HUKUMAN TEMPELENG
Untuk
jenis hukuman tempeleng, sudah menjadi
kebiasaan, karena seringkali guru menempeleng murid untuk kategori pelanggaran
ringan. Pernah yang ditempeleng dengan
jari guru mengenai mata. Kalau pelanggaran berat, dipukul di betis dengan menggunakan kayu
rotan. Sekalipun murid sering mendapatkan kekerasan dari guru, tidak ada yang
berani melaporkan peristiwa itu kepada orang tua. Bukan lantaran diancam oleh
guru, melainkan karena takut mendapat hukuman tambahan dari orang tua. Dahulu
di kampung pada umumnya, jika di
sekolah murid dihukum dan diketahui oleh
orang tua, berarti akan mendapatkan lagi
hukuman dari orang tua. Justru karena hukuman itu banyak orang yang sukses dan berhasil.
HUKUMAN
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Penulis
tertarik dengan tulisan Nisa Islami
tentang hukuman
HUKUMAN, DALAM PENDIDIKAN
DAHULUNYA, PUKULAN ROTAN
SEKARANG TAK BOLEH DILAKUKAN
MELANGGAR HAM
ORANG KATAKAN
Hukuman dengan cara yang berlebihan
dan diikuti oleh tindakan kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apa
lagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara
edukatif. Namun tidak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering
terjadi tindak kekerasan.
14 Oktober 2005, di salah satu SMPN
Johar Baru-Jakarta Pusat seorang pelajar di aniaya 3 gurunya di ruangan BP.
Siswa ini dihukum oleh gurunya hanya karena ketika di ruang kelas tidak ada
gurunya bersorak-sorak (WWW Di Mataram, 9 Mei 2006 lalu sedikitnya 25
siswa-siswi kelas III SDN 23 Karang Sukun dihukum karena ketika pelajaran
Matematika, siswa tidak dapat mengerjakan tugas yang diberikan dengan sempurna.[1] Dalam periode yang tidak berselang
lama, gara-gara diledek muridnya, salah seorang guru di SD 3 Pancorang-Jakarta
Selatan menghkum kedua muridnya 5 Agustus 2006 lalu dengan menghajarnya pakai
tangan dan gagang sapu sampai babak belur.[2] Di penghujung tahun 2006 ditutup
pula dengan kasus yang sama di SMP 24 Makasar.[3]
Masih banyak lagi kasus pemberian
hukuman yang berlebihan terhadap siswa, yang ironisnya dilakukan oleh guru
mereka sendiri. Niat guru ingin memberikan hukuman agar siswa tidak melakukan
kesalahan yang sama dan dapat memperbaiki kesalahannya. Namun, cara yang
digunakan sangat tidak sesuai dengan etika sebagai guru dan pastinya sangat
bertentangan dengan nilai-nilai kependidikan, khususnya Al-Qur’an sebagai
petunjuk hidup manusia.
Hukuman tidak mutlak diperlukan,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah Nasih Ulwan bahwa untuk membuat anak
jera, pendidik harus berlaku bijaksanan dalam memilih dan memakai metode yang
paling sesuai.[4] Di antara mereka ada yang cukup
dengan teladan dan nasehat saja, sehingga tidak perlu hukuman baginya. Tetapi,
manusia itu tidak sama seluruhnya, diantara mereka ada pula yang perlu dikerasi
atau dihukum yaitu mereka yang berbuat kesalahan.[5]
Asumsi yang berkembang selama ini di
masyarakat adalah setiap kesalahan harus memperoleh hukuman; Tuhan juga
menghukum setiap orang yang bersalah. Dari satu jalur logika teori itu
ada benarnya. Memang logis, setiap orang yang bersalah harus mendapat hukuman;
setiap yang berbuat baik harus mendapat ganjaran. Sebenarnya hukuman tidak
selalu harus berkonotasi negatif yang berakibat sengsara bagi terhukum tetapi
dapat juga bersifat positif.
Karena itu, mengapa orang tidak
mengambil teori yang lebih positif? Bukankah Allah selalu mengampuni orang yang
bersalah apabila dia bertaubat pada-Nya? Allah juga lebih mendahlukan kasih-Nya
dan membelakangi murka-Nya. Dalam Qs. Ali Imran: 134 Allah memuji orang
yang sanggup menahan marah dan suka memberi maaf. Dan dalam satu hadist, nabi
Muhammad Saw mengajarkan bahwa Allah menyenangi kelembutan dalam semua
persoalan (HR. Bukhari).[6]
Dengan demikian kita bisa
menyepakati bahwa kesalahan yang dilakukan oleh murid terkadang pantas mendapat
hukuman. Namun jenis hukuman itulah yang seharusnya disesuaikan dengan
lingkungan sekolah sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran, bukan
penghakiman.
