AKU BELAJAR ISTILAH-ISTILAH
DALAM USHUL FIQIH
Mr.Rakib
Ciptakarya Pekanbaru Riau Indonesia
Dahulu,
tahun 1970-an penulis di Airtiris Kampar belajar kitab Bidayatul Ushul, susunan Syech Sulaiman
Al-Rasuli, setelah itu buku ini tidak dipegang-pegang lagi, karena penulism
kuliah Fak.Tarbiyah,tapi setelah kuliah di program S 3 Hukum Islam, buku yang
dilupakan itu muncul kembali, bahkan ditambah dengan kitab ushul karangan
Al-Gazali dan kemudian
al-Imam asy-Syathibi dianggap sebagai ulama pembaharu di wilayah Granada
(spanyol), ia berhasil mentransformasikan ushul al-fiqh dari karakter dzanni ke qath’i, dari basis retoris (bayani) ke nalar argumentatif (burhani), dan dari kecenderungan teosentris ke
teo-antroposentris humanis ‘ala
mu’tazili. Kinerja al-Imam asy-Syathibi dalam memuncul ide-ide segar
ini, termotivasi dari banyaknya praktek ritus keagamaan yang ia anggap sebagai
bentuk penyelewengan terhadap ajaran Islam, yakni menyimpang dari maqashid asy-syari’ah.
Dalam
penelitian ini, penulis akan berupaya untuk menelusuri dan menyingkap konsep maqashid
asy-syari’ah dari kedua ulama’ yang dianggap kontroversial tersebut.
Pemikiran al-Ghazali dianggap mewakili kaum ortodoksi, sedangkan asy-Syathibi,
dianggap sebagai pembaharu dalam pemikiran hukum Islam yang mewakili kaum
modernis. Menurut hemat penulis, kedua ulama’ ini gagasan-gagasan mengenai
konsep maqashid asy-syari’ah sangat berharga bagi pengembangan dan
kelestarian hukum Islam ditengah-tengah masyarakat yang sarat dengan perbedaan.
Untuk memenuhi
kebutuhan analisis teks, ushul fiqh menghadirkan kaidah-kaidah kebahasaan yang
luar biasa rumit sekaligus menarik. Dimulai dari kategori lafadz (kata) al-‘am, al-khās, al-mutlaq, al-muqāyyad, al-amr, al-nahi, al-musytarāk, al-muawwal, al-haqiqāh, al-majaz, al-kinayah, ad-dhāhir, an- nash, al- mufassar, al-muhkam,
al-khāfi, al-musykil, al-mujmal dan al-mutasyabih
sampai pada teori kalimat yang terdiri dari al-manthuq,
al-mafhum, ibarāh al-nash, isyarāh
al-nash, dalalah al-nash dan iqtidhā’
al-nash.
Suatu hal yang tidak kalah pentingnya adalah
analisis maqāsid al-syariah sebagai tujuan substanstif kehadiran
aturan hukum. Ulama terkemuka seperti al-Ghāzali (W. 504 H), ath-Thufi (W. 716
H) dan juga asy-Syātibi (W. 780 H) telah memberikan eksplorasi menarik dan
mendalam atas wacana ini. Sekalipun konsep maslakhah mereka masih terkesan
teosentris namun ada setitik cahaya yang dapat kita gunakan sebagai lentera
untuk membangun maslakhah yang lebih manusiawi dan memberikan jaminan
kesejahteraan pada seluruh umat manusia.
Di sisi lain ushul fiqh mempersiapkan
metode-metode alternatif lain ketika problem kemanusiaan tidak dapat dicukupi
secara langsung oleh teks setelah dilakukan pembacaan secara konprehensif. Istihsan
, al-urf, al-qiyas, sadd al-dzari’ah, maslahah al-mursalah adalah sebagian
metode alternatif itu. Metode yang pertama dan yang kedua ini tidak bersifat
hirarkis, melainkan berjalan beriringan dan saling melengkapi.
Sudah saatnya fiqh dibangun bukan hanya berangkat
dari teks suci dan bukan semata berpijak pada realitas empiris tetapi dengan
cara mendialogkan terus-menerus antara dimensi teks dan realitas kemanusiaan.
Ushul fiqh layak digunakan sebagai alat baca dialektika tersebut. Sudah saatnya
ushul fiqh bukan hanya dibaca di ‘alep barakahnya’ tetapi divitalkan untuk
membangun fiqh yang akomodatif terhadap kebutuhan umat manusia. Selama ini
ushul fiqh belum – kalau tidak dikatakan tidak sama sekali – digunakan sebagi
metode ijtihad di Indonesia. Organisasi-organisasi keagamaan seperti NU dan
Muhammadiyah yang dikenal memiliki tokoh-tokoh cerdas (ulama) belum benar-benar
menggunakan metode ushul fiqh dalam perhelatan ilmiah mereka. Bahtsul masa’il
di tingkat manapun masih diramaikan dengan perburuan-perburuan rujukan kitab
klasik sekalipun kadang terlalu dipaksakan. Bahkan tak jarang terdapat beberapa
persoalan yang mauquf (dasar hukumnya tidak ditemukan dalam rumusan
tekstual fiqih).
Sebab bagaimanapun rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan
tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat
ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Dan hukum sendiri
harus berputar sesuai dengan ruang dan waktu. Maka disinilah diperlukanya “fiqih
baru” yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam
masyarakat. Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj yakni mengambil
metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fiqih serta qawa’id (kaidah-kaidah
fiqih).
Dengan kembali menjadikan ushul fiqh sebagai metode ijtihad (bermadzhab
secara manhaji), fiqh akan menjadi lebih membumi dan manusiawi dari pada fiqh
yang ada saat ini.Simpulan
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa salah satu
dari lima ciri pokok fiqh social – fiqh yang dapat “membela” aspek social
masyarakat saat ini – sesuai hasil rumusan dari serangkaian halaqah NU bekerja
sama dengan RMI dan P3M adalah bermadzhab secara manhaji. Yaitu dengan
mendalami kajian usul fiqh dan qawaidul fiqh sebagai metodologi pemutusan hukum
terkait dengan problematika aktual yang belum sempat terpikirkan oleh ulama’
terdahulu. Karena dengan kedua kajian itulah ulama’-ulama’ salaf menghasilkan
dan memutuskan hukum.
Semoga lembaga-lembaga keagamaan kita, seperti
“Majelis Tarjih” Muhammadiyyah, dan “Majlis Bahtsul Masail” Nahdlatul Ulama’
mampu menutupi kelemahannya masing-masing. Seperti yang diungkapkan oleh Rifyal
Ka’bah, dalam hasil penelitiannya bahwa kelemahan “Majlis Tarjih” Muhammadiyyah
dalam metode penetapan hukum antara lain bahwa, majlis ini, cenderung kurang
memperhatikan pendapat-pendapat para ulama’ terdahulu, dan mengklaim bahwa
keputusan yang ada merupakan hasil ijtihad-ijtihad majlis yang langsung
disandarkan kepada Al-qur’an dan Al-Hadist.
Sementara itu “Majlis Bahtsul Masail” Nahdlatul
Ulama’ cenderung hanya mencukupkan diri pada pendapat-pendapat para ulama’
terdahulu (memberlakukan secara dinamis nash-nash fuqaha) dan kurang
memperhatikan sumber pokok, yaitu Al-qur’an dan Al-Hadist. Sedangkan
untuk melakukan istimbath yang cenderung ke arah perilaku ijtihad oleh
ulama NU dirasa sangat sulit, karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari
oleh mereka. Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus
dikuasai oleh yang namanya muj’tahid.
No comments:
Post a Comment