Pengarang Gurindam 14 ini.
Muhammad Rakib , nama diberi,
Lahirlah aku, seorang diri,
Disangka kembar, dalam prediksi,
Ayah dan ibu, merasa ngeri.
Lahirku di, Pulau Penyalai,
Nyiur melambai, sepanjang pantai,
Jawa, Melayu Cina, beramai-ramai
Banyaknya nyamuk, tidak terlerai.
Pernah kucoba berladang padi,
Lima tahun mengorbankan diri,
Sambil sekolah, mencari rezeki,
Ke Bangkinang, pergi mengaji.
Muhammad Rakib , nama diberi,
Lahirlah aku, seorang diri,
Disangka kembar, dalam prediksi,
Ayah dan ibu, merasa ngeri.
Lahirku di, Pulau Penyalai,
Nyiur melambai, sepanjang pantai,
Jawa, Melayu Cina, beramai-ramai
Banyaknya nyamuk, tidak terlerai.
Pernah kucoba berladang padi,
Lima tahun mengorbankan diri,
Sambil sekolah, mencari rezeki,
Ke Bangkinang, pergi mengaji.
Diposkan
oleh Yayasan Raksya Riau di 00.51
Sebuah perbuatan yang tidak melibatkan
Tuhan maka tidak barakah (divine work).
Ketika mengajar, menjadi murid, menanam pohon, memanen padi, menuju ke kantor, mengasuh anak, dan sebagainya, seharusnya yang melakukan perbuatan-perbuatan itu bukan hanya fisik atau hasrat semata tetapi berusahalah melibatkan Tuhan di dalamnya.
Lakukanlah semuanya dengan melibatkan unsur batin. Proses pembatinan di dalam sebuah perbuatan hanya bisa dilakukan oleh manusia. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Yang paling penting ialah berhubungan seks. Jika tanpa keterlibatan unsur spiritual dalam hubungan seks, dan dengan demikian hanya nafsu belaka yang terlibat di dalamnya, maka seolah-olah yang berhubungan seks itu ialah binatang.
Anak-anak yang lahir dari padanya sudah barang tentu dapat disebut anak-anak binatang. Jangan heran jika semakin marak tawuran anak-anak di jalan raya. Jangan-jangan mereka itu sesungguhnya adalah 'anak-anak binatang'.
Hubungan seks itu suci dan sakral. Perbuatan itu tidak boleh dilakukan sebelum dilakukan proses nikah yang disebut di dalam Alquran sebagai perjanjian suci (mitsaqan galizhan). Setelah itu kita disarankan untuk mengindahkan akhlak berhubungan suami istri, sebagaimana dijelaskan dalam artikel terdahulu.
Ketika mengajar, menjadi murid, menanam pohon, memanen padi, menuju ke kantor, mengasuh anak, dan sebagainya, seharusnya yang melakukan perbuatan-perbuatan itu bukan hanya fisik atau hasrat semata tetapi berusahalah melibatkan Tuhan di dalamnya.
Lakukanlah semuanya dengan melibatkan unsur batin. Proses pembatinan di dalam sebuah perbuatan hanya bisa dilakukan oleh manusia. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Yang paling penting ialah berhubungan seks. Jika tanpa keterlibatan unsur spiritual dalam hubungan seks, dan dengan demikian hanya nafsu belaka yang terlibat di dalamnya, maka seolah-olah yang berhubungan seks itu ialah binatang.
Anak-anak yang lahir dari padanya sudah barang tentu dapat disebut anak-anak binatang. Jangan heran jika semakin marak tawuran anak-anak di jalan raya. Jangan-jangan mereka itu sesungguhnya adalah 'anak-anak binatang'.
Hubungan seks itu suci dan sakral. Perbuatan itu tidak boleh dilakukan sebelum dilakukan proses nikah yang disebut di dalam Alquran sebagai perjanjian suci (mitsaqan galizhan). Setelah itu kita disarankan untuk mengindahkan akhlak berhubungan suami istri, sebagaimana dijelaskan dalam artikel terdahulu.
Ke seberang parit,
membawa bakul.
Tidak mudah, memintal tali.
Bagaimana murid, tidak dipukul,
Dinasehati sudah, berkali-kali.
Dahulu guru, diberi rotan,
Orang tua, menyerahkannya.
Kini murid, suka tawuran ,
Polisi bersenjata, dilawannya.
Buktinya, murid yang salah, dibela dan guru yang tegas, dihukum. Konsep benar-salah menjadi hilang. Derita Guru: Sebuah Dilema
Pendidikan. Keberadaan UU Perlindungan Anak ini,
menurut
penulis menjadi sebuah penderitaan guru.
Mereka dihadapkan pada masalah dilematis
dalam proses pendidikan dan pembinaan anak muridnya. Situasi mereka berhadapan
dengan UU Perlindungan Anak. Demi pembinaan dan penegakan
disiplin kepada siswa, ada guru yang terpaksa
menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada jerat hukum.
