TINJAUAN
TEORETIS TENTANG HUKUMAN FISIK
MENURUT HUKUM ISLAM
A.Sumber Hukum Islam
Pembahasan
tentang sumber hukum Islam, termasuk
pembahasan masalah paling pokok (ushul) karena dari sumber-sumber
itulah terpancar seluruh hukum/syariat Islam. Oleh karenanya untuk menetapkan
sumber syariat Islam harus berdasarkan ketetapan yang qath’i (pasti)
kebenarannya, bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni).[1] Allah SWT berfirman:
Ayat
ini menerangkan bahwa
“Kebanyakan mereka persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak
sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.”Masalah
ini termasuk masalah pokok (ushul), sebab menjadi dasar bagi seorang
Muslim untuk menarik keyakinan terhadap
hukum-hukum amaliahnya. Apabila landasan suatu hukum sudah salah, maka
seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya menjadi salah pula. Oleh sebab itu
menetapkan sumber syariat Islam tidak dapat dilakukan berdasarkan persangkaan
ataupun dengan dugaan belaka. Berdasarkan pengertian di atas maka yang memenuhi
syarat untuk digunakan sebagai sumber pengambilan dalil-dalil syar’i
adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Shahabat dan Qiyas (yang mempunyai persamaan illat
syar’i).
Hal
yang paling mendasar pada syari’at Islam adalah:
1.Al-Qur’an sebagai sumber hukum
Al-Qur’an
adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kepada
Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar dijadikan
hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan agar
dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia, di samping
merupakan amal ibadah bagi yang membacanya. Al-Qur’an diriwayatkan dengan cara tawatur
(mutawatir) yang artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak
semenjak dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya secara berjamaah. Apa yang diriwayatkan
oleh orang perorang tidak dapat dikatakan sebagai Al-Qur’an. Orang-orang yang
memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah berkali-kali mencoba menggugat
nilai keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan pembuktian ilmiah telah
menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan. Al-Qur’an adalah kalamullah,
bukan ciptaan manusia, bukan karangan Muhammad saw ataupun saduran dari
kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an tetap menjadi mu’jizat sekaligus
sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam sepanjang masa dan sebagai
sumber segala sumber hukum bagi setiap bentuk kehidupan manusia di dunia.
2.Kehujjahan Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia, serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun. Allah SWT berfirman:
Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan manusia
apabila berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an ini. Pasti mereka
tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka
menjadi pembantu bagi sekalian yang lain.
[3]
“(Dan) apabila kamu tetap dalam keraguan tentang
Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu
surat (saja) yang semisal Al-Qur’an, dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah, jika kamu orang-orang benar.”
[4]
Cukup kiranya pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang Quraisy di masa Rasulullah SAW, seorang ahli syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh Nabi pada awalnya berkata: “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an itu terdapat sesuatu yang lezat, dan pula keindahannya, apabila di bawah menyuburkan dan apabila di atas menghasilkan buah. Dan manusia tidak akan mungkin mampu berucap seperti Al-Qur’an.” Selain dari bahasanya, isi Al-Qur’an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman (QS. Al-Fath), juga tentang akan menangnya pasukan Romawi atas Parsi (QS. Ar-Ruum) dan sebagainya. Selain isi Al-Qur’an menunjukkan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan fakta, atau kisah tentang sebagian Iptek, misalnya penyerbukan oleh lebah, terkawinkannya bunga-bunga oleh bantuan angin dan sebagainya. Yang pada akhirnya terbukti kebenarannya. Semua itu menunjukkan bahwa Al-Qur’an memang bukan datang dari manusia melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan kehidupan dan hukum manusia. (Lihat juga pembuktian kesahihan Al-Qur’an pada materi “Proses Keimanan”)
3.Ayat al- muhkamat dan al- mutasyabihat
Dalam Al-Qur’an
terdapat ayat-ayat yang dalam kategori muhkamat
dan mutasyabihat sebagaimana firman Allah SWT:
Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada
kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi
Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian
ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal. [5]
Ayat Muhkamat adalah ayat-ayat yang
maksudnya dapat diketahui secara nyata dan tidak dapat ditafsirkan lagi.
Sedangkan ayat Mutasyabihat adalah ayat yang mempunyai arti terselubung
(tersembunyi) yang dapat ditafsirkan karena mengandung beberapa pengertian.
Keberadaan dan sifat Allah, terdapatnya surga dan neraka, kejadian hari kiamat,
diutusnya para rasul dan nabi, para malaikat dan tugas-tugasnya, kesemuanya
dijelaskan melalui ayat-ayat yang muhkamat. Termasuk dalam ayat-ayat muhkamat
adalah haramnya riba dan zina dalam segala bentuknya, wajibnya hukum potong
tangan bagi pencuri (dengan syarat tertentu), wajibnya terikat dengan
hukum-hukum Allah dan sebagainya.
Sedangkan ayat-ayat yang Mutasyabihat banyak terdapat pada ayat yang berbicara tentang mu’amalah seperti QS. Al Baqarah 228 (lafadz quru’ mempunyai dua arti, yaitu arti haid dan suci), dan QS. Al Baqarah 237 (lafadz yang memegang ikatan nikah ada dua pengertian, bisa suami atau wali dari pihak istri).
4.Tafsir Al-Qur’an
Sedangkan ayat-ayat yang Mutasyabihat banyak terdapat pada ayat yang berbicara tentang mu’amalah seperti QS. Al Baqarah 228 (lafadz quru’ mempunyai dua arti, yaitu arti haid dan suci), dan QS. Al Baqarah 237 (lafadz yang memegang ikatan nikah ada dua pengertian, bisa suami atau wali dari pihak istri).
4.Tafsir Al-Qur’an
Tafsir
adalah menerangkan maksud pada lafadz. Misalnya firman Allah SWT ‘laa
raiba fiihi’ (tidak ada keraguan di dalamnya) dijelaskan dengan lafadz
lain “laa syakka fiihi” (tidak ada kebimbangan di dalamnya). Tafsir
Al-Qur’an merupakan penjelasan makna kata demi kata dalam susunan kalimatnya
serta makna susunan kalimat sebagaimana adanya. Terkadang suatu ayat dijelaskan
oleh ayat lainnya (tafsir ayat bil ayat) atau oleh hadits
Rasulullah saw tentang suatu ayat (tafsir bis Sunnah), atau penjelasan
para shahabat dan ahli ilmu terhadap suatu ayat.
Penjelasan kata-kata dan susunannya itu terbatas hanya dalam bahasa Arab, sama sekali tidak boleh ditafsirkan dalam bahasa lain. Selain menurut kenyataannya Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab yang paling baik dan murni, tidak ada jalan lain dalam memahami Al-Qur’an melalui bahasa yang lain.
Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’an itu sendiri yaitu bahasa Arab. Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT, maka tidak ada alternatif lain bagi kita melainkan berusaha semakimal mungkin memahami Al-Qur’an, menghayati dan mengkaji isinya sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri.
“(Dan) Demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qur’an
itu sebagai peraturan yang benar, dalam bahasa Arab...”
[6] Kelemahan umat dalam mengkaji
dan menghayati isi kandungan Al-Qur’an menyebabkan ketidakakraban dengan
Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa umat sedang berada di luar ketentuan Allah
SWT.
