Tanpa terjerumus di dalam prasangka sempit
Drs.H.M.RAKIB, S.H.,M.Ag..
Pekanbaru - Riau
Di mana pengetahuan itu ditemukan, akal budi
ataukah pengalaman inderawi, serta apakah pengetahuan kita tentang hukum dapat
dipertanggungawabkan?
Epistemologi
hukum adalah filsafat pengetahuan hukum (yang tentunya berbeda dengan ilmu
hukum), yaitu refleksi kritis tentang pengetahuan hukum dan apa yang kita ketahui
di bidang filsafat hukum. Epistemologi hukum itu tentu saja berdasarkan pada
epistemologi atau filsafat pengetahuan. Karena itu, sebelum lebih jauh
mengetahui epistemologi hukum, pemahaman dasar tentang epistemologi sendiri
menjadi mutlak diperlukan. Dengan belajar tentang epistemologi kita akan
terbantu untuk dapat mengetahui, apakah pengetahuan kita sendiri tentang hukum
adalah pengetahuan yang sungguh-sungguh kita ketahui. Yang mau dikemukakan
disini adalah epistemologi ketika masih hidup.
Masalah
Berdasarkan
latar belakang dan batasan masalah diatas penulis merumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Apakah pengertian epistemologi?
2. Apakah jenis-jenis epistemologi?
3. Apakah aliran-aliran epistemologi?
PEMBAHASAN
Pengertian
epistemologi
Episteme berasal dari epistamai yang artinya mendudukkan,
menempatkan atau meletakkan. Maka kata episteme
dapat diartikan “pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan
sesuatu dalam kedudukan setepatnya (J. Sudarminta, 2002: 18). Berdasarkan
etimologi kata epistemologi tersebut, dapat dikatakan bahwa epistemologi adalah
ilmu tentang pengetahuan manusia atau sering disebut juga sebagai teori
pengetahuan. J. Sudarminta mengatakan bahwa sebagai cabang ilmu filsafat,
epistemologi bermaksud mangkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki
dari pengetahuan manusia. Pertanyaannya adalah bagaimana pengetahuan itu pada
dasarnya diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas
kemampuan manusia untuk mengetahui?
Dapat
juga dikatakan menurut P. Hardono Hadi (1994: 6), bahwa epistemologi membahas
masalah-masalah dasar dalam pengetahuan, misalnya apa itu pengetahuan, di manakah
pengetahuan umumnya ditemukan, dan sejauh manakah apa yang biasanya kita anggap
sebagai pengetahuan benar-benar merupakan pengetahuan? Apakah indera dan budi
dapat memberi pengetahuan, serta apakah hubungan antara pengetahuan dan
keyakinan yang benar? Pertanyaan-pertanyaan epistemologis ini dapat kita ajukan
juga terhadap pengetahuan kita tentang hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu
hendaknya tidak dianggap sebagai aneh.
Tujuan
yang mau dicapai oleh epistemologis adalah bukan hanya apakah saya atau kita
dapat mengetahui, melainkan juga untuk menemukan syarat-syarat yang
memungkinkan kita dapat tahu dan jangkauan batas-batas pengetahuan kita. P.
Hardono Hadi misalnya, mengatakan bahwa pentingnya mempelajari epistemologi
sebagai filsafat ini adalah agar orang, terutama juga di bidang hukum menjadi
“bijaksana”. Menurutnya, dengan memahami permasalahan epistemologis, orang
diharapkan mampu bersikap tepat di dalam menanggapi berbagai pembicaraan
(disini tentang hukum) tanpa terjerumus di dalam prasangka
sempit dan semangat
primordialisme yang kaku. Epistemologi hukum cukup membantu kita untuk bersikap
terbuka dan bertanggung jawab terhadap apa yang diketahui tentang hukum.
Jenis-jenis
Epistemologi
Berdasarkan
cara kerja dan pendekatannya, epistemologi dibagi menjadi epistemologi
metafisis dan epistemologi skepsis.
