ALLAH BUKAN DI LANGIT, TIDAK PULA DUDUK DI ARAS
Catatan Kecil Dr.HM.Rakib Jamari,SH.,M.Ag. Riau
ALLAH TANPA TEMPAT KARENA BUKAN BENDA
ALLAH SUDAH ADA, SEBELUM LANGIT DAN ARAS ADA
KETINGGIANNYA, BUKAN SEPERTI TINGGINYA BENDA
DIA MELAMPAUI KETINGGIAN APAPUN YANG TERHAYALKAN MANUSIA.
ALLAH SUDAH ADA, SEBELUM LANGIT DAN ARAS ADA
KETINGGIANNYA, BUKAN SEPERTI TINGGINYA BENDA
DIA MELAMPAUI KETINGGIAN APAPUN YANG TERHAYALKAN MANUSIA.
JARIYAH MENGATAKAN TUHAN DI LANGIT,
KARENA SEBELUMNYA, ADA BERHALA SETINGGI TUMIT
SETIAP SUKU PUNYA BERHALA PAVORIT
DIBANDING KETINGGIAN ALLAH, TAK AKAN BISA WALUPUN SEDIKIT.
KARENA SEBELUMNYA, ADA BERHALA SETINGGI TUMIT
SETIAP SUKU PUNYA BERHALA PAVORIT
DIBANDING KETINGGIAN ALLAH, TAK AKAN BISA WALUPUN SEDIKIT.
Ini masalah aqidah, jangan main-main, jauh berbeda dengan masalah-masalah furû’iyah (fiqh praktis/amaliyah) dimana para ulama membolehkan membangun kesimpulan mengenainya berdasarkan dalil-dalil dhanniyah (dugaan yang tidak sampai kepada yakin). Dalam masalah aqidah, jika orang bertanya, jwablah Allah itu dekat, dan memperkenankan doamu, maka berdoalah.
Semua orang akan mudah memahami ini, karena tidak mungkin sebuah kesimpulan yang bersifat qath’i dibangun hanya dari dalil yang bersifat dhanni.
Kelemahan hadits Jariyan, Dia adalah seorang budak awam, tingkat berfikirnya rendah, karena jawaban di mana Allah, asalkan tidak dijawab ada di rumah atau di sekeliling Ka'bah ya sudah, itu menunjukkan dia, tidak percaya kepada berhala lagi. Hadits yang bercerita tentang Jariyah ini adalah hadits ahad hanya bernilai dhanni, tidak qath’i
Dikutip dari Danny Ma'shoum / Nurul Huda Al-Junaydi, bahwa Hadits ahad adalah hadits yang diriwayat oleh satu orang atau lebih, tetapi tidak sampai kepada tingkatan mutawatir. Jumhur ulama Islam menjelaskan kepada kita bahwa hadits ahad ini tidak bersifat qath’i, tetapi hanya dhanni. Berikut ini sejumlah penjelasan dari ulama-ulama kita, antara lain :
1. Imam al-Juwaini yang lebih dikenal dengan gelar Imam al-Haramain mengatakan dalam kitabnya :
وخبر الواحد لا يعقب العلم
“Hadits ahad tidak menghasilkan ilmu (keyakinan)”
Dalam kitab karya beliau yang lain, beliau mengatakan :
والاحاد وهو الذي يوجب العمل ولا يوجب العلم لاحتمال الخطأ فيه
“Ahad adalah yang mewajibkan amal dan tidak mewajibkan ilmu (keyakinan), karena ada kemungkinan salah padanya.”
2. Imam Zakariya al-Anshari mengatakan :
واما مظنون الصدق فخبرالواحد وهو مالم ينته الى التواتر
“Adapun yang dhan benar, maka itu adalah hadits ahad, yakni yang tidak sampai kepada tingkatan mutawatir.”
3. Imam al-Nawawi mengatakan :
فَالَّذِي عَلَيْهِ جَمَاهِيرُ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاءِ وَأَصْحَابِ الْأُصُولِ أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ الثِّقَةِ حُجَّةٌ مِنْ حُجَجِ الشَّرْعِ يَلْزَمُ الْعَمَلُ بِهَا وَيُفِيدُ الظَّنَّ وَلَا يُفِيدُ الْعِلْمَ
“Maka pendapat yang pegangan jumhur kaum Muslimin, baik sahabat, Tabi’in maupun ulama-ulama sesudah mereka, ahli hadits, fuqaha dan ahli ushul adalah hadits ahad dari orang yang terpercaya menjadi hujjah dari segala hujjah syara’ yang mewajibkan amal dengannya, tetapi tidak memfaedahkan ilmu (keyakinan).”
Selanjutnya beliau menjelaskan :
وذهب بعض المحدثين إلى أن الاحاد التي في صحيح البخاري أو صحيح مسلم تفيد العلم دون غيرها من الاحاد ؟ وقد قدمنا هذا القول وإبطاله في الفصول
“Sebagian Ahli Hadis berpendapat bahwa hadis Ahâd yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim memberikan kepastian informasi, tidak hadis Ahâd dalam selain keduanya. Dan telah kami paparkan panjang lebar bukti kebatilan pendapat ini dalam beberapa pasal sebelumnya.
No comments:
Post a Comment