BAGAIMANA
CARANYA MEMUKUL ANAK YANG TIDAK MELANGGAR KUHP DAN HAM
KANDIDAT DOKTOR UIN SUSKA. DRS.MHD.RAKIB, S.H.,M.Ag. WIDYAISWARA LPMP. RIAU. 2014
ABSTRAK
Fenomena kegelisahan orangtua dan guru-guru di Indonesia
antara lain, tidak dapat
menghukum muridnya dengan sanksi hukuman fisik. Siapa yang melakukannya, tidak akan mendapatkan pelindungan hukum dari negara.
Akibatnya anak-anak cenderung menjadi semena-mena terhadap teman-temannya, bahkan guru-gurunya.
Sedangkan menurut Hukum Islam, anak-anak boleh dikenakan
sanksi fisik, terutama yang
melalaikan
shalat dan puasa,
atau melanggar aturan disiplin, dengan ukuran-ukuran yang telah ditetapkan syari’at, tapi
bukan berarti bertentangan dengan Hukum Perlidungan Anak RI secara diametra.
Untuk menjawab persolan ini, penulis membuat
penelitian melalui studi pustaka dengan menggunakan
metode analisis, yang merupakan pengembangan dari metode deskriptif.
Fokus kajiannya mendeskripsikan, membahas, mengkritisi dari sisi
formal dan material terhadap Undang-Undang RI, Nomor 23 tahun 2002 yang
dibandingkan dengan hukum Islam, sehingga mendapatkan temuan baru
berupa hukuman
fisik yang tidak dikategorikan kekerasan. Dianalisis pula dengan kaedah fiqhiyah,
ushul al-fiqhi dan beberapa teori yang relevan. Penulis temukan
teori Gunnoe dari Barat yang memboleh anak-anak
diberi sanksi pukulan ringan. Sejalan dengan Hukum
Islam, bahwa anak tidak shalat, boleh dipukul
ringan pada umur sepuluh tahun. Teori Marjorie Gunneo ini,
secara tidak lansung, terkait dengan teori maslahah mursalah, dan teori
Al-siyasah al-Syar’iyah..
ABSTRACT
Anxiety of
teachers in Indonesia, among others, can not punish students with physical
punishment. Who did it, will not get legal protection from the state. As a
result, children tend to become abusive towards her friends, even her teachers.
Meanwhile, according to Islamic law, children should be penalized physical,
especially the neglect of prayer and fasting, or breaking the rules of
discipline, with the measures that have been established Shari'ah, but it does
not mean that conflict with the Indonesian Child Protection Law diametra.
To
answer this issue, the authors make the research through library by using the
method of analysis, which is the development of a descriptive method. Describe
the focus of this study, discuss, criticize in terms of formal and material to
the RI Act, No. 23 of 2002 as compared to Islamic law, so getting the new
findings in the form of physical punishment is not considered violent. Also
analyzed with kaedah fiqhiyah, usul al-Fiqhi and some relevant theories. I have
found the theory Gunnoe of West memboleh kids sanctioned mild stroke. In line
with Islamic law, that child does not pray, be struck lightly at the age of ten
years. Marjorie Gunneo this theory, if only indirectly, related to the theory
maslahah mursalah, maqashid al-Shari'ah, and the theory of Al-siyasah
al-Syar'iyah..
Pendidikan
dalam bahasa arab biasanya dikenal dengan istilah Tarbiyah. Kata tarbiyah
sendiri berasal dari kata ربب ربى يربب yang artinya “ memperbaiki atau meluruskan “1.
Secara singkat dari pengertian tersebut tugas seorang pendidik adalah
memgajarkan, membimbing dan meluruskan tingkah laku anak agar sesuai dengan
tuntutan masyarakat dan ajaran agama.
Dalam
pendidikan orang tua juga mempunyai andil yang besar dalam membemtuk karakter
seorang anak. Karena orang tua juga mempunyai kewajiban dalam mendidik anak
dalam ranah nonformal, contoh saja dalam mendidik anak untuk melakukan sholat
lima waktu. Orang tua disuruh untuk memukul anaknya apabila tidak melakukan
kewajiban berupa sholat lima waktu. Begitu juga dalam pendidikan formal,
seorang guru dituntut untuk mendidik dengan baik dan benar, contoh saja dalam
mendidik, seorang guru tidak jarang melakukan kekerasan (pemukulan) terhadap
murid yang overactif. Metode tersebut memang dibenarkan ketika anak tersebut
sudah sangat keterlaluan dan susah untuk diatur. Namun sebenarnya dalam memukul
anak didik ada batasanya.
