KEBOHONGAN DAN KEMUNAFIKAN INTERNASIONAL
Analisis Mr.M.Rakib Ciptakarya Pekanbaru Riau
Kemunafikan, internasional
Sejak dahulu, telah terkenal
Negara yang lemah, mereka jual
Tiada peduli, haram dan halal
Indonesia kini, menghadapi kemunafikan
Dari luar, ada berbagai umpan
Pemimpin yang lemah, dipermainkan
Kepentingan rakyat, menjadi korban.
DUNIA
PUN DIGIRING UNTUK ‘MENGIZINKAN' AS DAN KRONI-KRONINYA MELAKUKAN HI DEMI
MEMBANTU RAKYAT LIBYA. MEDIA-MEDIA MAINSTREAM, SEPERTI CNN ATAU FOX NEWS, AL
JAZEERA, BERUSAHA MEMBENTUK OPINI PUBLIK, BAHWA SEDANG TERJADI PEMBANTAIAN
SIPIL BESAR-BESARAN DI LIBYA.
Berikut
ini adalah catatan-catatan yang pernah dilakukan oleh Amerika :
1. China 1945 – 1949
Turut serta dalam perang saudara di China, dengan berpihak pada Chiang Kai-shek melawan komunis, walaupun komunis adalah sekutu Amerika pada perang dunia ke 2. Amerika menggunakan tentara Jepang yang telah dikalahkan olehnya untuk membela Chiang Kai-Shek. Komunis akhirnya mengusir Chiang Kai-Shek hingga mundur ke Taiwan pada tahun 1949.
2. Italia 1947 – 1948
Menggunakan semua trik dan skill yang ada di buku, Amerika turut campur untuk mencegah agar Partai Komunis tidak menang dalam pemilu secara jujur dan adil. Penyalahgunaan demokrasi ini dilakukan dengan dalih “menyelamatkan demokrasi” di Italia.
3. Yunani 1947 – 1949
Turut campur lagi dalam perang saudara dengan memihak kelompok neo fasis melawan kelompok sosialis, yang sesungguhnya adalah sekutu mereka pada perang dunia ke 2 melawan Jerman. Kelompok Neo Fasis menang dan dan mendirikan rezim yang brutal dimana CIA turut serta membentuk badan intelijen KYP, dimana KYP melakukan pelanggaran HAM dengan menagkap dan menyiksa para oposan.
4. Filipina 1945 – 1953
Pasukan Amerika (US Marine Forces) berperang melawan kelompok sosialis (Huks) walaupun Huks sendiri turut berperang melawan penjajahan Jepang, setelah mengalahkan Huks, Amerika mendirikan pemerintahan boneka sampai memunculkan Ferdinand Marcos.
5. Korea Selatan, 1945 – 1953
Setelah perang dunia ke 2, Amerika menekan kelompok progresif yang populer dalam masyarakat dengan memihak pada kelompok konservatif yang dahulu berkolaborasi dengan penjajahan Jepang. Ini mengakibatkan pada timbulnya rezim pemerintahan yang korup, reaksionis, dan brutal.
1. China 1945 – 1949
Turut serta dalam perang saudara di China, dengan berpihak pada Chiang Kai-shek melawan komunis, walaupun komunis adalah sekutu Amerika pada perang dunia ke 2. Amerika menggunakan tentara Jepang yang telah dikalahkan olehnya untuk membela Chiang Kai-Shek. Komunis akhirnya mengusir Chiang Kai-Shek hingga mundur ke Taiwan pada tahun 1949.
2. Italia 1947 – 1948
Menggunakan semua trik dan skill yang ada di buku, Amerika turut campur untuk mencegah agar Partai Komunis tidak menang dalam pemilu secara jujur dan adil. Penyalahgunaan demokrasi ini dilakukan dengan dalih “menyelamatkan demokrasi” di Italia.
3. Yunani 1947 – 1949
Turut campur lagi dalam perang saudara dengan memihak kelompok neo fasis melawan kelompok sosialis, yang sesungguhnya adalah sekutu mereka pada perang dunia ke 2 melawan Jerman. Kelompok Neo Fasis menang dan dan mendirikan rezim yang brutal dimana CIA turut serta membentuk badan intelijen KYP, dimana KYP melakukan pelanggaran HAM dengan menagkap dan menyiksa para oposan.
