NENEK MAIMUN SANG PENGUASA
Karya Rakib Jarmari. Pekanbaru Riau
Nenek Maimun, tidak melihat tanda apapun
keberhasilanku.
Engkau tidak yakin, aku bisa jadi orang. Masya Allah..
Aku waktu itu, diinjak, disepak, dihina habis-habisan.
Aku menum,pang di rumahnya’
Tentulah dia berkuasa atas diriku
Demi kelanjutan sekolahku, aku rela diinjak.
Tapi itu dulu. Sekarang suasana terbalik
Akulah yang jadi penguasa
Nenek Maimun, di pihak yang lemah
Aku beri dia hadiah, seakan melupakan
kezalinannya masa lalu.
Aku
dihidupkan dimasa-masa kekuatan, kekuasaan dan kebuasan adalah bentuk untuk
keadilan dihari ini…
Sedangkan takaran timbangan keadilan
hanya seibarat satu bayang-bayang hitam padanya.. Ada, tapi hanya ada pada diam
dan keadaan menerima dalam tundukan pasrahnya..
Hai
nenek Maimun. Inilah “HUKUM rimba”..
Hai
Nenek sihir, Inilah aku pada waktu ini..
Lalu
benarkah jalan ini lurus seperti ini?
Apa
keterpaksaanku menerima ini membiuskan racun-racun pertentangan pada alam
fikirku?
Ah
senja tak memandang bulan sebagai musuhnya, senja diam dimasa dia menafsirkan
diri sebagai raja diantara kebenaran siang dan malam..
Dua nenek perkasa dahulunya, Seharusnya
aku membalas seperti senja..
Melerai pertentangan antara siang
dan malam dengan menghadirkan satu rupa keindahan yang sempurna.. sehingga tak
satupun diantaranya yang mampu menipu kekaguman pada bentuk pengingkaran…
Seharusnya aku seperti senja..
Tapi.. Aku hanya bisa menatap..
Diam tanpa polah tingkah..
Hina dihati menutup pintu-pintu
kejujuran, menelan ujaran-ujaran kebenaran pada kebimbangan yang meraja..
Lalu bagaimana dengan mereka?
Apakah hanya aku yang berfikir bahwa
tempat ku berdiri sekarang sudah dihuni “pemangsa-pemangsa” liar yang memangsa
semua kebenaran dengan rakusnya?
Lalu melahirkan pemangsa-pemangsa
ain dengan rupa yang jauh tak berbeda… seperti pada nama kebencian dan
kebodohan..
Tidak…
Seharusnya tidak seperti ini..
Tapi.. kadang-kadang diam lebih baik
menurut perkiraan kita..
Bukankah seperti itu teman?
Diam itu penyelamatan.. seperti itu
kita memandang..
Tap pada keadaan sebenarnya ada
Kekecewaan untuk ini memebebaskan pelarian-pelarian alasan yang akan menutupi
sesaat kalau sebenarnya aku ini lemah… Ya kita terlalu lemah dalam “rimba” ini.
Sekarang apa yang kufikirkan?
Bukankah kedekatan naluri-naluri
binatang dengan insting kekejaman hanya masalah waktudan perkembangan alam
saja?
Dan bukankah naluri itu juga telah
memulai hari per harinya pada masing-masing kita?
Liatlah pada “cermin” itu..
Dan kita akan tau kalau selama ini
kita telah berdusta pada keadaan cerminan yang nyata disikap dan prilaku yang
jauh dari kewajaran..
Mengapa? Kita mengetahui semua ini…
Hanya saja kita lebih
kekepura-puraan yang dikala masa-masa kita berdiam diri sendiri ini justru
menebar rasa sakit yang berlebih..
Liatlah kedalam cermin itu
dalam-dalam…
Sampai kita menempatkan satu
keberanian menjadi satu wajah pengakuan padanya..
“Cermin” ini bukan seperti kaca hias
yang sering itempel pada lemari dan sisi-sisi jendela pada kamar kecil ku..
Cermin
itu adalah Hati….
Pausa,
engkau mengejekku dari hari ke hari.
Tapi
aku tak menyerah..
Doaku tiada putus ke hadirat Ilahi
rabbi.
Hati lebih mencerminkan siapa aku..
Hati tempat tersuci pada jiwa-jiwa
insan, Hati merajai semua rasa..
Dan dengan hati kita bisa merubah
satu ketidakmungkinan menjadi sebuah harapan..
Cerminan hati adallah cerminan
jiwa..
Ketika hati telah memberikan satu
cerminan kepada kita maka itulah kita yang sebenarnya…
Siapa Kita?
Bercerminlah…..
Aku mencintai negaraku… AKu
mencintai Indonesia ini..
Tapi aku benci ketika politik telah
menganggap HAM adalah sebuah santapan lezat dari kerakusan mereka..
Negri ini mulai memasuki fase hukum
yang berlaku dirimba belantara sana..
Aku benci saat ku hanya diam… Tanpa
bisa berbuat apa,
Aku benci dengan lemahku…
Aku benci saat ku memilih diam,
padahal jauh didasar hatiku mengutuk ini…
No comments:
Post a Comment