IDENTIFIKASI
UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK
DI INDONESIA
Oleh M.Rakib. UIN Suska Pekanbaru Indonesia.2014
A.Ruang lingkup perlindungan anak Indonesia
Hal yang
menyangkut, hukuman fisik bagi anak-anak, menurut hasil penelitian ini yang
meliputi dilema hukuman fisik terhadap anak-anak, [1] yang
sudah dilarang oleh UU RI No.23 tahun 2002. Sedangkan hukum Islam
membolehkannya, dalam batas-batas tertentu, sejak 15 abad
yang lalu. Kemudian Undang-Undang
Perlindungan Anak Nomor. 23 tahun
2002 Bab 54 secara tegas menyatakan bahwa, “guru dan siapapun lainnya di
sekolah, dilarang memberikan hukuman fisik,
kepada anak-anak.” Lebih-lebih lagi Indonesia
merupakan salah satu negara anggota penandatanganan
dari konvensi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang
mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan
siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang
merendahkan atau hukuman sebagai berikut:
1. Tuntutan penghapusan hukuman fisik.[2]
Russel menambahkan, "Hukuman fisik yang ringan memang tidak
begitu berbahaya, tapi tetap saja tidak ada gunanya,[3] dalam
pendidikan. Hukuman seperti itu baru efektif kalau bisa menyadarkan si anak.
Sementara hukuman fisik seperti itu biasanya tidak bisa membuat jera.
2.Hukuman fisik bermasalah.
Hukuman
fisik itu membuat si anak merasa terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas
niatnya sendiri."Jawabannya
bahwa anak-anak akan menyadari kekeliruannya melalui hukuman itu, dan kemudian
dia akan lebih mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi orang lain dan
karena ia ingin diterima oleh orang lain, ia akan berusaha menyesuaikan
keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan bantuan atau
memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan demikian, hukuman
fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan kadar dan waktu
yang tepat.
Argumen
lain yang disodorkan oleh kelompok penentang adalah bahwa pendidikan yang
dijalankan dengan menanamkan rasa takut kepada si anak, akan membuat si anak
seperti robot yang harus mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan seperti
itu sangat membahayakan perkembangan jiwa si anak, karena akan melahirkan
anak-anak yang bermental budak yang harus tunduk terhadap segala perintah.
Tentunya hukuman itu harus ringan dan mengena kepada sasaran.[4]
3.Batasan perlindungan terhadap hukuman fisik
Ruang lingkup dan batasan, kewenangan negara
dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak ialah:
1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi , bidang hukum publik dan juga bidang hukum perdata.
2. Perlindungan yang brsifat non yuridis, terdiri dari bidang sosial, dan juga bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
Adapun tentang pengertian perlindungan anak menurut para sarjana :
1. Arif Gosita, perlindungan anak suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban.
1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi , bidang hukum publik dan juga bidang hukum perdata.
2. Perlindungan yang brsifat non yuridis, terdiri dari bidang sosial, dan juga bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
Adapun tentang pengertian perlindungan anak menurut para sarjana :
1. Arif Gosita, perlindungan anak suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban.
2. Abdul Hakim Garuda Nusantara, masalah perlindungan hukum bagi anak me-rupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia, tidak saja pendekatan yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas , ekonomi, sosial dan budaya.
Perlindungan Anak dapat dirumuskan :
1. Suatu perwujudan adanya keadilan dalam masyarakat, merupakan dasar utama perlindungan anak.
2. Suatu usaha bersama untuk melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi dan positif
3. Secara dimensional perlindungan anak beraspek mental.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak:
1. Ruang lingkup perlindungan meliputi, perlindungan pokok antara lain, sandang, pangan , pemukinan, pendidikan kesehatan dan hukum, jasmaniah dan rohaniah, keperluan primer dan sekunder.[5]
2. Jaminan
pelaksanaan perlindungan, hendaknya dituangkan dalam suatu
peraturan yang tertulis baik dalam bentuk undang-undang atau perda, yang
perumusannya sederhana teapi dapat dipertanggungjawabkan serta disebarluaskan
secara merata dalam masyarakat. Kemudian pengaturannya
harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia
Adapun hak dan kewajiban orang tua, menurut UU No 1 Tahun 1974.
1.Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
2.Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka
3.Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya manakla sudah tua.
4.Anak yang belum dewasa berada di bawah kekuasaan orang tua kecuali sudah melangsungkan perkawinan
5. orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbutaan hukum
6, orang tua tidak boleh memindahkan hak /mengadaikan benda yang dimiliki anknya yang belum berumur 18 tahun. Perlu juga diperhatikah hak perdata bagi anak.
Hal-hal keperdataan Anak lain yang diatur antara lain adalah:
1. Hak dan kewajiban anak, orang tua, pemerintah dan masyarakat terhadap Anak; 2. Pemberian Identitas anak dengan pencatatan kelahirannya;
3. Pencabutan kekuasaan terhadap orang tua atau kuasa asuh yang lalai.[6]
4.Pengasuhan
dan pengangkatan anak serta perwalian.
5.Perlindungan
Anak dalam beragama, kesehatan, pendidikan dan sosial Anak.
Perlindungan anak dalam perkara pidana,[7] dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya. Sedangkan masalah perlindungan anak adopsi:
Perlindungan anak dalam perkara pidana,[7] dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya. Sedangkan masalah perlindungan anak adopsi:
1. Adopsi adalah suatu perbuatan pegambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dengan anak yang diangkat timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
2 . Menurut UU No 23 Tahun 2002 ( UU Perlindungan Anak ) Pasal 1 ayat 9 anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekeuasaan orang tua wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan .
Anak-anak menjadi korban yang kekerasan dalam rumah tangga, berhak melapor kepada polisi, apabila si anak tidak dapat melapor, maka orang lain dalam rumah tangga si anak, bahkan orang lain yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan di nsekolah atau dalam rumah tangga, wajib melindungi si anak. Perlindungan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diberikan kepada anak yang menjadi korban kekerasan di sekolah, [8] dan dalam Rumah Tangga dan :
a. Perlindungan dari keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya maupun perlindungan yang didapatkan berdasar penetapan pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan korban secara medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Didampingi oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan
e. Pelayanan bimbingan rohani
B. Urgensi Undang-Undang
Nomor
23 Tahun 2002
UU Nomor 23 Tahun 2002 ini dapat
dengan jelas dilihat dalam pasal 3 dari UU ini. Pasal 3 dari undang-undang ini
menyatakan: Perlindungan anak bertujuan untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujud-nya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Terkait dengan tujuan tersebut, selanjutnya UU ini mengatur lebih lanjut dalam pasal-pasal lain. Dalam hal menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, UU ini mengatur hak tesebut dalam BAB III pasal 4 (Hak dan Kewajiban Anak). Selanjutnya UU ini juga mengatur hak anak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dalam pasal 13. Khusus dalam partisipasi mereka dalam proses pembangunan, undang-undang ini secara tegas mengakui hak anak untuk menyatakan pendapatnya, seperti termuat dalam Pasal 10 yang berbunyi “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.”[9] Dan pada pasal 24 yang menyataakan: “Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.”
Pentingnya pemberian perlindungan hukum bagi anak, [10] baru disadari pemerintah pada sekitar tahun 1997 dengan lahirnya Surat Keputusan Menteri Sosial RI No: 81/huk/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak. Namun dengan persiapan yang sangat lama tersebut, menjadikan kebijakan yang diambil terkesan sangat lambat dan terlalu birokratis. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dari penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki ciri dan sifat khusus memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembngan fisik, mental sosial secara utuh, serasi,selaras dan seimbang.
Kejahatan terhadap kesusilaan pada umumnya menimbulkan kekhawatiran /kecemasan khususnya orang tua terhadap anak wanita karena selain dapat mengacam keselamatan anak-anak wanita (misalnya: perkosaan, perbuatan cabul) dapat pula mempengaruhi proses pertumbuhan ke arah kedewasaan seksual lebih dini. Perihal tindak asusila terhadap anak ini telah diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlingdungan Anak. Secara eksplisit Pasal 81 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Kemudian dalam ayat (2) ditegaskan bahwa seseorang yang melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan juga dikenakan ketentuan sebagaimana ayat (1).
Simaklah angka yang disodorkan oleh
Komisi Nasional Perlindungan Anak. Kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ada
500 kasus, pada 2005 jumlahnya naik 40 persen, mencapai sekitar 700 kasus.
Sebanyak 68 persen kekerasan dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Kejadian
yang tidak dilaporkan diperkirakan jauh lebih banyak. Sebetulnya sudah cukup
lengkap aturan hukum yang melindungi anak-anak. Selain memiliki Undang-Undang
No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan mempuyai Undang-Undang No. 23/2002
tentang Perlindungan Anak.
Dalam undang-undang terakhir,
anak-anak berusia di bawah 18 tahun mendapat perlindungan dari berbagai bentuk
eksplotasi dan kekerasan. Jagankan penganiaya anak sendiri, orang yang
menelantarkan anak orang lain sehingga menjadi sakit atau menderita pun bisa di
penjara lima tahun. Hanya
prakteknya tidak gampang memperkarakan orang tua yang melakukan kekerasan fisik
terhadap anaknya. Anak yang jadi korban penganiayaan atau kekerasan seksual
biasanya belum mampu atau tidak berani melapor ke polisi. Akibatnya banyak
kasus yang baru terungkap setelah anak tewas. Perlakuan salah terhadap
anak, dibagi menjadi dua golongan besar: berasal dari dalam keluarga dan
berasal dari luar lingkungan keluarga.
1. Dalam keluarga, berupa :
1. Dalam keluarga, berupa :
a. Penganiayaan fisik, berupa cacat fisik sebagai akibat hukuman badan di luar batas, kekejaman atau pemberian racun.[11]
b. Kelalaian, merupakan perbuatan yang tidak disegaja akibat ketidaktahuan atau akibatan kesulitan ekonomi, meliputi: pemeliharaan yang kurang memadai, yang dapat mengakibatkan gagal tumbuh (failure to thrive), anak merasa kehilngan kasih sayang, ganguan kejiwaan, keterlambatan perkembangan; pengawasan yang kurang, dapat menyebabkan anak mengalami resiko terjadinya trauma fisik dan jiwa; kelalaian dalam mendapatkan pengobatan, misalnya tidak mendapat imunisasi; dan kelalaian dalam pendididikan meliputi kegagalan dalam mendidik anak untuk mampu beriteraksi dengan lingkungannya, gagal menyekolahkannya atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
c. Penganiayaan emosional. Berupa kecaman dengan kata-kata yang merendahkan anak, atau tidak mengakui anak. Sering pula berlanjut pada melalaikan anak, mengisolasinya dari lingkungan, atau menyalahkan anak secara terus menerus. Biasanya diiringi pula dengan penganiayaan dalam bentuk lain.
2. Di luar keluarga, berasal dari: satu institusi atau lembaga tempat kerja, di jalan dan bisa juga dari medan perang.
Dari uraian tersebut di atas penyusun bermaksud mengakaji UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kemudian mencoba dengan kaca mata Islam, apakah sesuai dengan hukum Islam atau tidak. Hal ini dirasa sangat perlu karena menyangkut kelangsungan hidup manusia terutama anak. Dalam catatan penulis, dari berbagai sumber, hanya di madarasah dan di pesantern , dan disekolah mlainnya, paling banyak terjadi dilemma hukuman fisik,karena lebih banyak manfaat dari pada mafsadat,[12] karena itu, kehadiran undang-undang ini, sangat berarti. Adapun penyebab terjadinya dilemma[13] ini, ialah situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi yang sulit dan membingungkan.Penyebab terjadinya dilemma hukuman fisik bagi anak-anak, ialah dalam satu kelompok anak-anak.
