METAPORA
“ALLAH DI LANGIT”
Catatan Keindahan Bahasa Al-Quran
Oleh Drs. HM.Rakib Jamari, SH.,M.Ag.,Ph.D
Bahasa kiasan yang memakai matapora, adalah bahasa orang
akalnya satu tingkat di atas kemampuan otak budak, hamba sahaya, pengembala
domba, dan anak SD awal.
1.
Dimana Allah Tinggal Sebelum Diciptakan Langit ?
2.
Dimana Allah Tinggal Sebelum Diciptakan Aras ?
Orang yang tingkat bahasnya sudah tinggi, mengerti balaghoh, sastra
Arab, tidak percaya Allah di atas langit, sehingga pura-pura bertanya : Sebelum
langit di ciptakan, Allah berada di mana ?Apa mungkin Allah berpindah tempat ?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tanggapan :
Siapa yang mengatakan alamat Allah di langit, berarti telah berbuat syirik, mujassimah, karena manyatakan Allah sebagai benda yang harus punya tempat, baik di atas maupun di bawah. Keruwetan Akal Membawa Keruwetan Jiwa bagi orang yang uslub
bahasanya rendah, nalar kiasannya, majaznya tidak punya, kaku monoton, padahah
ada ribuan ayat kiasan, majas, sindiran, perumpamaan di dalam al-Quran dan
hadits.
1.
Dalil yang menyatakan bahwa Allah itu ada di atas Arasy
setidaknya ada 7 ayat dalam Al Qur’an yang secara bukan qath-I, bukan “Muhkamat”,
tapi “Mutasayabihat”, karena itu kiasannya perlu dita’wil:
2.
menjelaskan hal itu
(1). Surat Al A’raaf ayat 54
(2). Yunus ayat 3
(3). Ar Ra’du ayat 2
(4). Thaha ayat 5
(5). Al Furqan ayat 59
(6). As Sajadah ayat 4
(7). Al Hadid ayat 4
Bahkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 29 disebutkan : “Tsumma
istawa ilas sama’i fasauwahunna sab’a samawaat” (kemudian Dia istiwa menuju kepada
penciptaan langit, lalu Dia ciptakan 7
tingkat langit). Di dalam QS 41:11. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan
langit yang awalnya berupa asap. Sebagai orang Muslim, sebelum kita berpikir
masuk akal atau tidak, semestinya harus mengimani ayat-ayat ini. Kalau tidak
demikian, berarti kita membuat syarat-syarat dalam keimanan kita yang salah.
Dalami cita rasa bahasa Arab dan tingkatan gaya bahasanya. Pelajari ilmu badi’,
bayan.
Kata-kata “ala” tidak selamanya diterjemahkan di atas.
Misalnya dipaksakan juga artinya di atas. “Diwajibkan di atas kamu berpuasa” berarti
di tengahmu, perutmu, tidak puasa, di bawahmu, kemaluanmu tidak puasa. Jangan
terlalu kaku, “ala” di artikan di atas. Kalau Allah diterjemahkan di atas
langit, itu namanya “Alamat Palsu” .
Allah tak perlu alamat, karena Dia lebih dekat dibandingkan
urat lehermu. Misalnya, kalau masuk akal diimani, kalau tak masuk akal ditolak,
tunggu dulu, otak siapa dan tingkat ilmu tauhidnya di maqom apa?. Lihat
maqomnya dong. Janganlah demikian, sebab
hal itu dianggap tidak tulus dalam beragama.
2. Dalam ajaran Islam banyak perkara yang bersifat ghaib
Ghaib bisa karena waktu, misalnya peristiwa-peristiwa di masa
lalu, atau di masa depan. Ghaib bisa karena ruang, misalnya letaknya sangat
jauh, atau sangat kecil, sehingga tak tampak oleh penglihatan normal. Ghaib
juga bisa karena wujudnya tidak tampak, misalnya makhluk halus, seperti jin,
Malaikat, ruh. Padahal mereka ada dan eksis.Nah itu dia.
Di antara perkara ghaib itu ada yang Allah ajarkan, dan ada
pula yang tidak Allah ajarkan.