Kasus-kasus di atas akan menjadi
pelajaran berharga bagi kita jika kita tidak hanya menimpakan kesalahan kepada
guru yang bersangkutan. Tapi juga kepada sekolah, bahkan orangtua siswa. Di
sini perlunya komunikasi yang baik antara orangtua murid dengan guru, aturan
yang tegas dari sekolah terhadap guru yang bersangkutan dan yang paling penting
sikap bijak seorang guru dalam menghadapi kesalahan anak didik.
Berangkat dari pemaparan di atas,
makalah ini akan mengulas tentang pengertian hukuman, dasar, tujuan, macam,
syarat, tahapan, dan dampak negatif maupun positif pemberian hukuman dalam
pendidikan Islam.
B. PEMBAHASAN
1.
Pengertian Hukuman dalam Pendidikan
Islam
Dalam teori belajar (learning theory)
yang banyak dianut oleh para behaviorist, hukuman (punishment)
adalah sebuah cara untuk mengarahkan sebuah tingkah laku agar sesuai dengan
tingkah laku yang diharapkan.[7] Dalam hal ini, hukuman diberikan
ketika sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan ditampilkan oleh orang yang
bersangkutan atau orang yang bersangkutan tidak memberikan respon atau tidak
menampilkan sebuah tingkah laku yang diharapkan.
Sebagai contoh, di sekolah-sekolah
berkelahi adalah sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan dan jika tingkah
laku ini dilakukan oleh seorang siswa maka salah satu cara untuk menghilangkan
tingkah laku itu adalah dengan hukuman. Selain itu, mengerjakan tugas sekolah
adalah sebuah tingkah laku yang diharapkan, dan jika seorang siswa lalai dan
tidak mengerjakan tugas sekolah maka agar siswa itu dapat menampilkan tingkah
laku yang diharapkan maka hukuman adalah satu cara yang digunakan untuk
mengatasinya.
Hukuman diartikan sebagai salah
satu tehnik yang diberikan bagi mereka yang melanggar dan harus mengandung
makna edukatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Mujib dan Jusuf
Mdzakkir.[8] Misalnya, yang terlambat masuk
sekolah diberi tugas untuk membersihkan halaman sekolah, yang tidak masuk
kuliah diberi sanksi membuat paper. Sedangkan hukuman pukulan merupakan hukuman
terakhir bilamana hukuman yang lain sudah tidak dapat diterapkan lagi. Hukuman
tersebut data diterapkan bila anak didik telah beranjak usia 10 tahun, tidak
membahayakan saraf otak peserta didik, serta menjadikan efek negatif yang
berlebihan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang artinya
“Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari
kakeknyaK bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat
sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh
tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud)[9]
Paul Chanche mengartikan hukuman
adalah
“The procedure of decreasing the
likelihood of a behavior by following it with some azersive consequence”
(Prosedur penurunan kemungkinan
tingkah laku yang diikuti dengan konsekuensi negatif)
Decreasing the likelihood
yang dimaksud di sini adalah penurunan kemungkinan dan tingkah laku dan some
aversive concequence adalah konsekuensi negatif atau dampak yang tidak baik
baik si pelanggar. Sebagai contoh, Ani tidak boleh menonton TV ketika maghrib
tiba (dari jam 18.00-19.00). Apabila tetap menonton maka Ani akan di hukum
tidak boleh menonton TV selama 3 hari. Tidak boleh menonton TV ketika
maghrib tiba di sini sebagai prosedur atau aturan-aturan yang harus diikuti.
Bentuk penurunan tingkah lakunya adalah boleh menonton TV selain di waktu itu,
dan sebagai konsekuensi negatif apabila melanggar akan dihukum tidak boleh
menonton TV selama 3 hari.
Jadi, hukuman di sini berlaku
apabila seseorang merasa enggan untuk mengikuti suatu aturan yang berimbas pada
penurunan tingkah laku.
Sedangkan M. Arifin telah memberi
pengertian hukuman adalah:
“Pemberi rasa nestapa pada diri anak
akibat dari kelasahan perbuatan atau tingkah laku anak menjadi sesuai dengan
tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungannya.”[10]
Pendidik harus tahu keadaan anak
didik sebelumnya dan sebab anak itu mendapat hukuman sebagai akibat dari
pelanggaran atau kesalahannya. Baik terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam
lingkungan anak didik atau norma yang terdapat dalam ajaran agama Islam.Dalam
menggunakan hukuman, hendaknya pendidik melakukannya dengan hati-hati,
diselidiki kesalahannya kemudian mempertimbangkan akibatnya.
