KATA-KATA MUTIARA KAIDAH
USHUL FIQH dan asas kepatutan
M.Rakib Riau
Indonesia.2014
Persoalan baru muncul adalah manakala
hukum suatu persoalan tidak ditemukan
dalam al-Qur’an dan juga dalam al-Hadis, sebab al-Qur’an dan al-Hadis adalah
merupakan sumber hukum pokok (primer)
dalam ketentuan hukum Islam.Dalam menghadapi kondisi yang seperti ini maka para
ulama mencari sumber hukum lain yang dapat dijadikan patokan dan pegangan dalam
memberikan hukum atas persoalan yang timbul, sebab sebagaimana diketahui bahwa
agama Islam itu telah sempurna dan tidak akan ada lagi penambahan hukum yang
bersifat Syar’iyyah, hanya saja untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang
timbul di kemudian hari telah diberikan rambu-rambu dan ketentuan-ketentuan
lainnya dalam rangka memberikan hukum atas persoalan baru yang timbul.
Saat
itulah diperlukan apa saja yang patun ,
asas kepatutan mengandung kemaslahatan, atau Mashlahat mursalah yaitu suatu
kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula terdapat
dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika
dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat
mursalah disebut juga mashlahat yang mutlak. Karena tidak ada dalil yang
mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara mashlahat
mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk
mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia. [11]
B.Tingkat maslahah mursalah
1)Tingkat pertama yaitu tingkat
dhurari, tingkat yang harus ada. Tingkat ini terdiri atas lima tingkat pula,
tingkat pertama lebih utama dari yang kedua, yang kedua lebih utama dari yang
ketiga dan seterusnya. Tingkat-tingkat itu ialah:
a) Memelihara agama;
b) Memelihara jiwa;
c) Memelihara akal;
d) Memelihara keturunan; dan
e) Memelihara harta.
2) Tingkat yang kedua adalah tingkat
yang diperlukan (haji/حاجي).
3) Tingkat ketiga, ialah tingkat
tahsini.
Diantara
contoh mashlahat mursalah ialah usaha Khalifah Abu Bakar mengumpulkan al-Qur'an
yang terkenal dengan jam'ul Qur'an. Pengumpulan al-Qur'an ini tidak disinggung
sedikitpun oleh syara', tidak ada nash yang memerintahkan dan tidak ada nash
yang melarangnya. Setelah terjadi peperangan Yamamah banyak para penghafal
al-Qur'an yang mati syahid (± 70 orang). Umar bin Khattab melihat kemaslahatan
yang sangat besar pengumpulan al-Qur'an itu, bahkan menyangkut kepentingan
agama (dhurari). Seandainya tidak dikumpulkan, dikhawatirkan aI-Qur'an akan
hilang dari permukaan dunia nanti. Karena itu Khalifah Abu Bakar menerima
anjuran Umar dan melaksanakannya. [12]
C. Obyek mashlahat mursalah
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua
khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti
bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka
dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah
fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari
kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh
kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu
menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam
menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat
kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah
mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat.
- Mengerti dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan kaidah-kaidah fiqh
- Menyebutkan pembagian kaidah fiqh
- Apakah manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh?
- Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fiqh?
- Apa beda kaidah ushul dan kaidah fiqh?
- Mengetahui apa itu kaidah umum dan kaidah asasi
III. Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun bertujuan agar
kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan
kaidah-kaidah fiqh, mulai dari definisi, pembagian dan sistematika kaidah fiqh.
- I. Pengertian
Sebagai studi ilmu agama pada
umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali dengan definisi.
Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu
kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah
dan fiqh.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari
qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang
berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa
berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar),
al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
”Allah akan menghancurkan
rumah-rumah mereka dari fondasinya”.
(Q.S. An-Nahl : 26)
Sedangkan dalam tinjauan
terminologi kaidah punya beberapa arti,
menurut
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku
Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Kaum yang bersifat universal
(kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.[1]
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul
mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum yang
biasa berlaku yang
bersesuaian dengan sebagian besar
bagiannya”.[2]
Sedangkan arti fiqh ssecara
etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
”Untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
Barang siapa yang dikehendaki baik
oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama.