Penelitian ini, melakukan kajian terhadap sebahagian, isi kandungan Al-Qur’an menuntut persyaratan-persyaratan tertentu. Di samping menuntut keikhlasan dan kesucian niat juga membutuhkan penguasaan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemahaman Al-Qur’an. Apabila persyaratan itu tidak terpenuhi, dapat menimbulkan pemahaman yang keliru dan merugikan. Walaupun begitu, terpenuhinya persyaratan ini pun tidaklah mutlak menjamin kebenaran hasil suatu kajian, namun begitu haruslah berusaha semaksimal mungkin, untuk mendekati kebenaran yang dimaksud Al-Qur’an.
Penelitian ini, melakukan kajian terhadap sebahagian, isi kandungan Al-Qur’an menuntut persyaratan-persyaratan tertentu. Di samping menuntut keikhlasan dan kesucian niat juga membutuhkan penguasaan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemahaman Al-Qur’an. Apabila persyaratan itu tidak terpenuhi, dapat menimbulkan pemahaman yang keliru dan merugikan. Walaupun begitu, terpenuhinya persyaratan ini pun tidaklah mutlak menjamin kebenaran hasil suatu kajian, namun begitu haruslah berusaha semaksimal mungkin, untuk mendekati kebenaran yang dimaksud Al-Qur’an.
Kajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya merupakan ‘jembatan’ untuk memahami dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang dilakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’an hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan.
5.Mengenal al-Sunnah
Sunnah
adalah suatu perkataan, atau ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan/persetujuan/diamnya)
Rasulullah SAW.,terhadap
sesuatu perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya. Sunnah merupakan sumber
syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan Al-Qur’an karena sebenarnya
Sunnah juga berasal dari wahyu. Firman Allah SWT:
“Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapan itu hanyalah firman yang diwahyukan (kepadanya).” [7]
Makna ayat di atas ialah, apa yang disampaikan Rasulullah saw (Al-Qur’an dan As-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah SWT:
Ayat
ini bermakna bahwa Rasulullah saw tidak melakukan suatu tindakan kecuali
berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan agar manusia mengikuti apa yang
disampaikannya. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa selain dari Al-Qur’an,
Rasulullah saw juga menerima wahyu yang lain, yaitu Al Hikmah yang
pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun
ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna As-Sunnah dapat
ditemukan dalam QS. Ali Imran: 164, QS. Al-Jumu’ah: 3, dan QS. Al-Ahzab: 34.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami dan diyakini bahwa kehujjahan As-Sunnah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti (qath’i) kebenarannya; sebagaimana Al-Qur’an itu sendiri.
6.Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an
Adapun mengenai fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Menguraikan kemujmalan (keumuman) Al-Qur’an.
Mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah/ penunjukannya) yaitu dalil yang belum jelas maksud dan perinciannya. Misalnya perintah shalat, membayar zakat dan menunaikan haji. Al-Qur’an hanya menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci menerangkan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain.
Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama besar dari Andalusia pada masa Abbasiyah menjelaskan: “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat ungkapan yang seandainya tidak ada penjelasan lain, maka kita tidak mungkin melaksanakannya. Dalam hal ini rujukan kita hanya kepada Sunnah Nabi saw. Adapun ijma’ hanya terdapat dalam kasus-kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib kembali kepada Sunnah.”
2. Pengkhususan Keumuman Al-Qur’an.
Umum (‘Aam) ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu makna yang pantas dengan satu ucapan saja. Misalnya ‘Al Muslimun’ (orang-orang Islam), ‘Ar rijaalu’ (orang-orang laki-laki) dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an itu terdapat banyak lafadz yang bermakna umum kemudian Sunnah mengkhususkan
“...Allah mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak
laki-laki adalah dua bagian dari anak perempuan...” [9]
Asbab al-nuzul,[10] ayat ini ialah, pada suatu hari,Umrah binti Hazm, istri Sa’d ibn al-Rabi, menghadap kepada Rasulullah SAW lalu berkata seraya menunjuk kepada dua anak kecil di sisinya, “Wahai Rasulullah, ini adalah dua putri Sa’d ibn Al-Rabi. Ayah mereka gugur di medan perang Uhud sehingga mereka kini yatim. Derita semakin berat karena paman mereka mengambil harta mereka tanpa menyisakan sedikit pun. Tentu saja kedua anak ini tidak akan bisa menikah tanpa harta.” Rasulullah kemudian terbayang sosok dan kewiraan Sa’d ibn Al-Rabi ketika berperang melindungi beliau. Selain itu Rasul juga iba pada kedua anak itu. Namun beliau belum bisa menetapkan keputusan yang akan berkaitan dengan hak waris dari ayah mereka. Akhirnya Rasul bersabda, “Allah akan menurunkan ketetapan mengenainya.”
Tidak
lama berselang, Allah menurunkan ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah yaitu Surat An Nisa ayat
11 bahwa“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu :bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Menurut ayat tersebut di atas,
setiap anak secara umum berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Jadi setiap
anak adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang mengkhususkannya.
Sabda Rasulullah saw: “Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan warisan, apa
yang kami tinggalkan adalah sedekah.” [11] “Seorang pembunuh tidak mendapat warisan.”
[12] Menurut hadits
di atas Nabi tidak meninggalkan warisan bagi anak-anaknya serta melarang
seorang anak yang membunuh ayahnya mendapat warisan dari ayahnya.
3. Taqyid (Pensyaratan) terhadap ayat Al-Qur’an yang Mutlak
Mutlak ialah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya:“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan (keduanya).” [13]
Ketentuan
tambahan (penyempurnaan) yang dilakukan Rasulullah saw. Maka sikap seorang
Muslim terhadap hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak
kepada Allah dan Rasul-Nya supaya Dia memberikan ketentuan hukum diantara
mereka, tidak lain hanya mengatakan: Kami mendengar dan Kami mematuhinya.
Mereka itulah orang-orang yang berbahagia.”
[14]
Penggunaan nash As-Sunnah untuk masalah aqidah haruslah nash yang bersifat qath’i, karena tidak boleh adanya keraguan sedikitpun dalam masalah aqidah/i’tiqadiyah. Sedangkan untuk masalah hukum/Syari’ah masih dapat digunakan nash As-Sunnah yang mencapai derajat dzanni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal ini karena dalam masalah Syari’ah tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah i’tiqadiyah).
Alasan Ijma’ Shahabat dijadikan sumber hukum Islam.[15]Dari segi mungkin tidaknya ‘seluruh orang yang berijma’ berkumpul, saling mengetahui ijma’ dan dapat mengkoreksi bila diketahui kesalahannya, maka hal ini hanya mungkin terjadi pada masa shahabat, tidak pada masa selain mereka. Sebagai contoh, ijma’ ulama. Maka untuk terwujudnya ijma’ ulama, haruslah diperjelas ‘siapa saja ulama’ itu; apakah ulama yang sudah sering digunakan untuk ‘membuat hukum pesanan’ juga termasuk di dalamnya? Akan pasti benarkah ijma’ mereka tersebut?
Benarkah semua ‘ulama’
tadi mengetahui dan menyetujui ijma’ tersebut? Tidak adakah yang
selanjutnya menarik atau membatalkan ijma’nya tadi sampai ia meninggal?