Penggunaan hukuman dalam pendidikan
Islam kelihatannya mudah, asal menimbulkan penderitaan pada anak, tetapi
sebenarnya tidak semudah itu tidak hanya sekedar menghukum dalam hal ini
hendaknya pendidik bertindak bijaksana dan tegas dan oleh Muhammad Quthb
dikatakan bahwa : “Tindakan tegas itu adalah hukuman”.[11]
Dari beberapa pengertian di atas
dapat kita ambil kesimpulan sementara bahwa hukuman dalam pendidikan Islam
adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau
pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak yang tidak baik (penderitaan
atau perasaan tidak enak) terhadap anak didiknya berupa denda atau sanksi yang
ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah
ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya agar
tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu baik sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai.
- 2. Dasar Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Islam
Pendidik muslim harus mendasarkan
hukuman yang diberikannya pada ajaran Islam, sesuai dengan firman Allah dan
sunah Rasul-Nya.
Ayat al-Qur’an yang menunjukkan
perintah menghukum, terdapat pada surat An-Nisa ayat 34, yang berbunyi:
والتي تخا فو ن نشو ز هن فعضو هن و ا
هجر و هن في ا لمضا جع و ا ضر بو هن ج
قا ت ا طعتكم فلا تبغو ا عليهن سبيلا قلي
“Wanita yang kamu khawatirkan
nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan
pukullah mereka, keudian jisa mereka mentaatimu maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkan merekan. (Q.S. An-Nisa: 34)[12]
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa
seorang suami diperkenankan memperbaiki pelanggaran atau kesalahan yang
dilakukan oleh istrinya yang serong dengan laki-laki lain (nusyus). Tahapan
paling awal, adalah dengan memberikan nasehat dengan cara dan pada waktu yang
tepat. Merujuk kembali kepada ayat di atas, beberapa istri sudah cukup merasa
bersalah dengan cara teguran dan nasehat ini, tetapi ada juga yang tidak. Maka
diberikan alternative hukuman berikutnya, yaitu dengan bentuk ‘pengabaian’. Di
mana Allah memerintahkan untuk memisahkan para isteri yang melanggar aturan
tersebut, dengan tidak mempedulikan atau mengabaikannya. Suami hendaklah
memisahkan diri dari isterinya, menghindarinya secara fisik dan membelakanginya
ketika tidur di pembaringan. Itulah yang dimaksud hukuman pengabaian.
Setelah tindakan pengabaian tak juga
membawa hasil, barulah terakhir menginjak ke tahapan fisik. Hal ini pun Allah
perbolehkan dijadikan sebagai tahapan akhir, dengan catatan bahwa pukulan yang
diberikan tidaklah sampai membekas, yang berarti pukulan itu tidaklah terlalu
keras dan tidak terlalu menyakitkan.
Demikian pula terhadap mendidik anak
apabila melakukan pelanggaran baik menyangkut norma agama maupun masyarakat.
Usaha pertama yang dilakukan adalah dengan lemah lembut dan menyentuh perasaan
anak didik. Jika dengan usaha itu belum berhasil maka pendidik bisa menggunakan
hukuman pengabaian dengan mengabaikan atau mengacuhkan anak didik. Jika hukuman
psikologis itu tidak belum juga berhasil maka pendidik bisa menggunakan
pukulan.[13]
Adapun perintah mendidik anak, telah
ditegaskan oleh Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
عن عمر و بن سعيب عن ا بيه عن جد ه قا
ل: قا ل ر سو ل لله صلي ا لله عليه و سلم مرو ا لا د كم با لصلاة و هم ا بنا ء سبع
سنين, وا ضربو هم عليها و هم ا بنا ء عشر, و فر قو ا بينهم فى المضا جع
“Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari
kakeknya bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan
shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia
sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud)[14]
Dari Firman Allah Saw dan hadist
Nabi Muhammad Saw, kita dapat menjadikannya sebagai dasar hukum pemberian
hukuman dalam pendidikan Islam.
- 3. Tujuan Hukuman dalam Pendidikan Islam
Apa sebenarnya tujuan orangtua dan
pendidik ketika memberikan hukuman pada anak? Ini bukanlah persoalan yang
ringan, karena dari beerapa kasus di awal pembahasan tadi, ternyata masih
banyak orang yang menghukum anak dengan tujuan yang salah. Bahkan ada yang
menghukum anak hanya sebagai pelampiasan emosi sesaat saja. Dalam kondisi ini,
Irawati Istadi mengatakan bahwa tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman adalah
menginginkan adanya penyadaran agar anak tidak lagi melakukan kesalahan.[15]
M. Mgalim Purwanto
mengklasifikasikan tujuan hukuman berkaitan dengan pendapat orang tentang
teori-teori hukuman, yaitu:
- Teori Pembalasan
Menurut teori ini, hukuman diadakan sebagai
pembalasan dendam terhadap pelanggaran yang telah dilakukan seseorang.
- Teori Perbaikan
Menurut teori ini, hukuman diadakan
untuk membasmi kejahatan yaitu untuk memperbaiki si pelanggar agar jangan
berbuat kesalahan semacam itu lagi.