C. Signifikansi UU Perlindungan Anak.
UU Perlindungan
Anak pada Pasal 81 ayat 2 UU NO 23 tahun 2002 Bahwa Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 ( delapan belas ) tahun dikategorikan masih kanak-anak,
juga termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Apabila seseorang belum berumur 18 tahun, tiba-tiba melangsungkan
pernikahan, tegas di katakan pernikahan
anak di bawah Umur. Hal itu merupakan
pemangkasan kebebasan hak si anak dalam memperoleh Hak hidup sebagai remaja
yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang, dan berpotensi secara positif sesuai
apa yang digaris bawahi agama. Jika anak tersebut, dipukul, bisa
dikatakan melakukan kekerasan dan dikriminasi terhadap
anak-anak seperti yang dinyatakan pada Pasal 81 ayat 2 UU No 23
tahun 2002. Bagi orang tua, ada
berkewajiban ntuk mencegah adanya Perkawinan pada usia muda.
Di tinjau dari Perkawinan yang di lakukan oleh Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji dan anak di bawah umur, yang telah dijatuhi putusan Sela nomor 233/Pid.B/2009?PN.UNG oleh majelis Hakim Pengadilan negeri Ungaran Jawa tengah pada tanggal 13 oktober 2009 batal demi hukum. karena dakwaan Jaksa tidak memenuhi syarat yang ada pada pasal 143, ayat (2) huruf B KUHP yaitu tidak menyebutkan keadaan, cara dan posisi terdakwa melakukan persetubuhan terhadap korban.
Penolakan Perkawinan di usia muda yang di lakukan oleh Syekh Puji kepada anak di bawah umur. Penolakakan juga datang dari berbagai aktifis dari berbagai LSM, mengatakan bahwa Dakwaan Jaksa telah memenuhi aspek materil dan Substansi Hukum. sehingga hal yang terjadi dalam persidangan perkawinan anak di bawah umur yang dilakukan oleh syeh Puji ini ada nya Hal yang tidak beres dalam hal keputusan Hakim dan dalam pelaksanaan putusan sering ditemukan di mana pelaku perkawinan dini itu masih bebas walaupun sudah ada keputusan penjara.
2. Undang_Undang, No 23 Pasal 81 ayat 2 Tentang Perlindungan anak.
Sering terjadi pernikahan di bawah umur di kalangan masyarakat selama ini bukan lagi hal yang luar biasa. sering kita temui di berbagai kota di indonesia ini di mana umur di saat melangsungkan pernikahan masih sangat muda dan belum cukup umur. kita ambil contoh daerah Indramayu jawa barat bisa di katagorikan sangat banyak kasus di temui ana-anak yang belum cukup umur telah melangsungkan pernikahan. bahkan masih muda belia telah menjalani hidup sebagai janda. alangkah tragis nya orang tua yang sampai hati menikahkan anak nya yang masih usia muda sudah harus dinikah kan. walaupun nanti nya akan menjadi janda. di lihat dari segi adat istiadat yang ada di beberpa daerah di indonesia ini. memang banyak di temui pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini seperti yang di lakukan oleh syeh puji ini seharus nya syeh puji di jatuhi hukuman 10 tahun penjara bahkan maksimal 15 tahun penjara denda 60 juta dengan subsider enam bulan kurungan. tapi kenapa Majelis Hakim memutuskan hanya 4 tahun penjara.
Korban dari perkawinan di usia muda
ini sering di perlakukan tidak manusiawi dari si pelaku dan dari pihak orang
tua si korban perkawinan dini tersebut. sementara itu orang tua dari pihak
wanita sering kali ikut terlibat tuk menikah kan anak pada usia muda walaupun
belom cukup umur. pada kasus syeh puji ini seharus nya ulfa di kembalikan
kepada orang tua nya, namun karena orang tua Ulfa ikut terlibat dalam
pernikahan di bawah umur tersebut seharusnya ulfa di serahkan kepada negara
agar mendapat pengasuhan yang benar layak nya ana-anak. mungkin saja kalau
masih berada di tangan terdakwa masih bisa di kuasai oleh Syekh Puji.timbul
pertanyaaan , antara lain :
a. Apa hakekat pernikahan di laksanakan disaat anak masih belum
belum cukup umur ?
b. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadi adanya pernikahan
antara Syekh Puji dan Ulva yang terjadi di Ungaran tersebut ?
c. Kenapa di majelis Hakim memutuskan penjara kepada syekh Puji
hanya 4 tahun penjara?
d. Usia berapakah seharusnya pernikahan yang ideal di lakukan?
e. Apakah Pernikahan anak di bawah umur bisa di katakan suatu
tindakan kriminal?
f. Sejauh mana peranan masyarakat dan Pemerintah untuk
mengimplementasikan hukum positif tentang pernikahan anak di
bawah umur.
Kekerasan yang dilakukan
oleh orang tua dan guru kepada ,menunjukkan hukuman yang kejam.Fenomena
kekerasan dalam bentuk hukuman di rumah atau di sekolah sudah saatnya
ditiadakan, karena hukumankadang-kadang tidak memecahkan masalah, tapi justru
sebaliknya menumbuhkan kebencian dan rasa sakit hati murid.Itu membuktikan
kepada kita bahwa anak tidak hanya memiliki guru yang tunggal di kelas, tapi
guru bagi anak-anak kita sekarang banyak dan beragam, mulai dari mall, ‘play station’, televisi, dan lingkungan
sekitar,” ujarnya. Karena itu,
seharusnya bentuk-bentuk hukuman di sekolah sudah tidak relevan lagi, karena
hanya akan memunculkan kebencian dan kekerasan baru, sementara di luar
bentuk-bentuk kekerasan telah sedemikian nyata dilihat siswa. Pendidikan yang
paling berpengaruh adalah pendidikan emosi, di mana guru harus bisa
mengendalikan emosi saat berada di dalam kelas. Emosi itu sebetulnya tidak ada yang
negatif dan positif, tapi yang harus diingat bahwa emosi itu harus
dikendalikan,” katanya. Melalui pengendalian emosi itulah, katanya, akan
tercipta emosi positif, dan akan menghasilkan hati yang senang dan situasi otak
cemerlang.
Belajar itu memang perlu kerja
keras, tapi jika kerja keras itu dilakukan dengan berbagai kegiatan yang
menyenangkan, maka hasilnya juga akan menyenangkan, dan menjadi pendidik yang
menyenangkan pula. Menurut dari data – data yang saya lihat yakni bangkitnya
minat siswa terhadap pelajaran yang diberikan, adanya keterlibatan siswa,
terciptanya makna, munculnya semangat untuk menguasai materi pelajaran, dan
munculnya atau didapatkannya nilai kebahagiaan.[14]Tindak
kekerasan guru terhadap siswa kembali marak di media massa. Sebuah rekaman
video singkat yang berdurasi 1 menit 7 detik yang terjadi di salah satu SMK
Negeri Gorontalo merupakan salah satu contoh tindak kekerasan guru terhadap
siswa yang semestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak dapat
mengendalikan diri. Video ini direkam oleh salah seorang siswa tanpa
sepengetahuan guru yang bersangkutan.
Pada dasarnya orang tua dan guru
menginginkan anak-anak berperilaku baik dan sopan bukan karena takut akan
hukuman. Guru yang melakukan hukuman dengan tindak kekerasan fisik, mempunyai
tujuan semata-mata untuk mendisiplinkan siswanya. Hanya saja, cara yang
dilakukan guru dan penerapan tersebut
perlu dikoreksi kembali. Demikian pula dengan pihak sekolah. Dalam
menyikapi kasus tersebut pihak sekolah perlu mengambil langkah yang tepat untuk
mendisiplinkan siswa. Akan
tetapi, anak-anak penting untuk dilindungi.[15]
Perlakuan kasar kepada anak dapat menyebabkan cedera bagi anak. Penganiayaan fisik ini berkaitan dengan hukuman fisik yang berlebihan. Akibatnya dapat menyebabkan anak cacat bahkan kematian, di samping itu akan mengganggu sikap emosional anak. Risikonya anak menjadi depresi, cemas, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan di sekolah.Di sekolah-sekolah yang tata tertibnya tidak konsisten biasanya akan terjadi berbagai macam masalah yang sangat menghambat proses belajar mengajar. Selain itu, tidak terlaksananya peraturan atau tata tertib secara konsisten akan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan siswa, baik di dalam maupun di luar sekolah.Walaupun setiap sekolah telah mempunyai peraturan tersendiri bukanlah berarti sekolah tersebut tidak menemukan berbagai bentuk pelanggaran. Pelanggaran terhadap peraturan sekolah kerap dilakukan oleh parasiswa.[16]
Disiplin di sini diartikan
ketaatan pada peraturan. Dari sini semuanya bermula, sebelum disiplin
diterapkan perlu dibuat peraturan atau tata tertib yang benar-benar realistik
menuju suatu titik, yaitu kualitas . Lalu mengapa banyak sekolah yang mutunya
rendah baik ditinjau dari nilai-nilai siswa, kinerja personal sekolah. Jawabanya
mungkin disebabkan masih belum jelasnya peraturan sehingga tidak mudah
diaplikasikan, atau buruknya pengawalan penerapan peraturan itu. Dalam hal ini
kekurangkonsistenan semua pihak. Bahkan kadang gurupun tidak tahu apa yang
harus dilakukan dalam kelas, sehingga ia hanya mengajar apa adanya terkesan
menghabiskan waktu mengajar saja.
Banyak hal yang harus ditangani
dalam ranah pendidikan di sekolah, tapi jika itu terlalu berat mungkin bisa
saja sedikit dikurangi hanya untuk hal belajar dan mengajar saja. Selama ini
yang terjadi di beberapa sekolah adalah seringnya kelas kosong saat jam
belajar. Ini dikarenakan guru tidak masuk kelas dan tanpa ada tugas yang harus
dikerjakan siswa. Ketidakmasukan guru itu bisa saja karena kepentingan dinas atau
yang lain. Ketidaktepatan dalam hal guru masuk
kelas sehingga jeda waktu pergantian jam bisa dimanfaatkan siswa untuk
melakukan tindakan indisipliner. Komitmen guru dalam hal ini kadang sering
menjadi penyebabnya. Dalam manajemen sekolah, biasanya pengawasan banyak yang
tidak bisa berjalan dengan baik, lebih-lebih jika komitmen guru dan siswa
rendah maka sekolah-pun akhirnya sulit majunya.[17]
Tapi ternyata peraturan sekolah itu ada gunanya juga… di antaranya ialah :
1.Agar sekolah menjadi tertib
2.Agar dapat mengikuti proses KBM
(kegiatan belajar mengajar) dengan nyaman dan tenang.
3.Melatih murid untuk tepat waktu
4.Melatih murid disiplin
5.Melatih murid untuk mandiri
6.Melatih murid menaati peraturan di masyarakat kelak, dan melatih respon mereka
dalam menyikapi sebuah peraturan.[18]
Menurut Clemes ,2001:47, ada beberapa pertanda yang menunjukkan bila hukuman
dan disiplin sekolah mungkin tidak sesuai untuk diterapkan, sehingga anak sulit
untuk mematuhi disiplin sekolah disebabkan:
1.Anak yang mempunyai citra diri yang sangat buruk, dan sangat dipengaruhi oleh kegagalannya sendiri, pasti membutuhkan penghargaan.
2.Anak yang takut mencoba hal-hal yang baru, takut menerima tantanngan dan sulit melakukan kegiatan yang melelahkan, mungkin akan lebih bersemangat bila diberikan penghargaan.
