Ke seberang parit, membawa bakul.
Tidak mudah, memintal tali.
Bagaimana murid, tidak dipukul,
Dinasehati sudah, berkali-kali.
Dahulu guru, diberi rotan,
Orang tua, menyerahkannya.
Kini murid, suka tawuran ,
Polisi bersenjata, dilawannya.
MURID DIBELA GURU DIHUKUM
Buktinya, murid yang salah, dibela dan guru yang tegas, dihukum. Konsep benar-salah menjadi hilang. Derita Guru: Sebuah Dilema
Pendidikan. Keberadaan UU Perlindungan Anak ini,
menurut
penulis menjadi sebuah penderitaan guru.
Mereka dihadapkan pada masalah dilematis
dalam proses pendidikan dan pembinaan anak muridnya. Situasi mereka berhadapan
dengan UU Perlindungan Anak. Demi pembinaan dan penegakan
disiplin kepada siswa, ada guru yang terpaksa
menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada jerat hukum.
Maksud baik guru justru berakibat buruk.
Padahal menyadarkan murid. Di antara
cara penyadaran adalah “tempeleng”, walaupun bisa pakai cara lain yang tanpa kekerasan. UU Perlindungan
Anak tidak membolehkan memakai cara kekerasan, padahal cara itu
bisa menjadi sarana paling efektif. Tingkat penyadarannya lebih kuat dibandingkan menegur dan menasehati. Tempeleng hanya sekali,
bisa merupakan bentuk shock therapy.
Menurut penulis UU Perlindungan Anak
menjadi penderitaan para guru di sekolah. Mereka tidak berani bertindak tegas
kepada murid karena takut terkena sanksi dari UU Perlindungan Anak. Bayangkan
saja, terkena pasal 80 ayat (1)
merupakan penderitaan yang amat sangat bagi guru yang berpenghasilan
pas-pasan. Ada guru masuk penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus, tidak akan jadi masalah serius. Tetap
mengajar dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan
keluarganya.
Ada kasus, di sebuah sekolah menengah
pertama, ada siswa sedang berkelahi,
lalu datang guru melerai. Tapi disambut dengan caci maki oleh seorang
siswa yang berkelahi, karena tidak terima acara duelnya dipisahkan. Guru juga
masih muda, dan caci maki itu terjadi di muka umum, diketahui murid lain, dan
demi harga diri yang diinjak murid, guru itu menampar siswa. Cuma sekali. Sang
guru dilaporkan ke polisi, beberapa hari di penjara. Akhirnya dibebaskan dengan
tebusan.
Apa yang terjadi setelah peristiwa
itu? Para guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa dan para siswa
berbuat seenaknya saja. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani
menegur. Yang terjadi adalah proses pembiaran. Ketika guru bertindak tegas,
anak dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah
mengejek gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa
karena takut dengan UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merusak dunia
pendidikan. Tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan
anak untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para
guru.
Menurut penulis, Hukuman Bukan Penganiayaan, ada kekeliruan dalam
UU Perlindungan Anak, berkaitan dengan kata “penganiayaan” dan kekerasan.
Kategori penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi, mirip dengan
penyiksaan. Memukul atau menempeleng
berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, bukan
penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan, seperti kasus IPDN, penganiayaan
memang kejam, karena bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang
berkali-kali. Karena itu ada yang cacat dan bahkan sampai tewas.
Penulis tidak setuju jika menempeleng, satu kali saja
masuk kategori kekejaman (pasal 13 ayat 1) tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1).
Dalam kasus-kasus penganiayaan di
sekolah, dilakukan oknum guru sebenarnya tidak masuk kategori kekerasan, yang
bukan kekejaman, penganiayaan yang tidak manusiawi.Yang menjadi persoalan,
haruskah kekerasan itu dihukum, jika bertujuan baik, menyadarkan murid akan kesalahannya. Untuk
bisa sadar, sering menyakitkan. Tapi
itulah shock therapy. Harus juga diperhatikan kewajiban anak. Dalam
UU Perlindungan Anak, khususnya soal hak dan kewajiban anak dan pasal
lain yang berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu
pasal saja (pasal 19). bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini:
Setiap
anak berkewajiban untuk :
1. menghormati orang tua, wali,
dan guru;
2. mencintai keluarga,
masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah air, bangsa,
dan negara;
4. menunaikan ibadah sesuai
dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan etika dan
akhlak yang mulia.
Jika anak tidak melaksanakan
kewajibannya, sanksi apa yang dapat diberikan UU RI no.23 th 2002? Tidak ada
yang melihat hal ini. Orang hanya
melihat hak anak, mengabaikan hak guru. Kasus ini punya daya tarik bagi
polisi dan pengacara? Tidak tentang
bagaimana kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya,
seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak?