Contoh :
Hanya sebagian saja dari ribuan Nabi dan Rasul yang
disebutkan kisahnya dalam Kitabullah dan Sunnah.
Terhadap berita-berita yang Allah ceritakan, ya kita imani.
Adapun yang tidak Allah ceritakan, kita menahan diri untuk tidak masuk ke
wilayah itu, agar tidak menjadi sesat karenanya. Informasi atau ilmu tentang
dimana posisi Allah Ta’ala sebelum Diri-Nya menciptakan langit dan Arasy,
adalah termasuk hal-hal sangat ghaib yang tidak diceritakan dalam Kitab-Nya.
Kalau terhadap kisah Nabi-nabi tertentu yang tidak dikisahkan
dalam Al Qur’an, kita mau menahan diri untuk tidak mengorek-ngorek kisah
seperti itu. Lalu bagaimana mungkin kita akan mempertanyakan posisi Allah
sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy ? berarti tingkatan anda awam,
setingkat SMP paling tinggi.
Apa perlunya ?
Kalau misalnya kita sudah tahu, Allah tidak bertempat di
Aras, karena Aras itu terlalu kecil bagi Allah, Aras itu alamat palsu bagi
Allah. Lalu apakah itu bisa meningkatkan keimanan, atau membuat akal justru
semakin liberal dengan fantasi-fantasi ala Bani Israil lainnya ? Ya tidak
begitu, tentunya banya kekaguman dalam hati, tiada heti ucapkan “Subhanallah”.
3. Dalam Al Qur’an atau Sunnah dijelaskan, bahwa Allah Ta’ala
bersemayam di atas Arasy. Arasy itu ada di atas langit yang ke-7. Itu
terjemahan sesat, ala Yahudi. Coba buka kitab perjanjian lama (Kejadian Pasal 1
ayat 26) Tuhan seperti Adam bersemayam duduk di atas Arasy. Yang benar ialah
Allah melindungi, menaungi Arsa, “Istawla”.
Bagaimana cara Allah bersemayam di atas Arasy, hal itu
merupakan perkara ghaib. Nah terjemahan bersemayam untuk anak SD bolehlah,
sementara tapi kalau sudah Tsanawiyah, apalagi sudah S1, jurusan agama pula,
tak boleh terjemahan begitu lagi, karena terjemahan begitu hanya untuk sekedar
membantu secara harfiyah.
Kita tidak boleh mengatakan, Allah disana “duduk”, “berdiri”,
“menempel”, “mengambang”, itu sifat makhluk. Karena memang semua itu tidak dijelaskan
oleh-Nya dan oleh Nabi-Nya.
Termasuk pertanya’an, apakah Arasy itu berupa ruang, udara
kosong, dimensi nihil, atau apapun ? Semua itu tidak perlu dipikirkan dan
ditanyakan. Dengan sendirinya, jika Istiwa’ Allah di atas langit, kalimat
majas, mutasyabihat, tidak usah
ditanyakan, maka bagaimana keada’an Allah sebelum menciptakan langit, lebih tak
perlu ditanyakan lagi. Jawab saja “Fa’allun Lima Yurid”.
4. Munculnya pertanya’an, dimana Allah sebelum Allah
menciptakan langit dan Arasy, hal ini lahir karena kesalahan berpikir sangat fatal,
yaitu sejak awal sudah mempersepsikan Allah seperti makhluk. Allah memang tidak
memerlukan tempat, baik sebelum maupun sesudah adanya Aras.
Kalau hewan misalnya, suatu sa’at seekor burung hinggap di
pohon depan rumah, maka pikiran logis kita akan segera bergerak :
Dari mana nih burung ? maklum anak TK.
Kok pagi-pagi sudah nongol di depan rumah ?
Nah, untuk makhluk, kita bisa berpikir seperti itu, karena
makhluk terikat oleh hukum-hukum KETUPAT(Keadaan, Waktu, Tempat.). Sunnatullah
yang berlaku atasnya, kepdanya, kalau di atas, hanya berlaku pada bagian
kepalanya saja.
