DUNIA SEBAGAI CERMINAN AKHIRAT DALAM RANAH LOGIKA
DAN RASA
DUNIA INI
BAYANGAN TERBALIKNYA AKHIRAT
LOGIKA AGAMA,
DITAMBAH PRESTASI IBADAT
RIDO ALLAH,
KALAU SUDAH DIDAPAT
MASUK SURGA,
TIMBANGAN AMALNYA BERAT
LPMP. RIAU DI PEKANBARU
INDONESIA.2014
Boleh jadi dunia ini cermin terbalik
dari bayangan akhirat. Ranah agama memang berada di irisan antara logika dan
rasa. Jika Anda perhatikan baik-baik semua dasar iman yang tertera di agama
manapun berada di ranah rasa, hati dan kepercayaan yang sifatnya abstrak dan
kadang sulit dibuktikan secara empiris. Tunggu dulu jangan kemudian menghakimi
saya sebagai sekuler atau julukan apapun yang sering disematkan kepada
orang-orang lain yang mencoba untuk berpendapat, terutama di ranah sensitif
ini. Tulisan ini saya buat, karena kekhawatiran saya melihat bagaimana umat
beragama (dan yang tidak beragama), agama apapun, memanisfestasikan
keberagamaan (dan ketidakberagamaan) mereka dalam bermasyarakat, dalam
berkehidupan di dunia. Kekhawatiran saya ini muncul setelah mengamati bagaimana
orang-orang saat ini melihat agama hanya dari kacamata rasa saja atau dari
kacamata logika saja.
Beragama hanya dengan rasa saja hanya akan
menuntun orang tersebut pada sikap fanatisme buta dengan mengesampingkan
rasionalitas. Hal itu tentu saja sangat berbahaya, pengejawantahan ayat-ayat
melalui tafsir-tafsir yang tidak rasional kadang berakhir kontraproduktif
dengan semangat awal agama tersebut muncul. Sedangkan berpikir dengan logika
saja dalam memahami agama, tentu akan menggiring Anda menjadi tidak percaya
akan adanya hal-hal yang tidak rasional dalam agama. Seperti saya sebut diawal,
dasar agama pun sebagian besar disusun dari hal-hal yang sifatnya tidak
rasional. Sehingga tidak sedikit orang yang awalnya berangkat dari logika untuk
memahami agama kemudian menjadi tidak percaya adanya Tuhan.
Kemudian
mana pendekatan yang benar dalam beragama? Karena agama sendiri ada di kedua
ranah rasa dan logika, maka harus dengan keduanyalah kita ber-Tuhan. Tapi bukankah
rasa dan logika bertolak belakang? Sebenarnya jika mau jujur, manusia sendiri
adalah bukti otentik bahwa hidup bukan hanya sekedar logika ataupun sekedar
rasa. Manusia tidak bisa lepas dari keduanya, manusia membangun peradabannya
sendiri dengan rasa dan logika. Hidup keseharian manusia pun tidak lepas dari
keduanya, dan ketika keduanya mampu hadir berdampingan dalam satu sosok
manusia, terkadang kita melabeli manusia tipe ini dengan sebutan sempurna. Baik
hati dan juga cerdas dalam berpikir, bukankah itu kombinasi karakter yang
hebat.
Nah
yang menjadi perdebatan sengit adalah ketika rasa itu sendiri dianggap bukanlah
monopoli agama saja. Banyak agnotis dan atheis yang berpikir bahwa tidak valid
mengatakan bahwa orang yang tidak percaya agama atau tidak percaya Tuhan tidak
bisa menjadi orang baik atau memiliki rasa. Betul sekali, tapi kemudian hal ini
menjadi membingungkan. Bagaimana mungkin orang yang berpikir dengan logika
terhadap agama dan Tuhan, bisa percaya terhadap rasa yang sifatnya abstrak. Kita
sebut saja misalnya cinta, kasih sayang, dan seterusnya. Secara fisik hal
tersebut memang tidak ada namun bisa dirasakan, seperti apa yang orang-orang
beragama dan ber-Tuhan rasakan terhadap iman mereka. Seperti saya sebutkan
sebelumnya, bahwa manusia adalah bukti otentik irisan dari rasa dan logika,
sehingga memang wajar semua manusia pasti akan memanisfestasikan keduanya dalam
berkehidupan. Terlepas dari beragama atau tidak, ber-Tuhan atau tidak.
