak, maka akan terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang mengakibatkan
ambruknya tatanan social. Kemaslahatan dalam kategori menjadi penyeimbang dan
mediasi antara kecenderungan ukhrawi dan duniawi. Titik temunya terletak pada
upaya pembumian nilai-nilai yang diidealkan Tuhan untuk kemanusiaan universal.
Yang
dimaksud kemaslahatan primer yaitu perlunya perlindungan agama (hifzh al-din,
melindungi jiwa (hifzh al-nafs), melindungi akal (hifzh al-‘aql),
melindingi keturunan (hifzh nasaab) dan melindungi harta (hifzh
al-mal). Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain,
menghormati jiwa, menghargai kebebasan berfikir dan berpendapat, menjaga
keturunan (hak reproduksi) serta menghargai kepemilikan harta setiap orang.
Imam Syatibi menegaskan, bahwa kemaslahatan yang bersifat primer tersebut
merupakan inti semua agama dan ajaran.
Kedua,
kemaslahatan yang bersifat sekunder (al-hajiyat), yaitu kemaslahatan
yang tidak menyebabkan ambruknya tatanan social dan hukum. Misalnya dalam hal
ibadah, bahwa dalam praktek peribadatan diberikan dispensasi (al-rukhash
al-mukhaffafah) apabila dal;am pelaksanaannya terdapat kesulitan. Bagi
mereka yang melakukan perjalanan jauh, sakit dan orang tua renta diberikan
keringanan yang diatur dalam fiqih. Kemaslahatan sekunder ingin memberikan pesan,
bahwa dalam pelaksanaan peribadatan pun diberikan beberapa keringanan dalam
rangka memberikan kemaslahatan dan kenyamanan bagi pemeluknya, sehingga
beragama dan beribadah tidak merasa adanya keberatan dan keterpaksaan.
Ketiga,
kemaslahatan yang bersifat suplementer (al-tahsiniyat), yaitu kemaslahatan yang
memberikan perhatian pada masalah estetika dan etiket. Misalnya, ajaran tentang
kebersihan, berhias, shadaqah dan bantuan kemanusiaan. Kemaslahatan ini juga
menjadi penting dalam rangka menyempurnakan kemaslahatan priomer dan sekunder.
No comments:
Post a Comment