Pejabat wajib, kembalikan yang dihadiahi
Terlanjur dimakan, segera diganti
Akan dituntut, di akhirat nanti,
Di dunia saja, sudah jadi duri.
SYAIR KOLEKSI MR.RAKIB CIPTAKARYA PEKANBARU RIAU
INDONESIA. 2014
Berbisik-bisik di kantor, jangan
dibuat,
Itulah sikap, orang khianat.
Kalau terjadi, segera tobat,
Agar tidak, terkena laknat.
Uang Tip dan Hadiah Khianat,
Menyengsarakan, saat kiamat,
Bersihkan diri, secara cepat,
Sebelum nyawa, dicabut Malaikat.
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta
alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Seringnya kita lihat di hari raya,
tumpukan parsel dan bingkisan hari raya hadir di rumah pejabat. Lebih-lebih
lagi jika ia pejabat tinggi. Seandainya pejabat tersebut bukanlah pejabat,
tentu ia tidak akan mendapat hadiah atau parsel istimewa semacam itu. Hadiah
ini diberikan karena ia adalah pejabat. Bagaimana status hadiah semacam ini?
Pembahasan ini sebenarnya sudah dibahas oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam beberapa hadits. Simak dalam tulisan berikut ini.
Hadits Hadayal ‘Ummal
Di dalam Shohih Bukhari yang sudah
kita kenal, dibawakan bab ‘Hadayal ‘Ummal’. Begitu pula dalam Shohih
Muslim, An Nawawi rahimahullah membawakan bab ‘Tahrimu hadayal ‘ummal
(diharamkannya hadayal ‘ummal)’.
Hadaya berarti hadiah, bentuk plural dari kata hadiyah.
Sedangkan ‘Ummal berarti pekerja, bentuk plural (jamak) dari kata ‘aamil.
Dalam kedua kitab shahih tersebut
dibawakan hadits berikut dan ini adalah lafazh dari Bukhari.
Telah menceritakan kepada kami Ali
bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri, ia mendengar
‘Urwah telah mengabarkan kepada kami, Abu Humaid As Sa’idi mengatakan,
Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang namanya Ibnul
Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil mengatakan, “Ini
bagimu, dan ini hadiah bagiku.” Secara spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdiri di atas mimbar -sedang Sufyan mengatakan dengan redaksi
‘naik minbar’-, beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda,
مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ،
فَيَأْتِى يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ
وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ
يَأْتِى بِشَىْءٍ إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى
رَقَبَتِهِ ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ ،
أَوْ شَاةً تَيْعَرُ
“Ada apa dengan seorang pengurus
zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, “Ini untukmu dan ini
hadiah untukku!” Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan
cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku
berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang datang dengan mengambil hadiah seperti
pekerja tadi melainkan ia akan datang dengannya pada hari kiamat, lalu dia akan
memikul hadiah tadi di lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka
akan keluar suara unta. Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan
keluar suara sapi. Jika yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara
kambing.“
ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى
رَأَيْنَا عُفْرَتَىْ إِبْطَيْهِ « أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ » ثَلاَثًا
Kemudian beliau mengangkat kedua
tangannya sehingga kami melihat putih kedua ketiaknya seraya mengatakan, ”
Ketahuilah, bukankah telah kusampaikan?” (beliau mengulang-ulanginya tiga
kali).[1]
Ada hadits pula dari Abu Humaid As
Sa’idiy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ
“Hadiah bagi pejabat (pekerja)
adalah ghulul (khianat).”[2]
Keterangan Ulama
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah
disebutkan, “Para ulama tidak berselisih pendapat mengenai terlarangnya hadiah
bagi pejabat.”[3]
Ibnu Habib menjelaskan, “Para ulama
tidaklah berselisih pendapat tentang terlarangnya hadiah yang diberikan kepada penguasa,
hakim, pekerja (bawahan) dan penarik pajak.” Demikianlah pendapat Imam
Malik dan ulama Ahlus Sunnah sebelumnya.[4]
Dari
sini menunjukkan bahwa hadiah yang terlarang tadi tidak khusus bagi hakim saja,
tetapi bagi pejabat dan yang menjadi bawahan pun demikian.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah
mengatakan, “Adapun hadits Abu Humaid, maka di sana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelek-jelekkan Ibnul Lutbiyyah yang menerima hadiah
yang dihadiahkan kepadanya. Padahal kala itu dia adalah seorang pekerja saja
(ia pun sudah diberi jatah upah oleh atasannya, pen).”[5]
An Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Dalam hadits Abu Humaid terdapat penjelasan bahwa hadayal
‘ummal (hadiah untuk pekerja) adalah haram dan ghulul (khianat).