3.Anak yang sangat manja dan takut melakukan tugasnya sendirian, perlu diberikan penghargaan, jika dia ternyata mampu melaksanakan tugasnya tanpa bantuan orang lain.
4.Anak yang merasa kecewa, karena selalu dibandingkan dengan saudaranya yang lebih pintar, lebih rajin, lebih mandiri, dan lebih aktif, perlu diberikan penghargaan agar dia merasa mampu untuk berhasil.
5.Anak yang sering meperlihatkan citra diri yang negatif, atau perasaan takut yang berlebihan dengan mengatakan hal-hal seperti “Saya tidak dapat melakukannya,” dan “Saya selalu gagal,” “Saya tidak akan mampu melakukannya lagi,” adalah anak yang mungkin membutuhkan penghargaan.[19]
6.Anak yang mengalami gangguan fisik, motorik, atau organik, dan karena kesulitan semacam itu, sering mengalami kegagalan dibandingkan anak lainnya yang sebaya dengannya, perlu diberikan tugas yang sesuai dengan kebutuhannya yang khas dan juga perlu diberikan penghargaan, atas keberhasilannya dalam melaksanakan tugasnya.
Di sekolah-sekolah yang tata tertibnya tidak konsisten biasanya akan terjadi berbagai macam masalah yang sangat menghambat proses belajar mengajar. Selain itu, tidak terlaksananya peraturan atau tata tertib secara konsisten akan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan siswa, baik di dalam maupun di luar sekolah. Penerapan disiplin sekolah sangat bergantung pada tekniknya. Di bawah ini diuraikan tiga teknik penerapan disiplin sekolah yang tertuang dalam bentuk peraturan sekolah, yakni “peraturan otoritarian, peraturan permisif, peraturan demokratis.”
1. Peraturan
otoritarian
Dalam peraturan otoritarian,
peraturan dibuat sangat ketat dan rinci. Orang yang berada dalam lingkungan
disiplin sekolah ini, diminta mematuhi dan menaati peraturan yang telah disusun
dan berlaku di tempat itu. Apabila gagal menaati dan mematuhi peraturan yang
berlaku, akan menerima sanksi atau hukuman berat. Sebaliknya, bila berhasil
memenuhi peraturan, kurang mendapat penghargaan atau hal itu sudah dianggap
sebagai kewajiban. Jadi, tidak perlu mendapat penghargaan lagi. Disiplin
sekolah yang otoritarian selalu berarti pengendalian tingkah laku berdasrkan
dorongan, tekanan, pemaksaan dari luar diri seseorang.
2.
Peraturan permisif
Dalam peraturan ini seseorang
dibiarkan bertindak menurut keinginannya. Kemudian dibebaskan untuk mengambil
keputusan sendiri dan bertindak sesuai dengan keputusan yang diambilnya itu.
Seseorang yang berbuat seseuatu, dan ternyata membawa akibat melanggar norma
atau aturan yang berlaku, tidak diberi sanksi atau hukuman. Dampak teknik
permisif ini berupa kebingunan dn kebimbangan. Penyebabnya karena tidak tahu
mana yang tidak dilarang dan mena yang dilarang atau bahkan menjadi takut, cemas,
dan dapat juga menjadi agresif serta liar tanpa kendali.
3.
Pendekatan yang demokratis
Pendekatan
peraturan demokratis dilakukan dengan memberi penjelasan, diskusi dan penalaran
untuk membantu anak memahami mengapa diharapkan mematuhi dan menaati peraturan
yang ada. Teknik ini menekankan aspek edukatif bukan aspek hukuman. Sanksi atau
hukuman dapat diberikan kepada yanng menolak atau melanggar tata tertib. Akan
tetapi, hukuman dimaksud sebagai upaya menyadarkan, mengoreksi dan mendidik.
Dalam disiplin sekolah yang demokratis, kemandirian dan tanggung jawab dapat
berkembang. Siswa patuh dan taat karena didasari kesaadaran dirinya. Mengikuti
peraturan yang ada bukan karena terpaksa, melainkan atas kesadaran bahwa hal
itu baik dan ada manfaat.
Sanksi adalah hukuman yang diberikan kepada siswa atau warga
sekolah lainnya yang melanggar tata tertib atau kedisiplinan yang telah diatur
oleh sekolah, yang secara eksplisit berbentuk larangan-larangan. Hal ini
menurut Depdiknas 2001:10, “Sanksi yang diterapkan agar bersifat mendidik,
tidak bersifat hukuman fisik, dan tidak menimbulkan trauma psikologis.” Sanksi
dapat diberikan secara bertahap dari yang paling ringan sampai yang
seberat-beratnya. Sanksi tersebut dapat berupa:
1.Teguran lisan atau tertulis bagi yang melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sekolah yang ringan.
2.Hukuman pemberian tugas yang sifatnya mendidik, misalnya membuat rangkuman buku tertentu, menerjemahkan tulisan berbahasa Inggris, matematika dan lain-lain.
3.Melaporkan secara tertulis kepada orang tua siswa tentang pelanggaran yang di-lakukan putera-puterinya.
1.Teguran lisan atau tertulis bagi yang melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sekolah yang ringan.
2.Hukuman pemberian tugas yang sifatnya mendidik, misalnya membuat rangkuman buku tertentu, menerjemahkan tulisan berbahasa Inggris, matematika dan lain-lain.
3.Melaporkan secara tertulis kepada orang tua siswa tentang pelanggaran yang di-lakukan putera-puterinya.
4.Memanggil yang bersangkutan bersama orang tuanya agar yang bersangkutan tidak mengulangi lagi pelanggaran yang diperbuatnya.
5.Melakukan skorsing kepada siswa apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran peraturan sekolah berkali-kali dan cukup berat.
6.Mengeluarkan yang bersangkutan dari sekolah, misalnya yang bersangkutan tersangkut perkara pidana dan perdata yang dibuktikan oleh pengadilan.
Pemberian hukuman tidak ada bedanya
dengan pemberian penghargaan. Antara pemberian hukuman dan penghargaan
merupakan respons seseorang kepada orang lain karena perbuatannya. Bedanya,
pemberian penghargaan termasuk respons positif, sedangkan pemberian hukuman,[20] termasuk respons negatif. Akan
tetapi, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengubah tingkah laku
seseorang. Adapun respons positif bertujuan agar tingkah laku yang sudah baik
akan lebih bertambah frekuensinya sehingga akan lebih baik lagi di masa mendatang.
Sedang respons negatif (hukuman) bertujuan agar seseorang yang memiliki tingkah
laku yang tidak baik itu dapat berubah dan lambat laun akan mengurangi
frekuensi negatifnya.
Tegaknya peraturan sekolah secara konsisten merupakan faktor pertama dan utama yang dapat menunjang berlangsungnya proses belajar yang baik. Baik buruknya lingkungan sekolah sebenarnya sangat ditentukan oleh peraturan atau tata tertib yang dilaksanakan secara konsisten. Hanya di sekolah dengan peraturan yang konsistenlah proses belajar dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan rencana yang telah ditentukan di dalam kurikulum. Dengan adanya peraturan tersebut, sekolah dapat berfungsi sebagai arena persaingan yang sehat bagi para siswa untuk meraih prestasi yang semaksimal mungkin. Selain itu, yang paling penting, dengan adanya peraturan yang dijalankan secara konsisten, sekolah dapat menjalankan perannya sebagai lembaga pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas tingkah laku siswa.[21]
Apa
kegunaan peraturan yang dicanangkan oleh banyak sekolah ? Banyak anak –
anak yang tidak setuju dengan masalah tersebut. Dan hanya segelintir orang yang
merasa menyukai tata tertib. Tentu peraturan dibuat bukan untuk dilanggar.
Tetapi, sebagian siswa merasa harus mengubah aturan yang dianggap kurang bermutu itu. Tak semua siswa
berambut gondrong itu, nakal, karena
rambut tak mempengaruhi akal pikiran. Meskipun ia botak kalau memang nakal
tetap nakal, meskipun rambutnya panjang tapi kalau asalnya pintar akan pintar juga.[22] Mereka yang kurang percaya diri,
akan rambutnya akan malas turun ke sekolah karena malu dengan rambutnya yang
tidak cocok apabila dicukur pendek, atau
mereka akan belajar bolos. Bolos itu tak hanya disebabkan oleh faktor
malas tetapi juga malu. Itu semua akibat
aturan. Begitupun dengan seragam yang hanya menjadi logo/formalitas
belaka. Siswa yang ingin sekolah diharuskan memakai seragam lengkap dengan
atributnya.
Mengapa orang barat dan jepang yang tak memakai seragam dan berambut gondrong,tapi bisa menguasai dunia dengan kepintarannya. Banyak orang yang rapi,disiplin,pandai menjadi musuh masyarakat/koruptor. Itu semua hanya topeng belaka, jangan mendidik siswa dengan topeng. Seakan-akan niat tulus itu tak berarti apa-apa dibandingkan BP3 dan seragam sekolah. Itu sebabnya banyak siswa nakal menjadi pembangkang,karena mereka sekolah tidak didasari niat itu tadi.Banyak salah persepsi dari orangtua terhadap hukuman yang didapat sang anak dari guru mereka.
Bahkan sebagian menganggap ini merupakan
bentuk kekerasan fisik ataupun mental dan sangat berpengaruh bagi perkembangan
anak-anak mereka. Tanggapan dan reaksi dari orangtua seperti ini sebenarnya
wajar saja, sebab setiap orangtua pasti tidak mau menerima anak-anak mereka
yang dianggap nakal atau tidak disiplin. Sebenarnya hukuman bukan berarti
kekerasan, terlebih jika diberikan secara tepat dan edukatif. Namun semua itu
dikembalikan kepada guru yang memberlakukan hukuman tersebut. Hukuman bisa saja
berubah menjadi suatu kekerasan baik kekerasan fisik maupun psikologis jika
guru yang membuat hukuman tersebut tidak mengetahui tujuan dan fungsi
diberikannya hukuman kepada murid atau tidak bisa menggunakan hukuman tersebut
secara tepat. Bahkan bisa saja pemberian hukuman tersebut dapat menimbulkan
rasa dendam ataupun trauma dari murid akibat tidak bisa menerima hukuman yang
diberikan oleh gurunya, selain itu dapat juga menurunkan rasa percaya diri
murid bahkan dapat melemahkan hubungan guru dengan murid.
Orangtua sebaiknya memang diberi
tahu bahwa anaknya dihukum di sekolah, namun tentunya guru harus bisa
menjelaskan penyebab murid tersebut mendapat hukuman agar orangtua juga bisa
menerima konsekuensi atau resiko yang diterima oleh anaknya, dengan demikian
tidak akan terjadi salah paham antara orangtua dengan guru. Akan lebih baik
jika sebelumnya ada kesepakatan yang sudah dibuat secara tertulis antara guru
dengan murid.Bahkan juga dengan orangtua tentang bentuk konsekuensi positif dan
negatif yang akan diberikan kepada murid dalam rangka penerapan disiplin di
kelas maupun di sekolah, sehingga jika terjadi suatu pelanggaran yang membuat
seorang murid harus menerima konsekuensi berupa hukuman di sekolah / kelas maka
orangtua mengetahuinya dan bisa menerima konsekuensi yang diterima anaknya
sebagai suatu pembelajaran.
