Dunia Adalah Cerminan Akhirat
Dalam Logika Dalam Filsafat Islam
LOGIKA DALAM FILSAFAT ISLAM
Benarkah orang yang ceria selalu murah memuji di dunia pertanda
masuk surga
Benarkah orang yang murung, kurang berterimakasih pasti masuk
neraka?
Di LPMP Riau
di Pekanabaru, kami para WI berdiskusi tentang Dunia Cerminan Akhirat. Kemunia
saat ini, penulis meninjaunya dari segi logika Hukum Islam. Adapun tujuan penulisan hasil diskusi ini adalah untuk
memenuhi keinginan akami memperdalam ”LOGIKA/PENALARAN HUKUM” yang pada
kesempatan ini saya memilih judul”LOGIKA DALAM FILSAFAT ISLAM”. Dalam penyelesaian makalah ini
banyak mengalami kesulitan terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan
yang menunjang. Namun ,berkat bacaan yang berkaitan dan teknologi akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan cukup baik.
Semooga makalah ini dapat diterima dengan baik dan dapat memberikan wawasan
yang luas bagi pembaca. Apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak
kekurangan, saya selaku penyusun mohon saran dan kritiknya.
Renungan
Ilmu Logika tentang dunia cerminan akhirat, dalam Islam lebih dikenal dengan
istilah Logika Ilmu Mantiq adalah
ilmu yang mempelajari tentang metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk
membedakan penalaran yang betul dari yang salah. Istilah 'logika' dipergunakan
pertama kali oleh Zeno dari Citium. Kaum Sofis, Socrates, dan Plato
dicatat sebagai perintis lahirnya Logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa
Aristoteles, Theoprostus dan kaum Tsoa.
Dalam ranah Islam Logika mulai
diminati sejak abad II Hijriyah. Pada saat itu umat islam mulai melakukan
penerjemahan kitab-kitab Yunani secara besar-besaran kedalam Bahasa Arab.
Termasuk diantaranya adalah kitab-kitab buah karya filosof besar seperti
Socrates, Plato, Aristoteles dan lain lain.
Berkaitan dengan ranah islam logika yang sangat luas tersebut ,pada tugas
makalah ini saya akan membahas dengan lebih jelas lagi.
Rumusan Masalah
Bila dilihat dari judul makalah,
maka akan terdapat beberapa permasalahan dalam materi “LOGIKA DALAM FILSAFAT
ISLAM” yaitu :
1. Murah senyum dan memuji seperti
apa yang merupakan gambaran surga , seperti murahnya senyum para PSK dan pria
hidung belang ?
2. Muram dan tidak berterimakasih
seperti apa yang merupakan gambaran penhuni neraka, apaakah termasuk muramnya
karena melihat orang berselingkuh?
3. Adakah yang terjadi sebaliknya,
muram di dunia, tersenyum di akhiat, royal pemurah di dunia, bankrut di akhirat?
Dalam logika ini yang dicari sebenarnya
adalah kebenaran. Kebenaran sendiri pada dasarnya adalah persesuaian antara
pikiran dan kenyataan. Kita akan mengatakan bahwa proposisi ini benar bila
antara kenyataan dan pikiran terjadi persesuaian.
Pengertian Logika Dunia Cerminan
Akhirat
Memang istilah “Logika” berasal dari kata Yunani kuno (logos) yang
berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan
dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat. Sebagai ilmu, logika disebut dengan
logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang
mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu di
sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu
pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata
logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Pengertian Filsafat Dunia Cerminan Akhirat
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia
secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami
dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari
proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi
falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
ASAS PEMIKIRAN TENTANG LOGIKA
TERTAWA DI DUNIA, MENANGIS DI
AKHIRAT
MISKIN DI DUNIA, KAYA DI AKHIRAT.BENARKAH
DEMIKIAN?