Karena uang seperti ini termasuk pengkhianatan dalam pekerjaan dan amanah. Oleh
karena itu, dalam hadits di atas disebutkan mengenai hukuman yaitu pekerja
seperti ini akan memikul hadiah yang dia peroleh pada hari kiamat nanti,
sebagaimana hal ini juga disebutkan pada masalah khianat.
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri telah menjelaskan dalam hadits tadi mengenai sebab diharamkannya
hadiah seperti ini, yaitu karena hadiah semacam ini sebenarnya masih karena
sebab pekerjaan, berbeda halnya dengan hadiah yang bukan sebab pekerjaan.
Hadiah yang kedua ini adalah hadiah yang dianjurkan (mustahab). Dalam
pembahasan yang lalu telah disebutkan mengenai hukum pekerja yang diberi
semacam ini dengan disebut hadiah. Pekerja tersebut harus mengembalikan hadiah
tadi kepada orang yang memberi. Jika tidak mungkin, maka diserahkan ke Baitul
Mal (kas negara).”[6]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam fatwanya. Beliau
mengatakan,
“Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul
(pengkhianatan) yaitu jika seseorang sebagai pegawai pemerintahan, dia diberi
hadiah oleh seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hadiah semacam ini
termasuk pengkhianatan (ghulul). Hadiah seperti ini tidak boleh diambil
sedikit pun oleh pekerja tadi walaupun dia menganggapnya baik.”
Lalu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan lagi, “Tidak boleh bagi seorang pegawai di wilayah pemerintahan
menerima hadiah berkaitan dengan pekerjaannya. Seandainya kita membolehkan hal
ini, maka akan terbukalah pintu riswah (suap/sogok). Uang sogok amatlah
berbahaya dan termasuk dosa besar (karena ada hukuman yang disebutkan
dalam hadits tadi, pen). Oleh karena itu, wajib bagi setiap pegawai jika dia
diberi hadiah yang berkaitan dengan pekerjaannya, maka hendaklah dia
mengembalikan hadiah tersebut. Hadiah semacam ini tidak boleh dia terima. Baik
dinamakan hadiah, shodaqoh, dan zakat, tetap tidak boleh diterima. Lebih-lebih
lagi jika dia adalah orang yang mampu, zakat tidak boleh bagi dirinya
sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama.”[7]
Mengapa Dikatakan Khianat?
Hadiah bagi pekerja atau pejabat
yang di mana hadiah tersebut berkaitan dengan pekerjaannya (seandainya ia bukan
pejabat, tentu saja tidak akan diberi parsel atau hadiah semacam itu), ini bisa
dikatakan khianat, dapat kita lihat dalam penjelasan berikut ini. Dalam Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah menerima hadiah (sebagaimana layaknya hadiah untuk
penguasa/pejabat). Perlu diketahui bahwa hadiah ini karena menjadi kekhususan
pada beliau. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ma’shum,
beliau bisa menghindarkan diri dari hal terlarang berbeda dengan orang lain
(termasuk dalam hadiah tadi, tidak mungkin dengan hadiah tersebut beliau
berbuat curang atau khianat, pen). Lantas ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
mengembalikan hadiah (sebagaimana hadiah untuk pejabat), beliau tidak mau
menerimanya. Lantas ada yang mengatakan pada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri pernah menerima hadiah semacam itu!” ‘Umar pun
memberikan jawaban yang sangat mantap, “Bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bisa jadi itu hadiah. Namun bagi kita itu adalah suap. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mendapatkan hadiah semacam itu lebih tepat karena
kedudukan beliau sebagai nabi, bukan karena jabatan beliau sebagai penguasa.
Sedangkan kita mendapatkan hadiah semacam itu karena jabatan kita.”[8]
Kami rasa sudah jelas mengapa hadiah
semacam parsel bagi pejabat dan uang tip bagi karyawan yang kaitannya dengan
pekerjaannya, itu dikatakan khianat. Jelas sekali bahwa uang tip atau hadiah
semacamm tadi diberikan karena kaitannya dengan pekerjaan dia sebagai pejabat,
karyawan atau pekerja. Seandainya bukan demikian, tentu ia tidak diberikan
hadiah semacam itu. Seandainya ia hanya duduk-duduk di rumahnya, bukan sebagai
pekerja atau pejabat, tentu ia tidak mendapatkan bingkisan istimewa seperti
parsel dan uang tip tadi. Inilah yang namanya khianat, karena ia telah
mengkhianati atasannya. Inilah jalan menuju suap yang sesungguhnya.
Inilah suap terselubung. Orang yang memberi hadiah semacam tadi, tidak menutup
kemungkinan ia punya maksud tertentu. Barangkali ia berikan hadiah agar jika
ingin mengurus apa-apa lewat pejabat akan semakin mudah, semakin cepat di-ACC
dan sebagainya. Inilah sekali lagi suap terselubung di balik pemberian
bingkisan.