Idealnya jika hukuman tersebut
diberikan secara tepat. Artinya tepat dalam porsinya, tepat dalam waktu
pemberiannya, tepat dalam penggunaannya, dan tepat dalam bentuk hukumannya
serta ada follow up atau pembahasan
dari hukuman yang diberikan, maka akan memberikan efek sadar dan jera bagi
murid yang mengalaminya, dengan harapan tidak akan mengulangi kesalahan atau
pelanggaran yang sama dan lebih bertanggung jawab atas perilakunya. Maka hukuman tersebut menjadi
efektif. Namun sebaliknya, jika hukuman diberikan dalam porsi yang tidak sesuai
dengan kesalahan yang dilakukan, waktu pemberiannya tidak segera serta bentuk
hukumannya tidak ada nilai edukasinya dan tidak ada tindak lanjutnya, maka
hukuman tersebut tidak akan efektif dan tentunya tidak bisa memberikan efek
jera dan tidak membuat murid menyadari kesalahannya, bahkan hukuman tersebut
justru akan menjadi penguat bagi perilaku buruk murid, terlebih jika guru
mengabaikan perilaku positif yang coba ditunjukkan oleh murid.
Hukuman dalam konteks “mengajari siswa” seharusnya
diperbaiki lagi. Dalam hal edukasi yang tepat dan tindak lanjutnya kepada siswa
setelah hukuman itu diberikan kepada siswa tersebut. Tetapi kalau hukuman dalam
konteksnya “membunuh siswa” sebaiknya itu dihilangkan saja. Para orang tua juga
sebaiknya memberikan andil yang besar untuk perkembangan anaknya pula. Dengan
pengawasan dan perhatian dari para orang tua, para siswa pun / anak – anak akan
terhindar pula dari “hukuman. Ditulis
dalam PIKA | Bertanda: hukuman
siswa seharusnya,
kedisiplinan
siswa sekarang,
peraturan
disiplin hukuman,
peraturan
sekolah sekarang,
seharusnya
pelanggaran siswa,
tindak
lanjut hukuman.
Tak seorangpun menginginkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi di
lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara damai dan
edukatif. Namun kenyataannya masih banyak, bahkan hampir semua sekolah/madrasah
belum dapat memberikan hak anak, bahkan melakukan kekerasan terhadap anak.
Tanpa disadari hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang
Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
Deklarasi PBB tentang hak-hak anak
Hukuman secara fisik dan emosional dari guru terhadap murid merupakan
hal yang lumrah terjadi di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak guru
biasa mencubit, memukul anak-anak bahkan menghina mereka, baik di
sekolah-sekolah negeri maupun sekolah yang berbasis keagamaan. Kadang guru
tidak menyadari bahwa hal ini sebetulnya terlarang dalam hukum Indonesia.
Undang-undang Perlindungan Anak No. 23, bab 54 secara tegas menyatakan bahwa
guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik
kepada anak-anak.
Kritik penulis terhadap UU ini ialah,[23]
mengapa tidak dibuat pengualian di dunia
pendidikan, karena di dunia pendidikan ada hukuman pemukulan murid ,tapi tidak
mengandung kekerasan. Walaupun Indonesia merupakan salah
satu penanda tanganan dari konversi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam
artikel 37 yang mengharuskan negara menjamin bahwa:
”Tak seorang anakpun boleh
mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun
perlakuan yang merendahkan atau hukuman”. Meski demikian, tampaknya
undang-undang tersebut belum dipahami oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal
ini sebagaimana laporan penelitian Hidayati, dari penelitian lapangan terhadap
8 Madrasah Ibtidaiyah di propinsi Riau ditemukan bahwa hukuman jasmani lumrah
terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan kisaran antara 50% - 80%,
anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami hal ini dari guru-guru
mereka secara rutin.[24] Ibarat gunung es,
kasus kekerasan, sering muncul di permukaan. Masih banyak tindak kekerasan dalam pendidikan yang tidak
tampak.[25]
Demikian rapuhnya kenyamanan anak-anak di dunia
pendidikan, hingga aksi kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap
para pelajar, para remaja, bahkan Balita, terus meningkat. Karena itu perlu diperhatikan dan
dianalisis kembali tentang:
1.Hak Anak dalam Pendidikan
Dalam Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) Pasal
1 disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan
hendaknya diselenggarakan secara bebas (biaya), sekurang-kurangnya pada tingkat
dasar. Di samping itu, pendidikan dasar haruslah bersifat wajib; pendidikan
keahlian dan teknik hendaknya dibuat secara umum dapat diikuti oleh peminatnya;
dan pendidikan tinggi hendaknya dapat diakses secara sama bagi semua orang atas
dasar kelayakan.
Dalam Pasal 2 Deklarasi HAM juga dinyatakan bahwa pendidikan hendaknya
diarahkan untuk mengembangkan secara utuh kepribadian manusia dan memperkokoh
penghormatan terhadap HAM dan kebebasan asasi. Pendidikan hendaknya mendorong
saling pengertian, toleransi, dan persahabatan antar berbagai bangsa tanpa
memandang perbedaan ras dan agama, dan hendaknya meningkatkan kegiatan PBB
untuk memelihara perdamaian.
Sedangkan pada Pasal 3 disebutkan bahwa orang tua memiliki hak utama
untuk menentukan jenis pendidikan yang semestinya diberikan kepada anak-anak
mereka. PBB menindaklanjuti pasal-pasal ini melalui berbagai kegiatan untuk
memelihara perdamaian dunia. Dengan kata lain, pendidikan damai adalah upaya
menyeluruh PBB melalui proses belajar mengajar yang humanis, dan para pendidik
damai yang memfasilitasi perkembangan manusia. Mereka berjuang melawan proses
dehumanisasi yang ditimbulkan akibat kemiskinan, prasangka diskriminasi,
perkosaan, kekerasan, dan perang.
Dalam upaya global, para pendidik berupaya memajukan pengajaran nilai,
standar dan prinsip yang terwujud dalam instrumen sebagaimana Pemusnahan Semua
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on Elimination of all
Form of Discrimination Against Women,
CEDAW),[26]]Descrimination Based on Religion or
Belief).[27] Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child, CRC), dan Deklarasi Sedunia tentang
Pendidikan untuk semua (Education for
all).
Secara khusus dalam CRC terdapat empat prinsip dasar dalam
menyelenggarakan pendidikan yang dapat memenuhi hak anak, yaitu: non-discrimination (non
diskriminasi), the best interests of the child (kepentingan terbaik bagi
anak), the right to life, survival and
development (hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan), dan respect for the views of the child
(penghargaan terhadap pendapat anak). Pertama, Non-discrimination.Yang dimaksud
non diskriminasi adalah penyelenggaraan pendidikan anak yang bebas dari
diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang etnis, agama, jenis kelamin,
ekonomi, keluarga, bahasa dan kelahiran serta kedudukan anak dalam status
keluarga. Untuk mengimplementasikan prinsip ini pemerintah memiliki kewajiban
untuk mengambil langkah-langkah yang layak,[28]antara lain:
1.
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
The Best
Interests of The Child. Yang dimaksud dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, adalah dalam semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan,
kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, badan
legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus
menjadi pertimbangan utama.
2.
Prinsip hak hidup .
The
Right to Life, Survival and Development.Yang dimaksud dengan prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan
perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang harus dilindungi
oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua.[29]Karena itulah KHA memandang pentingnya pengakuan serta jaminan dari
negara bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak, seperti dinyatakan dalam
pasal 6 ayat 1, bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memilki
hak yang melekat atas kehidupan (inherent
right to life)”, serta ayat 2 “ negara-negara peserta secara
maksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development of child)”.
3.
Penghargaan terhadap
pendapat anak.
Respect
for The Views of The Child. Yang dimaksud dengan
penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk
berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama
jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Kemudian pembelajaran berbasis pemenuhan hak anak
ialah:
a. Menciptakan suasana kondusif
Suasana yang kondusif akan meningkatkan minat dan motivasi belajar
anak. Oleh karenanya, suasana yang kondusif perlu terus dijaga ketika proses
pembelajaran dan latihan dilakukan. Sebab dengan suasana tersebut internalisasi
nilai dan sikap menjadi efektif. Bila dijumpai perusak suasana hendaklah segera
diatasi agar tidak merusak keseluruhan proses. Dari sebuah penelitian
menunjukkan bahwa lingkungan sosial atau suasana kelas merupakan penentu utama
psikologis yang mempengaruhi belajar akademis. Di samping itu, guru akan
mencapai hasil lebih tinggi jika mereka mampu menyingkirkan segala amcam
ancaman, melibatkan emosi siswa dan membangun hubungan yang humanistik. Bobbi dePorter menyarankan terpenuhinya enam suasana agar dapat
membangkitkan minat, motivasi, dan keriangan anak mengikuti proses belajar:
Pertama, menumbuhkan niat belajar. Keyakinan seseorang mengenai
kemampuan dirinya amat berpengaruh pada kemampuan itu sendiri. Dalam proses
belajar-mengajar, baik guru maupun siswa hendaknya dapat membangkitkan niat
tersebut dari dalam dirinya sendiri. Bila dijumpai siswa yang kurang
bersemangat, maka mentalitas guru terhadap iklim belajar akan menjadi teladan
dan berpengaruh bagi keseluruhan proses belajar. Memperhatikan emosi siswa juga
dapat membantu percepatan pembelajaran mereka. Bila niat tidak mudah tumbuh
dari dalam diri sendiri, dorongan orang lan, dalam hal ini terutama guru, amat
diperlukan, agar tidak mempengaruhi semangat belajar yang lain.
Kedua, menjalin
rasa simpati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian sosial, sikap
toleransi dan saling menghargai di antara siswa. Ada beberapa langkah yang bisa
ditempuh, seperti memperlakukan siswa sebagai manusia sederajat,[30]
mengetahui apa yang disukai siswa, cara pikir mereka, dan
perasaan mereka mengenai hal-hal yang terjadi dalam kehidupan mereka. Membayangkan apa yang
siswa lakukan, antara lain:
Pertama, mengetahui hal
yang menghambat para siswa dalam memperoleh hal yang benar-benar mereka
inginkan. Jika guru memang tidak mengetahui hal yang diinginkan siswa, maka
sebaiknya ditanyakan kepada siswa.
Kedua, hindari sejauh
mungkin sikap sok tahu. Berbicara dengan jujur kepada para siswa dengan cara yang membuat
mereka mendengarkan dengan jelas dan halus. Melakukan kegiatan yang
menyenangkan bersama para siswa.
Ketiga,
menciptakan suasana riang. Kegembiraan membuat siswa lebih mudah untuk belajar
dan bahkan dapat mengubah sikap negatif. Belajar dalam iklim menyenangkan,
tanpa ada paksaan dan tekanan, akan menimbulkan kesadaran untuk menemukan
sendiri jawaban atas persoalan yang dihadapi. Sebaliknya suasana tegang dan
tertekan mengakibatkan siswa belajar dengan terpaksa. Menciptakan suasana riang
dapat dilakukan dengan membiasakan membuat selingan. Misalkan, bertepuk tangan,
berteriakan ‘hore’ menghentikkan jari, menulis poter, membuat catatan pribadi,
membuat kejutan, pengakuan atas prestasi siswa, pujian maupun penguatan. Hal
terpenting dar langkah ini adalah menjaga suasana riang agar tidak berubah
menjadi senda gurau.
Keempat,
mengambil risiko. Sebagai gambaran, misalnya belajar naik sepeda di masa kecil?
Pada mulanya susah,…namun terus dicoba. Kadang kala jatuh, tapi masih tetap mau
bangun. Tidak jarang terluka karena kurang hati-hati. Memang berisiko, tetapi
tetap menyenangkan. Keberanian mengambil risiko yang menantang itulah terletak
keasyikan belajar. Hal-hal itulah yang hendaknya diwujudkan dalam suasana belajar
di ruang kelas: tidak mudah menyerah, terus berpikir untuk memecahkan masalah.