Dalam masalah makhluk kita selalu berpikir “dari mana ini”,
“akan kemana”, “nanti menjadi apa”, “prosesnya bagaimana”. Itulah sebabnya
Allah bersifat bersih dari segala macam sifat benda. Walam Yakun Lahu Kufuwan Ahad. Laisa kamitslihi.
Hanya untuk Allah Ta’ala, Dia terbebas dari semua
ikatan-ikatan hukum yang berlaku pada makhluk-Nya, makanya dalami sifat 20,
Wujud, Qidam, Baqo,.Kalau manusia memanjat dia akan menjadi tinggi, kalau
terjun ke bawah akan menjadi rendah, kalau berlari akan menjadi cepat, kalau
diam dia tidak bergerak, kalau kehujanan akan kedinginan, kalau kena sinar
matahari akan kepanasan, tapi Allah tidak FANA, sehat selamanya, tak bisa kena
virus corona, he.
Manusia atau makhluk terikat hukum-hukum demikian. Tetapi
Allah Ta’ala tidak terikat semua itu, Yang disebut Faalllun lima yurid, dalail
dari sifat ke-8 Irodat. Dia bisa berbuat apapun yang Dia inginkan, sehingga ada
ayat Al Qur’an yang berbunyi : “Idza
arada syai’an an yaqula lahu kun fa yakun” (kalau Dia menginginkan sesuatu,
tinggal mengatakan “kun” maka jadilah apa yang Dia inginkan itu).
Bersemayamnya Allah di atas Arasy atau langit mustahil
bagi-Nya, karena Aras itu terlau kecil. Maha kecil, super kecil, tapi memilih
aras, sebagi benda yang menjadi pusat pengendalian semesta, adalah bagian dari
kehendak-Nya.
Allah ingin apapun dan bagaimanapun,selagi hal itu bukan
sifat mustahil bagiNya, mustahil Allah menginginkan dirinya mati, mustahi Dia,
ingin binanasa, lalu menjadi manusia, agar mersakan mati. Hal yang baik-bak itu
hak Allah sebagai pencipta alam semesta dan kehidupan. Kita sebagai manusia
tidak punya hak mencampuri urusan Rububiyyah-Nya.
Misalnya :
Sebelum menciptakan langit dan Arasy, Allah berkehendak
demikian dan demikian, maka semua itu hak-Nya belaka. Kita tak bisa menolak
atau mencampuri. Bila makhluk terikat oleh dimensi-dimensi, maka Allah tak
terikat apapun. Dia mandiri dan independen. “Allahus Shamad” Qiyamuhu bi
nafsihi (Allah, bergantung kepada-Nya semua makhluk).
Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa ada kalanya dalam diri
manusia timbul pikiran-pikiran aneh karena bisikan syaitan. Misalnya dia
berpikir, bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah. Lalu siapa yang
menciptakan Allah ? ini pasti pertanyaan orang yang materialis, serba benda, NO SOME THING WITH OUT MATTER, KOMUNIS.
Nabi menasehatkan : Kalau ada bisikan-bisikan seperti itu,
seorang Muslim cukup mengatakan, “Amantu billahi wa bi Rusulihi” (aku beriman
kepada Allah dan kepada Rasul-rasul-Nya). (HR. Imam Ahmad).
Dzat Allah sangat berbeda dengan makhluk-Nya. Allah
menciptakan, tetapi tidak membutuhkan diciptakan. Allah adalah Awal, tetapi
tanpa diawali. Dia ada, tanpa diadakan.Itulah namanya sifat “wujud” Dia adalah
Akhir, tetapi tanpa diakhiri(Sifat Baqo’). Allah bisa membolak-balikkan siang
dan malam, gelap dan terang, panas dan dingin, sesuka diri-Nya, tapi Dia La
tukhliful mi’aaaad’’.Jadi kita tidak perlu bertanya, “Siapa yang menciptakan
Allah ? seperti pertanyaan ateis.
Sebab logika demikian hanya berlaku bagi makhluk-Nya. Allah
Ta’ala ada tanpa diadakan, Dia kuasa tanpa diberi kekuasaan, Dia mencipta tanpa
pernah terciptakan. Dia bisa membolak-balikkan dimensi-dimensi tanpa berkurang
sedikit pun Kemuliaan dan Keagungan-Nya. Dia Tinggi tanpa ada yang lebih tinggi
dari-Nya, Dia bisa turun tanpa menjadi lebih rendah. Allah tidak terikat
sifat-sifat makhluk-Nya.