Dan mungkinkah para ulama (seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia) mampu
berkumpul bersama membahas suatu masalah baru? Masih banyak yang tidak bisa
terjawab selain oleh para shahabat, padahal semua hal tadi merupakan syarat
sahnya sebuah ijma’ oleh suatu kelompok. Karena ketidakmungkinan itu
pula yang pada akhirnya muncul istilah ‘jumhur ulama’; artinya kebanyakan ulama
berijtihad dengan hasil serupa ter-hadap
suatu masalah. Jumhur berbeda dengan ijma’.Banyaknya pujian kepada para
Shahabat secara jama’ah, baik tercantum dalam Al-Qur’an maupun hadits
(keduanya dalil yang qath’i kebenarannya). Firman Allah.[16]
Bahwa Nabi
Muhammad SAW, bersikap tegas terhadap orang kafir dan lemah lembut terhadap
sesama kaum muslimin.
QS. At-Taubah:
100
Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar.[17]
bagi orang fakir
yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka
(karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah
dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.[18]
Begitu pula sabda Rasulullah saw:
“Sesungguhnya
aku telah memilih para shahabat-ku atas segenap makhluk, selain para nabi.”
[19] “Para shahabatku itu ibarat bintang pada siapapun
(di antara mereka) kalian turuti, maka akan mendapatkan petunjuk.”
[20]
Petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat menunjukkan suatu kepastian tentang kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jama’ah, bukan secara pribadi-pribadi) sehingga apabila mereka bersepakat atas suatu masalah, maka hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji para Shahabat tersebut bersifat qath’i sehingga kita bisa menentukan bahwa ijma’ shahabat dapat digunakan sebagai dalil syara’.
Sesungguhnya para shahabat merupakan generasi yang mengumpulkan, menghafalkan dan menyampaikan Al-Qur’an beserta Sunnah pada generasi berikutnya. Di samping itu para shahabat merupakan orang-orang yang hidup semasa Rasulullah saw, hidup bersama, mengalami kesulitan dan kesenangan secara bersama-sama. Merekalah yang mengetahui kapan, dimana, dan berkaitan dengan peristiwa apa suatu ayat Al-Qur’an diturunkan. Merekalah yang mengetahui Sunnah Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri kehidupan kaum Muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah masih hidup. Lalu adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan manusia di muka bumi ini selain mereka (para shahabat)? Ijma’ siapa lagi selain ijma’ mereka yang lebih baik dan lebih kuat?
Memang tidak mustahil para shahabat pun melakukan kesalahan, sebab mereka pun tetap manusia yang tidak ma’shum. Akan tetapi secara syar’i mereka mustahil bersepakat atau berijma’ atas suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam ijma’ mereka tentang suatu persoalan maka tentu akan terdapat kesalahan dalam Islam, dalam Al-Qur’an dan Hadits sebab merekalah yang menyampaikan Al-Qur’an dan menuturkan Hadits Rasulullah saw pada generasi berikutnya. Bahkan sebenarnya mereka pulalah yang memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya kesalahan dalam ijma’ shahabat adalah mustahil terjadi secara syar’i.
7. Ijma’ Shahabat
Salah satu ijma’
shahabat terpenting adalah pengumpulan Al-Qur’an menjadi mushaf.
Al-Qur’an dalam bentuk sekarang ini merupakan hasil kesepakatan (ijma’)
para shahabat. Bersamaan dengan ini Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan
sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.”
[21]
Dari kedua ayat tersebut, Allah memastikan bahwa mushaf Al-Qur’an yang ada kini --yang merupakan ijma’ para shahabat-- dijamin kebenarannya. Dengan kata lain melalui tangan-tangan para shahabatlah, Allah menjaga kebenaran Al-Qur’an. Jika ada kemungkinan salah dalam ijma’ shahabat, berarti ada kemungkinan salah dalam Al-Qur’an sekarang. Padahal hal ini adalah mustahil terjadi. Dengan demikian secara syar’i mustahil terjadi kesalahan dalam ijma’ shahabat. Inilah dalil yang pasti bahwa ijma’ shahabat merupakan dalil syar’i. Contoh lain yang mashur tentang ijma’ shahabat adalah keharusan adanya seorang khalifah yang akan memimpin dan mengurus seluruh kebutuhan kaum muslimin, melindungi, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana yang dilakukan para shahabat tatkala Rasulullah saw wafat.
8. Qiyas
Menurut
para ulama ushul, qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada
nashnya dengan suatu kejadian yang sudah ada nash/hukumnya,
karena disebabkan adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat (sebab)
hukumnya,menurut ushul al-fiqhi. [23] Alasan qiyas dijadikan sumber hukum, ialah qiyas
digunakan sebagai sumber dalil syar’i karena dalam qiyas yang menjadi
dasar pengambilan hukum adalah nash-nash syar’i yang memiliki kesamaan illat.
Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar keberadaan hukum adalah illatnya,
maka apabila ada kesamaan illat antara suatu masalah baru dengan masalah
yang sudah ada hukumnya, maka hukum masalah yang baru tersebut menjadi sama.
Maka bila illat yang sama terkandung dalam Al-Qur’an berarti dalil qiyas dalam hal tersebut adalah Al-Qur’an. Demikian pula apabila illat yang sama terkandung dalam Sunnah dan Ijma’ Shahabat maka yang menjadi dalil qiyas adalah kedua hal tersebut. Disamping itu ada beberapa hadits Rasulullah yang mengisyaratkan penggunaan qiyas sebagai dalil syara’. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Seorang wanita kepada Rasulullah dan berkata: ‘Ya Rasulullah, Ibuku telah meninggal, sedang ia belum menunaikan puasa nadzar, apakah aku harus menggantinya?’ Kemudian Rasulullah bersabda:
‘Bagaimana
jika ibumu mempunyai hutang, sedang ia belum membayarnya, apakah kamu akan
membayar hutangnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka bersabda Rasulullah saw: ‘Maka
puasalah untuk (memenuhi) nadzar
ibumu’.”[24] Dan Imam Daruquthny
meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:
“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan
mengatakan bahwa bapaknya meninggal, sedangkan ia berkewajiban menunaikan
ibadah haji. Dia bertanya: ‘Apakah aku harus menghajikan bapakku?’ Maka
Rasulullah berkata: ‘Bagaimana jika bapakmu punya hutang, apakah kamu harus
membayarnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka Rasulullah berkata ‘Berhajilah
untuknya’.” Dalam dua hadits tersebut
Rasulullah mengumpamakan atau mensejajarkan persoalan nadzar, haji, dengan
hutang, yang sama-sama harus dipenuhi.
8.Ruang lingkup pembahasan qiyas
Sebagai
contoh, mengadakan transaksi jual beli tatkala adzan shalat Jum’at merupakan
peristiwa yang telah ditetapkan dalam nash, yaitu haram, berdasarkan
ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual beli.”[25]
Illat pada ayat di atas adalah karena hal tersebut melalaikan shalat. Oleh karena itu sewa menyewa, transaksi perdagangan maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan illat, yaitu melalaikan shalat, maka perbuatan tersebut hukumnya diqiyaskan dengan perbuatan jual beli di atas, yaitu haram.Berdasarkan kaidah syara: ”Sesungguhnya hukum-hukum tentang ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq tidak dapat direka-rekayasa, semua ketentuannya wajib sesuai dengan nash/ketentuan syara’ semata”. Jadi ruang lingkup daripada qiyas hanya pada hal-hal (masalah) yang memiliki kesamaaan illat di dalamnya. Sedangkan di dalam masalah pakaian, makanan, minuman, ibadah dan akhlak di dalamnya tidak mempunyai illat, karena masalah ini sudah jelas nash syara’nya sehingga tidak bisa diqiyaskan.