1. Epistemologi metafisis
Epistemologi ini
melakukan pendekatan terhadap gejala pengetahuan bertitik tolak dari
pengandaian metafisis tertentu, berangkat dari kenyataan dan membahas bagaimana
manusia mengetahui kenyataan itu. Contohnya adalah epistemologi Plato. Menurut
Plato, kenyataan adalah ide-ide. Idealisme Plato ini membuat semua yang
dinamakan kenyataan sebetulnya hanya bersifat semu, karena kenyataan
sesungguhnya hanya ada dalam dunia ide. Di samping itu, dala epistemologi ada
pengandaian bahwa semua orang tahu tentang kenyataan, dialami dan dipikirkan,
sibuk dengan pengetahuan seperti itu dan cara perolehannya. Hal ini dikritik
sebagai kurang memadai dan kontroversial. Pertanyaan kita sekarang adalah bagaimanakah
dengan hukum: kenyataan yang diketahui sebagai ide-ide? Di sini penulis
mengusulkan agar kita coba kembali melihat sejarah pemikiran mengenai hukum.
Bagaimana orang bisa sampai tahu adanya hukum? Dia diciptakan oleh pikiran
karena kenyataan ataukah karena “memang ada hukum yang diketahui?” dan diberi
komentar atau penafsiran? Dari buku
klasik Dennis Lloyd The Idea of Law
(1977) dapat dikatakan bahwa ide hukum itu muncul karena pembacaan terhadap
kenyataan sebagai suatu keharusan “normatif”.
2. Epistemologi Skepsis
Boleh disebut
peletak dasar epistemologi ini adalah Rene Descartes (1596-1650). Sebagaimana
diketahui, filsuf besar ini adalah orang yang ragu-ragu, atau memiliki
kesangsian metodis. Segala sesuatu itu diragukan. Yang ia tidak ragukan ialah
dirinya sendiri yang sedang ragu-ragu. Dengan kata lain, yang tidak
diragukannya ialah keragu-raguan itu sendiri. Berdasarkan filsafatnya dapat
dikatakan bahwa kita harus membuktikan apa yang kita ketahui sebagai
sungguh-sungguh nyata atau benar-benar tidak dapat diragukan lagi dengan
menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang kebenarannya
masih dapat diragukan. Dengan kata lain, kita pun harus dapat membuktikan,
apakah kita sungguh-sungguh dapat mengetahui sesuatu?
Repotnya, kalau
ini dikaitkan secara sewenang-wenang alias ngawur
terhadap hukum, maka kita dapat saja meragukan, pertama, apakah hukum itu sungguh-sungguh nyata dan tidak diragukan
lagi adanya? Kita harus mampu membuktikannya. Atau kita boleh saja meragukan
hukum itu. Jangan-jangan hukum itu sesuatu yang keliru karena masih dapat
diragukan kebenarannya. Yang gampang ialah, saya dan anda dapat meragukan
apakah positivisme itu benar dalam memandang hukum sebagai kenyataan inderawi
model ilmu alam? Kedua, ada keraguan
bahwa manusia dapat mengetahui segala sesuatu. Dengan kata lain jangan-jangan
manusia itu sebetulnya tidak tahu apapun. Ini tentu seja melawan “akal sehat
umum”, bahwa manusia mengetahui segala sesuatu. Keragu-raguan ekstrim atau
ketika orang terlalu skeptis terhadap segala sesuatu dan konsisten dengan itu,
maka ia akan terus hidup dalam keragu-raguan dan karenanya sulit mengambil
keputusan untuk melakukan sesuatu.
Keraguan ilmiah
dan juga moril itu benar, sejauh dipakai untuk menguji ilmu pengetahuan atau tingkah
laku, apakah benar ataukah salah. Dengan kata lain, keraguan tersebut demi
kepastian kebenaran dan kebaikan atau keutamaan perilaku. Seorang jaksa yang
profesional misalnya boleh saja meragukan, apakah pasal-pasal kitab hukum
pidana yang dipakainya untuk menjerat si terdakwa itu sudah benar, sesuai
dengan peristiwa hukum (tindak pidana) itu ataukah tidak. Yang dipelukan disini
sebetulnya adalah epistemologi kritis, yaitu berangkat dari asumsi, prosedur
dan kesimpulan pemikiran akal sehat atau asumsi, prosedur dan kesimpulan
pemikiran ilmiah lalu ditanggapi secara kritis atau menguji kebenarannya.
Epistemologi kritis ini dapat dipakai di dunia hukum
Kemudian
berdasarkan objek yang dikaji, epistemologi dapat dibagi menjadi epistemologi
individual dan epistemologi sosial.
