MAQASID AL SYARIAH PADA PERINTAH MEMUKUL ANAK YANG
TIDAK DISIPLIN
Rakib Jamari
ANAK YANG TIDAK SHALAT,
BOLEH DIPUKUL
MAQOSHID AL-SYARI’AH,
SUDAH TERUKUR
SUPAYA TERTANAM, RASA
SYUKUR
TEGAKKAN AGAMA, JANGAN PERNAH MUNDUR
Maqosid al-Syari’ah, pertama kali
ditunjukkan Rasulullah ialah pada suatu waktu Nabi Muhammad SAW melarang kaum muslimin
menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga
hari. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian peraturan yang ditetapkan oleh Nabi
Muhammad itu dilanggar oleh para sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada
Nabi Muhammad. Beliau membenarkan tindakan para sahabat itu sambil menerangkan
bahwa larangan menyimpan daging kurban adalah didasarkan atas kepentingan Al
Daffah (tamu yang terdiri dari orang-orang miskin yang datang dari
perkampungan sekitar Madinah). Setelah itu, Nabi Muhammad bersabda, "Sekarang
simpanlah daging-daging kurban itu, karena tidak ada lagi tamu yang
membutuhkannya".
Dari
kasus tersebut terlihat, adanya larangan menyimpan daging kurban diharapkan
tujuan syariat dapat dicapai, yakni melapangkan kaum miskin yang datang dari
dusun-dusun di pinggiran Madinah. Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada
lagi, maka larangan itu pun dihapuskan oleh Nabi SAW.
Menarik
hati penulis pada kolom Gus, dari Pesantren Nurul Huda, katanya “ ketetapan
tersebut terlihat bahwa sejak masa Nabi Muhammad,” Maqasid Al
Syariah telah menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Upaya seperti itu, seterusnya dilakukan pula oleh para sahabat. Upaya demikian
terlihat jelas dalam beberapa ketetapan hukum yang dilakukan oleh Umar Ibn al
Khattab. Kajian Maqasid Al Syariah ini kemudian mendapat tempat dalam ushul
fiqh, yang dikembangkan oleh para ushuli dalam penerapan qiyas,
ketika berbicara tentang Masalik Al Illah. Kajian demikian terlihat
dalam beberapa karya ushul fiqh, seperti Ar-Risalah oleh Al
Syafii, Al-Musthafa karya Al Ghazali, Al-Mu'tamad karya Abu Al
Hasan Al Bashri, dan lain-lain. Kajian ini kemudian dikembangkan secara luas
dan sistematis oleh Abu Ishaq Al Syathibi.1
Dalam
kelanjutannya, Maqasid Al Syariah malah menjadi bahasan yang kurang
populer atau bahkan diabaikan dalam banyak buku referensi yang berbicara
tentang ushul fiqh. Penelusuran tentang bahasan Maqasid Al Syariah
menjadi tidak mudah didapat. Sejauh ini pembahasan Maqasid Al Syariah
lebih banyak diidentikkan dengan Abu Ishaq al Shathibi.
Sedikitnya
kitab-kitab ushul fiqh salaf terutama dari ulama madzhab Syafi'i
yang membicarakan Maqasid Al Syariah atau bahkan mengabaikannya dalam
pokok bahasan mereka, tersebab keterkaitan bahasan ini dengan teologi yang
diyakininya.
Sebagaimana
dijelaskan Shatibi, doktrin Maqasid Al Syariah menjelaskan bahwa tujuan
akhir hukum adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan
umat manusia.2
Teologi Islam menerima pengertian umum dan lahir dari mashlahah ini,
tetapi mereka saling berbeda pendapat jika mashlahah dipahami dalam
kerangka kausalitas. Kaum Asy'ariah menolak secara eksplisit maupun implisit,
kausalitas dalam hubungannya dengan Tuhan. Bagi mereka, premis ini
mengimplikasikan bahwa Tuhan diwajibkan karena pertimbangan mashalah,
untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Karena kewajiban semacam itu berarti
membatasi kemahakuasaan Tuhan, maka kaum Asy'ariah menolak ide bahwa mashlahah
adalah 'Illal Al Syar'i. Kendatipun demikian, mereka menerima premis ini
dengan menafsirkan mashlahah sebagai 'rahmat' Tuhan, dibanding sebagai
'sebab' bagi tindakan-tindakanNya. Di sisi lain kaum Mu'tazilah walaupun juga
mempertahankan kemahakuasaan Tuhan. Tetapi menyakini bahwa Tuhan berkewajiban
melakukan kebaikan. Sebagai konsekwensinya, mereka menerima premis diatas,
mengenai mashlahah sebagai 'Illat Al Syariah.