Karena
akhir – akhir ini banyak kita temukan kasus pemukulan seorang guru terhadap
muridnya yang dilakukan dengan berdalil hukuman atas kesalahan bagi anak dan
agar membuatnya jera. Namun terkadang hukuman pukulan tersebut dilakuakn tanpa
memperhatikan kesalahan anak. Apakah pantas jika kesalahan sepele anak yang
terjadi akibat kekurang hati-hatiannya, dia harus menerima hukuman atau pukulan
yang kadang dapat mengganggu kejiwaan anak. Dan pantaskah seorang guru yang
tindakannya selalu diikuti muridnya dan banyak disoroti oleh masyarakat
melakukan tindakan arogan tersebut.
Oleh
sebab itu, dalam makalah ini akan membahas tentang hukuman yang berkaitan
dengan pemukulan dan batasan – batasannya sebagaimana yang diajarkan oleh rosulullah
SAW. Dan semoga makalah ini akan memberikan pandangan baru untuk para pendidik
dalam memberikan hukuman agar anak didik bisa berubah sebagaimana yang
diharapkan oleh para pendidik.
Permasalahan
- Hadits tentang pukulan dalam mendidik anak !
- Analisis hadits tentang pukulan dalam mendidik anak !
- Apa saja kode etik dalam memukul anak yang bertujuan untuk mendidik ?
- Bagaimana kriteria alat pukul yang digunakan untuk mendidik anak?
Abu Daud (no. 495) dan Ahmad (6650)
telah meriwayatkan dari Amr bin Syu'aib, dari bapaknya dari kakeknya, dia
berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مُرُوا
أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ،
وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ
عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ (وصححه الألباني
في "الإرواء"، رقم 247)
"Perintahkan anak-anak kalian
untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat
usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka." (Dishahihkan oleh
Al-Albany dalam Irwa'u Ghalil, no. 247)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata
dalam kitab Al-Mughni (1/357)
"Perintah dan pengajaran ini
berlaku bagi anak-anak agar mereka terbiasa melakukan shalat dan tidak
meninggalkannya ketika sudah baligh."
As-Subki
berkata, "Wali bagi anak diwajibkan memerintahkan anaknya untuk melakukan
shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan memukulnya (apabila masih belum
melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun.Kami tidak mengingkari
wajibnya perintah terhadap perkara yang tidak wajib, atau memukul terhadap
perkara yang tidak wajib. Jika kita boleh memukul binatang untuk mendidik
mereka, apalagi terhadap anak? Hal itu semata-mata untuk kebaikannya dan agar dia
terbiasa sebelum masuk usia balig."
(Fatawa As-Subki, 1/379)
Maka anak kecil dan budak anak
kecil diperintahkan untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan
dipukul saat mereka berusia sepuluh tahun. Sebagaimana mereka juga
diperintahkan untuk berpuasa Ramadan dan dimotivasi untuk melakukan segala kebaikan,
seperti membaca Al-Quran, shalat sunah, haji dan umrah, memperbanyak membaca tasbih,
tahlil, takbir dan tahmid serta melarang mereka dari semua bentuk kemaksiatan.
Disyaratkan dalam masalah memukul
anak yang tidak shalah yaitu pukulan yang tidak melukai, tidak membuat kulit
luka, atau tidak membuat tulang atau gigi menjadi patah. Pukulan di bagian
punggung atau pundak dan semacamnya. Hindari memukul wajah karena
diharamkan memukul wajah berdasarkan larangan Nabi shallallahu alaihi wa
sallam. Pukulan hendaknya tidak lebih dari sepulu kali, tujuannya semata untuk
pendidikan dan jangan perlihatkan pemberian hukuman kecuali jika dibutuhkan
menjelaskan hal tersebut karena banyaknya penentangan anak-anak atau banyak
yang melalaikan shalat, atau semacamnya.
Dari Abu Burdah Al-Anshar, dia
mendenar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Seseorang
tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud
(hukuman tetap) dari Allah Ta'ala." (HR. Bukhari, no. 6456, Muslim, no.
3222)
Ibnu Qayim rahimahullah berkata,
"Sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, 'Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam
masalah hudud' maksudnya dalam hal jinayat (pidana kriminal seperti mencuri,
dll) yang merupakan hak Allah.
Jika ada yang bertanya, "Kapan
harus memukul di bawah sepuluh kali jika yang dimaksud hudud dalam hadits
tersebut adalah jinayah?"
Jawabannya adalah saat seorang suami
memukul isterinya atau budaknya atau anaknya atau pegawainya dengan tujuan
mendidik atau semacamnya. Maka ketika itu tidak boleh memukul lebih dari
sepuluh kali. Ini merupakan kesimpulan terbaik dari hadits ini." (I'lamul
Muwaqqi'in, 2/23)
Selayaknya hal tersebut dilakukan
tidak di depan orang lain untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya
dan orang lain dari teman-temannya atau selainnya.