Saya tidak membahas lebih jauh
tentang apakah Anda harus beragama atau tidak, ber-Tuhan atau tidak. Karena itu
kurang lebih akan seperti membicarakan tentang cinta dan akal sehat. Semua
terserah Anda dan keputusan personal Anda. Tetapi pada intinya, kadang mereka
yang tidak beragama dan ber-Tuhan adalah mereka yang kecewa terhadap agama dan
Tuhan. Dan kadang mereka yang beragama dan ber-Tuhan adalah karena mereka
mencintai agama dan Tuhan mereka. Subjeknya masih sama-sama agama dan Tuhan.
Sebenarnya ada juga jenis ketiga, yaitu mereka yang ikut-ikutan beragama atau
tidak beragama, karena tidak punya pilihan baik secara sadar ataupun tidak
sadar. Jenis yang mengenaskan.
Nah,
yang akan saya kupas sekarang adalah tentang rasa dan logika tadi dalam
kehidupan beragama. Hal yang membingungkan adalah bagaimana menyatukan keduanya
dalam sikap dan pandangan beragama dan ber-Tuhan. Itulah hal yang paling sulit
dilakukan, kapan harus bertindak dan berpikir dengan rasa dan kapan bertindak
dan berpikir dengan logika, apalagi jika Anda bersikap dan berucap atas nama agama.
Dalam
dunia yang makin kompleks seperti saat ini, setiap orang dituntut untuk dapat
bertindak sesuai kaidah-kaidah konsesus sosial kemasyarakatan yang pada
dasarnya disusun berdasarkan dialektika yang logis. Entah itu dalam bentuk
produk hukum ataupun aturan sosial. Kompleksitas itu mengacu pada bentuk
hubungan antar manusia yang ada saat ini. Kemajuan zaman ini menuntut perubahan
disana-sini di dalam kaidah-kaidah konsensus tadi. Dan di saat yang bersamaan
agama dan segala aturannya terlihat mulai usang dan ketinggalan zaman. Namun
apakah benar demikian? Seperti yang pernah saya tulis di salah satu tulisan
saya yang berjudul “Tantangan Ber-Islam di Zaman Moderen“, terlihat
bahwa sebenernya pada awal kemunculan setiap agama, masing-masing mereka
membawa nilai-nilai progresivitas dan inovasi. Yang tentu saja keduanya
menjawab permasalahan yang muncul saat itu. Walaupun sebagian besar nilai-nilai
itu bersifat spiritualitas yang berada di ranah rasa, tetapi tidak sedikit juga
nilai-nilai progesivitas dan inovasi itu merambah ke ranah hubungan antar
manusia, yang tentu saja banyak yang mengedepankan logika ketimbang rasa.
Jadi
sebenarnya, yang perlu kita lakukan hanyalah menempatkan rasa dan logika di
tempat semestinya. Keyakinan, keimanan, kepercayaan yang merupakan ranah rasa
sangatlah tepat untuk ditempatkan dalam konteks “why“, sedangkan sikap
dan ucapan yang merupakan manifestasi nyata cara berpikir logis dalam kehidupan
bermasyarakat akan tepat untuk ditempatkan dalam konteks “how“. Itu
bukan berarti bahwa keduanya tidak hadir bersamaan, namun sebaliknya dengan
begitu hubungan sebab akibatnya jelas. Bahwa amal sudah seharusnya representasi
dari iman.
Jika kita lihat saat ini, banyak
orang menempatkan rasa di dalam konteks “how”, sehingga sikap dan ucapan mereka
memang didominasi oleh ranah yang kadang memang jauh dari akal sehat. Anda
mungkin familiar dengan orang-orang yang melakukan kekerasan atas nama agama.
Hubungan antar manusia mereka tidak berjalan baik sehingga yang mereka lakukan
memang benar-benar keluar dari pakem konsensus hukum yang mengedepankan logika.
Orang-orang yang terjebak dalam ranah rasa ini, seringkali terjebak dalam
“bentuk amal”. Ini yang pada akhirnya membuat agama itu jauh dari nilai
progesivitas dan inovasi, kita biasanya menyebutnya konservatif atau kolot.