1. Epistemologi individual
Epistemologi ini
berurusan dengan subjek yang mengetahui dan yang diketahui, lepas dari konteks
sosial. J. Sudarminta mengemukakan bahwa epistemologi individual adalah
epistemologi sejak pra-sokrates sampai sekarang. Kajian tentang pengetahuan,
baik tentang status kognitifnya maupun proses perolehannya, dianggap sebagai
dapat didasarkan atas kegiatan mausia individual sebagai subjek yang mengetahui
lepas dari konteks sosialnya. Struktur pikiran manusia sebagai individu bekerja
dalam proses mengetahui dianggap cukup mewakili untuk menjelaskan bagaimana
semua pengetahuan manusia pada umumnya diperoleh. Secara lain dapat dikatakan
bahwa bagi epistemologi ini tidak penting bagaimana konteks sosial budaya dan juga
“nilai-nilai” yang ada dalam masyarakat itu bekerja. Yang penting adalah bahwa
manusia dapat mengetahui hanya dengan modal struktur pikiran dan cara
mengetahuinya sendiri yang terdapat dalam otaknya saja. Pengetahuan manusia
tentang hukum itu diperoleh karena kegiatan berpikir saja (a priori) dan
dianggap sudah mewakili apa yang memang diketahui manusia tentang hukum melalui
pikiran. Apa dan bagaimana konteks sosialnya tidak begitu penting untuk
dipertimbangkan.
2. Epistemologi Sosial
Epistemologi ini
berurusan dengan kajian filosofis terhadap pengetahuan sebagai data sosiologis,
yaitu terkait dengan hubungan sosial, kepentingan sosial dan lembaga-lembaga
sosial. Semuanya ini adalah faktor yang menentukan dalam proses dan cara
memperoleh pengetahuan. Epistemologi ini barangkali cocok untuk ilmu, termasuk
ilmu hukum. Orang dapat tahu tentang hukum juga karena ada bersama dalam
keserbaterhubungan etis dengan segala sesuatu yang lain, termasuk sesama
manusia dalam suatu komunitas masyarakat. Kenyataan sosial memproyeksikan
dirinya sendiri kepada subjek-subjek yang sadar, yang kemudian menangkap itu
dalam akal sehatnta dan kemudian ia menjadi tahu tentang maksud kenyataan yang
“berbicara” kepadanya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ia tahu tentang “hukum”
yang hidup dan berkembang dalam hubungan antarmanusia, kepentingan-kepentingan
dan lembaga-lembaga.
Aliran-aliran Epistemologi
1. Skeptisime
Skeptisisme telah
dimulai sejak zaman Yunani Kuno (315 SM), misalnya pada pandangan Zeno dari Elea. Dia meragukan adanya gerak. Menurut dia, gerak itu
sebenarnya tidak ada, karena sesuatu tetap berada dalam substansinya. Hanya
kelihatan saja bahwa sesuatu itu bergerak, namun sesungguhnya tetap “diam”
dalam substansinya. Ini dianggap sebagai suatu sikap skeptis terhadap ada atau
tidak gerak itu.
Skeptisisme
berasal dari kata dalam bahasa Yunani “skeptomai”
yang berarti “saya pikirkan dengan
seksama” atau “saya lihat dengan
teliti”. Kemudian kata ini populer diartikan sebagai “saya meragukan”. Intinya, dalam skeptisisme ini orang selalu
mempertanyakan, meragukan, termasuk meragukan, apakah manusia sungguh-sungguh
mengetahui dan apakah pengetahuan itu benar. Keraguan yang berlebih-lebihan
dapat saja membuat orang menjadi kehilangan pegangan, sebab segala-galanya
diragukan, hidupnya penuh dengan keragu-raguan….
EPISTEMOLOGI
HUKUM ISLAM
Rahasia Hukum
Islam (Asrarul Ahkam)
· Menempa ketakwaan
· Memupuk disiplin
· Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat
Epistemologi
Potensi bawaan lahir manusia
1. daya (nafsu) ofensif (quwwatul syhwat) yang mendorong
untuk berbuat jahat (amarah)
2. daya defensif (quwwatul ghadhab) yang mendorong untuk
melakukan kebaikan (lawwamah)
3. daya akal (quwwatul aql) yang menimbang antara kedua di
atas (muthmainnah)
akal perlu
dibimbing untuk bisa membuat keputusan terbaik yang mampu mengendalikan nafsu.
No comments:
Post a Comment