KONSEP BENAR-SALAH MENJADI
HILANG DENGAN ADANYA UU PERLINDUNGAN ANAK.
HUKUMAN, DALAM PENDIDIKAN
DAHULUNYA, PUKULAN ROTAN
SEKARANG TAK BOLEH DILAKUKAN
MELANGGAR HAM
ORANG KATAKAN
Hukuman dengan cara yang berlebihan
dan diikuti oleh tindakan kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apa
lagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara
edukatif. Namun tidak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering
terjadi tindak kekerasan.
By M.Rakib Janib Jamari.Jl.Ciptakarya
Pekenbaru Indonesia.2014
Ketika
murid beberapa kali mendapat hukuman dari guru, dilihat pada masa kini,
bisa merupakan bentuk penganiayaan. Hukuman diberikan karena memang murid salah. Apapun kesalahan, pasti mendapatkan
hukuman. Itulah yang berlaku saat itu. Ketika pelajaran menggambar, beberapa
murid lupa membawa pengaris, lalu
disuruh maju ke depan kelas, menyodorkan tangan, guru menghantamkan penggaris
kayu besar (panjang sekitar 1 meter dengan ketebalan sekitar 1 cm) mendarat di
punggung dan telapak tangan siswa. Penggaris hancur. Ada murid perempuan sampai
menangis, sedangkan yang laki-laki hanya
bisa meringis. Hasil hukuman hari itu bukan hanya tangan memar, tapi hari itu
murid tidak bisa menulis.
Untuk jenis hukuman tempeleng, sudah menjadi kebiasaan, karena seringkali
guru menempeleng murid untuk kategori pelanggaran ringan. Pernah yang
ditempeleng dengan jari guru mengenai
mata. Kalau pelanggaran berat, dipukul
di betis dengan menggunakan kayu rotan. Sekalipun murid sering mendapatkan
kekerasan dari guru, tidak ada yang berani melaporkan peristiwa itu kepada
orang tua. Bukan lantaran diancam oleh guru, melainkan karena takut mendapat
hukuman tambahan dari orang tua. Dahulu di kampung pada umumnya, jika di sekolah murid dihukum dan diketahui oleh orang tua,
berarti akan mendapatkan lagi hukuman
dari orang tua. Justru karena hukuman itu banyak orang yang sukses dan berhasil. Mereka-mereka ini
berhasil menghadapi hukuman karena bagian dari proses pendidikan dan pembinaan.
Dengan hukuman itu murid belajar mengetahui kesalahan dan menemukan kebenaran
dan kebaikan. Orang yang tidak berani menghadapi hukuman dengan cara lari
meninggalkan sekolah, orang-orang ini yang gagal dalam hidupnya.
Sejak tanggal 22 Oktober 2002,
Pemerintah Republik Indonesia, mengundangkan UU Perlindungan Anak ( UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Praktis, sejak saat itu keberadaan
sanksi terhadap anak di sekolah akan menjadi sensasi berita yang hangat. UU
Perlindungan anak, khususnya pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa
setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun
yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan
dari perlakuan:
a.
diskriminasi;
b.
eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c.
penelantaran;
d. kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan;
e.
ketidakadilan; dan
f. perlakuan
salah lainnya.
Apa yang diungkapkan
dalam pasal 13 ayat (1) ditegaskan dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) yang
berbunyi:
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai
dengan hukum.
Dengan adanya UU
Perlindungan Anak, guru di sekolah tidak lagi berani memberikan hukuman kepada
anak. Guru takut karena sanksi hukumannya tidak main-main. Mengenai sanksi
hukuman terhadap tindakan penganiayaan anak tertuang dalam pasal 80. Di
sana dinyatakan:
(1) Setiap orang yang
melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan
terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua
juta rupiah).
(2) Dalam hal anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Ternyata bukan cuma UU
Perlindungan Anak saja yang menjadi instrumen perlindungan anak, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur soal penganiayaan. Hal itu
terdapat dalam pasal Pasal 351 jo. 352 KUHP.
“Penganiayaan” Masih Ada
Sekalipun UU
Perlindungan Anak sudah diundangkan, ternyata tindakan memberi hukuman, yang
masuk kategori penganiayaan, masih kerap terjadi. Kasus penamparan oleh oknum
guru terhadap murid SD Harmoni di Batam. Dikatakan bahwa bekas tamparan itu
meninggalkan luka lebam di pipi anak kecil itu sehingga dia jadi trauma ke
sekolah. Orang tua sudah melaporkan kasus itu ke polisi.
“Sebagaimana diberitakan, guru M dilaporkan ke
Polsek diduga melakukan penganiayaan terhadap muridnya, Dias Ganang Fardian
yang mengaku ditampar satu kali sehingga mengalami luka lebam di bawah mata
kirinya. Alasan pemukulan itu, karena korban melanggar disiplin saat upacara
bendera, Senin pagi. Sedangkan Kepala SMK Gajah Mungkur 1 Wuryantoro, Saryanto
membantah perlakuan guru terhadap muridnya itu sebagai tindakan penganiayaan.
“Itu cuma pembinaan karena murid ini ramai bercanda dengan temannya saat
upacara berlangsung,” jelasnya. Saryanto mengakui pembinaan dan penegakan
disiplin siswa di sekolahnya memang cukup ketat.”