Argument-argumen
teologis yang merambat ke dalam ushul fiqh ini, karena banyak penulis
dalam bidang ushul fiqh juga menulis di bidang teologi.3
Namun demikian, ushul fiqh menuntut suatu cara berpikir dan metode
penalaran yang berbeda dari metode kalam. Pemikiran hukum mengharuskan bahwa
kehendak bagi tindakan-tindakan sukarela manusia harus dihubungkan dengan
manusia itu sendiri jika ia secara hukum harus bertanggung jawab atas
tindakan-tindakannya. Karena ketaatan kepada perintah-perintah Tuhan tergantung
pada kehendak manusia, maka perintah itu harus diperlihatkan dimotivasi oleh
perkembangan kepentingan-kepentingan manusia. Sebagai konsekwensinya, premis mashlahah
harus diterima dalam ushul fiqh dalam kerangka sebab, motif dan tujuan.
Perdebatan
mengenai Maqasid Al Syariah ini, tidak saja terkait dengan teologi,
tetapi juga terkait dengan kehujjahan Maqasid Al Syariah sebagai sumber
pengembangan hukum. Metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas
Maqasid Al Syariah seperti istihsan dan mashlahah mursalah,4
adalah metode pengembangan yang diperselisihkan keberadaannya. Imam Syafi'i
contohnya, atas istihsan dia menyatakan:
من
إستحسن فقد تشرع
"Barang
siapa yang menggunakan istihsan maka ia telah benar-benar mencipta
syara'".5
Pengertian dan Cakupan Maqasid Al Syariah
Maqasid
Al Syariah berarti tujuan Allah SWT dan
Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam.6
Sementara menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti
nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian
terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang
sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam
setiap ketentuan hukum.7
Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah
atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.8
Maqasid
Al Syariah, yang secara substansial mengandung
kemashlahatan, menurut al Syathibi dapat dilihat dari dua sudut pandang.
Pertama maqasid al syari' (tujuan Tuhan). Kedua maqasid al mukallaf
(tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid Al
Syariah mengandung empat aspek, yaitu:9
- Tujuan awal dari Syari' menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.
- Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.
- Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.
- Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum.
Begitu
pula dari sudut maqasid al mukallaf, Maqasid Al Syariah
mengandung empat aspek pula, yaitu:10
- Pembicaraan mashlahah, pengertian, tingkatan, karakteristik, dan relativitas atau keabsolutannya.
- Pembahasan dimensi linguistik dari problem taklif yang diabaikan oleh juris lain. Suatu perintah yang merupakan taklif harus bisa dipahami oleh semua subjeknya, tidak saja dalam kata-kata dan kalimat tetapi juga dalam pengertian pemahaman linguistik dan kultural. Al Syathibi mendiskusikan problem ini dengan cara menjelaskan dalalah asliyah (pengertian esensial) dan ummumiyah (bisa dipahami orang awam).
- Analisa pengertian taklif dalam hubungannya dengan kemampuan, kesulitan dan lain-lain.
- Penjelasan aspek huzuz dalam hubungannya dengan hawa dan ta'abud.
Mayoritas
peneliti membagi kemashlahatan menjadi dua macam, kemashlahatan akhirat yang
dijamin oleh akidah dan ibadah dan kemashlahatan dunia yang dijamin oleh
muamalat. Tetapi dalam pembahasan ini, tidak ditemukan korelasi yang
mengharuskan untuk memperhatikan pembagian ini. Karena pada hakekatnya segala
hal yang terkait dengan akidah, ibadah dan muamalat dalam syariat Islam
menjamin segala kemashlahatan umat baik sisi dunia maupun akhirat.11
Kemashlahatan
yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal, agama, jiwa/nafs,
akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaaan atas lima hal
ini disebut maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut
mafsadah.12
Adapun
setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga
tingkatan kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat dan al tahsinat.13
Kebutuhan dhoruriyat
Definisinya
adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer.
Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia
akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara
agama, jiwa,
kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok
inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan
ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima
hal pokok di atas. Seperti kewajiban qisas:
ولكم فى القصاص حياة يأولى الألباب لعلكم تتقون
"Dan
dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang
bertakwa"14
Dari
ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qisas karena dengan itu
ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.
Kebutuhan al hajiyat
Al
Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami
kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah
(keringanan) seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf. Merupakan contoh
kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh pembolehan tidak
berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh
secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang
mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.
Kebutuhan al tahsinat
Definisinya
adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok
tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat
kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi
seperti hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang
tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan
tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah,
dan uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan
kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid,
anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam peperangan/
muslah.
Al
Syatibi juga membagi mashlahah dalam tiga hal:15
- Mashlahah muktabar, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana diungkap di atas. Usaha pemeliharaan kemashlahatan yang lima ini adalah pemeliharaaan yang dhoruri (yang paling utama). Itulah sebabnya diharuskannya berjihad kepada yang kuat fisiknya untuk melawan serangan musuh yang bermaksud menghancurkan agama dan tanah air. Ditetapkannya hukuman qisas untuk menjamin keselamatan jiwa, dan lain-lain.
- Mashlahat mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat mashlahat, tetapi ada mashlahat yang lebih besar sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan. Sebagai contoh, pada suatu ketika Abdurrahman ibn Hakam, gubernur Andalusia, meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah membatalkan puasa Ramadhan dengan mencampuri istrinya di siang hari. Al laitsi memfatwakan bahwa kafaratnya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Pengambilan keputusan ini diambil dengan argumen bahwa memerdekakan budak atau memberi makan 60 oarang miskin terlalu ringan bagi seorang gubernur, maka dikawatirkan sang gubernur meremehkannya. Kemashlahatan yang lebih besar dalam kasus ini adalah kemashlahatan agama.
- Mashlahat mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan atau melarangnya, contoh untuk mengatasi merajalelanya pemalsuan hak milik atas barang-barang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat bebas kumpul kebo maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh diadakan ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan mempunyai keterangan yang sah setiap terjadi akad jual beli, nikah, hibah dan lain sebagainya.
Batasan Maslahah
Al
Syatibi memberikan gambaran tentang karakter mashlahah:16
- Tujuan legislasi (tashri') adalah untuk menegakkan mashlahah di dunia ini dan di akhirat.
- Syari' menghendaki masalih harus mutlak
Alasan
bagi kedua pertimbangan di atas ialah bahwa syariah telah dilembagakan harus
abadi, universal (kull), dan umum (amm) dalam hubungannya dengan
segala macam kewajiban (takalif), subjek hukum (mukallafin) dan
kondisi-kondisi (ahwal).
Ketiga
karakter di atas menuntut mashlahah harus mutlak dan universal.
Kemutlakan berarti bahwa mashlahah tidak boleh subjektif dan relatif.
Kenisbian biasanya didasarkan pada sikap menyamakan suatu masalah dengan salah
satu dari kondisi kesenangan pribadi, keuntungan pribadi, pemenuhan keinginan
nafsu dan kepentingan individu. Semua pertimbangan di atas memberikan konsep mashlahah
akan makna relatif dan subjektif, yang bukan merupakan pertimbangan syari'
dalam mashlahah, meski mungkin dipertimbangkan dalam budaya adat.
Unsur
universal dalam karakter di atas, tidak dipengaruhi oleh takhalluf
(memperkecil) unsur-unsur partikulernya. Misalnya hukuman diberlakukan
berdasarkan ketentuan universal bahwa biasanya hukuman ini mencegah orang dari
melakukan kejahatan dengan mengabaikan orang-orang tertentu yang walaupun
dihukum, tidak dapat menahan diri dari melakukan suatu kejahatan. Keberadaan
orang-orang tertentu ini tidak mempengaruhi validitas ketentuan umum tentang
hukuman.
