SALAFY DAN PENGIKUT SYAFII Memahami Dan Menyikapi Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf)
M.RAKIB DAN ABSIR, SAHABAT LAMA
Di Indonesia, pada umumnya ditemukan mazhab Syafii, lalu
datang mazhab Salafy Wahabi, akibatnya terjadi perkelahian , cekcok karena ada
yang memaksakan kehendaknya.
Perbedaan pendapat
(ikhtilaf) merupakan hal yang pasti terjadi, bahkan hal ini juga terjadi
dikalangan sahabat pada masa Rasulullah saw. masih hidup, seperti perbedaan
pendapat saat Rasulullah memerintahkan sahabat pergi ke bani Quraidhoh, beliau
mengatakan:
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
“Jangan
sekali-kali salah seorang dari kalian shalat ‘Ashar keculi di perkampungan Bani
Quraizhah.”
Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih di jalan, sebagian dari mereka
berkata, ‘Kami tidak akan shalat kecuali telah sampai tujuan’, dan
sebagian lain berkata, ‘Bahkan kami akan melaksanakan shalat, sebab beliau
tidaklah bermaksud demikian’. Maka kejadian tersebut diceritakan kepada
Nabi saw, dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka.” (HR. Bukhory dari
Ibnu ‘Umar r.a)
Hanya saja tatkala
perbedaan pendapat tidak disikapi dengan benar, maka hal ini menjadi pintu
masuknya fitnah yang bisa dimanfaatkan oleh musuh Islam untuk mengadu domba
antar umat Islam sehingga tidak ada lagi rasa pembelaan terhadap sesama saudara
se’aqidah yang berbeda pendapat dengannya. Tulisan ini mencoba mengurai secara
ringkas sebab-sebab perbedaan pendapat, memilah dan bagaimana menyikapinya.
1)
Sebab-Sebab Ikhtilaf
Ikhtilaf bisa muncul
karena hawa nafsu, atau karena ijtihad yang memang diizinkan
syara’ (bagi yg layak untuk berijtihad). Ikhtilaf yang disebabkan karena hawa
nafsu adalah ikhtilaf yang tercela, karena berarti menjadikan hawa nafsu
sebagai dalil syara’[1],
dan ikhtilaf karena hal ini tidak dianggap sebagai ikhtilaf yg ditolerir syara’[2].
Adapun ikhtilaf
karena ijtihad yang diizinkan syara’ terjadi karena banyak sebab yang bisa
dikembalikan kepada dua hal yakni: karena dalil atau karena kaidah-kaidah
ushul yang berkaitan dengan dalil.
1.1)
Sebab Ikhtilaf karena Dalil
Al Bathlayusy (w. 521
H) dalam kitabnya Al Inshâf, ikhtilaf dalam berdalil bisa karena
beberapa hal, diantaranya:
1.
Lafadz yg mengandung beberapa makna (musytarok) juga lafadz yg
mengandung penakwilan. Seperti:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (Al Baqarah : 228)
Quru’ diartikan suci
oleh orang-orang Hijaz, dan diartikan haid oleh orang-orang ‘Iraq.
2.
Lafadz yang mengandung makna hakiki dan majazi (kiasan). Semisal:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ …
Atau
menyentuh perempuan. (QS.
al-Maidah[5]: 6)
Yang dimaksud menyentuh
di dalam ayat ini bisa berarti menyentuh dengan tangan atau jima’.
Sehingga terjadi perbedaan pendapat apakah menyentuh dengan tangan membatalkan
wudlu atau tidak.
3.
Penggunaan dalil antara ‘umum dan khusus.
Semisal ayat لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ (tidak ada paksaan
dalam beragama (untuk memeluk Islam)) apakah berlaku ‘umum untuk semua org
kafir atau khusus untuk ahli kitab yang membayar jizyah.
4.
Perbedaan qira’at (bacaan) al Qur’an dan pandangan terhadap periwayatan hadits. Semisal bacaan Al
Qur’an:
وامسحوا برؤوسِكم وأرجلكم ..
Dan
sapulah kepala kalian dan kaki kalian … (Al Ma’idah : 6).
Nafi’ dan Al Kisa’i
membacanya dengan nashab (وأرجلَكم) sedangkan riwayat Al
Walid bin Muslim bacaannya rofa’ (وأرجلُكم) ini adalah
qira’atnya Al Hasan, adapun qira’atnya Abu ‘Amr, Ibnu Katsir dan Hamzah dengan
khafdl وأرجلِكم)). Sehingga bagi yg
membaca nashob maka mereka mengatakan yang wajib dalam wudlu adalah membasuh,
bukan mengusap – ini adalah pendapat jumhur, sebaliknya yang membacanya khofdl
menyatakan wajibnya adalah mengusap, bukan membasuh[3].