Belajar dengan tantangan bisa mengurangi kejenuhan dan rasa bosan.
Kelima, menciptakan rasa saling memiliki. Sebab, rasa saling memiliki
membentuk kebersamaan, kesatuan, kesepakatan dan dukungan dalam belajar. Rasa
saling memiliki juga memeprcepat proses mengajar dan meningkatkan kepemilikan.
Kebanyakan konflik kekerasan yang muncul adalah akibat ketiadaan rasa saling
memiliki. Pendidikan damai amat mementingkan kebersamaan, kesatuan dan
kesepakatan bersama untuk saling menghargai perbedaan dan menyelesaikan konflik
tanpa keerasa.
Keenam, menunjukkan teladan yang baik. Perilaku
nyata akan lebih berarti daripada seribu kata. Hal-hal yang diperbuat oleh guru
akan menjadi cermin bagi para murid. Untuk itu, sebaiknya mendahulukan
bukti-bukti berupa sikap, sikap damai, kasih sayang, empati, disiplin dna lain
sebagainya, sebelum mengajarkan dengan kata kepada orang lain tentang damai,
kasih sayang dan seterusnya.
Langkah-langkah antisipasi
hukuman fisik, terhadap remaja. Hal ini bisa dilakukan
dengan beberapa cara berikut.: 1.Memberikan teladan dalam wujud komunikasi yang jelas 2.Mengakui setiap usaha
siswa 3.Murah senyum 4. Menggunakan energi
untuk menciptakan lebih banyak energi 5. Menjadi pendengar yang baik 6. Mengungkapkan pikiran
para siswa melalui kata-kata Anda sendiri. 7.Menyatakan kembali situasi negatif untuk
menemukan hal-hal yang positif di dalamnya.
b. Meningkatkan kualitas emosi positif
Contoh-contoh kualitas emosi positif adalah sikap jujur, toleransi,
saling menghargai, empati terhadap sesama, rasa percaya diri, sabar, dan
sebagainya. Emosi positif ini umumnya dimiliki oleh siswa atau remaja dari
interaksi sosialnya, seperti keluarga, sekolah dan pergaulan mereka di tengah
masyarakat. Pendidikan keluarga yang baik akan mendukung keberhasilan anak atau
remaja di sekolah. Begitu pula halnya dengan masyarakat. Ketiganya berinteraksi
secara sinergis, saling mempengaruhi. Anak yang pembohong umumnya berasal dari
keluarga yang suka bohong. Sebaliknya, keluarga yang hidup membiasakan
kejujuran, rasa tolerasi, saling menghargai, percaya diri sabar dan lain-lain.
Menyebabkan anak atau remaja akan terpola dengan kualitas emosional tersebut.
Kualitas emosional yang demikian sepatutnya ditingkatkan melalui pendidikan
formal di sekolah.
Pendidikan berfungsi menanamkan kualitas emosi positif kepada peserta
didiknya. Proses internalisasi nilai positif bukanlah pengetahuan tentangnya,
seperti memperkenalkan apa itu jujur, bagaimana konsep toleransi, atau
menjelaskan apa itu empati. Sama sekali bukan pengetahuan tentangnya. Proses
internalisasi nilai positif adalah penciptaan suasana, teladan, penerapan
strategi belajar dan interaksi sosial dalam komunitas pendidikan. Penanaman
kualitas emosi positif berguna bagi pembentukan watak (character building)
Membangun watak tergolong dalam hidden curriculum yang
pencapaiannya bergantung pada proses pendidikan ketimbang pada substansinya.
Watak tidak dapat diajarkan, melainkan diperoleh melalui pengalaman anak yang
perlu dilatih. Model pembiasaan akan menghasilkan pengalaman yang dapat
membangun watak. Karenanya, yang perlu dikontrol adalah kondisi yang memberikan
pengalaman belajar mereka.
Pembangunan watak dan model lebih efektif diperoleh
melalui cara dialogis, dengan jalan mendiskusikan kasus nyata. Menurut Paulo
Freire, untuk menjadikan pendidikan itu bermakna, maka paradigma yang
digunakan harus diarahkan kepada pendidikan dialogis dan transformatif.
Pendidikan dengan nilai transformatif menghasilkan sumber daya dengan kinerja
yang mandiri, tidak perlu dikontrol, produktif, dapat mengendalikan diri (dalam
mengawali dan mengakhiri pekerjaan, dalam menciptakan dan melaksanakan
pekerjaan, dan dalam menyelesaikan pekerjaan).
Berikut ini akan diuraikan beberapa
kualitas emosi positif dan imbangnya. Tatkala seseorang tidak memiliki emosi
positif tersebut maka yang berkembang kemudian adalah karakter negatif. Pertama, jujur dan hukuman. Apabalia
seorang anak mau mengakui secara jujur atas perbuatannya yang salah, sebaiknya
ia diperlakukan secara arif, bukan dibalas dengan kemarahan. Misalnya, santi,
seorang siswi kelas IV SD, tidak mengerjakan PR. Guru akan bertanya kepadanya
mengapa ia tidak mengerjakan PR. Jika santi dengan jujur mengatakan bahwa ia
lupa, maka sang guru hendaknya dengan arif mengingatkan agar tidak mengulangi
kealpaannya, misalnya dengan membiasakan menyelesaikan tugas ketika ada
kesempatan dan tidak menunda-nundanya. Bukan dengan memarahi, apalagi menghukum
secara fisik. Sifat lupa adalah alamiah, dan karenanya tidak sepatutnya
seseorang mendapat hukuman tidak mendidik atas kealpaannya. Meskipun demikian,
tugas adalah sebuah amanat yang harus dikerjakan. Santi bisa dibimbing untuk
mengerjakan PR dengan cara damai, tanpa kekerasan.
Jika cara kekerasan ditempuh, misalnya menghukum santi karena tidak
mengerjakan PR, maka suatu saat apabila santi terlupa lagi mengerjakan PR, ia
bisa berbohong, mencari alasan lain sehingga sang guru tidak memberi hukuman.
Jika alasan berbuat sesuatu disampaikan secara jujur oleh seorang anak dan ia
harus mendapatkan kecaman dan hukuman, maka anak tersebut akan mencari jalan
untuk menutupi kesalahannya agar tidak dikecam atau dihukum. Bila santi pamit
kepada orang tuanya bahwa ia keluar rumah untuk bermain kerumah temannya akan
dimarahi, maka bisa saja santi berbohong dengan mengatakan keluar rumah untuk
belajar bersama dengan temannya. Akibatnya, watak bohong akan melekat dalam
dirinya karena orang tuanya sudah tidak menghormati terhadap kejujurannya. [31]
Perlakuan hukum-menghukum ini
akan dipahami sebagai jalan pintas untuk mengatasi masalah. Bisa dibayangkan
bagaimana jadinya jika santi di kemudian hari menjadi guru, dan muridnya
melakukan kesalahan? Tentulah terbayang di benak kita bahwa Santi akan menempuh
cara hukuman ini untuk mengatasi masalahnya. Penerapan hukuman bagaimanapun
berpotensi menimbulkan kekerasan.
Apakah ini berarti bahwa hukuman itu tidak perlu diberikan? Tentu tidak
demikian maksudnya. Hukuman ditempuh sebagai alternatif yang paling akhir,
setelah proses bimbingan, sindiran, teguran, peringatan lisan dan tertulis, dan
skorsing sudah tidak efektif lagi, sementara kesalahan yang dilakukan tergolong
berat dan bila dibiarkan dapat menular kepada yang lain. Jika demikian
halnya, maka sekolah dalam hal ini guru, bisa menempuh cara hukuman untuk
menjadikan kualitas emosional anak tidak terus-menerus dalam karakter negatif.
Hukuman yang diberikan pun harus bersifat edukatif, bukan semata-mata bersifat
fisik, apalagi dilakukan dengan rasa dendam dan kebencian. Lagi pula tidak
semua kesalahan harus berakhir dengan hukuman.(Corporate punishmen.)[32]
Kedua, bersikap
toleran, tidak memaksakan untuk terjadinya bentrokan. Sikap toleran amat mudah
diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan. Toleransi berarti mendiamkan, atau
membiarkan suatu perbuatan, sikap atau pendapat orang lain yang berbeda dengan
perbuatan, sikap atau pendapat diri sendiri, meski ada perbedaan secara
diametral sekalipun. Dalam bahasa Jawa toleransi disebut sebagai tepa selira, yakni menjaga perasaan
orang lain agar ia tidak tersinggung.
Perilaku mendiamkan atau membiarkan tersebut dilakukan dengan kesadaran
bahwa seseorang perlu menempatkan perbuatan, sikap dan pendapat orang lain
sebagai hal yang berbeda dengan perbuatan, sikap dan pendapat orang tersebut.
Dengan kesadaran toleransi atau tepa
selira tadi, bila suatu saat nanti terjadi suatu konflik antar sesama,
maka win-win solution akan lebih mudah dicapai, karena masing-masing
pihak dapat memahami perbuatan, sikap atau pendapat orang lain. Inti dari
toleransi adalah menghargai perbedaan, dan membiarkan kondisi berbeda tersebut
seperti apa adanya. Jadi, toleransi adalah agree in disagreement. Perdamaian diperoleh melalui sikap
saling mengerti dan toleransi ini. Sebaliknya, bila orang sudah tidak lagi
menyadari arti perbedaan, maka potensi konflik dapat berubah sewaktu-waktu
menjadi bentuk-bentuk kekerasan.
Menghargai perbedaan berarti sikap untuk menerima kehadiran orang lain
di tengah kehidupan kita secara kolektif, learning to live together.
Sekedar contoh, salah satu SMU di Virginia, Amerika Serikat, menghimpun para
siswa yang berasal dari 85 negara di dunia yang berbeda agama, bangsa, bahasa,
budaya, ras dan lain-lain. Contoh lainnya, International Islamic University Malaysia yang berdiri sejak 1983 setelah
gagasan Islamisasi Ilmu diterima dan diaplikasikan oleh beberapa negara Islam.
Universitas ini menerima perwakilan dari 32 negara dan 30% di antaranya berasal
dari luar negeri.
Dalam proses belajar-mengajar, sikap toleransi dapat ditumbuhkan
melalui berbagai metode pembelajaran. Jika Pak Fuad di tengah-tengah
mengajarnya, memberi waktu luang untuk tukar pendapat, diskusi, atau tanya
jawab untuk bertanya, membahas, usul, mengkritik atau bahkan menolak
pendapatnya mengenai suatu masalah, dan itu dliakukan secara rasional dengan
menghargai perbedaan pendapat di antara peserta didik, maka dengan demikian Pak
Fuad telah berupaya menanamkan sikap toleransi di antara para muridnya.[33]
Lebih dari sekedar pengetahuan
tentang apa itu toleransi, untuk apa toleransi dan bagaimana cara bertoleransi,
memberi teladan melalui metode mengajarnya tadi, memberi contoh konkrit
bersikap toleransi. Bila setiap kali guru atau dosen melakukan demikian, bila semua guru dan sekolah bersikap demikian, toleransi
menjadi bagian dari kehidupan, maka budaya damai (culture of peace) akan mudah dicapai. Hasil pengujian
terhadap lebih dari 7000 orang di Amerika Serikat dan 18 negara lain
menunjukkan bahwa manfaat empati antara lain adalah orang menjadi lebih stabil
secara emosional, lebih populer, lebih ramah dan lebih berhasil dalam
percintaan.[34] Menurut Thomas Hatch dan Howard Gardner, empati adalah bagian
penting untuk pesona, sukses sosial bahkan kharisma.