Dalam logika yang dicari sebenarnya adalah kebenaran. Kebenaran sendiri pada
dasarnya adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan. Kita akan mengatakan
bahwa proposisi ini benar bila antara kenyataan dan pikiran terjadi
persesuaian. Misalkan, di Desa Tegalsari berdasarkan data kependudukan ternyata
seluruh penduduknya adalah muslim, Dausat Al Baihaqi adalah penduduk desa tersebut. Maka,
Dausat Al Baihaqi adalah muslim. Berbeda dengan pernyataan Ali adalah orang
tunawicara yang pandai berdebad. Dari pernyataan kedua tersebut nanpak jelas
suatu keganjilan, manamungkin ada seorang yang tunawicara mampu berdebat
sedangkan untuk berbicara saja dia tidak bisa. Berbeda dengan pernyataan pertama yang
memberikan kesimpulan bahwa Dausat Al Baihaqi adalah muslim, kesimpulan ini
didasarkan pada validitas data kependudukan yang ada.
Disinilah pentingnya logika dalam kehidupan sehari-hari, dia mencari sebuah
kebenaran umum yang dapat diterima oleh akal sehat berdasarkan data-data yang
valid﴾ilmu apriori﴿, dia tidak mendasarkan pikirannya pada hal yang bersifat
empiris ﴾ilmu a posteriori﴿.
Dalam aktivitas berfikir untuk memperolth suatu kebenaran, kita tidak boleh
melalaikan patokan pokok yang oleh logika disebut dengan Asas Berfikir.
Asas–asas tersebut adalah sebagai berikut:
1. Asas Identitas ﴾principium
identitatis﴿
2. Asas Kontradiksi ﴾principium
contradictoris﴿
3. Asas Penolakan Kemungkinan Ketiga
﴾principium exclusi tertii﴿
Urgensi Mantiq Dalam
Filsafat Islam
Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan
dalam berpikir.
Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan
selamat dari cara berpikir salah. Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak
akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi
oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak
dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar
seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.
Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa
yang dimaksud dengan "berpikir".
Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau
belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam
benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lum (diketahui).
Faktor-Faktor Kesalahan Berpikir yaitu :
1.
Hal-hal yang dijadikan dasar
(premis) tidak benar.
2.
Susunan atau form yang
menyusun premis tidak sesuai dengan kaidah mantiq yang benar.
Argumentasi (proses berpikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah
bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari bahan-bahan
dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang benar. Apabila
salah satu dari dua unsur itu tidak terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak
akan terbentuk dengan baik dan sempurna.
Sebagai misal, Socrates adalah manusia, dan setiap manusia bertindak
zalim, maka Socrates bertindak zalim". Argumentasi semacam ini benar dari
segi susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis yang
berbunyi "Setiap manusia bertindak zalim", maka konklusinya tidak
tepat. Atau misal, Socrates adalah manusia, dan Socrates adalah seorang
ilmuwan", maka manusia adalah ilmuwan". Dua premis ini benar
tetapi susunan atau formnya tidak benar, maka konklusinya tidak benar. (Dalam
pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan susunan argumentasi yang benar)
Ilmu dan Idrak
Dua kata di atas, Ilmu dan Idrak, mempunyai makna yang sama (sinonim). Dalam
ilmu mantiq, kedua kata ini menjadi bahasan yang paling penting karena membahas
aspek terpenting dalam pikiran manusia, yakni ilmu. Oleh karena itu, makna ilmu
sendiri perlu diperjelas. Para ahli mantiq (mantiqiyyin) mendefinisikan ilmu
sebagai berikut:
Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu
yang ada dalam benak (akal).
Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu
ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan
sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam
dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut "ilmu".
Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada
gambaran itu. Kondisi ini disebut "jahil".Pada kondisi ilmu, benak
atau akal kita terkadang hanya menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan,
dalam misal). Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga
memberikan penilaian atau hukum (judgement). (Misalnya, bangunan itu
indah dan megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua
disebut tashdiq.
Jadi tashawwur hanya gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq
adalah penilaian atau penetapan dengan dua ketetapan: "ya" atau
"tidak/bukan". Misalnya, "air itu dingin", atau "air
itu tidak dingin"; "manusia itu berakal", atau "manusia itu
bukan binatang" dan lain sebagainya. Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua;
tashawwuri dan tashdiqi.