Apa yang dilakukan para
guru dengan menghukum muridnya tidak salah 100 %, masih dalam taraf wajar,
sekalipun menimbulkan luka memar. Demi kebaikan murid itu sendiri. Guru
memegang prinsip: yang salah harus dihukum. Tidak mungkin guru menghukum murid
yang baik. Dengan hukuman, anak disadarkan. UU Perlindungan Anak dapat membuat anak
tidak menemukan kesalahan dirinya. Dia merasa
benar. Buktinya, dia dibela dan sang guru dihukum. Karena itu, konsep
benar-salah menjadi hilang dengan adanya UU Perlindungan Anak.
Derita Guru: Sebuah
Dilema Pendidikan
Keberadaan UU
Perlindungan Anak ini, bagi saya, menjadi sebuah penderitaan guru. Mereka
dihadapkan pada sebuah masalah yang dilematis dalam proses pendidikan dan
pembinaan anak muridnya. Situasi mereka berhadapan dengan UU Perlindungan Anak
sama seperti “maju kena mundur pun kena”.
Kasus di SMK Gajah
Mungkur. Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada siswa, guru terpaksa
menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada jerat hukum.
Maksud baik sang guru justru berakibat buruk. Padahal guru ingin menyadarkan murid. Di antara cara
penyadaran adalah tempeleng. Mungkin orang akan berpikir, bisa pakai cara lain
yang tanpa kekerasan. UU Perlindungan Anak tidak membolehkan cara kekerasan,
padahal cara itu bisa menjadi sarana paling efektif. Tingkat penyadarannya
lebih kuat ketimbang hanya menegur dan menasehati. Tempeleng (dan itu hanya
sekali) bisa merupakan bentuk shock therapy.
Menurut penulis UU Perlindungan Anak
menjadi penderitaan para guru di sekolah. Mereka tidak berani bertindak tegas
kepada murid karena takut terkena sanksi dari UU Perlindungan Anak. Bayangkan
saja, terkena pasal 80 ayat (1)
merupakan penderitaan yang amat sangat bagi guru yang berpenghasilan
pas-pasan. Ada guru masuk penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus, tidak akan jadi masalah serius. Tetap
mengajar dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan
keluarganya.
Demi harga diri
Ada kasus, di sebuah sekolah menengah pertama,
ada siswa sedang berkelahi, lalu datang
guru melerai. Tapi disambut dengan caci maki oleh seorang siswa yang berkelahi,
karena tidak terima acara duelnya dipisahkan. Guru juga masih muda, dan caci
maki itu terjadi di muka umum, diketahui murid lain, dan demi harga diri yang
diinjak murid, guru itu menampar siswa. Cuma sekali. Sang guru dilaporkan ke
polisi, beberapa hari di penjara. Akhirnya dibebaskan dengan tebusan.
Anak-anak tumbuh liar
Apa yang terjadi setelah peristiwa
itu? Para guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa dan para siswa
berbuat seenaknya saja. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani
menegur. Yang terjadi adalah proses pembiaran. Ketika guru bertindak tegas, anak
dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah mengejek
gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa karena takut
dengan UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merusak dunia pendidikan.
Tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak
untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru.
Hukuman Bukan
Penganiayaan
Menurut penulis, ada sedikit
kekeliruan dalam UU Perlindungan Anak, berkaitan dengan kata “penganiayaan” dan
kekerasan. Kategori penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi, mirip
dengan penyiksaan. Misalnya, memukul atau menempeleng berkali-kali, sekalipun
murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, itu bukan penganiayaan. Kalau
dikatakan kekerasan, seperti kasus IPDN, penganiayaan memang kejam, karena
bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang berkali-kali. Karena itu ada
yang cacat dan bahkan sampai tewas.
Penulis tidak setuju jika menempeleng, satu kali saja
masuk kategori kekejaman (pasal 13 ayat 1) tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1).
Dalam kasus-kasus penganiayaan di
sekolah, dilakukan oknum guru sebenarnya tidak masuk kategori kekerasan, yang
bukan kekejaman, penganiayaan yang tidak manusiawi.
Yang menjadi persoalan, haruskah
kekerasan itu dihukum, jika bertujuan baik,
menyadarkan murid akan kesalahannya. Untuk bisa sadar, sering menyakitkan. Tapi itulah shock
therapy. Harus juga diperhatikan kewajiban anak. Dalam UU Perlindungan
Anak, khususnya soal hak dan kewajiban anak dan pasal lain yang
berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja
(pasal 19). bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini:
Setiap anak berkewajiban untuk :
1. menghormati
orang tua, wali, dan guru;
2. mencintai keluarga,
masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah
air, bangsa, dan negara;
4. menunaikan
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan
etika dan akhlak yang mulia.
Jika
anak tidak melaksanakan kewajibannya, sanksi apa yang dapat diberikan UU RI
no.23 th 2002? Tidak ada yang melihat hal ini. Orang hanya melihat hak anak, mengabaikan hak guru. Kasus
ini punya daya tarik bagi polisi dan pengacara? Tidak tentang bagaimana kewajiban anak? Apakah anak yang
tidak melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak,
juga dapat ditindak?
Kasus anak SD Harmoni diberitakan mengganggu temannya yang sedang
latihan menari, berarti tidak melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU
Perlindungan Anak. Kasus SMK Gajah Mungkur, siswa tidak melaksanakan kewajiban
no. 3 dan 5. Guru punya wewenang melaporkan siswa ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut? Hak dan kewajiban mesti seimbang. Orang
tidak bisa menuntut hak tanpa melaksanakan kewajibannya, karena berkaitan dengan UU Perlindungan Anak. Kritik
penulis ialah perlu ditinjau soal
keseimbangan hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebani
kesalahan pada guru.
No comments:
Post a Comment