Empati mewujud pada perasaan maupun pemahaman pemikiran seseorang
dengan cara menempatkan diri atau ikut merasakan perasaan orang lain tanpa
merasakan yang sebenarnya. Seorang yang berempati cenderung merasakan
sesuatu yang dilakukan orang lain andai ia berada dalam situasi yang
dialami oleh orang lain tersebut. Melalui empati, orang menggunakan perasaannya
secara efektif di dalam situasi orang lain, didorong oleh emosinya seolah-olah
ia ikut ambil bagian dalam gerakan-gerakan yang dilakukan orang lain, feeling
into a person or thing.
Seseorang dapat merasakan sakit orang lain tanpa
mengorbankan diri atau harus mengendalikan situasi. Anda memperoleh kekuatan
inid ari sumber-sumber daya fisik, emosional, dan mental yang sama dengan yang
Anda kerahkan dalam kesadaran aktif. Di tengah pertengkaran yang sengit
sekalipun, misalnya, Anda tahu pasti kapan harus bertahan dan kapan harus
menyerah karena Anda sangat menyadari perasaan Anda dan perasaan orang lain
tentang hal yang dipertengkarkan.[35]Empati berbeda dengan simpati. Simpati merupakan kecenderungan untuk
ikut merasakan segala sesuatu yang dirasakan orang lain karena kesamaan
cita-cita, penderitaan, daerah atau lainnya. Simpati adalah feeling with
another person, sedangkan empati
lebih dalam dari itu. Empati tidak harus terjadi akibat persamaan kondisi
antara satu dengan yang lain, atau didahului dengan saling kenal. Lawan dari
simpati adalah antipati, yakni perasaan ketidaksenangan terhadap orang lain
yang dapat berujud kebencian. Padahal kebencian memicu permusuhan. Permusuhan
memicu kekerasan. Untuk mencegah kekerasan, yang perlu dibangun adalah sikap
empati, dan bukan antipati.
Pada dasarnya tujuan mengatasi sesuatu itu adalah untuk mencapai
keberhasilan. Orang yang over-pessimistic bila berhasil meraih sesuatu,
besar kemungkinan ia akan berlebihan dalam merayakan keberhasilannya.
Sebaliknya orang yang over-optimistic,
bila berhasil terhadap sesuatu, akan bersikap biasa-biasa saja. Tatkala orang
yang sama-sama berhasil, berkumpul di satu tempat untuk merayakan
kesuksesannya, maka luapan emosi kegembiraannya sulit dibendung. Peristiwa
kelulusan adalah hal lumrah dalam sebuah ujian. Akan tetapi bila orang yang overjoy
tersebut berkumpul dan menimbulkan gerakan massal, dan ada faktor pemicu,
maka perilaku ini dapat berpotensi menggerakkan massa tersebut mengarah kepada
perilaku kekerasan kolektif.
Pendidikan damai dapat
menanamkan rasa saling kasih dan cinta antar sesama, tidak peduli apakah ia
berkulit hitam atau putih, kaya atau miskin, penduduk atau pendatang, warga
negara lokal atau asing. Dengan sentuhan bahasa cinta antar sesama, semuanya
bisa duduk bersebelahan dalam satu ruang kelas. Dalam hal ini, guru tidak
sekedar mengajar namun juga sebagai orang tua kedua ketika anak-anak berada di
sekolah. Begitu pula orang tua di rumah, menjadi guru yang kedua bagi
putra-putrinya. Yang berlangsung kemudian adalah sentuhan cinta dibarengi
dengan semangat mendidik, atau mendidik dilakukan dengan penuh kasih sayang, mengurangi tindakan dilenkuensi.[36]
Pendidikan damai menumbuhkan cinta pada sesama, cinta lingkungan, dan
cinta alam semesta. Cinta pada sesama menghindarkan konflik dan permusuhan,
mencegah kekerasan dan perang. Cinta lingkungan menumbuhkan sikap melestarikan
dan merawat lingkungan agar tetap bersih dan asri. Cinta pada alam semesta
menjadikan anak tidak merusak alam bahkan menjaganya dari kepunahan. Itulah
sebabnya pendidikan damai memberikan materi kesadaran pribadi, toleransi,
kepedulian dengan sesama dan cinta ini untuk memupuk budaya damai, anti kekerasan dalam berperilaku.[37]
Keenam,
bersikap adil. Ketidakadilan merupakan bentuk kekerasan institusional (intitutional violence),
seperti halnya kemiskinan, rasialis, pelecehan seksual, serta bentuk repressive lainnya. Kekerasan
institusional muncul sebagai akibat kebijakan pihak-pihak tertentu (biasanya
lembaga yang berwenang) dalam memutuskan perkara. Kebijakan tidak adil yang
dirasakan oleh seorang korban dapat diluapkan dengan kekesalan, kekecewaan atau
ketidakpuasan.
Bila ketidakadilan dirasakan
oleh banyak orang, hal ini akan memicu gerakan massa untuk menuntut keadilan,
seperti unjuk rasa, protes dan aksi demonstrasi. Unjuk rasa buruh pabrik
menuntut kenaikan gaju atau tunjangan, protes mahasiswa menolak kenaikan biaya
kuliah, atau akasi demonstrasi para aktivis penentang perang, bermula dari
kebijakan yang kurang transparan dan kurang adil ini. Aksi massal menuntut
keadilan atas kebijakan tertentu sewaktu-waktu bisa berubah menjadi overt
violence atau kekerasan terbuka bila ada faktor pemicu yang mendorong massa
menjadi bringas dan anarki. Misalnya suara tembakan atau pukulan yang mengenai
salah satu peserta aksi. Hal ini dapat memanaskan situasi dan menggiring massa
pada kekerasan kolektif.
Mencegah kekerasan kolektif bukanlah hal mudah mengingat pihak yang
bertikai belum tentu sepakat dengan tuntutan yang diajukan. Pengusaha yang
memiliki pabrik tidak serta merta menerima tuntutan pegawainya untuk kenaikan
gaji karena alasan yang masuk akal. Demikian pula pihak rektorat bisa bertahan
tetap menaikkan biaya kuliah mahasiswa dengan alasan yang profesionalitas.
Begitu pula dengan kebijakan pemerintah untuk perang melawan para teroris atau
separatis, dilakukan demi rust
andorder atau mencegah kerusuhan dan menjaga ketertiban. Dalm hal ini,
yang perlu dilakukan adalah barganing
position antara kedua belah pihak, sehingga keputusan yang diambil
merupakan kompromi kedua belah pihak yang dapat mencegah aksi-aksi kekerasan.[38]
Ketidakadilan sebagai kekerasan institusional dapat mengakibatkan
munculnya kekerasan tandingan (counter-violence),
seperti aksi teror, sabotase, mogok massal, bahkan tindakan anarkis lainnya.
Kebijakan yang tidak adil berpotensi menimbulkan kekerasan (violenceas potensial).
Sepanjang tidak ada perubahan kebijakan, ketidakadilan akan memicu kekerasan
demi kekerasan. Di sinilah letak mahalnya perdamaian, karena perdamaian
mensyaratkan kebijakan yang adil.
c. Demokratisasi hukuman disiplin
Inti dari demokrasi adalah kebebasan, persamaan hak, keadilan
musyawarah dan tanggung jawab. Pada mulanya demokrasi merupakan term politik.
Perlawanan terhadap kolonialisme, misalnya merupakan perjuangan mewujudkan
demokrasi. Demos artinya
rakyat, sedang kratos berarti
kekuasaan. Jadi demokrasi berarti kekuasaan rakyat, kedaulatan rakyat atau,
dalam term politik berarti pemerintahan yang dijalankan dari, oleh, dan untuk
rakyat. Bentuk pemerintahan demokratis tercermin dari proses pemerintahannya
yang dilakukan melalui pemilihan umum dengan karakter demokrasi di atas yakni
kebebasan, persamaan hak, keadilan, musyawarah, dan tanggungjawab.
[1] Pengertian dari ruang lingkup adalah batasan. Ruang lingkup
juga dapat dikemukakan pada bagian variabel-variabel yang diteliti, populasi
atau subjek penelitian, dan lokasi penelitian. Penggambaran Ruang lingkup Dapat
Kita Nilai Dari data karakteristik responden perlu dilakukan untuk memperoleh
gambaran yang komprehensif tentang bagaimana keadaan responden penelitian kita,
yang boleh jadi diperlukan untuk melihat data hasil pengukuran
variabel-variabel yang diteliti.
[2] Jean Soto menulis, "Semua
penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman-hukuman
dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka.
Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat
manusia ini bisa sirna." Tetapi
argumentasi beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim
dan belum tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita
terima pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari
hukuman-hukuman keras yang diterima dari orangtuanya, maka akarnya adalah
terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman itu. Hukuman ekstrim itulah
yang menjadi sumber penderitaan umat manusia. Lihat juga Khalid Bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit.,121
[3] Joan Durant yang merupakan kepala peneliti
dan rekannya Ron Ensom dari Children's Hospital of Eastern Ontario di Ottawa,
mengatakan bahwa hukuman fisik akan membuat anak menjadi agresif dan anti
sosial, selain itu juga menyebabkan gangguan kognitif dan gangguan pertumbuhan.
Penelitian terbaru juga memperlihatkan bahwa hukuman fisik akan mengurangi
materi abu-abu pada otak, yang berkaitan dengan intelijen atau IQ. "Hukuman fisik pada anak tidak hanya akan
mengakibatkan sikap agresif pada anak, hal ini juga bisa membuat anak mengalami
banyak kesulitan, misalnya saja depresi dan penggunaan narkoba," ujar
Durant. "Tidak ada penelitian yang menunjukkan hasil positif jangka
panjang dari hukuman fisik," tambahnya. Hukuman fisik sudah tidak boleh diterapkan di 32 negara,
tetapi masih banyak orang tua yang mempertahankan hukuman ini. Harapan Joan
Durant dari penelitian ini, para orang tua tidak hanya melihat hukuman fisik
sebagai hal mereka, tetapi melihat efek buruk dari perspektif medis yang akan
diderita anak dalam waktu yang sangat lama. http://www .vemale.com /relationship/keluarga/12225-bahaya-hukuman-fisik-untuk-anak.html.
[5] Para Ahli
yang pro dengan hukuman fisk dalam pendidikan, sebagian pakar menerima hukuman
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak.
Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat
tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua masih bisa menangani
anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, maka
tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu boleh diberikan setelah
nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya.
Dalam kaitan ini, Russel menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin
mengatakan bahwa hukuman dalam proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan
mungkin hanya masuk sebagai alternatif kedua."John Locke menulis,
"Benar bahwa hukuman fisik kadang-kadang diperlukan. Lihat juga TM.Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Islam Dan Hak Asasi
Manusia, , (Semarang, Pustaka Rizki
Putra : 1997), 12
[6] Tidak seorangpun menginginkan terjadinya tindak
kekerasan, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah
secara damai dan edukatif. Namun kenyataannya masih banyak, bahkan hampir semua
sekolah/madrasah belum dapat memberikan hak anak, bahkan melakukan kekerasan
terhadap anak. Tanpa disadari hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap
Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dan Deklarasi PBB tentang hak-hak anak. Hukuman
secara fisik dan emosional dari guru terhadap murid merupakan hal yang lumrah
terjadi di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak guru biasa mencubit,
memukul anak-anak bahkan menghina mereka, baik di sekolah-sekolah negeri maupun
sekolah yang berbasis keagamaan. Kadang guru tidak menyadari bahwa hal ini
sebetulnya terlarang dalam hukum Indonesia. Undang-undang Perlindungan Anak No.