Setiap qiyas mempunyai empat rukun:
a. Asal (pokok).
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Asal disebut “maqish ‘alaih” (yang menjadi tempat mengqiyaskan), atau “mahmul ‘alaih” (tempat membandingkannya), atau “musyabbah bih” (tempat menyerupakannya)
b. Far’u (cabang).
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, dan peristiwa itulah yang hendak disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia juga disebut ‘maqish’ (yang diqiyaskan) dan ‘musyabbah’ (yang diserupakan).
c. Hukum asal.
Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash atau dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
d. ‘Illat.
Yaitu suatu sifat yang terdapat pada suatu peristiwa yang asal. Yang karena sifat itu, maka peristiwa asal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena sifat itu terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabaang itu dengan hukum peristiwa asal. Rukun qiyas yang keempat adalah yang terpenting untuk dibahas, karena illat qiyas merupakan asasnya. Demikianlah gambaran ringkas tentang qiyas. Karena pembahasan di sini hanya bersifat global maka pembaca masih sangat perlu melanjutkan kajian ini dengan kajian yang dalam dan terperinci bila ingin mendapat pemahaman yang menyeluruh dan mendalam.
B.Karakteristik
hukum Islam
1.Moderat.
Karakteristik
Hukum Islam adalah moderat, umatnya juga umat yang moderat karena Islam yang dianutnya
juga moderat. Islam adalah agama moderat karena merupakan agama terakhir dan
penutup seluruh agama. Agama-agama sebelumnya boleh berajaran ekstrem; misalnya
memerangi materialisme dengan spiritualisme, memerangi realisme dengan
idealisme. Karena agama-agama itu sangat terbatas dalam ruang dan waktunya;
tidak untuk semua orang dan sepanjang waktu.
Agar bisa diterima semua orang,
agama harus bersikap adil kepada semua. Agar bisa bersikap adil, agama harus
bersikap moderat, tengah-tengah, tidak ekstrem, dan tidak cenderung mendekat
pada satu kelompok dan menjauh dari kelompok yang lain. Kalau bersikap ekstrem,
tentu hanya akan diterima sebagian kecil orang saja. Kebanyakan orang akan
menolaknya.[26]Abus
Su’ud mengatakan, bersikap adil dan moderat itu bagaikan posisi pusat dalam
sebuah lingkaran. Posisi itu mempunyai jarak yang sama dengan masing-masing
titik di garis lingkarannya. Kemudian hal itu dipakai untuk semua sikap manusia
yang terpuji, karena setiap sikap terpuji pasti merupakan posisi tengah-tengah
antara tafrith (sama sekali tidak melakukannya) dan ifrath (berlebih-lebihan
dalam melakukannya).
2.
Istiqamah
Moderat juga bermakna
istiqamah, tidak melenceng dan bengkok. Dalam Al-Qur’an, hal itu diistilahkan
dengan ash-Shiratul mustaqim (jalan yang lurus). Para ulama mengatakan bahwa
jalan yang lurus adalah jalan yang selalu menjaga jarak dari terlalu minggir ke
salah satu sisi. Jalan lurus bisa dikatakan sebagai jalan yang berada di
tengah-tengah.
Tidak mengambil sikap ekstrem,
yang direpresentasikan dengan sikap “al-maghdhubu ‘alaihim” orang-orang Yahudi,
dan sikap “adh-dhalin” orang-orang
Nasrani. Dalam banyak hal, terjadi hubungan ekstrem antara Yahudi dan Nasrani.
Misalnya, orang Yahudi membunuh para nabi; sedangkan orang Nasrani menuhankan
mereka. Orang Yahudi terlalu banyak menghalalkan; sedangkan orang Nasrani
terlalu banyak mengharamkan. Orang Yahudi materialistis; sedangkan orang
Nasrani spiritualistis. Adapun umat Islam adalah jalan tengah di antara dua
sikap ekstremistis tersebut.
3.
Terbaik
Ada pribahasa Arab
menyebutkan “Kairul umuri Ausathuha” (hal yang terbaik adalah yang paling
tengah-tengah). Aristoteles menyebutkan, “Kebaikan adalah sikap tengah antara
dua buah keburukan.” Oleh karena itu, Ibnu Katsir menyimpulkan bahwa “ummatan
wasatha” maknanya adalah “khaira ummatin” umat terbaik.
4. Aman
Berada di tengah adalah
sikap yang aman. Sangat berbeda dengan berada di pinggir dan ujung. Sikap
sedang-sedang dan tidak terlalu merupakan pilihan yang aman. Misalnya dalam
berpakaian, sebaiknya memilih pakaian yang tidak terlalu tebal dan tidak
terlalu tipis. Karena kalau terlalu tebal, dan ternyata hari sangat panas maka
akan merasa kepanasan. Sedangkan kalau terlalu tipis, dan ternyata hari sangat
dingin maka akan merasa kedinginan. Pilihan yang aman adalah pakaian yang tidak
terlalu tebal dan tidak terlalu tipis. Hal yang sama dalam memilih agama dan
sistem kehidupan.
5. Kuat
Posisi tengah adalah pusat
kekuatan. Dalam perjalanan umur, masa yang paling kuat adalah masa pertengahan.
Terlalu muda adalah masa yang masih lemah, sedangkan terlalu tua adalah masa
yang sudah lemah dan kehilangan kekuatan. Matahari terasa paling panas adalah
ketika di tengah hari; bukan di awal hari, dan bukan juga di sore hari.
6.
Persatuan
Moderat adalah pusat persatuan dan
titik pertemuan. Pinggir, pojok dan ujung berjumlah sangat banyakdan sangat
sulit bertemu dengan yang lain. Sedangkan tengah hanya berjumlah satu, bahkan
semua unsur pinggir, pojok dan ujung bisa bertemu di tengah. Hal ini tidak
hanya mungkin terjadi pada sebuah lingkaran, tapi bisa juga berlaku untuk
pemikiran, sikap, dan sebagainya. Sisi-sisi
Kemoderatan Islam,meliputi semua bagian dalam Islam; akidah, ibadah,
akhlak, dan hukum. Akidah Islam adalah tengah-tengah; tidak seperti akidah
khurafat yang meyakini semua hal walaupun tidak berdalil, tidak pula seperti
akidah kaum materialis yang hanya meyakini apa yang mereka lihat dan rasakan.
Islam mengajarkan akidah, tapi harus berdasarkan dalil yang kuat dan yakin. Akidah
Islam adalah tengah-tengah; tidak seperti kaum atheis yang sama sekali tidak
mengakui adanya tuhan, tidak pula seperti kaum musyrikin yang menjadikan
banyak hal sebagai tuhan, bahkan sapi, kera, dan sebagainya. Islam mengajarkan
iman kepada Allah .
Akidah Islam adalah tengah-tengah;
tidak seperti qadariah yang mengatakan bahwa manusia menciptakan perbuatannya
sendiri, tidak pula seperti jabariyah yang mengatakan bahwa manusia tak lain
bagaikan bulu yang diombang-ambingkan angin kesana-kemari. Islam mengajarkan
bahwa manusia adalah makhluk mulia, yang diberi kewajiban dan tanggung jawab. Akidah
Islam adalah tengah-tengah; tidak seperti orang Yahudi yang mencela para nabi,
tidak pula seperti Nasrani yang menuhankan mereka. Islam mengajarkan bahwa para
nabi adalah manusia biasa yang dipilih Allah swt. untuk membawa risalah-Nya.
