Tuhan itu
hakikat-Nya mudah dan terang,
Tiada tidak punya, urat dan tulang,
Daging dan darah tiada hilang,
Mahapengasih, Mahapenyayang.
Tiada tidak punya, urat dan tulang,
Daging dan darah tiada hilang,
Mahapengasih, Mahapenyayang.
Jikalau sifat manusia, pasti binasa,
Sifat Nabi, membawa berita,
Segala amalan, ada dalilnya,
Supaya dapat, syurga yang baqa'.
Jangan maksiat, sifatmu tuan,
Tiada bertemu hamba dengan Tuhan,
Hakikat kita tinggal di jalan,
Segala amalan menjadi haiwan.
Jika begitu kalau kita tidak mengkaji,
Kepada Nabi mendapat keji,
Malaikat membawa wahyu Ilahi,
Allah tiada mungkirkan janji.
Mengenal Tuhan boleh nyata,
Walau taida mampu, dipandang mata,
Hingga diri jua dicita,
Kenal olehmu sifatnya kita.
Tatkala Adam, dengan Hawa,
Dendam berahi, antara keduanya,
Napi dan Isbat, itulah Dia,
Kepada kebanyakan manusia, menjadi rahsia.
KALAU
MANUSIA,BETUL-BETUL MENEGENAL ALLAH
KORUPTOR
TIDAK AKAN TEGA, BERBUATN SALAH
KETIKA
TERLANJUR, AKAN BERBALIK ARAH
MENGENDALIKAN
DIRI, BERSUSAH PAYAH
MAKRIFATULLAH,
SANGATLAH DAHSYAT
TIADA
YANG TEGA, BERBUAT MAKSIYAT
YAKIN
BENAR, ALLAH MELIHAT
TIADA
YANG TERSEMBUNYI, WALAU DUTUP RAPAT
KALAU
MANUSIA, BENAR-BENAR, MENGENAL TUHAN
MENDENGAR
AZAN, DIA TIDAK TAHAN
MEMENUHI
PANGGILAN, SEGERA DITUNAIKAN
APAPUN
KEWAJIBAN, PASTI DILAKUKAN
Para ulama mengatakan,
”Tempat-tempat tinggal penduduk dunia itu, mereka telah keluar darinya (mati)
dalam keadaan belum sempat merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.”
Maka ditanyakan kepadanya, ”Apakah itu?’ Dia menjawab, ”Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla.” (Jami’ al-‘Ulum, hal. 246)
Ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah prinsip terpenting
bagi setiap insan. Karena tujuan hidupnya tidak akan bisa tercapai apabila dia
tidak mengenal Allah dengan benar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
(QS. Adz Dzariyaat [51] : 56).
Nah, bagaimana mungkin
seseorang bisa menyembah Allah dengan baik sementara dia bodoh terhadap siapa itu Allah dan apa saja kewajiban yang harus dia tunaikan
kepada-Nya? Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan,
“Sesungguhnya mengenal Allah ta’ala adalah asas agama. Dan seorang insan tidak
akan bisa mencapai hakikat ajaran agamanya kecuali setelah mengilmui tentang
Allah ta’ala…” (Hushul al-Ma’mul, hal. 14)
Hakekat
ma’rifatullahDiriwayatkan bahwa Ahmad bin ‘Ashim Al Anthaki mengatakan, ”Saya tidak ingin mati sebelum mengenal Tuhanku. Dan bukanlah mengenal-Nya adalah sekedar dengan meyakini keberadaan-Nya, akan tetapi pengenalan yang sesungguhnya adalah ketika kamu mengenal-Nya maka kamupun merasa malu kepada-Nya.” (Jami’ al-‘Ulum, hal. 246)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ma’rifatullah ialah, “Mengenal Allah
‘azza wa jalla dengan hati. Yang dengan pengenalan itu hamba menerima semua
yang disyari’atkan oleh-Nya, sehingga ia mau tunduk dan patuh kepada-Nya.
