Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi dalam Hukum Islam
Oleh H.M.Rakib, SH.,M.Ag. Pekanbaru-
Riau
Apa hukum itu, secara esensi, kata ontologi
Dari mana asalnya, kata Epistemologi
Baimana menerapkannya, kata aksiologi
Memburu makrifah, sangat berarti,
P
|
Menarik kajian tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk
menjawab ”apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy
dan merupakan ilmu mengenai esensi benda-benda. Ontologi
sebagai bagian dari ilmu pengetahuan
lebih berkonsentrasi untuk mengkaji tentang hakikat sesuatu. Kaitannya dengan hukum
Islam, ontologi berusaha memaparkan asal-muasal
(hakikat) dari hukum Islam itu sendiri. Dengan mengetehui ontologi dari
hukum Islam maka akan berpengaruh terhadap proses selanjutnya, yaitu
epistemologi untuk kemudian bermuara pada “aksi” (aksiologi).
Jangan seperti penafasiran Wahabi, yang terlalu kaku
mengikat diri pada tels, atau nash Hukum Islam sebagai sebuah ilmu, memang berangkat dari nash-nash (teks-teks)
agama yang nilai kebenarannya memang absolut (mutlak). Hukum Islam hadir
sebagai jawaban dari realitas kehidupan manusia yang menghendaki keteraturan
dalam hidupnya. Dalam Islam, sandaran paling populer berkaitan dengan disiplin
ilmu ini adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui
malaikat Jibril. Wahyu tersebut yang sampai saat ini terus eksis yang familiar
disebut dengan Al-Quran. Berangkat dari nash utama tersebut kemudian
muncul hadits Rasul, selain sebagai bayān (penjelas) juga sebagai
penafsiran lebih jauh dalam konteks praktis.
Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat
yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengendalian-pengendalian, dan dasar-dasarnya serta pengertian mengenai
pengetahuan yang dimiliki. Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuatan
pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya.[4]
Dalam bahasa yang lebih lugas, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
epistemologi adalah the way atau cara untuk memperoleh pengetahuan.
Epistemologi bergerak dalam kebebasan ruang (the free space) yang
menjelaskan motode yang benar untuk menggapai ilmu yang dimaksud. Dengan
hadirnya epistemologi yang jelas maka sebuah ilmu dapat difahami dengan benar,
namun masih dalam tataran teori.
Epistemologi hukum Islam mengacu kepada usaha untuk memahami
Islam secara benar melalui proses pembelajaran yang benar pula. Dalam bahasa
lain, epistemologi (mungkin) masih berkaitan dengan “ijtihad” dalam konstelasi
hukum Islam itu sendiri. Ijtihad merupakan sebuah metode untuk menentukan hukum
yang terikat dengan nilai. Dalam konteks ini, epistemologi memang harus
“berurusan” dengan nilai agar tidak keluar dari kaidah yang benar. Hal ini
karena dalam beragama, umat manusia harus terus melaju dalam medan yang lurus (ash-shirāth
al-mustaqīm). Keterikatan dengan nilai ini memang harus dijaga karena pada
purnanya, hukum Islam akan memasuki wilayah praktis, bukan sekadar teoritis.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia,
karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara
lebih cepat dan lebih mudah.[5]
Inilah yang dikenal dengan istilah aksiologi, yaitu bagaimana ilmu pengetahuan
mampu menyelesaikan permasalahan yang hadir di tengah-tengah masyarakat.
Substansi dari kegunaan ilmu akan benar-benar kentara ketika (mampu) memasuki
wilayah aksiologis. Sehingga wajar jika kemudian ilmu-ilmu yang tidak banyak
memberikan kontribusi terhadap kehidupan harus rela hati untuk dimasukkan ke
“keranjang sampah”. Hal ini karena memang segala sesuatu, termasuk ilmu akan
mengalami proses seleksi yang memang sangat bergantung kepada keadaan.
Secara aksiologis, hukum Islam tentu sangat berperan untuk
memberikan jalan hidup yang benar bagi umat manusia. Dengan adanya hukum, umat
Islam dapat menjalankan kehidupannya dengan baik dan terarah. Arah dan tujuan
hidup tersebut pada akhirnya akan menuju kepada Tuhan Yang Maha Segalanya,
Allah SWT. Belakangan, betapa banyak masalah kontemporer yang dihadapi umat
Islam. Realitas ini harus dijawab dengan segenap kesiapan yang selaiknya tetap
memberikan kesempatan umat untuk menerima jawaban tersebut. Sehingga pada
akhirnya, hukum Islam akan terlihat akomodatif, tidak kaku alias rigid.
Hukum Islam, tidak kaku,
Asal pemahaman, tidak keliru
Dapat aturan yang bermutu
Tenang dan damai selalu.
[1] [Sebuah Pengantar]. Ditulis untuk memenuhi tugas mata
kuliah Filsafat Ilmu dan Logika di Pondok Pesantren Mahasiswa Universitas Islam
Indonesia (PPM UII).
[2] Santriwan Ponpes UII dan Mahasiswa Jurusan Hukum Islam (Syarī’ah)
Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Nomor Induk Mahasiswa (NIM): 09 421 021.
[3] Fakultas Syariah IAIN-SU, “Dasar-dasar Ilmu
(ONTOLOGI-EPISTEMOLOGI-AKSIOLOGI)”, http://my.opera.com/mid-as/blog/2011/01/26/dasar-dasar-ilmu-ontologi-epistemologi-aksiologi,
diakses Senin (23/01), pukul 14.08 Wib.
No comments:
Post a Comment