Maksud baik guru justru berakibat buruk.
Padahal menyadarkan murid. Di antara
cara penyadaran adalah “tempeleng”, walaupun bisa pakai cara lain yang tanpa kekerasan. UU
Perlindungan Anak tidak membolehkan memakai cara
kekerasan, padahal cara itu bisa menjadi sarana paling efektif. Tingkat
penyadarannya lebih kuat dibandingkan menegur dan menasehati.
Tempeleng hanya sekali, bisa merupakan bentuk shock therapy.
Menurut penulis UU Perlindungan Anak
menjadi penderitaan para guru di sekolah. Mereka tidak berani bertindak tegas
kepada murid karena takut terkena sanksi dari UU Perlindungan Anak. Bayangkan
saja, terkena pasal 80 ayat (1)
merupakan penderitaan yang amat sangat bagi guru yang berpenghasilan
pas-pasan. Ada guru masuk penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus, tidak akan jadi masalah serius. Tetap
mengajar dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan
keluarganya.
Ada kasus, di sebuah sekolah menengah
pertama, ada siswa sedang berkelahi,
lalu datang guru melerai. Tapi disambut dengan caci maki oleh seorang
siswa yang berkelahi, karena tidak terima acara duelnya dipisahkan. Guru juga
masih muda, dan caci maki itu terjadi di muka umum, diketahui murid lain, dan
demi harga diri yang diinjak murid, guru itu menampar siswa. Cuma sekali. Sang
guru dilaporkan ke polisi, beberapa hari di penjara. Akhirnya dibebaskan dengan
tebusan.
Apa yang terjadi setelah peristiwa itu?
Para guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa dan para siswa berbuat
seenaknya saja. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani menegur. Yang
terjadi adalah proses pembiaran. Ketika guru bertindak tegas, anak dapat
mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah mengejek gurunya
bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa karena takut dengan UU
Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merusak dunia pendidikan. Tidak setuju
dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak untuk
merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru.
Menurut penulis, Hukuman Bukan Penganiayaan, ada kekeliruan dalam
UU Perlindungan Anak, berkaitan dengan kata “penganiayaan” dan kekerasan.
Kategori penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi, mirip dengan
penyiksaan. Memukul atau menempeleng
berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, bukan
penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan, seperti kasus IPDN, penganiayaan
memang kejam, karena bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang
berkali-kali. Karena itu ada yang cacat dan bahkan sampai tewas.
Penulis tidak setuju jika menempeleng, satu kali saja
masuk kategori kekejaman (pasal 13 ayat 1) tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1).
Dalam kasus-kasus penganiayaan di
sekolah, dilakukan oknum guru sebenarnya tidak masuk kategori kekerasan, yang
bukan kekejaman, penganiayaan yang tidak manusiawi.Yang menjadi persoalan,
haruskah kekerasan itu dihukum, jika bertujuan baik, menyadarkan murid akan kesalahannya. Untuk
bisa sadar, sering menyakitkan. Tapi
itulah shock therapy. Harus juga diperhatikan kewajiban anak. Dalam
UU Perlindungan Anak, khususnya soal hak dan kewajiban anak dan pasal
lain yang berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu
pasal saja (pasal 19). bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini:
Setiap
anak berkewajiban untuk :
1. menghormati orang tua, wali,
dan guru;
2. mencintai keluarga,
masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah air, bangsa,
dan negara;
4. menunaikan ibadah sesuai
dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan etika dan
akhlak yang mulia.
Jika anak tidak melaksanakan
kewajibannya, sanksi apa yang dapat diberikan UU RI no.23 th 2002? Tidak ada
yang melihat hal ini. Orang hanya
melihat hak anak, mengabaikan hak guru. Kasus ini punya daya tarik bagi
polisi dan pengacara? Tidak tentang
bagaimana kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya,
seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak?
Kasus anak SD mengganggu temannya
yang sedang latihan, berarti tidak melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19)
UU Perlindungan Anak. Kasus SMK, siswa tidak melaksanakan kewajiban no. 3 dan
5. Guru punya wewenang melaporkan siswa
ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut? Hak dan kewajiban mesti
seimbang. Orang tidak bisa menuntut hak tanpa melaksanakan kewajibannya, karena berkaitan dengan UU Perlindungan Anak. Kritik
penulis ialah perlu ditinjau soal
keseimbangan hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebani
kesalahan pada guru.
Kondisi
dunia pendidikan Indonesia akhir-akhir ini semakin memprihatinkan. Kekerasan
dan tindakan-tindakan amoral yang dilakukan pelajar kian masif saja. Itu
menandakan gagalnya pendidikan dalam upaya melahirkan generasi yang
berpengetahuan luas dan berakhlak mulia.