Sedangkan menurut istilah, Fiqh
adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis)
yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat
disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah
umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak
yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Dari pengertian diatas dapat
diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur beberapa masalah fiqh
dari berbagai bab.
II. Sejarah Perkembangan Qawaidul
Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul
Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :
- Fase pertumbuhan dan pembentuka
Masa pertumbuhan dan
pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad
ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi islam, dapat dibagi
menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih
(610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang
berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M,
dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab.
Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang
mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah
mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri
kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas
tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama
menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan
kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak
zaman Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami
al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
- Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat
- Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW
yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :
”pajak itu disertai imbalan jaminan”
”Tidak boleh menyulitkan (orang
lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”[3]
Demikian beberapa sabda Nabi
Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh. Generasi berikutnya adalah
generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta
membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua
keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi
yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi’in
dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah
fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182),
dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang
disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang
tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan
pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat
Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang
meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan
kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad
kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yangh dibolehkan dalah
keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad
bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin
Hambal, yaitu :
”Setiap yang dibolehkan untuk
dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
- Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalah sejarah hukum islam, abad IV
H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan
tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha
kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna
bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai
zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi
kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad
ini adalah :
- Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
- Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
- Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)
- Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
- Fase kematangan dan penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode
kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi
perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang
disempurnakan di abad XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan
mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan
mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah
fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan
mengelola harta orang lain tanpa izin”
III. Pembagian Kaidah Fiqh
Cara membedakan sesuatu dapat
dilakukan dibeberapa segi :
- Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan
sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas.
Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
”Adat dapat dijadikan pertimbangan
dalam menetapkan hukum”
kaidah ini mempunyai beberapa
turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
”Sesuatu yang dikenal secara
kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan
kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang
berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat
sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’
- Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah
fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki
pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak punya
pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :
”Bukti dibebankan kepada penggugat
dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah
yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama
diikhtilafkan oleh ulama.
- Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh
dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
- Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah
bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah,
yaitu :
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan
mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas merupakan kaidah
kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar
dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
- Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat
kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut
adalah :
”Perbuatan / perkara itu bergantung
pada niatnya”
”Kenyakinan tidak hilang dengan
keraguan”
”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
”Adat dapat dijadikan pertimbangan
dalam menetapkan hukum”
- Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua
aliran hukum sunni adalah ” majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini
dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.
IV. Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul
Fiqh) adalah :
- Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
- Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
- Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
- Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
- Mempermudah dalam menguasai materi hokum
- kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
- Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
- mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
- Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
- Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam
V. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan penting
dilihat dari dua sudut :
- Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
- Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah
mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai
perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya
nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli
yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh
begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang
berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok.
Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah
dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah
yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad
Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah
sebagai suatu jlan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan
serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya
menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada
kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil
ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan
berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah
dipahami oleh pengikutnya.
VI. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua,
yaitu :
- Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
- Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.
Namun al_Hawani menolak
pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya, menurut al-Hawani,
berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani mengatakan
bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat.
Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena
memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti
pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil
yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih bijak.
Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek
studi fiqh adalah simpul sederhana dari masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu
banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad al-Zarqa berpendapat
sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh
yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”
Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi
menjelaskan bahwa syar’ah mencakup dua hal : pertama, ushul; dan kedua, furu’,
Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang
didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah
fiqhyang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan
kaidah-kaidah dari furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.
VII. Sistematika Qawaidul Fiqhiyah
Pada umumnya pembahasan qawaidul
fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu
asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam
Mazhahib tanpa diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada
5 macam, yaitu :
- Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya
- Kemudaratan itu harus dihilangkan
- Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
- Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
- Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Sebagian fuqaha’ menambah
dengan kaidah “tiada pahala kecuali dengan niat.” Sedangkan kaidah ghairu
asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah asasiah,
walaupun keabsahannya masih tetap diakui.
VIII. Perbedaan Kaidah Ushul dan
Kaidah Fiqh
- Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama.
- Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furu’.
- Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.
IX. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi
- Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan
bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak mafsadat
atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada
kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu
diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.
- Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)
Kelima kaidah asasi tersebut sebagai
berikut :
- Kaidah asasi pertama
“segala perkara tergantung kepada
niatnya”
Niat sangat penting dalam menentukan
kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan
perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan
menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar
disanjung orang lain.