4. Filipina 1945 – 1953
Pasukan Amerika (US Marine Forces) berperang melawan kelompok sosialis (Huks) walaupun Huks sendiri turut berperang melawan penjajahan Jepang, setelah mengalahkan Huks, Amerika mendirikan pemerintahan boneka sampai memunculkan Ferdinand Marcos.
5. Korea Selatan, 1945 – 1953
Setelah perang dunia ke 2, Amerika menekan kelompok progresif yang populer dalam masyarakat dengan memihak pada kelompok konservatif yang dahulu berkolaborasi dengan penjajahan Jepang. Ini mengakibatkan pada timbulnya rezim pemerintahan yang korup, reaksionis, dan brutal.
Disertasi tentang Hipokritas
Kemunafikan Humanitarian Intervention
Penulis
membaca disertasi Dina Y. Sulaeman, di internet, sangat menarik. Humanitarian
intervention(intervensi kemanusiaan, untuk selanjutnya dalam tulisan ini
disingkat HI) bisa didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan militer lintas
nasional untuk menghentikan atau mencegah penderitaan manusia dalam skala besar
(Bakry, 2013). HI dilakukan NATO di Libya pada tahun 2011 dengan alasan bahwa
saat itu telah terjadi pembunuhan massal rakyat sipil oleh rezim Qaddafi. PBB
menyetujui HI dengan tujuan mencegah pembantaian yang lebih besar lagi.
Serangan militer NATO terhadap Libya ini disebut ‘intervensi kemanusiaan',
sebuah frasa yang terdengar positif dan bertujuan baik.
Namun,
benarkah demikian adanya? Dalam disertasi yang disusun oleh Umar Suryadi Bakry,
kita bisa mendapatkan jawabannya secara ilmiah. Bakry adalah Doktor
Hubungan Internasional lulusan universitas dalam negeri pertama di Indonesia
(Universitas Padjadjaran), yang lulus dengan yudisium cumlaude pada tanggal 27
September 2013. Dalam disertasinya yang berjudul Intervensi Kemanusiaan NATO
di Libya: Perspektif Konstruktivis, Bakry menjelaskan bahwa pada dasarnya,
HI memiliki itikad baik untuk melindungi umat manusia dari pelanggaran HAM
berat yang dilakukan pemerintah suatu negara. HI dianggap sah bila memenuhi
empat kriteria berikut ini:
1.
Just cause: intervensi militer boleh dilakukan bila negara sasaran
perang itu benar-benar dalam kondisi bencana kemanusiaan; bila ada realitas
‘kehilangan jiwa dalam skala besar' atau ‘pembersihan etnis dalam skala besar'.
2.
Just intention: intervensi militer harus dilakukan dengan tujuan yang
benar, yaitu untuk menghentikan penderitaan manusia.
3.
Just authority: keputusan intervensi militer harus diambil oleh otoritas
yang paling berhak (yaitu PBB)
4.
Last resort: intervensi militer hanya boleh dilakukan ‘jika dan hanya
jika' semua upaya damai lain sudah dilakukan dan tidak menemui hasil.
Hasil penelitian Bakry menemukan
bahwa dari keempat kriteria itu, hanya criteria just authority yang
terpenuhi dalam operasi HI di Libya (yaitu bahwa keputusan intervensi memang
diambil oleh Dewan Keamanan PBB). Untuk just cause, sama sekali belum
ada data akurat yang menyebutkan berapa jumlah korban kekejaman Qaddafi. Untuk just
intention, penelitian Bakry menemukan bahwa motif utama para negara-negara
pendukung perang Libya sesungguhnya bukanlah untuk menyelamatkan rakyat Libya,
melainkan untuk menggulingkan Qaddafi. Sementara itu kriteria last resort
juga tidak terpenuhi, mengingat sangat pendeknya jarak antara fenomena ‘krisis
kemanusiaan' di Libya dengan pengambilan keputusan intervensi militer oleh DK
PBB. Ini menunjukkan bahwa komunitas internasional sebenarnya belum melakukan
upaya damai yang cukup sebelum memutuskan menyerbu Libya.