Juga hendaknya diketahui bahwa dalam
perjalanan hubungan bapak dengan anak-anaknya dan pengajarannya bahwa sang
bapak memukul sang anak semata-mata bertujuan agar dia taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Tujuannya semata-mata untuk kebaikannya secara sempurna dan
perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan syari agar jangan sampai timbul
perasaan benci sang anak terhadap perkara syar'i yang berat dia lakukan dan
karena meninggalkannya dia dipukul.
Syekh Ibn Baz rahimahullah berkata,
"Perhatikanlah
keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. Hendaknya kalian
bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera puteri kalian
untuk melakukan shalat saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka saat berusia
sepuluh tahun dengan pukulan yang ringan yang dapat mendorong mereka untuk taat
kepada Allah dan membiasakan mereka menunaikan shalat pada waktunya agar mereka
istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq sebagaimana hal itu dijelaskan
dari riwayat shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam."
(Majmu Fatawa Bin Baz, 6/46)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata,
"Nabi shallallahu alaihi wa
sallam telah memerintahkan agar kita memerintahkan anak-anak kita melakukan
shalat saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka saat mereka
berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka belum berusia balig. Tujuannya
adalah akar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga
terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka mencintainya.
Begitupula dengan perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka
dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum balig, agar mereka tidak terbiasa
dan akrab ketika sudah besar."
(Fatawa Nurun ala Darb, 11/386)
Beliau juga berkata,
"Perintah ini bermakna wajib.
Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena
kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak bermanfaat pukulan tersebut. Hanya
sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud
pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan
bukan mencelakakan."
(Liqo Al-Bab Al-Maftuh, 95/18)
Beliau juga berkata,
"Tidak boleh dipukul dengan
pukulan melukai, juga tidak boleh memukul wajah atau di bagian yang dapat
mematikan. Hendaknya dipukul di bagian punggung atau pundak atau
semacamnya yang tidak membahayakannya. Memukul wajah mengandung bahaya, karena
wajah merupakan bagian teratas dari tubuh manusia dan paling mulia. Jika
dipukul bagian wajah, maka sang anak merasa terhinakan melebihi jika dipukul di
bagian punggung. Karena itu, memukul wajah dilarang."
Fatawa Nurun ala Darb (13/2)
Syekh Fauzan berkata,
"Pukulan merupakan salah satu
sarana pendidikan. Sorang guru boleh memukul, seorang pendidik boleh memukul,
orang tua juga boleh memukul sebagai bentuk pengajaran dan peringatan. Seorang
suami juga boleh memukul isterinya apabila dia membangkang. Akan tetapi
hendaknya memiliki batasan. Misalnya tidak boleh memukul yang melukai yang
dapat membuat kulit lecet atau mematahkan tulang. Cukup pukulan
seperlunya." Selesai dengan diringkas.
(Ighatsatul Mustafid Bi Syarh Kitab
Tauhid, 282-284)
Penting juga diperhatikan bahwa
pembinaan terhadap anak, bukan hanya karena dia meninggalkan shalat saja, tapi
juga jika sikapnya meremehkan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya dan wajibnya.
Kadang sang anak shalat, tapi shalatnya dia jamak, atau dia shalat tanpa wudhu,
atau tidak benar shalatnya. Maka ketika itu hendaknya diajarkan semua perkara
shalat dan memastikan bahwa dia menunaikan kewajiban, syarat dan rukunnya. Jika
mereka lalai dalam sebagiannya, maka kita kuatkan lagi nasehatnya, diajarkan
terus menerus. Jika masih juga lalai, boleh diperingatkan dengan pukulan hingga
shalatnya benar.
Kesimpulan
Berdasarkan
analisis data, masalah di awal artikel ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa
konsep kekerasan pada hukuman fisik terhadap anak-anak menurut Hukum
Islam ialah apabila memukul anak yang melalaikan shalat atau melanggar
peraturan disiplin, menimbulkan bekas atau melampau batas kepatutan. Hukuman
fisik berupa pukulan ringan yang tidak berbekas dan tidak di tempat yang
sensitif, bukan merupakan kekerasan. Hukum Islam membolehkannya dalam
batas-batas tertentu, karena ada makna filosofis yang terkandung di dalamnya:
1. Sebagai upaya
penegakkan disiplin, diawali dengan disiplin menegakkan shalat.
2. Mengantisipasi ketidaknyamanan
dari kenakalan yang lebih berat, dan mengingatkan mereka tentang manfaat
disiplin.