Tidak Selamanya Hadiah itu
Halal
Perlu diketahui bahwa tidak semua
hadiah itu halal atau tidak dalam setiap kondisi kita saling memberikan hadiah
satu sama lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam benar bersabda,
وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Salinglah memberi hadiah,
niscaya kalian akan timbul rasa cinta di antara kalian.”[9]
Benar sabda di atas. Namun ada
beberapa kondisi halalnya hadiah atau tidak sebagaimana dapat dilihat dalam
rincian berikut.
- Hadiah yang halal untuk penerima dan pemberi. Itulah hadiah yang diberikan bukan untuk hakim dan pejabat semisal hadiah seorang teman untuk temannya. Seorang hakim atau pejabat negara tidak boleh menerima hadiah jenis pertama ini dari orang lain. Dengan kata lain, menerima hadiah yang hukumnya halal untuk umumnya orang. Itu hukumnya berubah menjadi haram dan berstatus suap jika untuk hakim dan pejabat. Hadiah yang jadi topik utama kita saat ini adalah hadiah jenis ini.
- Hadiah yang haram untuk pemberi dan penerima semisal hadiah untuk mendukung kebatilan. Penerima dan pemberi hadiah jenis ini berdosa karena telah melakukan suatu yang haram. Hadiah semisal ini wajib dikembalikan kepada yang memberikannya. Hadiah jenis ini haram untuk seorang hakim maupun orang biasa.
- Hadiah yang diberikan oleh seorang yang merasa takut terhadap gangguan orang yang diberi, seandainya tidak diberi baik gangguan badan ataupun harta. Perbuatan ini boleh dilakukan oleh yang memberi namun haram diterima oleh orang yang diberi. Karena tidak mengganggu orang lain itu hukumnya wajib dan tidak boleh menerima kompensasi finansial untuk melakukan sesuatu yang hukumnya wajib.[10]
Mengembalikan Hadiah
Khianat
Seorang hakim dan pejabat wajib
memulangkan hadiah kepada orang yang memberikannya. Jika hadiah tersebut telah
dikomsumsi maka wajib diganti dengan barang yang serupa.
Jika yang memberi hadiah tidak
diketahui keberadaannya atau diketahui namun memulangkan hadiah adalah suatu
yang tidak mungkin karena posisinya yang terlalu jauh, maka barang tersebut
hendaknya dinilai sebagai barang temuan (luqothoh) dan diletakkan di baitul
maal.
Pemberian hadiah kepada seorang
hakim itu karena posisinya sebagai hakim sehingga hadiah tersebut merupakan hak
masyarakat umum. Oleh karena itu, wajib diletakkan di baitul maal yang memang
dimaksudkan untuk kepentingan umum. Namun status barang ini di baitul maal
adalah barang temuan artinya jika yang punya sudah diketahui maka barang
tersebut akan diserahkan kepada pemiliknya.
Jika seorang hakim atau pejabat berkeyakinan
bahwa menolak hadiah yang diberikan oleh orang yang punya hubungan baik
dengannya itu menyebabkan orang tersebut tersakiti, maka hakim boleh menerima
hadiah tersebut asalkan setelah menyerahkan uang senilai barang tersebut kepada
orang yang memberi hadiah.[11]
Itu tadi hadiah bagi hakim dan
pejabat yang bekerja di bawah pemerintahan. Bagaimana dengan hadiah bagi
bawahan dari perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan pemerintahan, artinya
ia dapat hadiah dari orang lain karena status dia sebagai pekerja di perusahaan
tersebut? Hadiah tersebut harus dikembalikan kepada atasannya atau bosnya.
Terserah di situ, bosnya ridho ataukah tidak. Jika bosnya ridho kalau hadiah
itu untuk bawahannya, maka silakan ia gunakan. Wallahu a’lam bish showab.
Semoga para pembaca diberi kemudahan
untuk memahami hal ini. Semoga sajian ini bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat.
Selesai direvisi ulang di pagi hari
penuh berkah di Panggang-GK, 15 Syawal 1431 H (23 September 2010)
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832
[2] HR. Ahmad 5/424. Syaikh Al Albani
menshohihkan hadits ini sebagaimana disebutkan dalam Irwa’ul Gholil no. 2622.
[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al
Kuwaitiyyah, Asy Syamilah, 2/2183, pada index “Imamatush Sholah”, point 28.
[4] Idem
[5] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul
Ma’rifah, 1379, 5/221.
[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin
Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, Beirut, cetakan kedua, 1392,
12/219
[7] Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibni Utsaimin, Asy
Syamilah, 18/232
[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al
Kuwaitiyyah, Asy Syamilah, 2/2183, pada index “Imamatush Sholah”, point 28.
[9] HR. Malik secara mursal.
[10] Faedah dari guru kami, Ustadz Aris Munandar
pada link: http://ustadzaris.com/hadiah-untuk-pejabat
[11] Idem.
No comments:
Post a Comment