Dengannya dia mau berhukum dengan menerapkan syari’at-Nya yang telah dibawa
oleh utusan-Nya yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam..” (Syarh
Tsalatsat al-Ushul, hal. 19)
Dua macam
ma’rifatullahIbnul Qayyim rahimahullah [al-Fawa’id, hal. 163] menerangkan,
”Mengenal Allah subhanahu wa ta’ala ada dua macam :
Pertama, ma’rifah (pengenalan) yang berupa pengakuan (tentang Allah). Maka ini adalah sesuatu yang dikerjakan oleh semua orang, yang baik maupun yang bejat, orang yang taat maupun orang yang suka bermaksiat.
Kedua, ma’rifah yang melahirkan perasaan malu terhadap-Nya,
kecintaan karena-Nya, ketergantungan hati kepada-Nya, kerinduan hati untuk bisa
bersua dengan-Nya, perasaan takut kepada-Nya, keinginan kuat untuk bertaubat
dan kembali kepada-Nya, ketenangan dan ketentraman bersama-Nya, meninggalkan
(ketergantungan hati kepada) makhluk dan bergegas menuju kepada-Nya. Inilah
ma’rifah khusus yang mengalir melalui lisan orang-orang pilihan. Perbedaan
tingkat keutamaan mereka dalam hal ini tidaklah bisa diketahui secara persis
kecuali oleh (Allah) Dzat yang telah memperkenalkan diri-Nya kepada mereka dan
telah menyingkapkan tirai ma’rifah kepada-Nya untuk hati-hati mereka; yang hal
itu disamarkan oleh-Nya bagi orang-orang selain mereka.
Setiap orang (dari
kaum pilihan tersebut) memberikan isyarat akan ma’rifah ini sesuai dengan maqam
(kedudukan) yang mereka miliki dan ilmu yang telah Allah bukakan untuk mereka.
Manusia yang paling mengenal Allah (yaitu Nabi, pent) bersabda tentang
diri-Nya, ”Aku tidak sanggup menghingga pujian atas-Mu. Engkau sebagaimana
pujian yang Engkau sanjungkan kepada diri-Mu.” (HR. Muslim [486] dari Abu Hurairah dari
‘Aisyah radhiyallahu’anhuma). Beliau pun mengabarkan bahwa pada hari kiamat
kelak Allah Yang Maha suci akan membukakan baginya pujian-pujian untuk-Nya yang
belum diberitahukan kepadanya sekarang (ketika di dunia).”
Orang-orang yang cerdasSungguh indah perkataan seorang penyair :
Sesungguhnya,
Allah mempunyai hamba-hamba yang cendekia
Mereka ceraikan dunia
Dan khawatir akan malapetakanya
Mereka cermati apa saja yang ada di dalamnya
Tatkala mereka tahu apa isinya
Ternyata dunia
Bukanlah tempat tinggal untuk selama-lamanya
Maka mereka jadikan dunia ibarat samudera
Dan mereka gunakan amal salihnya
Untuk bisa berlayar di atasnya
(Lihat Mukadimah Riyadh as-Shalihin, hal.4. cet Dar as-Salam)
Manusia
dapat mengenal Tuhan melalui beragam jalan. Pengenalan ini dapat dicapai dengan
jalan akal atau jalan hati. Terkadang sebagaimana yang dilakukan para filosof
melalui jalan ilmu hushuli dan berargumentasi dengan menggunakan media indra
empirik dan akal untuk mencapai tujuannya. Terkadang sebagaimana para urafa,
melalui jalan ilmu hudhuri meretas jalan menuju Sang Kinasih dan
menyaksikan-Nya (syuhud). Misalnya untuk memahami wujud api, terkadang
mungkin melalui asap yang membumbung dari api tersebut sehingga wujud api dapat
dipahami. Dan tatkala dengan menyaksikan api itu sendiri ia akan mengetahui (âlim)
wujud api itu dan dengan membakar sebagian badannya pada api ia menemukan dan
merasakan wujudnya.
