PUISI HUKUM RIMBA
Memang dia, salat, tapi masih
menipu
Memang bersedekah, tapi masih korupsi
Dia tidak melihat, lurusnya jalan ini dihamparan nuansa jiwa yang
mencari-cari…
Kekeringan itu menebar dahaga
menyiksa pada keadaan dicerca hampa..
Tidak pernah memberi kesempatan
orang lain berprestasi.
Diseberang sana raut-raut rakus
mencakar-cakar bumi kebaikan sebagai hidangan penutup yang dianggap layak pada
kekuaasaan maya akan dunia..
Otaknya otak Yahudi, menurut cerita terlarang dibalik dinding-dinding
kelam..
Benarkah kediaman itu disana?
Ataukah tempat ini yang terbaik
yang seharusnya menjadi satu tempat melepaskan semua beban keadaan yang
menimpa?
Tentang pencarian, tentang
kebencian…
ketika perbandingan ini memberi
satu makna berbeda Seperti hitam yang bukan pada nama kejahatan.. tapi nyaris
selalu menerima tuduhan-tuduhan itu atasnya..
Kupeluk mendekap erat satu bayang
diri yang menentang keadaan ini.. karna dikeadaannya sekarangkebenaran
dikerajaan ini adalah kekuatan…
Rimba menebar hawa keajaiban yang
menakjubkan, tetapi didalamnya selalu menentang keadilan selayak zahirnya…
Ketika kubuka mata jiwa…
Terbentanglah dihadapku sekarang “rimba”
itu..
Aku dihidupkan dimasa-masa
kekuatan, kekuasaan dan kebuasan adalah bentuk untuk keadilan dihari ini…
Sedangkan takaran timbangan
keadilan hanya seibarat satu bayang-bayang hitam padanya.. Ada, tapi hanya ada
pada diam dan keadaan menerima dalam tundukan pasrahnya..
Inilah “HUKUM rimba”..
Inilah aku pada waktu ini..
Lalu benarkah jalan ini lurus
seperti ini?
Apa keterpaksaanku menerima ini
membiuskan racun-racun pertentangan pada alam fikirku?
Ah senja tak memandang bulan
sebagai musuhnya, senja diam dimasa dia menafsirkan diri sebagai raja diantara
kebenaran siang dan malam..
Seharusnya aku seperti senja..
Melerai pertentangan antara siang
dan malam dengan menghadirkan satu rupa keindahan yang sempurna.. sehingga tak
satupun diantaranya yang mampu menipu kekaguman pada bentuk pengingkaran…
Seharusnya aku seperti senja..
Tapi.. Aku hanya bisa menatap..
Diam tanpa polah tingkah..
Hina dihati menutup pintu-pintu
kejujuran, menelan ujaran-ujaran kebenaran pada kebimbangan yang meraja..
Lalu bagaimana dengan mereka?
Apakah hanya aku yang berfikir
bahwa tempat ku berdiri sekarang sudah dihuni “pemangsa-pemangsa” liar yang
memangsa semua kebenaran dengan rakusnya?
Lalu melahirkan pemangsa-pemangsa ain
dengan rupa yang jauh tak berbeda… seperti pada nama kebencian dan kebodohan..
Tidak…
Seharusnya tidak seperti ini..
Tapi.. kadang-kadang diam lebih
baik menurut perkiraan kita..
Bukankah seperti itu teman?
Diam itu penyelamatan.. seperti itu
kita memandang..
Tap pada keadaan sebenarnya ada
Kekecewaan untuk ini memebebaskan pelarian-pelarian alasan yang akan menutupi
sesaat kalau sebenarnya aku ini lemah… Ya kita terlalu lemah dalam “rimba” ini.
Sekarang apa yang kufikirkan?
Bukankah kedekatan naluri-naluri
binatang dengan insting kekejaman hanya masalah waktudan perkembangan alam
saja?
Dan bukankah naluri itu juga telah
memulai hari per harinya pada masing-masing kita?
Liatlah pada “cermin” itu..
Dan kita akan tau kalau selama ini
kita telah berdusta pada keadaan cerminan yang nyata disikap dan prilaku yang
jauh dari kewajaran..
Mengapa? Kita mengetahui semua ini…
Hanya saja kita lebih
kekepura-puraan yang dikala masa-masa kita berdiam diri sendiri ini justru
menebar rasa sakit yang berlebih..
Liatlah kedalam cermin itu
dalam-dalam…
Sampai kita menempatkan satu
keberanian menjadi satu wajah pengakuan padanya..
“Cermin” ini bukan seperti kaca
hias yang sering itempel pada lemari dan sisi-sisi jendela pada kamar kecil
ku..
Cermin itu adalah Hati….
Hati lebih mencerminkan siapa aku..
Hati tempat tersuci pada jiwa-jiwa
insan, Hati merajai semua rasa..
Dan dengan hati kita bisa merubah
satu ketidakmungkinan menjadi sebuah harapan..
Cerminan hati adallah cerminan
jiwa..
Ketika hati telah memberikan satu
cerminan kepada kita maka itulah kita yang sebenarnya…
Siapa Kita?
Bercerminlah…..
Untuk : Tragedi Pembantaian Di
Mejusi.. Lampung
RIP for all of victims…
Untuk semua keluarga.. Berdoalah
mudah-mudahan keadilan itu masih ada dinegri kita..
Aku mencintai negaraku… AKu
mencintai Indonesia ini..
Tapi aku benci ketika politik telah
menganggap HAM adalah sebuah santapan lezat dari kerakusan mereka..
Negri ini mulai memasuki fase hukum
yang berlaku dirimba belantara sana..
Aku benci saat ku hanya diam… Tanpa
bisa berbuat apa,
Aku benci dengan lemahku…
Aku benci saat ku memilih diam,
padahal jauh didasar hatiku mengutuk ini…
No comments:
Post a Comment