Karena yang mereka lakukan hanyalah meniru apa-apa yang orang-orang sebelumnya
lakukan, tidak lebih.
Banyak juga yang menempatkan logika
di wilayah “why” dimana kepercayaan, keyakinan dan keimanan berada. Tentu saja
inipun tidak tepat, bagaimana Anda mau menjelaskan Tuhan, malaikat, hari akhir,
neraka dan akhirat jika parameter dan alat untuk mengukurnya saja tidak ada.
Kalaupun ada, Anda tahu ini dari kitab suci masing-masing. Di titik ini jelas
manusia terbatas terhadap konsep-konsep rasa. Ini sama saja seperti menanyakan
seberapa besar cinta Anda pada pasangan Anda, jika ingin diukur dalam skala
yang valid. Tetapi bukan berarti hal itu tidak ada. Konsep ke-Tuhan-an itu
jelas ada mengiringi sejarah umat manusia. (Ini akan jadi bahasan yang menarik
jika berdiskusi dengan teman-teman atheis).
Kita harus sadari bahwa dunia
sendiri adalah pengejawantahan dari logika, sehingga pendekatan dan alat untuk
memahaminya pun adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua yang ada
didalamnya pun merupakan pengejawantahan logika yang kemudian manusia tuangkan
dalam ilmu pengetahuan. Hanya manusialah yang kemudian memasukkan rasa pada
dunia dan seluruh isinya, tanpa manusia siapa yang akan menyebut dunia ini
dunia, dan tanpa manusia apakah dunia akan seperti dunia saat ini? Jadi sebisa
mungkin jangan menempatkan rasa dan logika di tempat yang salah. Jadikan rasa
sebagai alasan dan logika sebagai amalan, dan keduanya muncul dalam satu
kesatuan, kepribadian.
“Man tamanthaqa faqad fazandaqa”,
demikian ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti
harfiahnya kira-kira adalah, “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah
kafir”.
Apakah sikap seperti ini dapat
dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah? Apa implikasi jika sikap seperti ini
dibenarkan? Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah? Ataukah sikap
seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan atau
secara fuzzy ? Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini
fuzzy atau relatif?
Logika adalah kaidah-kaidah
berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa.
Proposisi bahasa mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun
realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya
atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini mustahil (tidak mungkin).
Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan yang mungkin (all possible
intelligebles). Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri,
dan tidak sama dengan yang bukan dirinya.
Prinsip berfikir ini telah tertanam
secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara spontan. Dan selalu hadir
kapan saja fikiran digunakan. Dan harus selalu diterima kapan saja realitas
apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari
watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui
prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan
seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak
menerimanya berarti meruntuhkan seluruh bagunan agama, filsafat, sains dan
teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.
Sebagai contoh perkataan ‘Ibn
Taimiyyah di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah
logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip
non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah . Artinya seluruh
kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa
dibenarkan dan disalahkan sekaligus. Kalalu seluruh keberadaan tidak bermakna,
maka pernyataan itu sendiri “Man tamanthaqa faqad fazandaqa” juga nafi. Tak
bermakna. Tak perlu dipikirkan.
Menerima kebenaran pernyataan beliau
tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika peenyataan tersebut
benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena
beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau
kafir. Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini
benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Salah. Dan mustahil benar. Karena
kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil.
“Wa qul jaa ‘al-haqqa
wazahaaqal-baathil, innal-baathila kaana zahuuqa.” Dalam pandangan saya, Islam
jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti
benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin
benar. Dalam dunia dikenali adanya golongan relativis kebenaran yang disebut
sufastaiyyah. Golongan relativis kebenaran ini merupakan pewaris mazhab
pemikiran sophisme, yang bermula pada abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani melalui
pemikiran Protagoras, Hippias, Prodicus, Giorgias dan lain-lain.