Dharuri dan Nadzari
Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri dan nadzari. Dharuri
adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi (aksiomatis). Nadzari
adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran.
Lebih jelasnya, dharuri (sering juga
disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa
diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi
Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah
proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal
yang kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang
dharuri. Sedangkan nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau
melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran
yang ada dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu
bulat adalah hal yang nadzari.
Kulli dan Juz'i. “Tidak semua yang
royal memuji, ceria di dunia akan ceria juga di akhirat kelak. Bahkan ada
ungkapan para ulama:
TERTAWALAH
KAMU DI DUNIA TERBAHAK-BAHAK
NISCAYA
KAMU AAKAN MENANGIS, TERISAK-ISAK.
Pembahasan tentang kulli (general) dan juz'i (parsial) secara esensial sangat
erat kaitannya dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan dengan
tashdiq.
Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku)
pada beberapa benda di luar.
Misalnya: gambaran tentang manusia
dapat diterapkan (berlaku) pada banyak orang; Budi, Novel, Yani dan lainnya.
Juz'i adalah tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu
benda saja.
Misalnya: gambaran tentang Budi
hanya untuk seorang yang bernama Budi saja.
Manusia dalam berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan
tashawwur-thasawwur yang juz'i. Misalnya: Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya
sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun, yang
dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan adalah tashawwur-thasawwur
kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4; Orang yang beriman adalah
orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap akibat pasti mempunyai
sebab dan lain sebagainya.
Dalam ilmu mantiq kita akan sering menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang
universal), dan jarang bersangkutan dengan juz'i.
Nisab Arba'ah
Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap yang
kulli mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli ).
Kemudian antara tashawwur kulli yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan
(relasi). Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan itu sebagai "Nisab
Arba'ah". Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori relasi:
1) Tabayun (diferensi)
2) Tasawi (ekuivalensi)
3) Umum wa khusus Mutlaq (implikasi)
4) Umum wa Khusus Minwajhin (asosiasi).
1) TABAYUN
Tabayun adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya tidak bisa
diterapkan pada seluruh afrad tashawwur kulli yang lain. Dengan kata lain,
afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan bersatu dengan afrad kulli yang
lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur batu. Kedua tashawwur ini
sangatlah berbeda dan afradnya tidak mungkin sama. Setiap manusia pasti bukan
batu dan setiap batu pasti bukan manusia.
2) TASAWI
Tasawi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa diterapkan pada seluruh
afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwurt berpikir.
Artinya setiap manusia dapat berpikir dan setiap yang berpikir adalah manusia.
3) UMUM WA KHUSUS MUTLAK
Umum wa khusus mutlak adalah dua tashawwur kulli yang satu dapat diterapkan
pada seluruh afrad kulli yang lain dan tidak sebaliknya. Misal: tashawwur hewan
dan tashawwur manusia. Setiap manusia adalah hewan dan tidak setiap hewan
adalah manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan lebih luas sehingga
mencakup semua afrad tashawwur manusia.
UMUM WA KHUSUS MIN WAJHIN
Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari
keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad kulli yang lain dan sebagian lagi
tidak bisa diterapkan. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur putih. Kedua
tashawwur kulli ini bersatu pada seorang manusia yang putih, tetapi terkadang
keduanya berpisah seperti pada orang yang hitam dan pada kapur tulis yang
putih.
HUDUD DAN TA`RIFAT
Seluk beluk perilaku di dunia, sebagai gambaran akhirat, masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah, kita
selalu ingin dan mencari tahu tentang hal-hal yang masih majhul. Pertemuan lalu telah dibahas bahwa
manusia memiliki ilmu dan pengetahuan (ma'lum), baik tashawwuri ataupun
tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi
menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal
majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma'lûm tashaswwuri. (Lihat definisi
berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan "had" atau
"ta'rif".
Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan
keterangan yang didahului pertanyaan "Apa?".
Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara
bertanya "apa itu?". Artinya, kita bertanya tentang esensi dan
hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang diberikan adalah had
(definisi) dari sesuatu itu. Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu
materi yang akan dibahas penting sekali sebelum membahas lebih lanjut
masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Perdebatan tentang sesuatu materi
akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum jelas dan disepakati. Ilmu mantiq
bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar.
Macam-Macam Definisi cerminan
akhirat.
Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada lima kulli yang
digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut "kulliyat
khamsah"). Lima kulli itu adalah:
1. Nau'
(spesies)
2. Jins (genius)
3.
Fashl (diferentia)
4. 'Aradh 'Aam (common accidens)
5. 'Aradh Khas
(proper accidens).
pembahasan tentang kulliyat khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq.
pembahasan tentang kulliyat khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq.
1)
Had Tam, adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk
menjelaskan bagian-bagian dari esensi yang majhul. Misal: Apakah manusia itu?
Jawabannya adalah "Hewan yang berpikir (natiq)". "Hewan"
adalah jins manusia, dan "berpikir" adalah fashl manusia. Keduanya
merupakan bagian dari esensi manusia.
2)
Had Naqish, adalah definisi yang menggunakan jins saja. Misal:
"Manusia adalah hewan". Hewan adalah salah satu dari esensi manusia.
3)
Rasam Tam, adalah definisi yang mengunakan 'ardh khas. Misal:
"Manusia adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat tertawa".
"Maujud yang berjalan", "tegak lurus" dan
"tertawa" bukan bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang
eksiden.
4)
Rasam Naqish, adalah definisi yang menggunakan 'ardh 'âm,
misalnya, "Manusia adalah wujud yang berjalan".
Qadhiyyah (Proposisi)
Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian dan penghukuman
atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah; manusia itu
bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua
hal: maudhu' dan mahmul ("gunung" sebagai maudhu' dan
"indah" sebagai mahmul). Gabungan dari dua sesuatu itu disebut
qadhiyyah (proposisi).
Macam-macam Qadhiyyah.
Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur:
1.
mawdhu'
2.
mahmul
3.
rabithah (hubungan antara mawdhu'
dan mahmul).
Berdasarkan masing-masing
unsur itu, qadhiyyah dibagi menjadi beberapa bagian.
Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (proposisi
kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).
Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu', mahmul dan
rabithah. Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai
atau menetapkan atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut
mawdhu' dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara
keduanya adalah rabithah. Misalnya: "gunung itu indah".
"Gunung" adalah mawdhu', "indah" adalah mahmul dan
"itu" adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik)
Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu'. Misalnya, "gunung itu tidak
indah". Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan
yang kedua disebut qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif). Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari
dua qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti,
"jika" dan "setiap kali".
Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka
bumi akan hancur.
"Tuhan
itu banyak" adalah qadhiyyah hamliyah; demikian pula "bumi
akan hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian keduanya dihubungkan dengan
kata "jika". Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh, Tuhan itu banyak)
disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi akan hancur)
disebut tali.
Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah
syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh di atas
disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa adanya "keseiringan" dan
"kebersamaan" antara dua qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang
menunjukkan adanya perbedaan dan keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut
munfasilah, seperti, Bila angka itu genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka
genap dan angka ganjil tidak mungkin kumpul.
QADHIYYAH MAHSHURAH DAN MUHMALAH
Pembagian qadhiyyah berdasarkan
mawdhu'-nya dibagi menjadi dua: mahshurah dan muhmalah. Mahshurah adalah
qadhiyyah yang afrad (realita) mawdhu'-nya ditentukan jumlahnya (kuantitasnya)
dengan menggunakan kata "semua" dan "setiap" atau
"sebagian" dan "tidak semua". Contohnya, semua manusia akan
mati atau sebagian manusia pintar. Sedangkan dalam muhmalah jumlah afrad
mawdhu'-nya tidak ditentukan. Contohnya, manusia akan mati, atau manusia itu
pintar. Dalam
ilmu mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang
dipakai adalah qadhiyyah mahshurah.
Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi determinatif general) dan
terkadang juz'iyyah (proposisi determinatif partikular) dan qadhiyyah sendiri
ada yang mujabah (afirmatif) dan ada yang salibah (negatif) . Maka qadhiyyah
mahshurah mempunyai empat macam:
1.Mujabah kulliyyah: Setiap manusia
adalah hewan
2.Salibah kulliyyah: Tidak satupun
manusia yang berupa batu.
3.Mujabah juz'iyyah: Sebagian
manusia pintar
4.Salibah juz'iyyah: Sebagian
manusia bukan laki-laki.
Sebenarnya masih banyak lagi pembagian qadhiyyah baik berdasarkan mahmul-nya
(qadhiyyah muhassalah dan mu'addlah), atau jihat qadhiyyah (dharuriyyah, daimah
dan mumkinah) dan qadhiyyah syarthiyyah muttasilah (haqiqiyyah, maani'atul
jama' dan maani'atul khulw). Namun qadhiyyah yang paling banyak dibahas dalam
ilmu filsafat, mantiq dan lainnya adalah qadhiyyah mahshurah.
Hukum-Hukum Qadhiyyah
Setelah kita ketahui definisi dan pembagian qadhiyyah, maka pembahasan
berikutnya adalah hubungan antara masing-masing dari empat qadhiyyah mahshurah.
Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat macam
hubungan antara empat tashawwuri kulli:
1. tabayun
2. tasawi
3. umum wa khusus mutlak
4. umum wa khusus min wajhin.
Demikian
pula terdapat empat macam hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah
mahshurah:
1. tanaqudh,
2. tadhadd
3. dukhul tahta tadhadd
4. tadakhul.
4.
1)
Tanaqudh (mutanaqidhain [kontradiktif]) adalah dua qadhiyyah yang
mawdhu' dan mahmul-nya sama, tetapi kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif)
berbeda, yakni yang satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz'iyyah salibah.
Misalnya, "Semua manusia hewan" (kulliyyah mujabah) dengan
"Sebagian manusia bukan hewan" (juz'iyyah salibah).
2)
Tadhad (kontrariatif) adalah dua qadhiyah yang sama kuantitasnya
(keduanya kulliyyah), tetapi yang satu mujabah dan yang lain salibah. Misalnya,
"Semua manusia dapat berpikir" (kulliyyah mujabah) dengan "Tidak
satupun dari manusia dapat berpikir" (kulliyyah salibah).
3) Dukhul
tahta tadhad (dakhilatain tahta tadhad
[interferensif sub-kontrariatif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kuantitasnya
(keduanya juz'iyyah), tetapi yang satu mujabah dan lain salibah. Misalnya:
"Sebagian manusia pintar" (juz'iyyah mujabah) dengan "Sebagian
manusia tidak pintar" (juz'iyyah salibah).
4) Tadakhul (mutadakhilatain [interferensif]) adalah dua qadhiyyah yang
sama kualitasnya tetapi kuantitasnya berbeda. Misalnya: "Semua manusia
akan mati" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia akan
mati" (juz'iyyah mujabah) atau "Tidak satupun dari manusia akan
kekal" (kulliyyah salibah) dengan "Sebagian manusia tidak kekal"
(juz'iyyah salibah). Dua qadhiyyah ini disebut pula Hukum dua qadhiyyah
mutanaqidhain (kontradiktif) jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka
yang lainnya pasti salah.
Demikian pula jika yang satu salah, maka yang lainnya benar. Artinya tidak
mungkin (mustahil) keduanya benar atau keduanya salah. Dua qadhiyyah biasa
dikenal dengan ijtima' al naqidhain mustahil (kombinasi kontradiktif). Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain
(kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lain
pasti salah. Tetapi, jika salah satu salah, maka yang lain belum tentu benar.
Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin salah.
Hukum dua qadhiyyah dakhlatain tahta tadhad (interferensif sub-kontrariatif),
jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain pasti benar.
Tetapi, jika yang satu benar, maka yang lain belum tentu salah. Dengan kata
lain, kedua qadhiyyah itu tidak mungkin salah, tetapi mungkin saja keduanya
benar.