Ibadah Islam adalah tengah-tengah;
tidak seperti Budha yang hanya mengajarkan akhlak dan tidak mengajarkan ibadah,
tidak pula seperti Kristen yang mengajarkan rahbaniyah, ibadah yang hingga
menafikan sisi kemanusiaan. Islam mengajarkan ibadah yang diatur sedemikian
rupa. Ibadah dianggap tidak diterima jika mengurangi atau melebihi aturan ini. Sebagai sebuah agama penyempurna,
Islam datang dengan membawa aturan dan hukum
untuk umat manusia. Hukum yang ada di dalam Islam adalah berdasarkan ketetapan Allah yang disampaikan melalui
Nabi Muhammad sebagaiutusan-Nya. Oleh karena
itu, terdapat berbagai perbedaan antara hukum Islam dengan
hukum-hukum lain buatan manusia. Hukum Islam memiliki keistimewaan dan karakteristik khusus, antara
lain sebagai berikut:
B.Karakter Hukum Islam.
1.Hukum Islam didasarkan pada wahyu
Ilahi
Keistimewaan
hukum Islam dibanding undang-undang buatan manusiaadalah bahwa hukum Islam bersumber
pada wahyu Allah yang tersurat dalam Al-Qur'an
dan sunnah Nabi. Maka setiap mujtahid dalam melakukanistinbath (penggalian) hukum-hukum syara'
selalu merujuk pada dua sumber tersebut, baik secara langsung maupun melalui yang tersirat darinya, yaitu dengan
memahamiruh syari'at, tujuan-tujuannya secara umum, kaidah-kaidah dan
prinsip-prinsipumum. Jadi pada dasarnya, setiap hukum Islam pasti
didasarkan pada Al Qur'an dan Al-Sunnah meskipun hanya dengan mengambil yang tersirat
dari keduanya.Sebagai
contoh, digunakannya urf, mashlahah
mursalah, istihsan, dan lain lain dalam pengambilan hukum syara' oleh seorang
mujtahid, bukan berarti bahwamujtahid
tersebut meninggalkan Al Qur'an dan As Sunnah, namun hal itu dilakukan setelah terlebih dahulu memahami ruh
syari'at yang tersirat pada nashAl Qur'an dan As Sunnah, berupa tujuan,
kaidah dan prinsip-prinsip umumnya.
Tujuan
Syari' dalam pembentukan
hukumnya yaitu merealisir kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dloruriyah) dan memenuhi kebutuhan sekunder (hajiyah) serta melengkapi kebutuhan pelengkap (tahsiniyah) mereka. Jadi setiap hukum syara' tidak ada tujuan kecuali salah satu
dari tiga.Syariat Islam, Pergumulan Teks dan Realitas,, ,, unsur tersebut, dimana dari tiga unsur tersebut
dapat terbukti,kemaslahatan manusia.
2.Hukum Islam bersifat
komprehensif
Hukum Islam bersifat
komprehensif, yakni mencakup seluruh tuntutankehidupan manusia. Disini akan
sangat tampak kelebihan hukum Islam dibandingdengan undang-undang yang lain,
karena hukum Islam mencakup tiga aspek hubungan, yaitu manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan
masyarakatnya.Oleh karena itu, hukum Islam yang terkait dengan perbuatan
seorangmukallaf selalu mencakup dua aspek, yaitu hukum-hukum ibadah dan
hukum-hukum mu'amalah. Hukum ibadah
meliputi segala hal yang terkait denganhukum-hukum yang dimaksudkan untuk
mengatur hubungan antara manusiadengan Tuhannya. Sedangkan hukum-hukum mu'amalah meliputi
segala hal yangdimaksudkan untuk mengatur
hubungan sesama manusia, baik bersifat pribadimaupun kelompok.
3.Hukum Islam terkait dengan masalah
akhlak/moral.
Hukum Islam berbeda dengan
undang-undang pada umumnya, karena iaterpengaruh dengan tatanan moral, bahkan
sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammmad,
bahwa Islam datang untuk menyempurnakan akhlak/ moral manusia. Hal
ini sangat berbeda dengan hukum positif buatan manu sia yang hanya mengacu
pada aspek manfaat, yaitu menjaga sistem dan stabilitasmasyarakat meskipun kadang
menghancurkan sebagian prinsip moral.Adapun hukum Islam bertujuan menjaga
keutamaan, idealitas dan tegaknya
moralitas.
Diharamkannya riba misalnya, dimaksudkan untuk menyebar-kan semangat
tolong-menolong (ruh
ta'awun) kasih sayang di antara manusia danmelindungi orang-orang miskin dari keserakahan
para pemilikharta.[27] Begitu pula diharamkannya minuman keras yang
dimaksudkan untuk menjaga akal yang salah satu fungsinya adalah sebagai tolak
ukur baik dan buruk.
4.Adanya orientasi kolektivitas dalam
hukum Islam
Artinya, dalam hukum Islam itu selalu menjaga
kemaslahatan individu dansosial secara bersama-sama, tanpa harus melanggar hak orang
lain. Ooleh karenaitu, kemaslahatan yang
bersifat umum atau sosial harus didahulukan dibandingdengan kemaslahatan yang bersifat individual
terutama ketika terjadi peretentangan antara keduanya.
Ciri khusus lain yang membedakan
hukum Islam dengan hukum-hukum lain buatan
manusia adalah bahwa hukum Islam memberikan sanksi hukuman bagi yang melanggar pada dua hal, yaitu
hukuman dunia, baik berupa hukuman hudud
yang sudah ditentukan maupun ta'zir
yang yang tidak ditentukan, dan hukuman akhirat. Sifat-sifat hukum
Islam lainnya ialah:
- Rabbaniyyah
Sumber syariat/hukum dari Allah,
artinya musyarri (pembuat syariat) adalah Allah bukan manusia. Jika manusia
pembuat syariat, maka akan terbawah dengan rasa sabyektif, kelompoisme, dan
keinginan-keinginan duniawi. Hukum syariat dalam bentuk wajib,
sunnah, makruh, mubah, dan haram adalah milik ketentuan Allah dan rasul-Nya.
Fungsi faqih/ahli hukum hanya menemukan hukum dengan cara ijtihad.
1.
Insaniyyah
Hukum Islam menghargai eksistensi
manusia sebagai keturunan Adam pada posisi yang sama, tidak ada perbedaan dalam
strata sosial, hukum, politik, ekonomi, sosial-kemasyarakatan. Yang membedakan
satu dengan yang lain adalah taqwa. Hasbi Ashshiddiqie menyatakan bahwa,
hukum Islam adalah hukum yang memberikan perhatian penuh kepada manusia dan
kemanusiaan, memelihara hal-hal yang bertautan dengan manusia, baik mengenai
diri, ruh, akal, hati, fitrah, usaha . Solidaritas kemanusiaan dalam hukum
Islam adalah dalam bentuk zakat, infak, sadaqah, waqaf, dan taawun ala al-birri wa al-taqwa. Hanya
faktanya konstruk sosial dalam masyarakat tertentu yang membuat manusia menjadi
berkelas-kelas, berkasta-kasta. Sedangkan
kenyataannya karakater hukum Islam
ialah:
Bahwa hukum Islam shalih li kulli
zaman wa makan dan Hukum Islam meliputi seluruh aspek hidup manusia, mulai
dari manusia tidur sampai bangun lagi, baik
sebagai abdullah/ individu maupun khalifatullah/kolektif. Bahwa hukum Islam
mengatur HAM, musawaa/egaliter, al-adalah/keadilan, al-hurriyah/kebesan, al-Ikhwan/persaudaraan (ukhawah islamiyah,
wathaniyah, insaniyah)
3.