Beberapa
pemikiran yang mendasari gelombang filsafat pasca-modernis juga merupakan
cerminan dari pandangan golongan ini. Dalam majalah Ummat No.3/Thn.I/7 Agustus
1995, hal 76, DR.Wan Mohd Nor Wan Daud menjelaskan bahwa Akidah Islam jelas
menentang keras sikap golongan sufastaiyyah ini. Bagi golongan sufastaiyyah,
benar itu bisa salah dan salah itu bisa benar. Bagi golongan shopisme Yunsni,
semua yang jelas-jelas ada ini dianggap tidak memiliki keberadaan. Jadi ada dan
tiada sama saja. Bagi golongan positivis pasca- Renaisance, semua yang tidak
bisa diukur tidak bisa ditentukan benar salahnya. Bagi pengikut Marx dan Hegel,
kontradiksibukan saja mungkin terjadi, tapi menjadi arah gerakan alam yang
sering disebut sebagai dialektika Hegel. Bagi golongan relativis pasca-modern,
yang mendasarkan pemiokirannya pada language games ala Wittgenstein ataupun
Russel seyiap propisisi adalah bahasa, dan setiap bahasa nilai kebenarannya
relatif, karena itu setiap keberanan itu relatif.
Adapun
sufastaiyyah, misalnya sama. Menghancurkan kaidah dasar logoka. Yaitu prinsip
non-kontradiksi. Hanya Protagoras meniadakannya dalam tingkatan ada-tidaknya
segala sesuatu, para positivis meniadakannya pada tingkatan hal yang tidak bisa
diindra, Marx dan Hegel meniadaknnya sebagai watak umum segala yang maujud, dan
Wittgenstein maupun Russel menghilangkan otoritas fikiran untuk menerapkan
kaidahnaya kepada alam di luar fikiran. Hasilnya sama. Runtuhnya seluruh
bangunan pengetahuan manusia. Runtuhnya suatu bangunan keyakinan manusia.
Bahkan keyakinan tentang adanya dirinya sendiri ! Na’uudzubihi min dzaalik.
Penerapan
kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof besar pada
keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Socraets dengan The Most Beauty
-nya. Plato dengan archetype -nya. Aristoteles dengan prime-mover-nya.. ‘Ibn
Arabi dengan al-jam’u bainal-‘addaad (coincindentia in oppositorium) nya.
Suhrawardi dengan Nur-i-qahir nya. Mulla Shadra dan Mulla Hadi Sabzavary dengan
Al-Wujud Al-Muthlaq-nya. Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang
agama. Malah sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori
rohaninya yang mingkin. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat. Dalam dialog
terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah
menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya.
Tentang Aristoteles, sebuah riwayat
menyatakan bahwa ia adalah seorang nabi yang didustakan ummatnya. Tentang ‘Ibn
‘Arabi, tidak ada yang menyangsingkan sebagai salah seorang sufi terbesar
sepanjang sejarah dengan tak terhitung pengalaman ruhani yang tertulis di
kurang lebih 700 kitabnya. Sedang Mulla Shadra , tujuh kali haji ke Mekkah
dengan berjalan dari Qum (Iran) hanya untuk memenuhi panggilan kekasih-Nya.
Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan super-executive
untuk mencapai hakikat. Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama ,
tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami. Jadi apakah logika menentang agama?
saya
kagum dg ibn taimiyah. Bagaimanapun beliau salah seorang tokoh filsuf islam
terkemuka. Sumbangsih pemikirannya sangat nyata kita rasakan hingga saat ini.
Semoga Allah senantiasa meridhainya. Kita disini dg kekinian kita saat ini
tentu dg pemahaman kita sendiri dan kekinian kita sendiri. Usaha untuk memahami
jalan pikiran seoran ibn taimiyah dg kacamata kekinian mustahil akan
menghasilkan kesimpulan yg benar2 valid. Apa yg terucap tentu dilatarbelakangi
situasi saat itu.dan tdk ada seorangpun manusia yg bisa menggaransi
originalitas informasi tentang seorang ibn taimiyah kpd kita sampai sekarang
ini.maka kurang bijak jika kita serta merta menggambarkan ibn taimiyah dgn sgl
kekurangannya dan mencapnya secara negatif.
qta
sebagai manusia tidak boleh memandang selalu sisi negatif seseorang,,,,ibnu
taimiyah seorang filosof yang hebat,,,,,,
(anak tuhan)
(anak tuhan)
Orang
baru tidak percaya logika,ketika melihat sesuatu yang tidak bisa dilogikakan.