Termasuk juga
perbedaan bisa terjadi saat menilai hadits, semisal Imam An Nawawi (w. 676 H),
yang menilai hadits bahwa Rasul saw. tidak meninggalkan qunut shubuh sebagai
hadits shahih (dalam Al Majmu’), sedangkan ahli hadits yang lain
mendlo’ifkannya. Begitu juga semisal mengusap tangan ke wajah setelah berdo’a, Ibnu
Hajar Al Asqalany menilainya hasan (dalam Bulughul Maram), sedang ahli
hadits yang lain banyak yang mendlo’ifkannya.
5.
Adanya anggapan penghapusan hukum (nasakh) atau ketiadaannya[4].
Seperti:
Aku
telah melarang kalian berziarah kubur. (Akan tetapi sekarang) silakan
berziarah.
(HR. Al Hakim dari Anas).
6.
Terlupakan atau tidak terperhatikannya suatu hadits. Misalnya saat para
shahabat mau menuju syam saat melewati daerah yang diserang wabah tha’un,
sebagian ingin melewati saja dg alasan taqdir Allah, sebagian ingin kembali ke Madinah,
sampai Abdurrahman bin ‘Auf datang dan berkata:
فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
Maka
itu jika kalian mendengar ada wabah tersebut (tha’un) di suatu wilayah
janganlah kalian memasuki wilayah tersebut dan jika kalian sedang berada di
wilayah yang terkena wabah tersebut janganlah kalian mengungsi karena lari
darinya
(HR. Bukhory)
1.2)
Sebab Ikhtilaf karena Kaidah-kaidah Ushul
Adalah sulit
membatasi sebab-sebab ikhtilaf dalam hal ini, setiap kaidah ushul yang berbeda
bisa menghasilkan pendapat yang berbeda, bahkan kaidah ushul yang sama pun bisa
menghasilkan pendapat yang berbeda.
Termasuk dalam hal
ini adalah memahami kata perintah dalam suatu dalil apakah perintah tersebut
menimbulkan hukum wajib atau tidak, apakah berlaku mutlaq atau muqayyad
(terikat), dll yang secara luas dibahas dalam ilmu ushulul fiqh.
Sebagai contoh
tentang Isbal (memakai kain melebihi mata kaki), Rasulullah bersabda:
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
“Apa
yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu tempatnya di neraka.” [Hadits Riwayat
Bukhari dalam shahihnya]
Sedang dalam hadits
lain beliau saw. bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa
yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari
kiamat.”
[Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Sebagian ‘ulama
seperti syaikh Bin Baz[5]
& Al Utsaimin memahami bahwa Isbal mutlaq haram, baik tanpa sombong,
apalagi dengan sombong. Sedangkan mayoritas ‘ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan
Hanbali[6]
memandang Isbal yang haram hanyalah kalau disertai sikap sombong, termasuk Ibnu
Taymiyyah (w. 728 H) dalam Syarh Al ‘Umdah hal. 366 menyatakan:
ولأن الأحاديث أكثرها مقيدة بالخيلاء فيحمل المطلق عليه وما سوى ذلك فهو باق على الإباحة وأحاديث النهي مبنية على الغالب والمظنة
Dan
karena hadits-hadits (tentang isbal) lebih banyak yang muqayyad (terikat)
dengan kesombongan, maka yang muthlaq itu mengandungnya (muthlaq namun
mengandung makna terikat yakni krn sombong), dan selain hal itu (kalau tidak
sombong) maka tetap hukumnya mubah, dan hadits-hadits yang melarangnya dibangun
atas dasar keumuman (al gholib) dan sangkaan (madzonnah).
Selain itu perbedaan
juga bisa terjadi karena perbedaan memahami fakta, atau salah faham dalam
memahami fakta, atau mendefinisikan sesuatu. Sebagai contoh ada kalangan X yang
menuduh bahwa kalangan Y membolehkan melihat gambar porno karena kesalahan
dalam memahami apa yang dimaksud oleh kalangan Y sebagai gambar porno, misalnya
kalangan Y memahami bahwa melihat aurat secara langsung berbeda hukumnya dengan
melihat gambar aurat karena kaidah “hukum asal benda adalah mubah”, melihat
rambut/leher wanita non mahrom adalah haram, baik tanpa syahwat, apalagi dengan
syahwat. Namun kalangan Y menjelaskan bahwa gambar aurat (semisal gambar
kartini dalam uang 10 ribuan, yg kelihatan rambutnya) boleh dilihat, bahkan di
simpan karena uang 10 ribuan adalah benda, bukan aurat wanita. Adapun dalam
kasus gambar – gambar porno “xxx” berlaku kaidah : “al washilatu ila al
haroomi haroomun” yakni wasilah yang mengantarkan kepada yang haram maka
hukumnya adalah haram.