3. Memiliki makna ketaatan dan
kesetiaan terhadap ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan menurut konsep Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, semua hukuman
fisik adalah kekerasan, dilarang dengan tegas diberlakukan kepada anak-
anak, karena melanggar Hak Asasi Manusia. Guru dan siapapun lainnya di
sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Temuan
penulis pada undang-undang ini ialah:
1. Tidak ada rincian tentang hukuman
fisik dari guru atau orang tua, mana yang termasuk kategori kekerasan,
mana yang pula tidak.
2. Tidak mempertimbangkan hukum yang
hidup di tengah masyarakat, khususnya tentang sanksi hukuman untuk mendisiplinkan
anak-anak.
3. Tidak terjadi pertentangan antara
UU Perlindungan anak Indonesia dan HAM Barat di satu pihak, dengan Hukum Islam
di pihak lain, secara diametra. Hanya saja UU Perlidungan anak Indonesia
mrupakan Lex generalis. Sedangkan hukum Islam lebih bersifat Lex
specialis. Di samping itu, adanya fiqih dan ushul fiqih, sebagai alat
menggali hukum permasalahan yang baru.
Kekurangan studi ini sebagai penelitian pustaka ialah masih
ada buku dan kitab-kitab yang berkaitan dengan hukumann fisik, yang belum
sempat dilacak. Keterbatasan penulis juga dalam menyiapkan dana,
untuk mendapatkan lebih banyak informasi. Penulis sudah berusaha semaksimal
mungkin mengumpulkan berbagai informasi dari buku-buku yang terjangkau di
perpustakaan, bahkan buku milik pribadi para dosen pembimbing dan informasi
dari internet.
B. Rekumendasi
Agar implementasi hasil penelitian dalam disertasi bidang hukum ini
dapat dilaksanakan, penulis memberikan saran dan rekumendasi
sebagai berikut:
1.
Kepada Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama RI yang mengelola
pendidikan, agar membuat aturan yang melindungi guru, karena belum ada
undang-undang khusus tentang perlindungan guru dan dosen di Indonesia, pada
saat penelitian ini dilakukan.
2.
Kepada para hakim di Pengadilan Negeri, yang akan memutuskan
perkara antara guru dan murid tentang hukuman fisik, agar dapat
mempertimbangkan ketentuan hukum adat yang hidup di tengah masyarakat, dan
ketentuan Hukum Islam, yang dianut secara luas di Indonesia.
3.
Kepada satuan pendidikan yang memberikan sanksi hukuman disiplin, kepada
murid-muridnya, harus mempertimbangkan perlunya dibuat perjanjian khusus
yang tertulis antara para guru dan wali murid, tentang apa saja hukuman fisik
yang akan diberikan, jika si murid, melakukan pelanggaran disiplin, juga
tentang manfaatnya hukuman tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A.A. Fyzee, Outline of Muhammadan Law, New Delhi: Oxford
University Press, 1981
A.Djazuli,
Kaedah-Kaedah Fiqih dalam menuelesaikan Masalah Yang Praktis,
Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007.
Abbul Rahman Dahlan, Ushul Fiqhi,
Penerbit Amazah, Jakarta, 2001
Abd Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushûl
al-Fiqh ttp.: Dar al-Qalam, 1978.
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan
Anak dalam Islam,(terj) Jamaludin Miri Jakarta, 1994
Abdullah,
A.S. Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al Qur’an. Jakarta:
PT. Rineka Cipta. 1990.
Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Asawi, Ensiklopedi
Anak, Tanya-jawab A Sampai Z, (terj) Jakarta : Darus Sunnah, 2008
Abudin
Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Dan Barat, Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2012.
Abul
A’la al-Maududi, Kejamkah Hukum Islam, Jakarta : Gema Insani, 2001
Abu
Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, edisi Abdullah
Darraz, Mesir: tnp., t.t.
Agung Wahyono dan
Sin Rahayu, Tinjauan Tentang Pengadilan Anak Di Indonesia, Jakarta,
Sinar Grafika, 1993.
Akh. Minhaji, Hukum Islam:
Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial),Pidato
Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam Pada Fakultas
Shari’ah Tanggal 25 September , Yogyakarta: UIN, 2004
Akram
Kasab, Memadukan nash dan akal Metode Yusuf Al-Qaradhawi, Jakarta :
Pustaka Al-Kausar, 2010
Al-Kitab,
Ciluar, Bogor : Percetakan Lembaga Al-Kitab Indonesia,
1982.
Al-Suyuthy
Imam Jalaluddin Abd al-Rahman bin Abubakar, Al-Asbah wan Nazha’ir fi
al-Furu’, Semarang : Karya Toha Putera: Tth.
Amiruddin dan
Zainal AzikinPengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Press.
2004. .
Andreas
Kapardis, Psikologi dan Hukum (Psychology And Law).terj.Achmad Ali. Makassar, FH Unhas. Anom Surya Putra, 2003.
No comments:
Post a Comment