Kalau manusia mencari hal-hal di luar semua itu, ingin
menerobos hakikat-hakikat seputar Sifat Rubibiyyah Allah demi memuaskan hawa
nafsu akalnya, jelas dia akan binasa. Ketahuilah, akal manusia dibatasi oleh
hukum-hukum yang berlaku di alam semesta (universe). Sedangkan Allah bebas dari
semua hukum-hukum itu. Sekali-kali, jangan memahami Allah dengan ukuran-ukuran
makhluk-Nya. Logika sesat, dituduh sesat. Ada logika yang diyakini sebagian
orang :1. Kalau Allah di atas Arasy, lalu dimana Dia sebelum Arasy itu
diciptakan ?,
Sekali lagi kalimat
“ala” jangan diartiak di atas, itu alama palsu bagi Allah, karena Allah tidak
beralamat, yang punya alamat hanya Ayu Tingting, itupun dia dapat alamat palsu
pula. Tidak ada perlunya alamat di aras itu bagi Allah, yang beralamat di aras,
hanya sebahagian malakat saja. Apakah Allah sebelumnya berada di suatu
“tempat”, kemudian pindah ke atas Arasy ?, Jangan bicara tempat untuk Allah,
hal itu mengecilkan dan sekaligus menghina Allah. Mungkinkah Dzat Allah
berpindah-pindah ? tidak, Dia Mahabesar, mau pindah kemana, tidak tempat dan
arah yang kosong dari kehadiran-Nya.
Sungguh mustahil . . ! !Logika demikian kan sangat kelihatan
kalau si penanya berpikir dalam dimensi makhluk. Dia ingin memahami Allah
dengan persepsi makhluk. Itu PKI yang ateis. Sebenarnya, Allah bisa saja mau
mengambil “posisi” di manapun, itu hak Dia., itu sifat musathil baguNya.
Andaikan Allah tidak menunjuki diri-Nya di atas Arasy, tidak ada masalah
bagi-Nya. Sekali lagi “ala” di situ buakan artinya di atas, sama salam atas
kamu, bukan berarti salam itu untuk benda yang di atas kepalamu, ada peci,
sorban, atau jilbab, ala dis itu menunjukkan ketinggian sifat Allah, bukan alam
tempat tinggal Allah. Ngerti ya?.
Karena tingginya kasih-sayang Allah, di atas segalanya,
tinggi kegaiban-Nya, Dia ingin memudahkan manusia memahami kegaiban itu, maka
Dia berkehendak istiwa’ memberi perlindungan terhadap Arasy.
Dengan demikian, manusia mendapati satu kemudahan ketika
ditanya “aina Allah” (dimana Allah). Maka kita bisa menjawab secara pasti : Fis
sama’i ‘alal Arsy (di langit, di atas Arasy) bagi pemula, tingka SD dan TK,
karena mereka belumbisa berfikir abstark, belum ngerti bakaghoh, bayan, ilmul
badi’, tidak tahu majaz, metapora,
Tidak mungkinAllah berpindah-pindah dari satu posisi ke
posisi lain, karena bukan benda. Mula-mula, Anda harus bebaskan Dzat Allah dari
ikatan-ikatan yang berlaku atas makhluk-Nya, zat di sini, jangan kaitakan
dengan zat kimia, benda cair, padat, sama sebutan zat tapi jauh bedanya..
Makhluk dibatasi oleh dimensi-dimensi, sedangkan Allah bebas dari semua itu, tanzih.
Kemudian, ingat selalu bahwa Allah memiliki Sifat Iradah (Mahaberkehendak). Kalau Allah
berkehendak berbuat sesuatu, tidak ada satu pun yang mampu menghalangi-Nya.
Seperti sebuah do’a yang diajarkan oleh Nabi :
“Allahumma laa mani’a li maa a’thaita, wa laa mu’thiya li maa
mana’ta” (ya Allah, tidak ada yang sanggup menolak apa yang Engkau berikan, dan
tidak ada yang bisa menerima apa yang Engkau tolak).