Misal;bisakah dilogikakan kenapa angin tidak bisa dilihat mata?Kenapa burung
berbeda warna bulunya?Dan banyak lagi hal diluar logika kita.Kenapa harus
melogikan keyakinan?Sedang hal nyatapun kadang diluar logika kita..
dan
perumpamaan – perumpamaan itu Kami jadikan untuk manusia, dan tiada yang
memahaminya melainkan orang – orang yang berilmu.
Allah
menciptakan langit dan bumi dengan sebenarnya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu adalah sesuatu tanda (kekuasaaan Allah) bagi orang-orang mukmin.
QS.
Al Ankabuut 43 – 44
saya
berpendapat, bahwa akal adalah untuk yang pertama melangkan memilih mana yang
positif dan sebaliknya. nah apabila akal sudah menerima yang positif, barulah
hati menerimanya dengan ikhlas.
“Man
tamanthaqa faqad fazandaqa” (Ibn Taimiyyah), bisa mohon dijelaskan makna
“kafir” yang dimaksudnya. Karena ada macam-macam kafir.
- Bagaimanapun hebatnya seseorang pasti mempunyai
kekurangan, karena statusnya sebagai manusia, itu yang meniscayakan
kekurangannya… namun dalam masalah ini (Pemikiran Ibnu Taymiyah dalam
masalah logika) mungkin perlu di jelaskan dan dikaji lebih lusa lagi,
tidak hanya mwngkaji statement yang menyatakan >>>>>>>>>
“Man tamanthaqa faqad fazandaqa”, demikian ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti harfiahnya kira-kira adalah, “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir”…… kemudian berhenti sampai disitu dan mengambil kesimpulan sendiri tentang pemikiaran Ibnu Taymiyah tentang LOGIKA…
Saya rasa Ibnu T juga tidak mungkin sepicik itu dalam mengartikan penggunaan LOGIKA,
jadi paling tidak yang perlu kita kaji,
Apa yang melatarbelakangi Ibnu T sehingga mengeluarkan statement seperti itu..?
Bagaimana situasi sosio-kultural-politis saat Ibnu T mengeluarkan statement itu..?
Bagaimana Pendapat-pendapat Ibnu T dalam karyanya yan lain…
Dan sebagainya…
sehingga dengan pengkajian yang lebih komprehensif seperti itu kita tidak terjebak pada kerancuan asumsi terhadap seseorang, apalagi kita tau Ibnu Taimiah merupakan ulama besar yang sangat berpengaruh terhadap pemahaman umat tentang Agama Islam…
Kalau pembacaan yang mentah seperti di atas, kita bukannya mendiskusikan pemikiran Ibnu T tentang Logika tapi mendiskusikan pemahaman ADMIN tentang Ibnu taimiah yang notabnenenya mengambil kesimpualan yang sangat mentah…
demikian Wallahua’lam bisshowab..
Bagaimanapun
hebatnya seseorang pasti mempunyai kekurangan, karena statusnya sebagai
manusia, itu yang meniscayakan kekurangannya… namun dalam masalah ini
(Pemikiran Ibnu Taymiyah dalam masalah logika) mungkin perlu di jelaskan dan
dikaji lebih luas lagi, tidak hanya mengkaji statement yang menyatakan
>>>>>>>>>
“Man tamanthaqa faqad fazandaqa”, demikian ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti harfiahnya kira-kira adalah, “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir”…… kemudian berhenti sampai disitu dan mengambil kesimpulan sendiri tentang pemikiaran Ibnu Taymiyah tentang LOGIKA…
Saya rasa Ibnu T juga tidak mungkin sepicik itu dalam mengartikan penggunaan LOGIKA,
jadi paling tidak yang perlu kita kaji,
Apa yang melatarbelakangi Ibnu T sehingga mengeluarkan statement seperti itu..?
Bagaimana situasi sosio-kultural-politis saat Ibnu T mengeluarkan statement itu..?