23, bab 54 secara tegas menyatakan bahwa guru dan siapapun lainnya di sekolah
dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Terlebih lagi
Indonesia merupakan salah satu penanda tanganan dari konversi PBB untuk Hak-hak
Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tak
seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan
tidak manusiawi ataupun perlakuan yang merendahkan atau hukuman”. Meski
demikian, tampaknya undang-undang tersebut belum dipahami oleh kebanyakan
pelaku pendidikan, hal ini sebagaimana laporan penelitian Nur Hidayati, dari penelitian lapangan
terhadap 8 Madrasah Ibtidaiyah di propinsi Riau ditemukan bahwa hukuman jasmani
lumrah terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan kisaran antara 50% - 80%,
anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami hal ini dari guru-guru
mereka secara rutin.
[8] Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan
rasa prihatin masih banyaknya kasus-kasus kekerasan
di sekolah, termasuk kekerasan Mauro Billy Fiesandy (9), siswa SDN Kepatihan,
Banyuwangi. Kekerasan di sekolah selama ini
menduduki peringkat kedua setelah kekerasan di rumah yakni sekitar 25% dari
semua kasus kekerasan yg dilaporkan ke KPAI selama tahun
2008 dan 2009. "Kekerasan terhadap anak di
sekolah terjadi karena beberapa sebab. Selain minimnya pengetahuan guru tentang
hak-hak anak, juga karena guru kurang
profesional, miskin metode kreatif sehingga selalu mengambil metode hukuman
kekrasan untuk mendisiplinkan murid," kata Ketua KPAI, Hadi Supeno dalam
rilis yang
diterima detikcom, Senin (2/8/2010)..Padahal,
kata dia, banyak metode untuk mendisiplinkan anak. Pihaknya selama ini
sering menerima keluhan guru yang merasa terhambat tugasnya gara-gara UU
Perlindungan Anak. Ini fenomena aneh karena menginginkan guru dikecualikan
dalam UU PA. "Pendidikan
tak hanya mensosialisasikan UU Sisdiknas, tetapi juga UU Perlindungan Anak,
agar para guru dan birokrasi pendidikan tahu akan hak-hak anak,"
tambahnya. Padahal, pasal 54 UU PA
menyebutkan sekolah wajib melindungi anak dari segala bentuk kekerasan yg
dilakukan oleh guru, siswa, maupun penyelenggara pendidikan. Bagi yg melanggar,
bisa dikenai pasal 80 UU PA dengan ancaman hukuman 3,6 tahun penjara dan atau
denda uang Rp 7,2 juta untuk kekerasan ringan dan 5 tahun penjara dan atau
denda 100 juta untuk kekerasan berat. Lihat UU.RI Nomor 23 Tahun 2002, ( Jakarta, , Sinar
Grafika : 2008) ,28
[9] Ada 10
Kesalahan Orang Tua Yang TIdak Disadari 1. Menyatakan
“Saya tidak salah, orang lain yang salah” .Setiap ia mengalami
suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah
adalah orang lain, benda lain & situasi tertentu, dan dirinya selalu
benar. Yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang
lain yang . Akibatnya ketika dewasa.Sulit
mengakui kesalahan diri sendiri ( sulit untuk intropeksi diri ) Selalu
menyalahkan pihak lain atau situasi tertentu. Susah diberi masukan 2. “Mengajari Anak untuk Membalas Ketika anak memukul atau dipukul, sebagian
orang tua biasanya tidak sabar melihat anaknya disakiti dan memprovokasi anak
kita unutuk membalasnya. Secara tidak langsung mengajari anak balas dendam. Akibatnya ketika dewasa.Sering
membalas, melawan balik atau membalikkan apa yang orang lain sampaikan
kepadanya. 3.
Televisi sebagai agen Pendidikan Anak..Banyak orang tua yang tidak mau pusing dan tidak mau repot untuk mendidik
karakter anak sejak dini dan suk-kontrakan tanggung jawab mendidik ini kepada
televisi, pembantu di rumah atau guru di sekolah. Anak dibiarkan berjam-jam
menonton TV supaya orang tua bisa melakukan aktivitas lain. Akibatnya ketika
dewasa: Banyak pola pikir salah yang menetapkan dalam pikirannya ,
Kekerasan , Materialisme, Balas dendam,Sifat kurang kreatif dan produktif .
Romantisme
yang salah 4. Mudah terpancing
emosi ketika keinginan anak tidak terpenuhi, si anak sering kali rewel
atau merengek, menangis, berguling dsb, dengan tujuan memancing emosi orang tua
yang pada akhirnya ortu marah atau malah mengalah. Jika terpancing, anak akan
merasa menang, dan merasa bisa mengendalikan orang tuanya. Akibatnya ketika
dewasa: Mudah manipulasi orang lain dengan pura2 sakit, minta dikasihani
Suka menuntut keinginannya dipenuhi à bila tidak : malas – marah - balas
dendam 5. “Berbohong Kecil – Tidak tepati janji Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari
sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat
yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si
kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi?Akibatnya ketika
dewasa: Mudah janji pada orang lain, tetapi tidak menepati ( integritas )
Suka berbohong 6. “Banyak Mengancam”“Adik,
jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan nggak ada yang mau menolong!””Ini
salah.....itu tidak benar...., nanti dihukum Bu Guru loh” “….nanti
Mama/Papa marah!”Akibatnya ketika dewasa: Tidak percaya diri – takut
salah Kurang kreatif 7. Memberi julukan yang buruk Kebiasaan
memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri,
tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Akibatnya
ketika dewasa: Minder 8. Mengejek
/ Menggoda ( yang tidak disukai anak ) Orang tua yang biasa
menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat anak menjadi
kesal. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang sering
terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Akibatnya ketika dewasa: Kurang hargai orang tua Minder 9.
Menghukum Anak Saat Kita Marah
Jangan pernah memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi
kita sedang memuncak, karena seringkali yang keluar dari mulut kita, akan
cenderung menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Akibatnya ketika dewasa:
Kepahitan / terluka Tidak mudah mengampuni orang lain Emosional ( pemarah , mudah tersinggung )
Sulit bekerja sama dalam team 10.
Menekankan pada sesuat yang Salah Banyak orang tua yang sering bicara /
berkomentar ketika anak2nya tidak akur, suka bertengkar, malas, nakal, ulangan
jelek, dsb. Namun pada saat mereka bermain dengan akur, nilai bagus, rajin
belajar, kita seringkali menganggapnya tidak perlu memberi komentar. http://www.freddway .com/detail. php?tip=article&id=122
[10] Apabila sanksi hukuman sama
sekali tidak diadakan niscaya perilaku siswa akan lebih
semrawut. Kita bisa menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa
yang melanggar masih banyak, apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah
ruwet. Jika hukuman itu diadakan menuntut konsekuensi bagi para pendidik itu
sendiri. Maksudnya, pendidik harus benar-benar bisa sebagai suri tauladan bagi
anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi
tidak diikuti kedisiplinan pendidik, bagaikan halilintar di waktu siang bolong,
banyak yang menyepelekan.
[11] Beberapa
definisi hukuman telah dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya: Pertama, hukuman adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara
sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu
anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk
tidak mengulanginya. (Amin Danien Indrakusuma,1973:14. Kedua ,menghukum adalah memberikan atau mengadakan
nestapa/penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan kita dengan
maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasainya untuk menuju kearah
perbaikan, ,Suwarno, 1981:115.
[12]Al Qawa’id al-Fiqhiyyah Syaikh ‘Abdurrahman
Ibn Nashir As Sa’diy rahimahullah .Sebaliknya, bila sejumlah mafsadat
berbenturan maka diutamakan yang paling ringan mafsadatnya. Mafasid (kerusakan) : bisa haram atau
makruh. Apabila seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang jelek, maka diambil
yang paling ringan kerusakannya. Apabila salah satunya haram dan yang lainnya
makruh, maka dikerjakan yang makruh. Maka memakan sesuatu yang masih diragukan
keharamannya lebih didahulukan daripada memakan sesuatu yang pasti haramnya.
Apabila keduanya haram atau keduanya makruh, maka yang dikerjakan adalah yang
paling ringan keharamannya atau kemakruhannya. Kondisi di atas semuanya hanya
dalam kondisi darurat !!
[13]English
to English,dictionarynoun:1. state of uncertainty or perplexity
especially as requiring a choice between equally unfavorable options 2. An argument which presents an antagonist
with two or more alternatives, but is equally conclusive against him, whichever
alternative he chooses.
[15] Kritik terhadap UU No.23 Th 2002, secara umum, bagaimanapun baik suatu peraturan perundang-undangan, namun kalau
substansinya tidak dapat diterapkan, maka undang-undang itu merupakan
huruf-huruf mati. Oleh karena itu, hendaknya kalau membuat peraturan hendaknya
memperhatikan 4 (empat) hal penting yaitu: (1) Undang-undang yang dibuat harus
jauh berlaku ke depan (predictability), (tidak mudah merubah karena
alasan-alasan tertentu); (2) Dapat diimplementasikan (applicable); (3)
Mengandung netralitas/keadilan (fairners); dan (4) tercermin di dalamnya
kepastian hukum (certainty). Kemudian tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adat yang positif yang hidup
dalam masyarakat.
[19] Ada
beberapa pertanda yang menunjukkan bila hukuman dan disiplin sekolah mungkin
tidak sesuai untuk diterapkan, sehingga anak sulit untuk mematuhi disiplin
sekolah disebabkan oleh: 1.Seorang anak yang mempunyai
citra diri yang sangat buruk dan sangat dipengaruhi oleh kegagalannya sendiri
pasti membutuhkan penghargaan. 2.Seorang
anak yang takut mencoba hal-hal yang baru, takut menerima tantanngan dan sulit
melakukan kegiatan yang melelahkan mungkin akan lebih bersemangat bila
diberikan penghargaan. 3.Seorang anak yang sangat manja
dan takut melakukan tugasnya sendirian perlu diberikan penghargaan jika dia
ternyata mampu melaksanakan tugasnya tanpa bantuan orang lain. 4.Seorang
anak yang merasa kecewa karena selalu dibandingkan dengan saudaranya yang lebih
pintar, lebih rajin, lebih mandiri, dan lebih aktif, perlu diberikan
penghargaan agar dia merasa mampu untuk berhasil. 5.Seorang
anak yang sering meperlihatkan citra diri yang negatif atau perasaan takut yang
berlebihan dengan mengatakan hal-hal seperti “Saya tidak dapat melakukannya,”
dan “Saya selalu gagal,” “Saya tidak akan mampu melakukannya lagi,” adalah anak
yang mungkin membutuhkan penghargaan. Clemes 2001:47
[20] Dalam
peraturan otoritarian, peraturan dibuat sangat ketat dan rinci. Orang yang
berada dalam lingkungn disiplin sekolah ini diminta mematuhi dan menaati
peraturan yang telah disusun dan berlaku di tempat itu. Apabila gagal menaati
dan mematuhi peraturan yang berlaku, akan menerima sanksi atau hukuman berat.
Sebaliknya, bila berhasil memenuhi peraturan, kurang mendapat penghargaan atau
hal itu sudah dianggap sebagai kewajiban. Jadi, tidak perlu mendapat
penghargaan lagi. Disiplin sekolah yang otoritarian selalu berarti pengendalian
tingkah laku berdasrkan dorongan, tekanan, pemaksaan dari luar diri seseorang. Peraturan
Permisif. Dalam peraturan ini seseorang
dibiarkan bertindak menurut keinginannya. Kemudian dibebaskan untuk mengambil
keputusan sendiri dan bertindak sesuai dengan keputusan yang diambilnya itu.