- Teori Pelindungan
Menurut teori ini, hukuman diadakan
ntuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar.
- Teori Ganti Kerugian
Menurut teori ini, hukuman diadakan
untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita akibat dari kejahatan
atau pelanggaran itu.
- Teori Menakut-nakuti
Menurut teori ini, hukuman diadakan
untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat perbuatannya
yang melanggar itu sehingga ia akan selalu takut melakukan perbuatan itu dan
mau meninggalkannya.
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa tiap teori itu masih belum lengkap karena masing-masing hanya
mencakup satu aspek saja. Tiap-tiap teori tadi saling membutuhkan kelengkapan
dari teori yang lain.
Sedangkan tujuan hukuman menurut M.
Arifin ada dua, yaitu:
- Membangkitkan perasaan tanggung jawab manusia didik. Hukuman di sini merupakan ancaman terhadap rasa aman yang merupakan kebutuhan pokok anak didik dalam belajar.
- Memperkuat atau memperlemah respon negatif. Namun penerapannya harus didasarkan atas kondisi yang tepat, tidak asal membrikan hukuman terhadap perilaku yang kurang sebanding dengan tujuan pokoknya.
Dari beberapa pendapat di atas dapat
dipahami bahwa tujuan dari hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk
memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak ke arah
kebaikan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan
bertanggungjawab atas kesalahannya.
- 4. Macam-macam Hukuman dalam Pendidikan Islam
Ada beberapa pendapat dalam
mengklasifikasikan hukuman, diantaranya adalah:
- Dalam buku Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis M. Ngalim Purwanto, ada beberapa pendapat yang membedakan hukuman menjadi dua macam, yaitu:[16]
1)
Hukuman Preventiv, yaitu hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak atau
jangan terjadi pelanggaran. Jadi, hukuman ini dilakukan sebelum pelanggaran itu
dilakukan.
2)
Hukuman Represif, yaitu hukuman yang dilakukan oleh karena adanya pelanggaran,
oleh adanya kesalahan yang telah diperbuat. Jadi, hukuman itu dilakukan setelah
terjadi pelanggaran.
- Sementara itu W. Stern membagi hukuman menurut tingkat perkembangan anak-anak yang menerima hukuman itu.[17]
1)
Hukuman Asosiatif, yaitu penderitaan akibat dari pemberian hukuman ada
kaitannya dengan perbuatan pelanggaran yang dilakukannya. Dengan kata lain
hukuman itu diasosiasikan dengan pelanggarannya.
2)
Hukuman Logis, yaitu anak dihukum hingga memahami kesalahnnya. Hukuman ini
diberikan pada anak yang sudah agak besar yang sudah mampu memahami bahwa ia
mendapat hukuman akibat dari kesalahan yang diperbuatnya.
3)
Hukuman Normatif, bermasud memperbaiki moral anak-anak. Hukuman ini sangat erat
hubungannya dengan pembentukan watak anak-anak.
- Ada pula yang membagi hukuman menjadi dua, yaitu:
1)
Hukuman Alam, yang dikemukakan oleh JJ. Rousseau dari aliran Naturalisme
berpendapat kalau ada anak yang melakukan kesalahan jangan dihukum, biarlah
alam yang menghukumnya. Dengan kata lain, biarlah anak kapok atau jera dengan
sendirinya.
2)
Hukuman Yang Disengaja, hukuman ini dilakukan dengan sengaja dan bertujuan.
- Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu membagi hukuman menjadi dua, yaitu:[18]
1)
Hukuman yang Dilarang, seperti: memukul wajah, kekerasan yang berlebihan,
perkataan buruk, memukul ketika marah, menendang dengan kaki dan sangat marah.
2)
Hukuman yang Mendidik dan Bermanfaat, seperti: memberikan nasehat dan
pengarahan, mengerutkan muka, membentak, menghentikan kenakalannya, menyindir,
mendiamkan, teguran, duduk dengan menempelkan lutut ke perut, hukuman dari
ayah, menggantungkan tongkat, dan pukulan ringan.
Dari beberapa macam hukuman di atas,
ada beberapa hal yang perlu dicermati. Di antaranya hukuman preventiv dan
represif, karena sebenarnya dalam ilmu pendidikan, kedua istilah itu tidak
tepat kalau hanya dihbungkan dengan hukuman. Lebih sesuai kiranya jika kedua
istilah itu dipergunakan untuk menyifatkan alat-alat pendidikan pada umumnya.