Bagaimana Pendapat-pendapat Ibnu T dalam karyanya yan lain…
Dan sebagainya…
sehingga dengan pengkajian yang lebih komprehensif seperti itu kita tidak terjebak pada kerancuan asumsi terhadap seseorang, apalagi kita tau Ibnu Taimiah merupakan ulama besar yang sangat berpengaruh terhadap pemahaman umat tentang Agama Islam…
Kalau pembacaan yang mentah seperti di atas, kita bukannya mendiskusikan pemikiran Ibnu T tentang Logika tapi mendiskusikan pemahaman ADMIN tentang Ibnu taimiah yang notabnenenya mengambil kesimpualan yang sangat mentah…
demikian Wallahua’lam bisshowab..
“Man tamanthaqa faqad fazandaqa”, demikian ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti harfiahnya kira-kira adalah, “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir”…… kemudian berhenti sampai disitu dan mengambil kesimpulan sendiri tentang pemikiaran Ibnu Taymiyah tentang LOGIKA…
Saya rasa Ibnu T juga tidak mungkin sepicik itu dalam mengartikan penggunaan LOGIKA,
jadi paling tidak yang perlu kita kaji,
Apa yang melatarbelakangi Ibnu T sehingga mengeluarkan statement seperti itu..?
Bagaimana situasi sosio-kultural-politis saat Ibnu T mengeluarkan statement itu..?
Bagaimana Pendapat-pendapat Ibnu T dalam karyanya yan lain…
Dan sebagainya…
sehingga dengan pengkajian yang lebih komprehensif seperti itu kita tidak terjebak pada kerancuan asumsi terhadap seseorang, apalagi kita tau Ibnu Taimiah merupakan ulama besar yang sangat berpengaruh terhadap pemahaman umat tentang Agama Islam…
Kalau pembacaan yang mentah seperti di atas, kita bukannya mendiskusikan pemikiran Ibnu T tentang Logika tapi mendiskusikan pemahaman ADMIN tentang Ibnu taimiah yang notabnenenya mengambil kesimpualan yang sangat mentah…
demikian Wallahua’lam bisshowab..
- Di masa kini ke depan Sunda akan
melahirkan Para Filsuf Handal yang siap menghancurkan kesalahan cara
berpikir & manipulasi ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Para Filsuf
Dunia.
MARI KITA MEMBUAT KARYA FILSAFAT AGAR KITA MENJADI SEORANG FILSUF, YANG BERTANGGUNG JAWAB MENGHADIRKAN KEMBALI KEBENARAN ILMU SANG MAHA PENCIPTA, sebagai mana yang dilakukan oleh Filsuf Sunda Mandalajati Niskala, yang sebagian hipotesisnya sbb:
1)
Menurut para akhli di seluruh Dunia bahwa GRAVITASI BUMI EFEK DARI ROTASI BUMI.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala SALAH BESAR, bahwa Gravitasi Bumi TIDAK ADA KAITANNYA DENGAN ROTASI BUMI. Sekalipun bumi berhenti berputar Gravitasi Bumi tetap ada.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala SALAH BESAR, bahwa Gravitasi Bumi TIDAK ADA KAITANNYA DENGAN ROTASI BUMI. Sekalipun bumi berhenti berputar Gravitasi Bumi tetap ada.
2)
Bahkan kesalahan lainnya yaitu semua akhli sepakat bahwa panas di bagian Inti
Matahari mencapai 15 Juta Derajat Celcius.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala panas Inti Matahari SEDINGIN AIR PEGUNUNGAN”.
Beliau menambahkan:“KALAU TIDAK PERCAYA SILAKAN BUKTIKAN SENDIRI”.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala panas Inti Matahari SEDINGIN AIR PEGUNUNGAN”.
Beliau menambahkan:“KALAU TIDAK PERCAYA SILAKAN BUKTIKAN SENDIRI”.
3)
Filsuf Sunda Mandalajati Niskala sangat logis menjelaskan kepada banyak pihak
bahwa MATAHARI ADALAH GUMPALAN BOLA AIR RAKSASA YANG BERADA PADA RUANG HAMPA
BERTEKANAN MINUS, SEHINGGA DI BAGIAN SELURUH SISI BOLA AIR RAKSASA TERSEBUT
IKATAN H2O PUTUS MENJADI GAS HIDROGEN DAN GAS OKSIGEN, YANG SERTA MERTA AKAN
TERBAKAR DISAAT TERJADI PEMUTUSAN IKATAN TERSEBUT. Suhu kulit Matahari menjadi
sangat panas karena Oksigen dan Hidrogen terbakar, tapi suhu Inti Matahari
TETAP SEDINGIN AIR PEGUNUNGAN.