Kasus anak SD mengganggu temannya
yang sedang latihan, berarti tidak melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19)
UU Perlindungan Anak. Kasus SMK, siswa tidak melaksanakan kewajiban no. 3 dan
5. Guru punya wewenang melaporkan siswa
ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut? Hak dan kewajiban mesti
seimbang. Orang tidak bisa menuntut hak tanpa melaksanakan kewajibannya, karena berkaitan dengan UU Perlindungan Anak. Kritik
penulis ialah perlu ditinjau soal
keseimbangan hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebani
kesalahan pada guru.
Kondisi
dunia pendidikan Indonesia akhir-akhir ini semakin memprihatinkan. Kekerasan
dan tindakan-tindakan amoral yang dilakukan pelajar kian masif saja. Itu
menandakan gagalnya pendidikan dalam upaya melahirkan generasi yang
berpengetahuan luas dan berakhlak mulia.
BAHKAN, tawuran yang terjadi beberapa waktu yang lalu
menambah buram wajah dunia pendidikan Indonesia kini. Di tengah carut-marutnya
pendidikan saat ini, tak jarang ada kegundahan seorang guru sebagai pihak yang
bertanggung jawab dan bertugas membantu mempersiapkan para peserta didik
menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Dengan kata lain, guru merasa gagal ketika melihat
anak didiknya melakukan hal-hal yang jauh melenceng dari yang diajarkannya.
Dalam konteks ini, tawuran yang terjadi belakangan ini menjadi tamparan keras
bagi para pendidik, baik guru maupun dosen. Sebab, mereka adalah pihak yang
paling bertanggung jawab atas perilaku dan tingkah polah para peserta didiknya,
selain orang tua.
Jika kita telisik lebih dalam, mengapa para siswa sekarang
sering bertindak amoral, maka ada beberapa kemungkinan yang membuat semua
pihak, terutama pemerintah harus bekerja ekstrakeras. Di sekolah, pendidik
(selanjutnya dibaca; guru) adalah orang yang bertanggung jawab penuh atas
perilaku anak. Guru dituntut melakukan tugas profesinya tersebut dengan
sungguh-sungguh.
UU Perlindungan Anak
Namun belakangan ini, eksistensi pendidik seringkali
dihadapkan dengan realitas yang tidak mendukung pelaksanaan tugas profesinya.
Sebut saja, adanya pengaduan orang tua dan masyarakat terhadap kekerasan yang
dilakukan pendidik tatkala melaksanakan tugasnya di sekolah. UU Perlindungan
Anak sesungguhnya merupakan upaya negara untuk melindungi anak Indonesia dari
perlakuan yang sewenang-wenang dari orang dewasa, yang dalam konteks ini adalah
guru. Namun, keberadaan UU tersebut seringkali disalahartikan. Artinya, UU
Perlindungan Anak dijadikan “alat” untuk menjustifikasi kesalahan anak.
Kondisi ini tentu saja berdampak semakin sulitnya guru
melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan, terutama membina
kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji. Selain UU Perlindungan Anak, untuk
melindungi anak-anak Indonesia, negara juga mempunyai sebuah lembaga, yaitu
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Namun, sekali lagi eksistensi KPAI
juga dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kesalahan anak.
Dalam dunia pendidikan kita mengenal adanya pemberian
punishment (hukuman) dan reward (penghargaan). Keduanya itu merupakan salah
satu alat pendidikan untuk meningkatkan prestasi dan menegakkan kedisiplinan di
lingkungan sekolah. Namun, dengan adanya UU Perlindungan Anak dan KPAI, seakan
dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses
pendidikan.
Sebab, seorang guru yang bertugas memberikan kedua hal
tersebut mungkin ketakutan jika akan menjatuhkan punishment kepada siswa yang
melanggar. Padahal, eksistensi reward dan punishment sangat penting dalam
pencapaian tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, harus ada keseimbangan antara
keduanya. Artinya, jika melanggar, maka konsekuensinya adalah mendapat hukuman.
Begitu pula sebaliknya, jika berprestasi, maka penghargaan menjadi alat untuk
meningkatkan prestasi itu.
Seorang guru memiliki otoritas akademik di dalam kelas
untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan.
Namun, dengan adanya UU tersebut, otoritas guru dalam rangka menegakkan
kedisiplinan akan hilang.
Sebab, yang seringkali terlupakan adalah alasan
hukuman yang dilakukan guru. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji materi ulang
(judicial review) terhadap UU Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan
82. Sebab, belum tentu tindakan seorang guru murni kesalahannya, akan tetapi
bisa saja akibat kesalahan yang dilakukan peserta didiknya.
Posisi yang Dilematis
Dalam
konteks ini, guru seringkali berada pada posisi yang dilematis, yaitu antara
tuntutan profesi dan perlakuan UU yang berujung pada kemanjaan masyarakat.
Maksudnya, di satu sisi guru diberikan kewajiban agar mampu menghantarkan
peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan yang salah satunya adalah
menjadikan generasi yang berkarakter (akhlak) baik.
cuma gara2 cubit guru dipenjara, kelewatan sekali. klik untuk saran menyelesaikan masalah kriminalisasi guru ini
ReplyDelete