Hukuman Alam juga kurang tepat
karena ditinjai secara pedagogis, hukuman alam itu tidak mendidik. Walau dalam
beberapa hal yang kecil atau ringan, kadang-kadang teori Rousseau itu ada
benarnya juga. Tapi, dengan hukuman alam saja anak tidak dapat mengetahui
norma-norma etika, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan yang
tidak. Hal ini berbahaya karena berarti alamlah yang akan merubahnya. Kalau
alam atau lingkungannya jelek, tentu akan lebih buruk lagi akibatnya. Karena di
sini tidak ada yang mengarahkan anak secara khusus kepada hal yang lebih baik.
Karena ketika anak didik melakukan pelangaran justru pendidik membiarkan dengan
harapan bisa berubah dengan sendirinya.
- 5. Syarat Penggunaan Hukuman dalam Pendidikan Islam
Hukuman merupakan salah satu alat
yang digunakan dalam pendidikan Islam guna mengembalikan perbuatan yang salah
kepada jalan yang benar. Namun, penggunaannya tidak boleh sewenang-wenwng
tertutama dalam hukuman fisik harus mengikuti ketentuan yang ada.
Terkadang menunda hukuman lebih
besar pengaruhnya daripada menghukumnya langsung. Penundaan ini akan
mencegahnya untuk mengulangi kesalahan lain lantaran takut akan mendapatkan
dua hukuman. Tentu tindakan semacam ini jangan dilakukan terus menerus.
Bila kita telah mengupayakan mendidiknya dengan cara-cara lain ternyata belum
juga mau menurut, maka alternatif terakhir adalah hukuman fisik (pukulan).
Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan
persyaratan memberikan hukuman pukulan, antara lain:[19]
- Pendidik tidak terburu-buru.
- Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah.
- Menghindari anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada dan perut.
- Tidak terlalu keras dan tidak menyakiti.
- Tidak memukul anak sebelum ia berusia 10 tahun.
- Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya diberi kesempatan untuk bertobat, minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya itu.
- Pendidik menggunakan tangannya sendiri.
- Jika anak sudah menginjak usia dewasa dan dengan 10 kali pukulan tidak juga jera maka boleh ia menambah dan mengulanginya sehingga anak menjadi baik kembali.
Dari sini dapat dipahami bahwa hukuman
fisik baru boleh diberikan kepada anak yang berusia sepuluh tahun karena
dikhawatirkan atas kondisi fisik anak yang masih lemah dan bahaya yang
ditimbulkan pada kesehatan dan perkembangnnya, sebagaimana yang dikatakan oleh
Imam Nawawi:[20]
و يحب ا يضا أ ن يضر بهما على
تر ك ذ لك ضر با غير مبر ح في أ تنا إ لعا
شر ة بعد كما ل ا لتسع لا حتما ل
البلو غ فيهز
“Wajib juga untuk memukul keduanya
dengan pukulan yang tidak menyakitkan karena meninggalkannya ketika berumur sepuluh
tahun setelah sempurnanya umur sembilan tahun karena menuju kedewasaan yang
dimiliki.”
Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam
mendidik anak, Islam membolehkan penggunaan hukuman sebagai sarana untuk
meluruskan dan menyadarkan anak dengan sesuatu ang tidak menyakitkan atas
kekeliruannya. Tentu saja yang dimaksud memukul di sini adalah pukulan yang
bertujuan untuk mendidik dan tidak menyakitkan. Namun demikian, kebolehan
menghukum bukan berarti pendidik dapat melakukan hukuman sekehendak hatinya,
khususnya hukuman fisik, ada bagian anggota badan tertentu yang disarankan
untuk dihindari dan anggota bagian mana yang diperbolehkan untuk dikenai
hukuman fisik. Misalnya jangan memukul muka karena luka pada muka atau mata
akan membekas atau menjadikan cacat pada wajah yang akan membuat anak minder.
Jangan pula memukul kepala, karena akan membahayakan otak atau syaraf lainnya
di kepala. Oleh karena itu, apabila hukuman harus dilakukan maka pendidik
memilih hukuman yang paling ringan akibatnya. Dan apabila hukuman badan harus
dijatuhkan maka pendidik memilih anggota badan lain yang lebih aman dan kebal
terhadap pukulan seperti, pantat dan kaki.
Dari beberapa pendapat yang lain membagi
syarat hukuman menjadi dua, yaitu:
- Lemah lembut dan kasih sayang.[21]
- Dilakukan secara bertahap, dari yang paling ringan hingga yang paling keras.[22]
Armai Arief membagi syara-syarat
pemberian yang harus diperhatikan oleh pendidik menjadi lima, yaitu:
- Tetap dalam jalinan cinta, kasih dan sayang.
- Didasarkan kepada alasan “keharusan”.
- Menimbulkan kesan di hati anak.
- Menimbulkan keinsyaafan dan penyesalan kepada anak didik.
- Diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan.