Bagaimanapun,
dalam dua metode ini, pengenalan hushuli (penggambaran lewat
pikiran) dan pengenalan hudhuri (kehadiran eksistensial), terkadang
jalan dan proses serta tujuan adalah satu seperti seseorang dengan menelaah
pada ayat-ayat Ilahi dan sistem yang berlaku pada ayat-ayat (baca semesta)
tersebut ia sampai kepada Tuhan. Dan terkadang tidak demikian, proses dan jalan
yang satu atau jalan dan tujuan yang satu.
Ketika
seseorang dengan mengenal dirinya kemudian sampai kepada Tuhan maka pengenalan
ini termasuk pengenalan jenis kedua (hudhuri). Dan tatkala ia dengan
merenungi nama-nama dan sifat-sifat Ilahi kemudian mengenal-Nya maka
pengenalannya ini adalah tergolong pengenalan syuhudi.
Dari
tiga jenis pengenalan ini, terkait dengan jalan dan tujuan yang satu dan
manusia menyaksikan temuan-temuannya, pengenalan yang diraupnya ini merupakan
pengenalan yang bernilai sangat tinggi. Karena ia melihat dan mencicipi tujuan.
Pada banyak ayat dan riwayat, ketiga jalan ini dijelaskan. Khususnya yang
ditegaskan bahwa tiada yang lebih jelas dan benderang dari wujud Tuhan dan
melalui-Nya sampai kepada-Nya. Dia adalah cahaya dimana untuk mencerap,
memahami dan melihat-Nya tidak memerlukan selain-Nya. Dan apabila kita tidak
dapat menyaksikan-Nya, hal itu dikarenakan tirai kelalaian yang telah
menghalangi kita pada ranah pengenalan hushuli dan hudhuri.
Kita
tidak memiliki ilmu terhadap ilmu. Dan untuk mencapai pada ilmu rangkapan ini,
maka kita harus menjauhkan segala tirai kegelapan (zhulmani) dan cahaya (nurani).
Dan atas alasan ini disebutkan bahwa mengenal Tuhan merupakan perkara fitri dan
dalil yang ditegakkan untuk menetapkan keberadaan dan mengenal Tuhan
semata-mata suatu peringatan bukan suatu pengetahuan yang diawali dengan
ketidaktahuan dan kebodohan. Namun harus diperhatikan bahwa Dzat Tuhan, adalah
sesuatu yang bukan menjadi obyek pemahaman rasio para filosof dan juga bukan
obyek penyaksian kalbu (syuhud) para arif. Selain itu
,dzat Ilahi, di samping ia dapat dipahami juga dapat disaksikan.
Jawaban Detil
Untuk
menjawab pertanyaan ini, dua perkara media pengenalan harus diperkenalan:
Media-media
pengenalan antara lain, indra (empirik), akal (rasio), dan hati (kalbu).
Panca
indra semata-mata berurusan dengan hal-hal lahir dan tidak menyelam hingga ke
dasar segala sesuatu. Dan meski dengan pesatnya dan majunya seluruh pengetahuan
yang diberikan kepada manusia, ia memiliki keterbatasan dari sisi ruang dan
waktu.
Akal
merupakan kekuatan khusus yang inti pekerjaannya adalah mencerap
pahaman-pahaman universal dan dengan makna ini, derajat dan perannya sangat
banyak di antaranya adalah menalar dan beragumentasi.
Namun
media pengenalan tidak terbatas pada dua media ini. Manusia dapat meraup
pengetahuan yang menukik dan menjulang melalui jalan hati dan kalbu. Dan
menyaksikan apa yang dicapai oleh orang lain melalui argumentasi. Orang-orang
arif mengenal Tuhan melalui jalan ini.
Dengan
kata lain, dalam sebuah klasifikasi universal, makrifat, pengenalan atau
pengetahuan terbagi menjadi tiga antara lain, pengetahuan hushuli, atau
pengetahuan hudhuri, dan pengetahuan syuhudi.