Wasathiyyah
Hukum Islam memperhatihan aspek al-tawazun/keseimbangan.
Qardawi menyatakan yang dimaksud dengan keseimbangan yaitu, hukum Islam tidak
mengabaikan meletakkan aspek ruhiyah (spritual) dan maddiyah (materi), fardiyah
dan jama’iyah, waqi’iyah (kontekstual) dan mitsaliyah (idealisme), tsabat (tetap) dan
taghayyur (perubahan). Hukum Islam bukan ekstrim kanan
ataupun kiri. Seperti idiologi liberal-kapitalis yang terlalu memperhatikan
individu mana hakku. Hukum Islam bukan pula idiologi maxis-sosialis yang
terlalu memberikan peran sosial-kemasyarakatan yang manafikan peran individu.
Hukum Islam memberikan jalan tengah pada dua idiologi tersebut, dengan mengakui
hak dan kewajiban.
- Waqi’iyyah
Bahwa hukum Islam tidak mengabaikan
konteks sebagai sebuah sunnatullah sepanjang
tidak bertentangan dengan jiwa dan ruh syariat Allah. Idialnya dalam menikah
dapat dipertahankan sampai mati, akan tetapi dalam konteksnya dapat cerai. Pada
dasarnya sholat harus pada waktunya, akan tetapi konteksnya musafir bisa di
dijamak.
- Tatawwur
Hukum
Islam selalu dinamis[29]
dan berdialog dengan perkembangan zaman dan teknologi, akan tetapi hukum Islam
selalau konsisten pada nilai-nilai syariat.
2. Tsabat
Hukum
Islam konsisten dalam menjaga nilai-nilai Ilahiyah dalam kondisi dan suasana
yang musykil sekalipun.
3. Wadhu
Mashadir (sumber hukumnya jelas)
Karena sumber hukumnya jelas, maka falsafah nadzariyah ( kajian
teoritis/ushul/qaidah fiqhiyah jelas) dan falsafah tasyri (kerangkah
operasuonalnya jelas).Tujuannya jelas yaitu, a) pengabdian hanya kepada Allah
semata. b) menciptakan tatanan min al-zdulamat ilaa al-nuur dalam
berbagai bidang. b) salaman fi al-dun-ya wa-alakhirat.Manhaj/metodologis. Artinya secara
teoritis nilai-nilai hukum ilahiyah sampai dengan tataran implementasi hukumnya
selalu jelas dan konsisten.
C.
Maqashid al-Syari’ah dalam
Hukum Islam
1. Pengertiannya
Secara
etimologi, term Maqashid Al-Syariah berasal dua kata yaitu kata maqashid
dan al-syariah. Kata maqashid adalah kata yang berasal dari
kata kerja dalam bentuk fii'l tsulasi yaitu kata ق ص د، يقصد، قصدا, kalimat ini
seringkali dipergunakan dengan makna yang berbeda. Di antara makna tersebut
adalah :
al-
I'timad wa al- I'tisham الإعتماد والإعتصام، وطلب الشئى
Adil
dan moderat, atau tidak berpihak pada satu sisi, sebagai mana firman Allah
ta’ala ومنهم مقتصد
Istiqamu al-Tariq, sebagaimana
firman Allah ta’ala وعلى الله قصد السبيل
al-Qurbu, sebagaimana firmanNya لو كان عرضا قريبا وسفرا قاصدا
al-Kasr (mematahkan) sebagaimana kalau dikatakan قصدت العود قصدا
Dari
beberapa makna tersebut pengertian secara etimologi dalam pembahasan ini adalah
pengertian pertama yaitu الإعتماد والإعتصام (kesengajaan atau tujuan).
Sedang
term syariah secara bahasa bermakna على مورد الماء أى
مكان ورود الناس للماء
tempat keluarnya air, tempat yang dituju oleh manusia untuk mendapatkan air.
Dengan kata lain juga bermakna al-mawaadli' allatiy yunhadaru ila al-maa' (tempat-tempat yang darinya
dikucurkan air). Sedangkan kata al-syir'ah menurut bahasa Arab artinya
adalah masyra'at al-maa' (sumber air), yakni maurid al-syaaribah
allatiy yasyra'uhaa al-naas, fa yasyrabuuna minhaa wa yastaquuna
(sumber air minum yang dibuka oleh manusia, kemudian mereka minum dari tempat
itu, dan menghilangkan dahaga).[30]Al-Raaziy
di dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan bahwa Lafadz al-Syari'ah
bermakna masyra'at al-maa' (maurid al-syaaribah: sumber air) [31]
Mahmud
Syaltut mendefinisikan al-Syarii'ah dengan aturan-aturan (system) yang Allah telah
syariatkan, atau mensyariatkan pokok dari aturan-aturan tersebut, agar manusia
mengadopsi aturan-aturan tersebut untuk mengatur hubungan dirinya dengan
Tuhannya, dan hubungan dirinya dengan saudaranya yang Muslim dan saudara
kemanusiaannya (non Muslim), dan hubungan dirinya dengan alam semesta dan
kehidupan".[32] Pengertian
ini tentu lebih ke arah pengertian secara istilah.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah syari’ah adalah “Hukum agama yang
diamalkan menjadi peraturan-peraturan upacara yang bertalian dengan agama
Islam, palu-memalu, hakekat balas-membalas perbuatan baik (jahat) dibalas
dengan baik (jahat) “ [33].
Dalam literature Inggris digunakan istilah Islamic Law atau Canon law
of Islam ; yaitu keseluruhan dari perintah-perintah Tuhan. tiap-tiap
perintah Tuhan dinamakan hukum, jama’nya ahkaam.
Oleh karena itu, syari’at tidak dapat disamakan dengan hukum dalam dunia modern
ini.
Dalam
al-Qur’an kata syariah digunakan dalam arti “agama sebagai jalan lurus yang
ditetapkan Allah untuk diikuti oleh manusia agar memperoleh keselamatan”.
Beberapa ahli tafsir al-Qur’an klasik seperti Mujahid (104 H/722 M) menafsirkan
kata-kata “al-syari’ah” dan “al-syir’ah” sebagai “agama” (al-din). Namun di lain pihak terdapat
pula pendapat yang membedakan syari’ah dengan “al-din” (agama). Syari’ah
merujuk kepada aspek–aspek hukum dari agama, sementara “al-din” merupakan aspek aqidah dari agama. Qatadah (118 H/736 M).