Kemashlahatan
asasi bagi al Buthi, sebenarnya hanyalah satu yaitu terciptanya penghambaan
seorang mukallaf kepada Allah dan ma'rifat billah.17
Al Buthi mendasarkan pada dalil:
وابتغ فيما أتاك الله الدار
الأخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا.......
"Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi
…".18
Al
Buthi menandaskan bahwa mayoritas ahli tafsir bersepakat bahwa pernyataan la
tansa nashibaka min al dunya, bermakna bagian dunia yang berfaedah bagi
akhiratnya.
Dalam
memberikan batasan mashlahah, al Buthi memaparkan dua hal yang keluar
dari kriteria mashlahah:19
- Segala hal yang keluar dari substansi mashlahah dengan tujuan penjagaan lima hal contoh melepaskan ketentuan diri dari ketentuan ibadah, menginginkan kenikmatan berzina, melampaui batas penjagaan diri tanpa ketentuan yang dibenarkan syara' dan lain-lain.
- Segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan substansi mashlahah tetapi menjadi berubah karena tujuan yang tidak baik berdasar hadits: "innamal a'malu binniyat".
Kehujjahan Maqasid Al Syariah (mashlahah)
Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil
yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara' sebagaimana Al Qur'an, Al
Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah mungkin menentukan hukum
parsial (juz'i/far'i) dengan berdasar kemashlahatan saja. Sesungguhnya
mashlahah adalah makna yang universal yang mencakup keseluruhan bagian-bagian
hukum far'i yang diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah.
Kesendirian
mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan karena akal tidak
mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-masalah juz'i.
Hal ini disebabkan dua hal:20
- Kalau akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim sebelum datangnya syara'. Hal ini mungkin menurut mayoritas ulama.
- Kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar /efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia.
Bagi
Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid Al Syariah adalah suatu alat bantu untuk
memahami redaksi Al Qur'an dan Al Hadits, menyelesaikan dalil-dalil yang
bertentangan dan menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al
Qur'an dan Al Hadits.21
Dari
apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini, menunjukkan Maqasid Al
Syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum tetapi merupakan dasar bagi
penetapan hukum melalui beberapa metode pengambilan hukum. Namun begitu,
sebagaimana disinggung dalam pendahuluan hampir keseluruhan metode yang
dipertentangkan/tidak disepakati oleh ulama, adalah karena faktor pengaruh
teologi.
Referensi
1 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani: Relevansinya
bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999, hal.42-43
2 Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan
Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas,
1995, hal. 225
3 Ibid. hal 226
4 Taufik Abdullah (ketua editor), Ensiklopedia Tematis Dunia
Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, juz 3 hal.294
5 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, Damaskus: Dar al Fikr,
1986, juz 2 hal 748
6 Taufik Abdullah (ketua editor), op.cit, hal. 292
7 Wahbah Zuhaili, op.cit. hal.225
8 Muhammad Khalid Mas'ud, op.cit hal. 225
9 Nasrun Rusli, op.cit hsl 43
10 Muhammad Khalid Mas'ud, op.cit hal 228. Baca juga Yusuf
Qardhawi, _Al Qur'an dan Sunnah Referensi Tinggi Ummat Islam, terj. Jakarta:
Robbani Press, 1997 hal 251
11 Muhammad Said Romadlon al Buthi, Dhowabit al Mashlahah
fi al Syariah al Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, 1992 halaman 71.
12 Ibid. hal. 110.
13 Ibid, baca juga: Taufik Abdullah (ketua editor), op.cit,
hal 292-294.
14 Al Qur'an, surat Al Baqarah ayat 179.
15 Peunoh Dali, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum
Islam, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal 153
16 Muhammad Khalid Mas'ud, Op.cit. hal. 238.
17 Muhammad Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal. 112.
18 Al qur'an: Al Qashash 77.
19 Muhammad Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal. 112.
20 Ibid, hal 108.
21 Taufik Abdullah (ketua editor), op cit. hal 294.
Penulis:
Abu Naqie Usamah
Abu Naqie Usamah
No comments:
Post a Comment