Sedangkan secara singkat M. Ngalim
Purwanto membagi syarat hukuman yang pedagogis menjadi 8, antara lain:[23]
- Dapat dipertanggung jawabkan
- Bersifat memperbaiki
- Tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam
- Jangan menghukum pada waktu sedang marah
- Harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan atau dipertimbangkan
- Dapat dirasakan anak sebagai penderitaan yang sebenarnya
- Jangan melakukan hukuman badan
- Tidak boleh merusak hubungan baik antara si pendidik dan anak didiknya
- Guru sanggup memberi maaf setelah anak itu menginsafi kesalahannya.
Dari beberapa pendapat di atas, kita
dapat melihat bahwa para tokoh pendidikan saling melengkapi dalam mengemukakan
syarat hukuman dalam pendidikan Islam sehingga yang penting dalam memberikan
hukuman pada anak didik adalah dapat menimbulkan perasaan menyesali atas
kesalahan yang diperbuatnya dan tidak mengulanginya.
- 6. Tahapan Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Islam
Dalam pemberian hukuman ada tahapan
yang harus diperhatikan oleh pendidik, mulai dari yang teringan hingga akhirnya
menjadi yang terberat, yaitu:[24]
- Memberikan nasehat dengan cara dan pada waktu yang tepat
Yaitu dengan tidak memojokkan dan
mengungkit-ungkit kekeliruannya dengan nasehat yang panjang lebar, karena dapat
membuat anak menolak terlebih dahulu apa yang akan disampaikan. Pemilihan
waktupun harus dipertimbangkan sehingga anak bisa enjoy menerima
masukan.
- Hukuman pengabaian, untuk menumbuhkan perasaan tidak nyaman dan teracuhkan di hati anak.
- Hukuman fisik, sebagai tahap akhir dengan catatan bahwa hukuman fisik (pukulan) yang diberikan tidaklah terlalu keras dan menyakitkan.
Rasulullah Saw menjelaskan tahapan
bagi pendidik untuk memperbaiki penyimpangan anak, mendidik, meluruskan
kebengkokannya, membentuk moral dan spiritualnya menjadi tujuh seperti yang
terdapat dalam buku Pendidikan Anak Dalam Islam, yaitu menunjukkan kesalahan
dengan:[25]
- Pengarahan
- Ramah tamah
- Memberikan isyarat
- Kecaman
- Memutuskan hubungan (memboikotnya)
- Memukul
- Memberi hukuman yang membuat jera.
Hukuman dengan memukul dilakukan
pada tahap terakhir setelah nasehat dan meninggalkannya. Ini menunjukkan bahwa
pendidik tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah
bermanfaat. Sebab, pukulan adalah hukuman yang paling berat, karena itu tidak
boleh menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain sudah tidak bisa.
Begitu pula ketika pendidik
menghukum anak yang berperangai buruk didepan saudara dan temannya, maka
hukuman ini akan meninggalkan bekas yang besar pada jiwa anak-anak secara keseluruhan
dan memperhitungkan seribu kali terhadap hukuman yang akan menimpa mereka.
Dengan demikian mereka bisa mengambil pelajaran darinya.
Jika pendidik tahu bahwa dengan
salah satu tahapan ini tidak mendapatkan hasil untuk memperbaiki anak dan
meluruskan problematikanya maka hendaknya beralih kepada yang lebih keras
secara bertahap misalnya, dengan kecaman. Apabila belum berhasil dan tidak
dianggap, maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Yang paling utama hukuman
terakhir ini dilaksanakan di hadapan keluarga atau teman-temannya sehingga
dapat dijadikan pelajaran oleh mereka.[26]
- 7. Dampak Negatif dan Dampak Positif Hukuman
- Dampak Negatif
Jika kita bertanya dapatkan suatu
hukuman yang sama yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap beberapa orang
anak , akan menghasilkan dampak yang sama pula? Maka jawabnya adalah “Belum
tentu” dan bisa juga “Tidak mungkin”. Biarpun demikian, tiap-tiap hukuman
mengandung maksud yang sama, yakni bertujuan untuk memperbaiki watak dan
kepribadian anak didik, meskipun hasilnya belum tentu dapat diharapkan.
M. Ngalim Purwanto mengatakan ada
tiga dampak negatif dari hukuman, yaitu:[27]
1)
Menimbulkan perasaan dendam pada si terhukum. Akibat ini harus dihindari karena
hukuman ini adalah akibat dari hukuman yang sewengan-wenang dan tanpa tanggung
jawab.
2)
Anak menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Ini bukanlah akibat yang
diharapkan oleh pendidik.
3) Si
pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, karena si pelanggar merasa telah
membayar hukumannya dengan hukuman yang telah diterimanya.
Armai Arief dalam Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan Islam mengatakan bahwa dampak negatif yang muncul dari
pemberian hukuman yang tidak efektif, antara lain:[28]
1)
Membangkitkan suasana rusuh, takut, dan kurang percaya diri.