Ahli
tafsir lainnya, dilaporkan dalam konteks penafsiran al-Maidah (5): 48
menyatakan bahwa agama (yang dibawa oleh semua Nabi) itu satu, tetapi
syari’ah-nya berbeda. Maksudnya adalah inti ajaran agama semua Nabi yaitu
ajaran tauhid adalah sama. Yang berbeda adalah ketentuan-ketentuan hukum dalam
masing-masing agama Nabi tersebut. Sejalan dengan Qatadah adalah Abu Hanifah
(150 H/820 M) yang membedakan antara syari’ah dan din di mana syari’ah
merupakan kewajiban agama yang harus dijalankan, sedangkan “al-din” adalah pokok-pokok keimanan seperti kepercayaan kepada
Allah kepada hari kiamat dan lainnya. Para majikan merasa berhak untuk
menghukum bawahan-bawahan mereka sekehendak hati mereka. Polisi dan aparat
pengadilan adalah petugas-petugas yang melakukan hukuman atas mereka.. Secara
singkat kita akan mencatat perbedaan pandangan tersebut adalah: Pandangan yang pro terhadap hukuman fisik, sebagian
pakar pendidikan menganggap hukuman untuk anak-anak dan remaja masih diperlukan
dan masih bisa diandalkan,[34]seperti
yang tergambar dalam tabel berikut ini:
Tabel 4
Tabel
Pro kontra Hukuman Fisik Terhadap Anak-Anak
No
|
Pro
|
Kontra
|
Kompergensi
|
1
|
Sebahagian
psikolog
Marjorie
Gannoe
|
Sebagian filosuf
Plato
dan Jean Jacke Rousseo
dan
Jean Soto
|
Islam
Berdasarkan
Al-Quran
dan
Hadits
[35]
|
2
|
Tokoh-tokoh
Pendidikan
Militer
|
Nasrani
Tokoh-tokoh
Peneliti
|
Yahudi
dan Berdasarkan
Taurat
[36]
|
|
|
|
|
Posisi Islam, pada konpergensi,
mengabungkan antara pro dan kontra, tapi tidak sekedar gabungan, bahkan bersikap moderat (wasathan) berkaitan dengan
fitrah manusia. Aristoteles
yang pro dengan hukuman fisik, mengatakan, "Rasa takut akan
hukuman itu lebih efektif (untuk membina manusia-penerj.) dari
ajakan-ajakan untuk berbuat baik. Dan ini diakui oleh orang-orang yang suka
menggunakan nalarnya. Orang yang membuat peraturan berkewajiban mengajak
manusia pada hal-hal yang utama dan juga memberikan hukuman kepada orang-orang
yang suka melanggar."
Powelson mengatakan,
"Tanpa rasa takut alias rasa hormat atas wacana hukuman maka pendidikan
tidak akan berjalan efektif." Karena pendidikan adalah pembiasaan.. dan pemaksaan adalah termasuk salah satu cara didalamnya.
D. Subjek dan Objek Hukum Islam
[1] Qat’iy dan zanniy
antara keduanya, maka Al-Qur’an seluruh nashnya adalah qat’iy al-wurud atau
sering juga disebut dengan qat’iy al-subut, sedangkan dalalahnya ada yang
qat’iy dan ada pula yang zanniy. Adapun Sunnah ada yang qat’iy al-wurud dan ada
pula yang zanniy al-wurud, ada yang qat’iy al-dalalah dan ada pula yang zanniya ldalalah .Sumber:
[10] Begitulah Al Quran
memutuskan bagian untuk dua anak perempuan itu. Kemudian Rasul mengutus
seseorang untuk menemui paman mereka dan berkata kepadanya,”Berikanlah dua
pertiga harta pusaka Sa’d kepada dua putrinya dan sisanya menjadi
milikmu.” Istri Sa’d dan kedua putrinya menjadi perantara bagi turunnya
ketetapan Al Quran mengenai hukum waris, suatu ketetapan yang berlaku hingga
kini.Referensi :-Al Quran- karya
Fathi Fawzi ‘Abd Al Mu’thi, Asbabun Nuzul
untuk Zaman Kita.
[15] Lafadz
Ijma’
menurut bahasa bisa berarti tekad yang konsisten tehadap sesuatu atau
kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara. Sedangkan menurut para ulama
ushul fiqh, Ijma’ adalah kesepakatan terhadap suatu hukum bahwa
hal itu merupakan hukum syara’.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul Halli wal Aqdi, ijma’ Shahabat atau sebagainya. Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah saw.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul Halli wal Aqdi, ijma’ Shahabat atau sebagainya. Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah saw.
[23] Ushul Fiqih merupakan sebuah ilmu dalam
memahami dalil-dalil fikih secara global, bagaimana menggunakannya dalam
menyimpulkan sebuah hukum serta kondisi (prasyarat) seorang mujtahid. Ilmu ini
merupakan ilmu metodologi dalam proses pengambilan hukum. Sejatinya, ilmu ini
mencakup tiga hal penting, yaitu : sumber pengambilan hukum, metodenya,
dan syarat-syarat mujtahid.Sementara itu, objek kajian Ushul Fiqih adalah
dalil-dalil global. Ali Jum’ah, Mufti Mesir, menekankan untuk tetap mengedepankan
objek pembahasan dalam proses pembaharuan, baik itu bagi Ushul Fiqih itu
sendiri, maupun dalam ilmu-ilmu yang lainnya. Selain objek pembahasan, tujuan
dan manfaat ilmu ini juga patut dijadikan patokan, agar tidak melenceng dari
pembahasan, lebih-lebih lagi tidak menghasilkan sebuah baru. Hal ini tentunya
bisa diterima dan sesuai dengan maksud dari pembaharuan itu sendiri dimana
fungsinya untuk merekonstruksi, bukan memproduksi ‘barang’ baru.
Selain
itu, dalam upaya menelisik lebih jauh tentang pembaharuan Ushul Fiqih, perlu
dipahami juga karakteristik kajian dari ilmu ini. Hasan Hanafi, seorang pemikir
modernis Mesir, dalam bukunya Min An-Nash Ila Al-Wâqi’ menyebutkan beberapa
karakteristik umum yang dimiliki Ushul Fiqih, yaitu :1.
Rasional. Dalam proses pengambilan hukum, Ushul Fiqih selalu mengedepankan
analisis yang bersumber dari rasio seorang mujtahid. Tanpa ada analisis, sebuah
produk hukum tidak mungkin bisa dihasilkan.2.
Eksperimental. Sebuah produk hukum tidak bisa dihasilkan secara instan. dalam
prosesnya, harus melalui berbagai tahapan dan pengujian agar bisa diterapkan
dengan benar.3. Metodologis; merupakan
karakteristik murni yang dimiliki Ushul Fiqih sebagai ‘alat’ dalam pengambilan
hukum.4. Logis. Artinya, metode pemikiran yang
sistematis yang dimiliki Ushul Fiqih, harus bisa diterima oleh akal
sehat.5. Sesuai dengan tabiat manusia. Ilmu Ushul
Fiqih pada dasarnya tidak terkhususkan pada agama ataupun golongan tertentu
saja, namun lebih dari itu, dia merupakan ilmu yang dikaruniakan oleh Allah dan
muncul dari dan berdasar pada tabiat manusia itu sendiri.6Selain karakteristik
yang telah disebutkan diatas, kiranya ada karakteristik lainnya yang perlu kita
cermati ketika melakukan pembaharuan Ushul Fiqih. Ketika mengkaji Ushul Fiqih
beserta komponennya, kita akan banyak menemukan teks-teks. Tentunya hal ini
bisa dimaklumi mengingat objek kajian Ushul Fiqih itu sendiri seputar
dalil-dalil dari teks Al-Qur’an dan Sunah. Oleh karena itu, metode kajian ini
seputar analisis kebahasaan (qawâid al-lughah). Kajian analisis kebahasan dalam
Ushul Fiqih setidaknya mencakup empat pokok permasalahan, yaitu : 1. Analisis makna kata
sesuai dengan bentuk kata. Seperti teks khâs yang merujuk pada makna tertentu,
ataupun teks ‘âm yang merujuk kepada makna umum. Ataupun juga merujuk
pada makna yang komplek (musytarak) dan ada juga yang merujuk pada
makna tunggal (murâdif). 2.