Seseorang yang berbuat seseuatu, dan ternyata membawa akibat melanggar norma
atau aturan yang berlaku, tidak diberi sanksi atau hukuman. Dampak teknik
permisif ini berupa kebingunan dn kebimbangan. Penyebabnya karena tidak tahu
mana yang tidak dilarang dan mena yang dilarang atau bahkan menjadi takut,
cemas, dan dapat juga menjadi agresif serta liar tanpa kendali.
[22] Tindak Kekerasan Guru
terhadap Siswa.Akhir-akhir
ini tindak kekerasan guru terhadap siswa kembali marak di media massa. Sebuah
rekaman video singkat yang berdurasi 1 menit 7 detik yang terjadi di salah satu
SMK Negeri Gorontalo merupakan salah satu contoh tindak kekerasan guru terhadap
siswa yang semestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak dapat
mengendalikan diri. Video ini direkam oleh salah
seorang siswa tanpa sepengetahuan guru yang bersangkutan.
[23] Kritik penulis, sejalan dengan kritik Ion Fuller ada 8 (delapan) asas yang harus
diper-hatikan dan menjadi pedoman dalam membentuk sistem hukum, yaitu: a. Harus
mengandung per-aturan; b. Peraturan yang telah diatur harus diumumkan; c.
Peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut; d. Peraturan harus dirumuskan
sebagai susunan kalimat yang mudah dimengerti; e. Suatu susu-nan tidak boleh
mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lainnya; f. Peraturan tidak
boleh mengandung norma yang tidak dapat diterapkan; g. Tidak boleh terlalu
cepat merubah peraturan, karena akan berakibat subjek hukum kehilangan
orientasinya; h. Harus ada kecocokan peraturan yang diundangkan dengan
peraturan pelaksanaanya.
[24] Hidayati, 2007. Memperkecil
Kekerasan Terhadap anak-anak di Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Departemen
Agama. 24. Lihat
juga Undang-undang Perlindungan
Anak No. 23, bab 54 secara tegas menyatakan bahwa guru dan siapapun lainnya di
sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak.
[25] Kelemahan dalam berbagai substansi peraturan perundang-undangan yang
normanya kurang jelas sehingga sulit untuk diimplementasikan, over-lapping substansi
antara satu undang-undang dengan undang-undangan lainnya, saling rebutan
kewenangan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Pada hal semuanya
phenomena tersebut tidak selayaknya/perlu terjadi, karena sesama pejabat publik
atau civil servant tidak perlu rebutan kewenangan, karena tujuan
keberadaan civil servant adalah melakukan tugas sebagai pelayan
masyarakat demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan oleh negara.
[26]Lihat Office of the High Commisioner for Human
Rights, Convention on the Eliminationof
all Forms of Discrmination againts Women, (Geneva: OHCHR, 1979),1-12.
Hasil konvensi ini ditandatangani dan diratifikasi oleh resolusi Sidang Umum
PBB No. 34 /180 tertanggal 18 Desember 1979, dan diberlakukan sejak 3 September
1981. Hasil konvensi ini memuat 30 pasal yang sebagian besar berisikan
perlindungan bagi hak-hak kaum perempuan.
[27]Lihat Office of The High Commissioner for
Human Rights. Declaration on the
Elimination or All Form of Intolerance and of Discrmination Based on Religion
or Belief, (Geneva: OHCHR)
[30] Kekerasan dalam pendidikan telah diharamkan dan
dianggap pelanggaran HAM. Jaman dahulu jika seorang guru memukul murid dengan
tangan atau tongkat rotan dianggap hal yang wajar dan biasa. Apalagi jika ayah
atau ibu memukul anaknya. Itu dianggap bagian dari proses pendisiplinan, bahkan
ungkapan cinta kasih dan rasa sayang kepada murid atau anak. Namun jaman sudah
berubah. Penghukuman fisik apalagi menggunakan tongkat atau alat lain tidak
lagi dianggap sesuatu yang lazim, wajar, normal apalagi baik dan benar.
Penghukuman fisik (bahkan kata-kata kasar atau menghina) bahkan oleh orangtua
sendiri telah dianggap kekerasan. Apa yang jaman dahulu dianggap sangat baik
pada jaman sekarang malah dianggap tidak baik. Orang tua dan guru harus, menerima perubahan konsepsi dan sikap
pendidikan itu dengan syukur dan sukacita. Perubahan itu kita anggap membuat
kita semakin manusiawi dan dekat dengan status kita sebagai manusia terhormat
dan mulia yang diciptakan Allah menurut citraNya. Pada masa kini tanpa
menggunakan tongkat, sapu lidi, ikat pinggang, atau gagang kayu kita tetap bisa
mengasihi anak-anak kita dan murid-murid yang dipercayakan kepada kita. Kita
bisa mendidik tanpa harus menghajar, memukul atau melibas. Ada banyak sekali
cara tanpa kekerasan untuk mendorong seorang anak pintar, berdisiplin dan
menghargai norma. Itu artinya sebagai orangtua, guru, atasan, kakak atau abang,
kita pun harus belajar banyak lagi.Lihat Bunadi Hidayat, op.cit.,109.
[31] Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan, Kekerasan dalam pendidikan
sangat bertentangan dengan: 1. pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, "fungsi pendidikan
nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab". 2. pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan
secara demikratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan
bangsa (UU Sisdiknas) 3. Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut: (1) Setiap
orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah).(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka
berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Pidana ditambah sepertiga
dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
[32]Corporate punishment terbagi atas tiga buah tipe utama: - Parental Corporate punishment, merupakan kekerasan dalam lingkup
keluarga - School Corporate
punishment, misalnya perilaku kekerasan dari guru terhadap murid di sekolah - Judicial Corporate
punishment, misalnya pemukulan atau pencambukan baik orang muda maupun
dewasa dalam koridor hokum. Sekretaris Jenderal Komisi Perlindungan Anak Indonesia,
Arist Merdeka Sirait memyatakan kekerasan di dunia pendidikan cukup banyak
terjadi. Dari 1926 kasus yang dilaporkan sepanjang 2008, 28 persennya terjadi
di lingkungan sekolah, sisanya terjadi di lingkungan keluarga, sosial, dan
pekerjaan.
[33]Sudah seharusnya guru
mempunyai payung hukum yang sama. Undang-Undang Perlindungan Guru yang kemudian
melahirkan Komisi Perlindungan Guru adalah wajib untuk segera direalisasikan.
Selama ini situasi dunia pendidikan yang menyangkut payung hukum perlindungan
guru masih belum kondusif. Karena banyak guru yang akhirnya berurusan dengan
penegak hukum karena ketidaktahuan mereka. ”Mereka banyak yang belum
terlindungi oleh hukum dan kadang karena kepolosan atau minimnya pengetahuan,
justru menghadapkan mereka pada hukum itu sendiri,” (Kutipan dari Ahmad Zaenal
Afani dari www.kapanlagi.com). Banyak guru yang terseret ke meja hijau,
karena kasus-kasus yang terjadi di sekolah padahal boleh jadi perbuatan guru
adalah murni untuk memberikan penyadaran dan efek jera kepada siswa. Ada
beberepa alasan mengapa guru harus segera mempunyai Undang-Undang Perlindungan
Guru dan kemudian melahirkan Komnas Perlindungan Guru: 1. Untuk memberikan
payung hukum kepada Guru 2. Untuk memberikanadvokasi
kepada guru, yang notabene tidak mengetahui permasalahan hukum. 3. Memberikan kenyamanan
dalam melaksanakan tugasnya. 4.
Menjadi penyeimbang terhadap UU perlindungan anak dan Komnas perlindungan anak,
dan yang tidak kalah penting adalah 5. Memberikan perlindungan dan dukungan
terhadap guru.
[34] Daniel Goleman, Emotional
Intelligence, (New York Bantam, 1995), 97. lihat juga Jeanne. Seagai,
“Raising Your Emotional Intelligence” dalam Ary Nilandari (terj.), Melejitkan
Kepekaan Emosional, (Bandung: Kaifa, 1997),
138
[36] Penelitian yang dilakukan oleh Shaw dan McKay (1969)
selama tiga puluh tahun di Chicago berkenaan dengan delikuensi yang
menyimpulkan bahwa di daerah pemukiman golongan masyarakat kelas bawah, dimana
kemapanan dan keseragaman nilai sosial masyarakat stabil, delikuensi cenderung
dinilai sebagai alternatif yang disetujui oleh para pelakunya sebagai
alternatif perilaku walaupun merupakan pelanggaran hukum. Dan pada kenyataannya rata-rata anggota geng motor
yang dianggap meresahkan ini adalah orang-orang yang tidak cukup memiliki
kemapanan sosial, baik dalam ekonomi, intelektual, maupun strata sosial
lainnya. Aksi geng motor saat ini tidak lebih dari sikap kegamangan, frustasi
atau keputusasaan atas kondisi sosial yang mereka hadapi (Agustin Satyawati,
2007).Alternatif SolusiMenurut Hirchi (dalam Junger,
1990), ada motto yang berkembang di kalangan anak delikuen yaitu bahwa, “Kami akan melakukannya jika kami bisa
melakukannya”, sehingga
dalam keadaan demikian, Cohen dan Felson (dalam Junger, 1990) mengemukakan
dalam opportunity theory bahwa, “Jika
anda memberikan kesempatan kepada remaja untuk melakukan pelanggaran sebagian
besar dari mereka pasti akan melakukannya”. Remaja memang belum mempunyai identifikasi diri yang
kuat dengan masyarakatnya dan hanya memiliki sedikit rasa tanggung jawab.
Maka
disini perlu satu proses pendampingan atau keterikatan (attachment) remaja oleh seseorang yang sangat berarti baginya
seperti orang tua, teman, keluarga ataupun guru. Keterikatan emosional ini meliputi
tiga sub konsep, yaitu : kasih sayang antara remaja dengan orang-orang yang
memiliki ikatan emosional dengannya, komunikasi diantara mereka dan pengawasan.
Sehingga Rutter dan Giller (dalam Junger, 1990) melihat ketiga konsep tersebut
sebagai faktor-faktor yang penting peranannya dalam melindungi remaja
mengekspresikan perilaku delikuennya.Konsep pedampingan ini tentunya perlu
disosialisasikan dan diimplementasikan secara intensif oleh pemerintah dan
dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau pun organisasi-organisasi
sosial lainnya dalam rangka tindakan preventif ataupun pengentasan delikuensi
yang diarahkan kepada masyarakat strata bawah dan secara khusus kepada anggota
keluarga geng motor sebagai ikatan sosial terdekatnya.
[37] Delinkuensi dan Strata Sosial. Dalam konteks delinkuensi, Cohen (1955)memaparkan
hasil penelitiannya yang memperlihatkan anak-anak kelas pekerja yang mengalami
anomi di sekolah yang mayoritas dari berisi siswa dari strata kelas menengah,
sehingga mereka membentuk sub-budaya yang anti nilai-nilai menengah yang
berisikan norma-norma yang negatif dalam pandangan masyarakat. Remaja dari kelas bawah tersebut cenderung tidak
memiliki materi dan keuntungan simbolis sehingga selama mereka berlomba dengan
remaja kelas menengah mereka banyak mengalami kekecewaan dan kemudian membentuk
‘geng’.
[38] Pada tahun 2003,
misalnya, pernah diungkapkan pentingnya perangkat hukum yang mengatur
perlindungan guru, pasalnya posisi guru sulit untuk menjadi independen akibat
tekanan dari berbagai pihak. Dalam memberikan nilai kepada siswa, guru sering
kali mendapatkan intimidasi dari orang tua jika siswa diberi nilai rendah
(Kompas, 10 Juni 2003).
No comments:
Post a Comment