2)
Lapangan Ikhtilaf
Ikhtilaf yang
dibenarkan syara’ hanya terjadi pada nash-nash yang memang karakternya
mempunyai beberapa makna (penunjukan maknanya tidak pasti) atau nash-nash yang
sumbernya dipertentangkan (keshahihannya). Oleh karena itu, perbedaan pendapat
dalam nash-nash yang pasti (qoth’iy) sumber maupun penunjukan maknanya, maka
perbedaan seperti ini tidak dianggap sebagi ikhtilaf, namun lebih pantas
disebut penyimpangan.
3)
Ikhtilaf Tidak Ada Lagi Ketika Penguasa Memutuskan
Dalam hal ini ada
kaidah yang masyhur:
حكم الحاكم في مسائل الاجتهاد يرفع الخلاف
Ketetapan
Al Hâkim dalam masalah ijtihad mengangkat perselisihan[7].
Khalifah Abu
Bakar ra. menetapkan jatuhnya ucapan talak tiga (dalam satu waktu) tetap
sebagai talak satu, dan kaum muslim pada saat itu mengikutinya. Akan tetapi,
ketika Umar ra. berkuasa, beliau menetapkan hukum yang berbeda dengan
menyatakan ucapan talak tiga (dalam satu waktu) sebagai tiga kali talak, dan
kaum muslimin juga mengikutinya.
4)
Menyikapi Ikhtilaf
Dalam menghadapi
ikhtilaf, kita dituntut untuk hanya mengambil satu pendapat diantara
pendapat-pendapat tersebut. Bagi orang yang tidak memenuhi syarat ijtihad,
manakah pendapat yang harus diambil? dalam hal inipun ternyata juga terjadi
ikhtilaf, sebagian ‘ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah menyatakan dia boleh
mengambil pendapat mujtahid manapun, sedangkan mayoritas ulama Syafi’iyyah,
Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa ia harus mencari pendapat
yang terkuat (menurutnya). Juga ada yang lain menyatakan hendaklah diambil
pendapat yg paling berat, ada yg menyatakan paling ringan, ada yg menyatakan
ambil yang paling dia tahu[8].
Al Ghazali menyatakan: hendaklah ia mengambil pendapat orang yang lebih afdlol
menurutnya, dan yang lebih benar menurut dugaan hatinya[9].
Setelah ia mantap
mengambil pendapat yang dia pilih, maka hendaklah ia tidak menganggap pendapat
mujtahid lain sebagai sesat apalagi kafir, atau dia menjauhi orang yang tidak
sependapat dengannya, atau memutuskan silah ukhuwwah dengan yang tidak sependapat
dengannya.
Al-Imam Yunus bin
Abdul A’la Ash-Shadafi rahimahullah (salah seorang murid/sahabat Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : ” Aku tidak mendapati orang yang
lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku
berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau
menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : ” Hai Abu Musa! Tidakkah
sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu
masalah (ijtihad) pun? [10].
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata : ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat
dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan
tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” [11].
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah rahimahullah
dan tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan
”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah rahimahullah
telah wafat tepat pada tahun Imam Asy-Syafi’i rahimahullah lahir (lihat:
Al-Inshaf : 110).
Khalifah Harun
Ar-Rasyid rahimahullah berbekam lalu langsung mengimami shalat tanpa
berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf rahimahullah
(murid dan sahabat Abu Hanifah rahimahullah) pun ikut shalat bermakmum
di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu
membatalkan wudhu (Majmu Al-Fatawa : 20/364-366). Allahu Ta’ala A’lam.
[6] Al Muntaqa, 7/226, Al
Fawâkih, 2/310 (Maliki), Asnal Matholib, 1/278, Al Majmu’ Syarh
Al Muhadzdzab, 4/338 (Syafi’i), Kasyful Qina’, 1/277, Matholib
‘Ulin Nuha, 1/348
Ditulis oleh M
Taufik NT
No comments:
Post a Comment