2) Murid
akan selalu meras sempit hati, bersitat pemalas, serta akan menyebabkan ia suka
berdusta (karena takut dihukum).
3)
Mengurangi keberanian anak untuk bertindak.
Dalam buku yang lain Syaikh Jamil
Zainu berpendapat bahwa dampak negatif dari hukuman fisik ada tujuh, yaitu:[29]
1)
Mengacaukan dan menghambat jalannya pelajaran bagi murid secara keseluruhan.
2)
Guru dan murid akan terpengaruh ketika diberlakuknnya hukuman dan hal itu akan
membekas pada keduanya secara bersamaan.
3)
Adanya bekas yang merugikan pada diri murid yang terkena pukulan baik pada
wajah, mata, telinga atau anggota badan lainnya.
4)
Kesulitan pemahaman terhadap pelajaran bagi murid yang dihukum
5)
Kesulitan yang akan dihadapi guru untuk mempertanggung jawabkannya di hadapan
hakim, keluarga dan penyidik
6)
Terbuangnya waktu murid untuk belajar dan mereka akan terpengaruh dengan apa
yang tengah terjadi ketika pelajaran berlangsung
7)
Hilangnya rasa saling memuliakan dan menghormati antar murid dan guru.
Hukuman fisik ini bisa digunakan
dalam keadaan yang sangat darurat seperti menghukum sebagian murid yang
melakukan penyimpangan karena tidak ada lagi hukuman yang bisa membuatnya jera
kecuali dengan hukuman fisik atau untuk menjaga wibawa (kehormtan) dan tata
tertib sekolah setelah para guru memberikan nasehat dan arahan kepada selurut
murid tetapi mereka tidak jera juga. Hal ini sebagiamana diungkapkan dalam
sebuah pepatah orang Arab “Obat yang paling akhir adalah dibakar besi”.[30]
Muhammad bin ‘Abdullah Sahim
mengatakan dampak jelek bagi anak atas hukuman yang menggunakan kekerasan,
yaitu:[31]
1)
Mewariskan pada diri anak kebodohan dan kedunguan
2)
Anak akan merasa rendah diri dan bloon, mudah dipermainkan dan diarahkan
oleh anak yang lebih kecil sekalipun
3)
Suka membangkang sebagai bentuk perlawanan terhadap pendidikannya.
Sepantasnyalah Rasulullah Saw
dicontoh oleh seorang pendidik yang baik dalam bersikap kepada anak,
sehingga hukuman benar-benar dapat efektif.
- Dampak Positif
Armai Arief mengatakan dampak
positif dari hukuman antara lain: [32]
1)
Menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid.
2) Murid
tidak lagi melakukan kelahan yang sama.
3) Merasakan
akibat perbuatannya sehingga ia akan menghormati dirinya.
M. Ngalim Purwanto membagi dampak
positif hukuman menjadi dua, yaitu:
1)
Memperbaiki tingkah laku si pelanggar.
Misalnya yang tidak mengerjakan PR
Bahasa Arab, akan dihukum menghafal 20 kosakata Bahasa Arab. Karena mendapat
hukuman itu anak anak merubah sikap malasnya mengerjakan PR, menjadi rajin
mengerjakan PR Bahasa Arab.
2)
Memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikan.
C. KESIMPULAN
- Hukuman dalam pendidikan Islam adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak yang tidak baik (penderitaan atau perasaan tidak enak) terhadap anak didiknya berupa denda atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya agar tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
- Dasar Penerapan hukuman dalam pendidikan Islam bisa dilihat pada QS. An-Nisa ayat 34 dan HR. Abu Dawud.
- Tujuan Hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak ke arah kebaiakan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan bertanggung jawab atas kesalahannya,
- Ada banyak macam hukuman dari beberapa pendapat, yaitu hukuman preventif dan represif, hukuman asosiatif, logis dan normative, hukuman alam dan disengaja.
- Syarat Penggunaan Hukuman dalam pendidikan Islam dipaparkan oleh beberapa ahli pendidikan dengan versi yang berbeda-beda. Yang harus diperhatian ketika memberikan hukuman tidak boleh menyakitkan dan diberikan ketika pendidik dalam keadaan marah. Hukuman juga harus dapat membuat anak didik menyadari kesalahannya dan bertanggung jawab atas kesalahannya.
- Tahapan pemberian hukuman dalam pendidikan Islam adalah pertama anak dinasehati dengan singkat, jelas dan disertai dengan sikap lemah lembut dan tidak dilakukan dihadapan orang banyak. Apabila belum berhasil, maka langkah selanjutnya dilakukan dengan ancaman yang menjerakan, misalkan dengan membuka cela atau rahasianya di depan orang lain. Untuk langkah terakhir apabila belum berhasil juga, maka dengan hukuman fisik, yakni yang tidak membahayakan dan tidak menyakitkan.