Seperti pernah penulis ungkapkan
pada tulisan berjudul Kebohongan Media di Libya [link:
http://dinasulaeman.wordpress.com/2011/08/27/kebohongan-media-di-libya/#more-714],
Perang di Libya dimulai dengan aksi-aksi demo anti Qaddafi pada bulan Februari
yang dilakukan rakyat Libya di Benghazi. Namun, ada yang aneh dalam aksi-aksi
demo itu: Benghazi sebenarnya justru kawasan yang makmur. Secara umum pun,
rakyat Libya cukup makmur. Pendapatan penduduk per kapita Libya adalah US$
14581.9 (sekedar perbandingan, Indonesia US$ 2149.7). Rakyat Libya menikmati
pendidikan dan kesehatan gratis, bahkan diberi bantuan mobil dan rumah. Itulah
sebabnya, HDI (Human Development Index) Libya tertinggi di Afrika, dan di dunia
berada di peringkat 57, lebih bagus daripada Rusia. Fakta ini sungguh tidak
cocok dengan berita ‘rakyat Libya bangkit secara massal untuk menumbangkan
Qaddafi." Bahwa ada kelompok oposan, wajar. Tapi pemberontakan massal di
seluruh negeri (seperti diberitakan media massa), sungguh menunjukkan pola yang
aneh.
Menyusul aksi-aksi demo dan
kekerasan yang terjadi, dunia pun digiring untuk ‘mengizinkan' AS dan
kroni-kroninya melakukan HI demi membantu rakyat Libya. Media-media mainstream,
seperti CNN atau Fox News, Al Jazeera, berusaha membentuk opini publik, bahwa
sedang terjadi pembantaian sipil besar-besaran di Libya. Bahkan media-media ini
kemudian terbukti melakukan kebohongan dalam pemberitaan mereka soal Libya.
Karena itulah, tak banyak yang memprotes saat NATO mulai melancarkan
membombardir Libya dengan alasan kemanusiaan tanggal 31 Maret 2011. Target
serangan NATO justru bukan kompleks militer, tetapi rumah-rumah (termasuk
istana Qaddafi sehingga menewaskan beberapa anak dan cucunya), rumah sakit,
sekolah, dll.
Usai NATO membombardir dan
menghancurkan infrastruktur Libya, negara-negara anggota NATO pula yang
beramai-ramai menawarkan bantuan untuk rekonstruksi. Menurut Financial
Post (10/9/2011), beberapa hari setelah pemimpin negara-negara NATO menyetujui
pencairan aset Libya (yang sebelumnya dibekukan oleh Barat), diadakan pertemuan
G8 di Marseille. Dalam pertemuan itu, negara-negara G8 setuju untuk
menggelontorkan dana pinjaman sebesar 38 milyar dollar kepada negara-negara
Arab, dan ‘menawarkan kepada Libya untuk menerima dana pinjaman itu'. Siapa
saja negara-negara G8 yang ‘berbaik hati' memberikan pinjaman kepada
negara-negara Arab yang kacau-balau akibat berbagai aksi penggulingan rezim
itu? Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, AS, Kanada, dan Rusia.
Sementara itu, asset $150 milyar dollar Libya yang dibekukan itu, ternyata
berada di Perancis, AS, Inggris, Belgia, Netherland, Italia, Kanada.
Benar-benar sebuah ‘kebetulan' bahwa negara-negara ini sebagiannya bergabung di
G8, dan semuanya bersama-sama bergabung dalam NATO. Sungguh ini sebuah
perampokan terang-terangan. Bukankah dana yang dibekukan oleh Barat itu adalah
milik rakyat Libya sendiri?
Fakta ini secara terang-benderang
menunjukkan motif apa di balik ‘intervensi kemanusiaan' NATO di Libya.
Ironisnya, justru ‘pejuang Islam'-lah yang menjadi pelaksana awal dari rencana
Barat ini. Sebagaimana telah penulis ungkapkan dalam buku Prahara Suriah
(2013), kelompok pemberontak yang ‘berjuang' menggulingkan Qaddafi adalah Al
Qaida; mereka membawa-bawa nama Islam dan bercita-cita mendirikan khilafah di
Libya. Namun, ironisnya, para pejuang khilafah ini pula yang kemudian langsung
bersalaman (dalam arti sebenarnya) dengan Menlu Hillary Clinton setelah
tewasnya Qaddafi.