Hukum dua qadhiyyah mutadakhilatain (interferentif), berbeda dengan masalah
tashawwuri. (Lihat pembahasan tentang nisab arba'ah, pen); bahwa tashawwur
kulli (misalnya, manusia) lebih umum dari tashawwur juz'i (misalnya, Ali).
Di sini, qadhiyyah kulliyyah lebih khusus dari qadhiyyah juz'iyyah. Artinya,
jika qadhiyyah kulliyyah benar, maka qadhiyyah juz'iyyah pasti benar. Tetapi,
jika qadhiyyah juz'iyyah benar, maka qadhiyyah kulliyyah belum tentu benar.
Misalnya, jika "setiap A adalah B" (qadhiyyah kulliyyah), maka pasti
"sebagian A pasti B". Tetapi jika "sebagian A adalah B",
maka belum pasti "setiap A adalah B".
Tanaqudh
Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan
filsafat adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan
filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu' dan mahmul dua qadhiyyah
mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah
tersebut. Kesamaan itu terletak pada:
1.Kesamaan tempat (makan)
2.Kesamaan waktu (zaman)
3.Kesamaan kondisi (syart)
4.Kesamaan korelasi (idhafah)
5.Kesamaan pada sebagian atau
keseluruhan (juz dan kull )
6.Kesamaan dalam potensi dan aktual
(bil quwwah dan bil fi'li).
QIYAS ( SILOGISME )
Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari masalah qiyas,
sebagaimana pembahasan tentang tashawwur sebagai pendahuluan dari hudud atau
ta'rifat. Dan sebenarnya inti pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.
Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar,
maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain
(baru).Sebelum kita lebih lnjut membahas tentang qiyas, ada baiknya kita secara
sekilas beberapa macam hujjah (argumentasi ). Manusia disaat ingin mengetahui
hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:
1.Pengetahuan dari juz'i ke juz'i
yang lain. Argumenatsi ini sifatnya
horisontal, dari sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya.
Argumentasi ini disebut tamtsil (analogi).
2.Pengetahuan dari juz'i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum (menggeneralisasi
yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra'
(induksi).
3.Pengetahuan dari kulli ke juz'i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus. Argumentasi
ini disebut qiyas (silogisme).
Macam-macam Qiyas
Qiyas dibagi menjadi dua yaitu iqtirani (silogisme kategoris) dan istitsna'i
(silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah
atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak
akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan hasil (konklusi)
diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah yang namanya
qiyas.
1. Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu' dan mahmul natijahnya berada secara
terpisah pada dua muqaddimah. Contoh: "Kunci itu besi" dan
"setiap besi akan memuai jika dipanaskan", maka "kunci itu akan
memuai jika dipanaskan". Qiyas ini terdiri dari tiga qadhiyyah yaitu Kunci
itu besi, setiap besi akan memuai jika dipanaskan, kunci itu akan memuai jika
dipanaskan.
Qadhiyyah pertama disebut muqaddimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua
disebut muqaddimah kubra (premis mayor) dan yang ketiga adalah natijah
(konklusi).
Natijah merupakan gabungan dari mawdhu' dan mahmul yang sudah tercantum pada
dua muqaddimah, yakni, "kunci" (mawdhu') dan "akan memuai jika
dipanaskan" (mahmul). Sedangkan "besi" sebagai had awshat.
Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu' muqadimah shugra
dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath
harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum
dalam natijah. (Lihat contoh, pen).
Empat Bentuk Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada
muqaddimah shugra dan kubra mempunyai empat bentuk :
1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul pada
muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra. Misalnya,
"Setiap Nabi itu makshum", dan "setiap orang makshum adalah
teladan yang baik", maka "setiap nabi adalah teladan yang baik".
"Makshum" adalah had awsath, yang menjadi mahmul pada muqaddimah
shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra.
Syarat-syarat syakl awwal yaitu :
Syakl awwal akan menghasilkan
natijah yang badihi (jelas dan pasti) jika memenuhi dua syarat berikut ini:
a.Muqaddimah shugra harus mujabah.
b.Muqaddimah kubra harus kulliyah.