Analisis makna sesuai dengan maksud penggunaan teks. Ini bisa kita cermati pada
teks yang menunjukkan makna sesuai dengan ungkapannya (haqîqî) ataupun pada
teks yang menunjukkan makna yang berbeda dengan ungkapannya (majâz) baik itu
karena ada ada hubungan dengan teks lain ataupun ada indikasi (qarînah) yang
menghalangi dari pemaknaan sebenarnya. Analisis
kebahasaan ini kiranya merupakan sesuatu yang urgen dan mengkajinya adalah
sebuah keniscayaan karena teks akan menyingkap sisi historis yang
menyelimutinya. Hal ini pula yang kemudian coba diterapkan Hasan Hanafi ketika
mengkaji Ushul Fiqih.
[26] Dengan sikap moderatnya, maka Islam adalah agama tengah-tengah di antara
ke-ekstreman agama-agama yang lain. Setiap muslim diwajibkan untuk menjaga hal tersebut,
hal itu dapat dipahami dengan perintah untuk berdoa “tunjukilah kami jalan yang
lurus” dalam shalat mereka.
[28] Islam adalah risalah manusia seutuhnya, iaitu dipandang dan sudut
manusia itu keseluruhannya. Iabukanlah risalah bagi akal tanpa ruh, bukan bagi
ruhani tanpa jasmani, bukan bagi fikiran tanpa perasaan, danbukan sebaliknya.
Ia adalah risalah insan seutuhnya iaitu ruhnya, akalnya, jasmaninya, hail
nuraninya,kemahuannya dan perasaannya.Sesungguhnya Islam tidak membahagi
manusia kepada dua bahagian sebagaimana yang dilakukan olehagama-agama lain.
Pertama bahagian ruhani yang dikendalikan oleh agama dan diarahkannya ke tempat
ibadat.Bahagian ini menjadi hak istemewa golongan agama dan tempat permainan
bagi para paderi dan pendeta bagimengarahkan manusia dan celah-celahnya.
Manakala bahagian kedua terdiri daripada benda, yang tidak adakekuasaan bagi
agama dan golongan agama ke atasnya, malah tidak ada lapangan bagi Allah s.w.t.
padanya.Bahagian ini menjadi lapangan bagi kehidupan, dunia, politik,
masyarakat dan negara. Dan inilah bahagian yang terbesar dan kehidupan manusia.
[29] Zaman dan tempat tidak
menentukan rupa bentuk Islam, tetapi Islam mempengaruhi perubahan manusia,
tempat dan zaman. Inilah yang disebut oleh ulama’ usuliyyin: Taghayir
al-hukmi bi taghayir al-Amkinah wa al-Azminah yaitu berubahnya fatwa disebabkan berubahnya tempat dan zaman.
Umpamanya di dalam hadith-hadith yang sahih termasuk yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari Rasulullah s.a.w. melarang menyimpan daging korban lebih daripada
tiga hari. Pada tahun berikut para sahabat bertanya Nabi s.a.w.apakah mereka
seperti tahun lalu? Kata Nabi s.a.w.: Makan dan simpanlah kerana pada tahun
lepas orang ramai dalam keadaan susah dan aku mahu kamu menolong mereka”. Dalam
riwayat yang lain disebutkan disebabkan daffah yaitu orang yang datang dari
luar Madinah. Jelas sekali bahwa adanya larangan Nabi s.a.w. disebabkan oleh
keadaan tertentu atau punca tertentu yang sebut dalam usul al-Fiqh sebagai
illat al-Hukum. Apabila penyebab dikeluarkan sesuatu hukum maka hukum pun
dipadamkan. Dengan itu, al-Imam as-Syaf`ii sebagai tokoh awal menulis dalam Usul al-Fiqh memasuk bab al-`Ilal fi
al-Ahadith (`ilat-ilat di dalam hadith-hadith) dalam kitabnya al-Risalah. Banyak lagi contoh-contoh yang lain di dalam hadith ,
jika disebutkan, yang menunjukkan perubahan zaman mengubah fatwa. Inilah juga
keputusan para sahabah yang menghukum beberapa hal tidak sama seperti hukuman
pada zaman Nabi s.a.w. disebabkan perubahan yang berlaku, umpamanya Saidina
Umar tidak memberi zakat kepada golongan al-muallaf qulubhum (yang cuba
didekatkan kepada Islam) pada zamannya sekalipun hak mereka disebut di dalam
al-Quran dan mereka diberikan zakat oleh Rasulullah s.a.w.. Ini disebabkan
perubahan keadaan dan suasana dengan kata Umar : Allah telah memuliakan Islam
dan tidak memerlukan mereka!” Sesiapa yang ingin pendetilan dia boleh menyemak
tuisan para ulama termasuk tulisan Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Zakah.
[34] Khoja Nashiruddin Thusi mengatakan, "Ajari ia (anak-anak) dengan
keras agar tidak melakukan perbuatan buruk. Jangan sampai dari kecil sudah terbiasa
melakukan perbuatan jelek.Mereka itu suka berdusta, memiliki sifat hasud, suka
mencuri, suka mengadu domba, dan juga bandel, suka mencampuri urusan orang lain. Setelah
memberikan pendidikan yang sangat keras maka didiklah agar mereka memiliki sikap
sopan-santun. Jadi didiklah anak-anak sejak kecil dengan disiplin. Jangan lupa
pula untuk memuji sikap-sikap yang baik darinya, waspadailah agar anak-anak
tidak memiliki kebiasaan buruk karena seperti peribahasa Al-Insânu hârisun 'ala
ma' muni'a (manusia itu penasaran dengan larangan). Manusia itu suka terhadap
hal-hal yang menyenangkan dan tidak tahan dengan penderitaan. Seorang pendidik
harus bisa membuat anak didiknya sadar dengan perbuatannya sehingga tidak
berani lagi mengulangi perbuatan buruknya."
[36] Tidak
akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan,
tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati” Kitab Taurat, Amsal
23:13.
Tetapi bukan berarti bahwa orang tua atau guru boleh dengan semena-mena
menggunakan haknya untuk memukul anak. Tidak
semua penggunaan hukuman atau hukuman fisik itu tidak berfaedah. Alkitab
mengajarkan, “Siapa tidak menggunakan tonngkat, benci kepada anaknya; tetapi
siapa mengasihi anaknya menghajar dia pada waktunya” Taurat (Amsal 13:24) Para peneliti mengatakan bahwa para dokter seharusnya
membantu orang tua untuk mempelajari pendekatan efektif tanpa kekerasan untuk
mendisiplinkan anak karena banyak yang tidak mengerti apa yang cocok untuk
perilaku anak. Dr. Durrant mengatakan kepada Daily Mail edisi 8 Februari 2012,
“Para orang tua lebih cenderung percaya bahwa anak-anak mereka menjadi
pemberontak atau berlaku buruk. Tetapi dalam banyak kasus, anak-anak cenderung
melakukan apa yang mereka anggap normal untuk perkembangan mereka.”
No comments:
Post a Comment