Dan tokoh-tokoh pemberontak Libya
pula yang kemudian ‘membantu' perjuangan ‘mujahidin' Suriah. Salah satu tokohnya,
Mahdi Al Harati, sejak tahun 2011 sudah tertangkap kamera jurnalis Spanyol,
Daniel Iriarte, sedang berkeliaran di Suriah. Al Harati kemudian terungkap
menjadi pendiri salah satu milisi jihad, Liwaa al Tauhid.
Dan
seperti sudah penulis prediksikan sejak awal konflik Suriah: yang dikejar Barat
adalah alasan untuk menyerang Suriah dengan kedok humanitarian intervention
(HI). Bahkan, para provokator HI menggunakan jasa si cantik Angelina Jolie
[link: http://dinasulaeman.wordpress.com/2012/04/05/angelina-jolie-syria-dan-humanitarian-intervention/#more-796]
untuk menggalang dukungan internasional bagi serangan HI ke Suriah. Pada Mei
2012, wacana HI dikembangkan menyusul tragedi pembantaian di Houla. Namun, misi
khusus PBB di Suriah tidak menemukan bukti bahwa militer Suriah pelaku
pembantaian tersebut (dan kemungkinan besar justru pihak pemberontaklah
pelakunya). Akhir-akhir ini, isu senjata kimia di Ghouta yang dijadikan alasan
untuk menggalang dukungan bagi operasi HI. Dan dengan segera terungkap pula
berbagai fakta yang menunjukkan indikasi kuat bahwa pelaku serangan senjata
kimia justru pemberontak, bukan tentara Suriah. Kali ini publik dunia jauh
lebih cerdas dan tidak mau tertipu lagi. Demo besar-besaran di berbagai
penjuru dunia menentang serangan ke Suriah menyebabkan DK PBB tidak berkutik
dan AS pun mundur dari rencananya menyerang Suriah.
Dunia
sudah menyaksikan bahwa HI di Libya hanya berujung pada perampokan kekayaan
Libya. Selain itu, dunia juga menyaksikan bahwa meskipun dibungkus label
‘kemanusiaan', nyatanya NATO justru telah melakukan kejahatan kemanusiaan di
Libya. Itulah sebabnya, kini ada gerakan untuk mengajukan NATO ke Pengadilan
Penjahat Perang Internasional dengan tuduhan melakukan intervensi terhadap
sebuah negara berdaulat, melakukan serangan dan pengeboman terhadap kota-kota,
desa, menghancurkan gedung-gedung, dan membunuh rakyat sipil yang tidak bisa
dijustifikasi sebagai kepentingan militer (berdasarkan The Hague International
Penal Court semua perilaku NATO ini sudah cukup alasan untuk divonis sebagai
penjahat perang).
Lalu,
dengan terungkapnya semua kemunafikan atau hipokritas Barat ini, apakah kaum
muslimin yang masih mau diadu-domba dengan isu Sunni-Syiah dan mengobarkan
perang atas nama agama, demi keuntungan Barat? Saya ingin mengulangi kata-kata
analis politik Tony Cartalucci: jangan lagi kita tertipu oleh frasa ‘musuhnya
musuh adalah teman kita', karena ‘musuh' yang ada adalah hasil pengkondisian
dari para arsitek perang (AS dan sekutunya). Menurut Cartalucci, Sunni dan
Syiah, bahkan seluruh umat manusia dari berbagai agama dan ras, sesungguhnya
memiliki satu musuh yang sama, yaitu imperialisme Anglo-Amerika (Barat).
Barat-lah yang selama berabad-abad telah melakukan kejahatan yang sama:
memecah-belah, mengadu-domba antara etnis, agama, dan mazhab, lalu
menghancurkan dan menaklukkan bangsa-bangsa di dunia.
Dan
kita, bangsa Indonesia, perlu mengambil pelajaran dari sini. Imperialisme
Anglo-America yang saat ini tengah mengobok-obok Libya, Suriah,dan Timur Tengah
secara umum, juga memandangIndonesia sebagai salah satu target untuk
dipecah-pecah menjadi negara-negara kecil agar kekayaan alamnya semakin mudah
dieksploitasi. Bangsa ini perlu melatih kecerdasan berpikir. Kemampuan melihat
mana yang kawan, mana lawan; mana propaganda jahat, mana berita jujur, sangat
menentukan nasib kita di masa yang akan datang. (IRIB Indonesia)
DIKUTIP Dari Dina Y. Sulaeman, Mahasiswa Program
Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, research associate of
Global Future Institute
No comments:
Post a Comment