Jika demikian, lalu bagaimana insan-insan yang lemah,
otak-otak yang bodoh, dan hawa nafsu yang meluap-luap, hendak menolak
Sifat-sifat Allah, jika Dia berkehendak terhadap sesuatu, tapi bukan berkendak
dengan sifat yang mustahil bag-Nya, misalnya ingin hendak duduk bersemayam di
atas arasy, itu mustahal bin mustahil.
Itulah bahayanya, cara-cara orang yang tidak bisa membedakan
mana ayat yang wajib takwil, jika tidak
ditakwil akan menjadi syirik, terpakasa ditakwil, wil, wil. Karena kelompok
sesat mujassimah yang nantinya kerap kali menjadi jalan untuk mengingkari
Sifat-sifat Allah, atau menerjemahkan sifat Allah terlalu kaku, jumud,
harfiyah, literlijk.
Mulanya Takwil, lama-lama menjadi Jahmiyyah atau Zindiqah
(atheis).
Na’udzubillah wa na’udzubillah min kulli dalik . . .
7. Para Ulama sering mengatakan “tafakkaruu fi khalqillah wa
laa tafakkaruu fi dzatillah” (silahkan berpikir tentang cipta’an Allah, namun
jangan berpikir tentang Dzat-Nya).
Ungkapan seperti ini tidak mengada-ada. Bukannya manusia tak
boleh berpikir tentang Allah, tetapi otaknya tak akan bisa memahami Dzat Allah
dengan segala Sifat-Nya.
Dalam Surat Al A’raaf ayat 143, Musa ‘Alaihissalam pernah
meminta ingin melihat Dzat Allah. Kemudian Allah berkata kepada Musa, “Lan
taraniy” (engkau tak akan sanggup melihat-Ku). Lalu Allah memperlihatkan
diri-Nya kepada gunung, seketika itu gunung tersebut hancur berkeping-keping
karena takut kepada Allah. Melihat gunung hancur, Musa langsung pingsan.
Hal itu merupakan batas demarkasi sifat kebebasan manusia
dalam mendayagunakan potensi dan kekuatan nalarnya. Manusia tak boleh melebihi
ambang demarkasi itu, agar otak dan kehidupannya tidak menjadi binasa.
Dimana kedudukan Allah sebelum menciptakan langit dan Arasy,
semua itu adalah keghaiban belaka. Sama ghaibnya dengan bagaimana keada’an
Allah beristiwa’ di atas Arasy.
Kita tidak dibebani kewajiban untuk menelisik masalah-masalah
seperti itu. Akal kita tak akan sampai pada kebenaran hakiki dalam hal seperti
ini, kecuali kelak kita bisa tanyakan semua itu kepada Allah Ta’ala di Akhirat
nanti (dengan syarat, harus masuk syurga dulu).
Dalam pertanya’an seperti itu tidak ada penjelasan yang bisa
memuaskan akal secara sempurna, kecuali akal orang-orang beriman yang rela
mengimani Kitabullah dan As Sunnah. Serta tidak menjadikan otak-nya sebagai
hukum dan agama, dalam kehidupan ini.
Jangan menjadi kelompok mujassimah yang meyakini Allah punya tempat, padahal zatNya memenuhi langit dan bumi, pengetahuanNya memenuhi alam semesta, rahmatnya memenuhi alam semesta, Tidak ada ruang yang kosong untuk naik dan turun, alam semesta penuh dengan kehadirannNya. Bagaimana Allah tinggal di langit, sedangkan semua sisi alam semesta penuh dengan zat-Nya.
Sekali lagi, jangan sekali-kali meyakini Allah bertempat, itu perbuatan syirik tak berampun, itu menghina Allah SWT. Semoga bermanfaat, berkenan, dan mendapat barakah dari Allah Ta’ala. Allahumma amin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
Sekali lagi, jangan sekali-kali meyakini Allah bertempat, itu perbuatan syirik tak berampun, itu menghina Allah SWT. Semoga bermanfaat, berkenan, dan mendapat barakah dari Allah Ta’ala. Allahumma amin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
No comments:
Post a Comment