Pengetahuan
hushuli diperoleh melalui pahaman-pahaman pikiran dengan memperhatikan
argumentasi-argumentasi rasional dan filosofis. Pengetahuan hudhuri
adalah pengetahuan tanpa media untuk mencerap pahaman dan merupakan bentuk mental
yang hadir di sisi pencerap. Pengetahuan hudhuri adalah tergolong
sebagai salah satu pengetahuan irfani dan syuhudi dimana realitas luaran
sesuatu tersaksikan oleh sang penyaksi.
Namun
dalam pengenalan hushuli atau rasional yang digunakan adalah
pendahuluan-pendahuluan indrawi dan empirik. Misalnya dengan jalan berpikir
pada tanda-tanda Tuhan atau sistem yang berlaku di alam semesta, ia mengenal
Tuhan dengan mengusung argumen-argumen sederhana. Akan tetapi jika manusia
ingin mengenal lebih jauh, maka ia harus memanfaatkan pendahuluan-pendahuluan
yang murni akal (pure reason).
Bagaimanapun,
harus diperhatikan bahwa pertama, sesuai dengan riset laboratorium dan
produk-produk ilmu murni empirik menegaskan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat
dibuktikan juga tidak dapat ditetapkan. Hal itu dikarenakan tangan empirik
indrawi sangat pendek untuk dapat mencapai domain metafisika. Oleh karena itu,
pengenalan empirik semata tidak dapat menyelesaikan persoalan, melainkan harus
menggunakan pendahuluan-pendahuluan penalaran rasional. Kedua, kendati dalam
teks-teks Islami dianjurkan untuk menelaah ayat-ayat afaqi. Dan dari
sisi lain, lantaran argumentatifnya metode ini, maka ia dipandang sebagai
pengenalan rasional. Namun kita tidak boleh melalaikan poin ini bahwa telaah
dan berpikir pada makhluk-makhluk dan karya-karya ciptaan serta kebijaksanaan
Ilahi, hanya menunjukkan pada sosok yang tahu dan mampu memutar semesta ini.
Namun Dia bagaimana sifatnya, apakah Dia mandiri pada dzat-Nya atau …diperoleh
dengan jalan ini.
Adapun
pengenalan hudhuri dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis:
A. Ilmu hudhuri suatu sebab
kepada akibat;
B. Ilmu hudhuri suatu maujud
nonmateri (mujarrad) kepada dzatnya;
C. Ilmu hudhuri suatu akibat
kepada sebab.
Ilmu hudhuri seluruh maujud
kepada Tuhan tidak termasuk pada dua jenis pertama dan termasuk pada jenis
ketiga. Dan manusia sesuai dengan keterbatasannya tidak dapat mencerap Tuhan,
dan kendati Allah Swt dekat kepada segala sesuatu, namun yang lain karena
keterbatasan dan kekurangan yang dimilikinya, tingkat kedekatan dan kejauhan
kepadanya beragam.
Syaikh
Nashiruddin Thusi Ra menyebutkan sebuah contoh menarik terkait dengan tingkatan
pengenalan, tingkatan pengenalan Tuhan laksana tingkatan pengenalan api dimana
tingkatan terendah ilmu tentang api adalah mendengar sifat-sifat api dari
seseorang, dan tingkatan kedua adalah ilmu yang didapatkan dari asap api,
tingkatan ketiga perasaan panas dan cahaya api; dan tingkatan terakhir,
terbakar dan lebur menjadi debu dalam api.
Poin yang perlu disebutkan di sini
adalah bahwa dalam pembahasan pengenalan dari sudut pandang ketergantungan,
terkadang terkait dengan pembuktian keberadaan Tuhan dan terkadang bertaut
dengan tipologi wujud-Nya, dan pada keduanya manusia juga dapat menggunakan
pemikiran dan juga dari kalbu, ia dapat menggunakan ilmu hushuli dan
juga menyaksikannya dengan ilmu hudhuri. Yang pertama disebut sebagai “burhan”
(argumen) dan yang kedua dinamai “irfan” (gnosis), akan tetapi argumen
filosofis yang banyak digunakan tidak sepadan dan senilai dengan temuan-temuan
irfani.
No comments:
Post a Comment