- Dampak negatif dari hukuman yang harus dihindari oleh pendidik adalah timbulnya dendam si terhukum atau anak didik akibat dari pemberian hukuman yang tidak efektif. Dan dampak positif dari pemberian hukuman adalah dapat membuat jera dan tidak mengulangi kesalahan yang sama atau membuat kesalahan-kesalahan yang lainya.
D. PENUTUP
Sebagai penutup penulis ingin
mengingatkan kembali bahwa seorang pendidik tidak boleh mengabaikan pemberian
hukuman yang efektif sehingga membuat anak jera dan bertanggung jawab akan
kesalahannya. Di sini, pendidik harus berlaku bijaksana dalam memberikan hukuman
pada anak didiknya. Islam mensyariatkan hukuman dan menganjurkan pendidik untuk
menggunakannya dengan sebaik mungkin. Islam juga memiliki sosok yang patut
dijadikan suri Tauladan yaitu Nabi Muhammad Saw.Karena itu pendidik harus
menggunakan kecerdasan dan kebijaksanaan dalam memilih dan mengguakan hukuman
yang tepat dalam menyikapi kekeliruan yang dilakukan oleh anak didik sehingga
anak akan jera dan berhenti mengulangi kesalahannya.
Demikianlah makalah dengan sedikit
pemaparan yang masih jauh dari kata sempurna, semoga bisa dijadikan sebagai
wacana tambahan khususnya dalam dunia pendidikan Islam kita.
[3] Reportase Sore Trans 7, Edisi, 29
Desember 2006
[4] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan
Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal. 333
[5] Muhammad Quthb, Sistem
Pendidikan Islam, terj. Salman Harun (Bandung, 1993), hal. 341
[6] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam (Bandung, 2001), hal. 187
[8] Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu
Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 206
[9] Abu Dawud, Terjemahan Sunan Abu
Dawud, terj. Bey Arifin dan A. Syinqithy Djamaluddin (Semarang, 1992), hal. 326
[10] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Suatu
Tinjauan Teoritis dan Praktis (rev. ed.: Bandung, 1994), hal. 175-176
[11] Muhammad Quthb, Sistem
Pendidikan Islam, terj. Salman Harun (Bandung, 1993), hal. 341
[12] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya
(Semarang, 1993), hal. 66
[13] Abdurrahman Saleh Abdullah,
Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, terj. M. Arifin dan Zainuddin
(Jakarta, 2005), hal. 228
[14] Abu Dawud, Terjemahan Sunan Abu
Dawud, terj. Bey Arifin dan A. Syinqithy Djamaluddin (Semarang, 1992), hal. 326
[15] Irawati Istadi, Agar Hadiah dan
Hukuman Efektif (Jakarta, 2005), hal. 81
[16] M. Ngalim Purwanto, Ilmu
Pendidikan Teoritis dan Praktis (rev. ed.: Bandung, 1994), hal. 175-176
[17] Ibid. hal. 178
[18] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Seruan
Kepada Pendidik dan Orangtua, terj. Abu Hanan dan Ummu Dzakiyya (Solom
2005), hal. 167-183
[19] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan
Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal. 325-327
[20] Imam Nawawi, Kasyifatu as-Saja
(Syarah Safinatu An-Naja) (Semarang, 1985), hal. 17
[21] Jamaal ‘Abdur Rahman, Tahapan
Mendidik Anak Teladan Rasulullah Saw, terj. Bahrun Abubakar Ihsan Zubaidi
(Bandung, 2005), hal. 303-305
[22] Abla Bassat Gomma, Mendidik
Mentalitas Anak Panduan Bagi Orangtua Untuk Menumbuhkan Mentalitas Luar Biasa
pada Anak-Anak, terj. Mohd. Zaky Abdillah (Solo, 2006), hal. 48
[23] M. Ngalim Purwanto, Ilmu
Pendidikan Teoritis dan Praktis (rev. ed.; Bandung, 1994), hal. 179-180
Irawati Istadi, Agar Hadiah dan
Hukuman Efektif (Jakarta, 2005), hal. 94-96
[25] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan
Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal. 316-323
[26] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan
Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal 323
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan
Teoritis dan Praktis (rev. ed.: Bandung, 1994), hal. 177
[28] Armai Arie, Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta, 2002), hal. 133
[29] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Seruan
Kepada Pendidik dan Orangtua, terj. Abu Hanan dan Ummu Dzakiyya (Solo,
2005), hal. 166-167
[30] Ibid. hal. 166
[31] Muhammad bin ‘Abdullah as-Sahim, 15
Kealahan Fatal Mendidik Anak dan Cara Islami memperbaikinya, terj. Abu
Shafiya (Yogyakarta, 2002), hal. 135
[32] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta, 2002), hal. 133
No comments:
Post a Comment