- Kaidah asasi kedua
“keyakinan tisak bisa dihilangkan
dengan adanya keraguan”
- Kaidah asasi ketiga
“kesulitan mendatangkan kemudahan”
Makna dari kaidah diatas adalah
bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran
bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu
melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
- Kaidah asasi keempat
“kemudhoratan harus dihilangkan”
Kaidah tersebut kembali kepada
tujuan merealisasikan maqasid al-Syari’ah dengan menolak yang mufsadat,
dengan cara menghilangkan kemudhoratan atau setidak-tidaknya
meringankannya.
- Kaidah asasi kelima
“adat kebiasaan dapat dijadikan
(pertimbangan) hukum”
Adat yang dimaksudkan kaidah diatas
mencakup hal yang penting, yaitu : di dalam adapt ada unsure berulang-ulang
dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang baik.
X. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri
dari 38 kaidah, namun disini kami hanya menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
- “ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”
Hail ini berdasarkan perkataan Umar
bin Khattab :
“itu adalah yang kami putuskan pada
masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
- “apa yang haram diambil haram pula diberikannya”
Atas dasar kaidah ini, maka haram
memberikan uang hasil korupsi atau hasil suap. Sebab, perbuatan demikian bisa
diartikan tolong menolong dalam dosa.
- “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
- “Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai dalil”
Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal
yang sulit diketahui oleh umum, akan tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan
hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti : Barang yang dicuri ada pada si B,
keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si B adalah pencurinya, kecuali
dia bisa membuktikan bahwa barang tersebut bukan hasil curian.
- “Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”
Contah dari kaidah ini : Kita
mempercepat berbuka pada saat kita puasa sebelum maghrib tiba.
XI. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus
Banyak kaidah fiqh yang ruang
lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungan lebih sedikit. Kaidah
yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fioqh tertentu, yaitu :
- Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah
“Setiap yang sah digunakan untuk
shalat sunnah secara mutlak sah pula digunakan shalat fardhu”
- Kaidah fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah
Dalam hukum islam, hukum keluarga
meliputi : pernikahan, waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di
kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu
“Hukum asal pada masalah seks adalah
haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam
hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa
meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.
- Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi
“Hukum asal dalam semua bentuk
muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa
setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti : jual beli,
sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti yang
mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba.
- Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah
Fiqh jinayah adalah hukum islam yang
membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan sanksinya; membahas tentang
pelaku kejahatan dan perbuatannya. Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah
:
“Tidak boleh seseorang mengambil
harta orang lain tanpa dibenarkan syari’ah”
Pengambilan harta orang lain tanpa
dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian atau perampokan harta yang ada
sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya :
petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah
wajib mengeluarkan zakat.
- Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang
pemimpin harus beorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti
keinginan hawa nafsunya atau keluarganya maupun golongannya.
- Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)
Lembaga peradilan saat ini
berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi
maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini
sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu :
“Perdamaian diantara kaum muslimin
adalah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram”
Perdamaian antara penggugat dan
tergugat adalah baik dan diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
BAB III
PENUTUP
- I. Kesimpulan
- Kaidah-kaidah fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya (bagian-bagiannya)
- Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalahfiqh.
- Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
- Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
- Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
- II. Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia
yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu
penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul
Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang
lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, HA, 2006, Kaidah-kaidah
fiqh, Jakarta : kencana
Mujib, Abdul, 1978, Al-Qawaidul
Fiqhiyah, Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
Usman, Muslih, 1999, Kaidah-kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : Rajawali Pers
Effendi, Satria, 2005, Ushul
Fiqh, Jakarta : Kencana
Mubarok, Jaih, 2002, Kaidah
Fioqh, Jakarta : Rajawali Pers
Djazuli, HA, 2005, Ilmu Fiqh, Jakarta
: Kencana
Asjmuni, A Rahman, 1976, Kaidah-kaidah
Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang
Ash-shiddiqie, Hasbi, 1999, Mabahits
fi al-Qawaidul Fiqhiyah.
Al-Nadwi, Ali Ahmad, 1998, Al-Qawaidul
Fiqhiyah, Beirut : Dar al-Kalam
No comments:
Post a Comment