2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul pada kedua
muqaddimah-nya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "tidak
satupun pendosa itu makshum", maka "tidak satupun dari nabi itu
pendosa".
Syarat-syarat syakl kedua yaitu :
a.Kedua muqaddimah harus berbeda
dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan salibah).
b.Muqaddimah kubra harus kulliyyah.
3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu' pada kedua
muqaddimahnya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "sebagian
nabi adalah imam", maka "sebagian orang makshum adalah imam".
Syarat-syarat Syakl ketiga.
a.Muqaddimah sughra harus mujabah.
b.Salah satu dari kedua muqaddimah
harus kulliyyah.
4. Syakal Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya
menjadi mawdhu' pada muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada
muqaddimah kubra (kebalikan dari syakl awwal.)
Syarat-syarat Syakl keempat.
a.Kedua muqaddimahnya harus mujabah.
b.Muqaddimah shugra harus kulliyyah.
Atau
c.Kedua muqaddimahnya harus berbeda
kualitasnya (kaif)
d.Salah satu dari keduanya harus
kulliyyah.
Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang badihi (jelas sekali)
adalah yang pertama sedangkan yang kedua dan ketiga membutuhkan pemikiran.
Adapun yang keempat sangat sulit diterima oleh pikiran. Oleh karena itu
Aristoteles sebagai penyusun mantiq yang pertama tidak mencantumkan bentuk yang
keempat.
2. Qiyas Istitsna'i
Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah
dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka
dia mempunyai mukjizat. Oleh karena dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan
Allah". Penjelasannya: "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia
mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari
muqaddam dan tali (lihat definisi qadhiyyah syarthiyyah), dan "Dia
mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan "maka dia
mempunyai mukjizat" adalah natijah. Dinamakan istitsna'i karena terdapat
kata " tetapi", atau "oleh karena".
Macam-Macam Qiyas istitsna'i (silogisme) Ada empat macam qiyas
istitsna'i: Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, "Jika Muhammad
utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat
berarti Dia utusan Allah". Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya,
"Jika Tuhan itu tidak satu, maka bumi ini akan hancur. Tetapi bumi tidak
hancur, berarti Tuhan satu (tidak tidak satu)". Tali negatif dan muqaddam
negatif. Misalnya, "Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai
mukjizat. Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan
nabi)". Tali negatif dan muqaddam positif. Misalnya, "Jika Fir'aun
itu Tuhan, maka dia tidak akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan
Tuhan".
Simpulan
Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan
mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam
tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan
masuk akal. Ilmu
Logika atau yang dalam islam lebih dikenal dengan istilah Ilmu Mantiq adalah
ilmu yang mempelajari tentang metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk
membedakan penalaran yang betul dari yang salah. Istilah 'logika' dipergunakan
pertama kali oleh Zeno dari Citium. Kaum Sofis, Socrates, dan Plato dicatat
sebagai perintis lahirnya Logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa
Aristoteles, Theoprostus dan kaum Tsoa.
Dalam ranah Islam Logika mulai diminati sejak abad II Hijriyah. Pada saat itu
umat islam mulai melakukan penerjemahan kitab-kitab Yunani secara besar-besaran
kedalam Bahasa Arab. Termasuk diantaranya adalah kitab-kitab buah karya filosof
besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan lain lain.
DAFTAR
ISI
· Al-kaff, Husein, Ust., Pengantar Menuju Filsafat Islam.
Yayasan Pendidikan Islam, 25 Oktober 1999.
· Tiam, Sunarji Dahri., Langkah-langkah Berfikir Logis. Jakarta:
CV.Bumi Jaya, 2011
· Gie, the Ling., Kamus Logika(dictionary of logic), Yogjakarta:
Nur Cahaya, 1975
· Mundiri, Logika, Semarang: Rajawali Press, 2000
· Rapar, Jan Hendrik, pengantar logika. Yogjakarta,
Konisius, 1996
· Id.wikipedia.org
No comments:
Post a Comment