4)
Filsuf Sunda Mandalajati Niskala menegaskan: “CATAT YA SEMUA BINTANG TERBUAT
DARI AIR DAN SUHU PANAS INTI BINTANG SEDINGIN AIR PEGUNUNGAN. TITIK”.
5)
Menurut para akhli diseluruh Dunia bahwa Gravitasi ditimbulkan oleh adanya
massa pada suatu Zat.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala: “GAYA GRAVITASI BUKAN DITIMBULKAN OLEH ADANYA MASSA PADA SEBUAH ZAT ATAU BENDA”.
Mandalajati Niskala menambahkan: “Silahkan pada mikir & jangan terlalu doyan mengkonmsumsi buku2 Barat.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala: “GAYA GRAVITASI BUKAN DITIMBULKAN OLEH ADANYA MASSA PADA SEBUAH ZAT ATAU BENDA”.
Mandalajati Niskala menambahkan: “Silahkan pada mikir & jangan terlalu doyan mengkonmsumsi buku2 Barat.
6)
Filsuf Sunda Mandalajati Niskala membuat pertanyaan di bawah ini yang cukup
menantang bagi orang-orang yang mau berpikir:
a) BAGAIMANA TERJADINYA GAYA GRAVITASI DI PLANET BUMI?
b) BAGAIMANA MENGHILANGKAN GAYA GRAVITASI DI PLANET BUMI?
c) BAGAIMANA MEMBUAT GAYA GRAVITASI DI PLANET LAIN YG TIDAK MEMILIKI GAYA GRAVITASI?
a) BAGAIMANA TERJADINYA GAYA GRAVITASI DI PLANET BUMI?
b) BAGAIMANA MENGHILANGKAN GAYA GRAVITASI DI PLANET BUMI?
c) BAGAIMANA MEMBUAT GAYA GRAVITASI DI PLANET LAIN YG TIDAK MEMILIKI GAYA GRAVITASI?
7)
Menurut para akhli diseluruh Dunia bahwa Matahari memiliki Gaya Gravitasi yang
sangat besar.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala Matahari tidak memiliki Gaya Gravitasi tapi memiliki GAYA ANTI GRAVITASI.
Menurut Filsuf Sunda Mandalajati Niskala Matahari tidak memiliki Gaya Gravitasi tapi memiliki GAYA ANTI GRAVITASI.
8)
Pernyataan yang paling menarik dari Filsuf Sunda Mandalajati Niskala yaitu:
“SEMUA ORANG TERMASUK PARA AKHLI DI SELURUH DUNIA TIDAK ADA YANG TAHU JUMLAH BINTANG & JUMLAH GALAKSI DI JAGAT RAYA, MAKA AKU BERI TAHU, SBB:
a) Jumlah Bintang di Alam Semesta adalah 1.000.000.000.000.000.000.000.000.000
b) Jumlah Galaksi di Alam Semesta adalah 80.000.000.000.000
c) Jumlah Bintang di setiap Galaksi adalah sekitar 13.000.000.000.000
“SEMUA ORANG TERMASUK PARA AKHLI DI SELURUH DUNIA TIDAK ADA YANG TAHU JUMLAH BINTANG & JUMLAH GALAKSI DI JAGAT RAYA, MAKA AKU BERI TAHU, SBB:
a) Jumlah Bintang di Alam Semesta adalah 1.000.000.000.000.000.000.000.000.000
b) Jumlah Galaksi di Alam Semesta adalah 80.000.000.000.000
c) Jumlah Bintang di setiap Galaksi adalah sekitar 13.000.000.000.000
9)
Dll produk Filsafat seluruh cabang ilmu dari Filsuf Sunda Mandalajati Niskala
YANG SIAP MENCENGANGKAN DUNIA seperti Wahyu Cakra Ningrat, Trisula Weda,
Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Diri, Sastra Jendra, Filsafat Ilmu
Pengetahuan & Jagat Raya, dll.
No comments:
Post a Comment