BAHKAN, tawuran yang terjadi beberapa waktu yang lalu
menambah buram wajah dunia pendidikan Indonesia kini. Di tengah carut-marutnya
pendidikan saat ini, tak jarang ada kegundahan seorang guru sebagai pihak yang
bertanggung jawab dan bertugas membantu mempersiapkan para peserta didik
menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Dengan kata lain, guru merasa gagal ketika melihat
anak didiknya melakukan hal-hal yang jauh melenceng dari yang diajarkannya.
Dalam konteks ini, tawuran yang terjadi belakangan ini menjadi tamparan keras
bagi para pendidik, baik guru maupun dosen. Sebab, mereka adalah pihak yang
paling bertanggung jawab atas perilaku dan tingkah polah para peserta didiknya,
selain orang tua.
Jika kita telisik lebih dalam, mengapa para siswa
sekarang sering bertindak amoral, maka ada beberapa kemungkinan yang membuat
semua pihak, terutama pemerintah harus bekerja ekstrakeras. Di sekolah,
pendidik (selanjutnya dibaca; guru) adalah orang yang bertanggung jawab penuh
atas perilaku anak. Guru dituntut melakukan tugas profesinya tersebut dengan
sungguh-sungguh.
UU Perlindungan Anak
Namun belakangan ini, eksistensi pendidik seringkali
dihadapkan dengan realitas yang tidak mendukung pelaksanaan tugas profesinya.
Sebut saja, adanya pengaduan orang tua dan masyarakat terhadap kekerasan yang
dilakukan pendidik tatkala melaksanakan tugasnya di sekolah. UU Perlindungan
Anak sesungguhnya merupakan upaya negara untuk melindungi anak Indonesia dari
perlakuan yang sewenang-wenang dari orang dewasa, yang dalam konteks ini adalah
guru. Namun, keberadaan UU tersebut seringkali disalahartikan. Artinya, UU
Perlindungan Anak dijadikan “alat” untuk menjustifikasi kesalahan anak.
Kondisi ini tentu saja berdampak semakin sulitnya guru
melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan, terutama membina
kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji. Selain UU Perlindungan Anak, untuk
melindungi anak-anak Indonesia, negara juga mempunyai sebuah lembaga, yaitu
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Namun, sekali lagi eksistensi KPAI
juga dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kesalahan anak.
Dalam dunia pendidikan kita mengenal adanya pemberian
punishment (hukuman) dan reward (penghargaan). Keduanya itu merupakan salah
satu alat pendidikan untuk meningkatkan prestasi dan menegakkan kedisiplinan di
lingkungan sekolah. Namun, dengan adanya UU Perlindungan Anak dan KPAI, seakan
dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses
pendidikan.
Sebab, seorang guru yang bertugas memberikan kedua hal
tersebut mungkin ketakutan jika akan menjatuhkan punishment kepada siswa yang
melanggar. Padahal, eksistensi reward dan punishment sangat penting dalam
pencapaian tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, harus ada keseimbangan antara
keduanya. Artinya, jika melanggar, maka konsekuensinya adalah mendapat hukuman.
Begitu pula sebaliknya, jika berprestasi, maka penghargaan menjadi alat untuk
meningkatkan prestasi itu.
Seorang guru memiliki otoritas akademik di dalam kelas
untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan.
Namun, dengan adanya UU tersebut, otoritas guru dalam rangka menegakkan
kedisiplinan akan hilang.
Sebab, yang seringkali terlupakan adalah alasan
hukuman yang dilakukan guru. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji materi ulang
(judicial review) terhadap UU Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan
82. Sebab, belum tentu tindakan seorang guru murni kesalahannya, akan tetapi
bisa saja akibat kesalahan yang dilakukan peserta didiknya.
Posisi yang Dilematis
Dalam
konteks ini, guru seringkali berada pada posisi yang dilematis, yaitu antara
tuntutan profesi dan perlakuan UU yang berujung pada kemanjaan masyarakat.
Maksudnya, di satu sisi guru diberikan kewajiban agar mampu menghantarkan
peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan yang salah satunya adalah
menjadikan generasi yang berkarakter (akhlak) baik.
Ke seberang parit, membawa bakul.
Tidak mudah, memintal tali.
Bagaimana murid, tidak dipukul,
Dinasehati sudah, berkali-kali.
Di sisi lain, ketika mereka berupaya
untuk menegakkan kedisiplinan, mereka dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan
KPAI. Misalnya, ada seorang murid yang melakukan tindakan yang tidak terpuji,
kemudian seorang guru mengingatkannya. Akan tetapi, karena si anak tidak
mengindahkannya, bahkan menantang seorang guru, maka guru harus tegas.
Namun, pada akhirnya ketegasan seorang guru akan
dibalas dengan hukuman, karena melanggar UU Perlindungan Anak. Sehingga, tak
jarang guru harus berurusan dengan kepolisian atau KPAID. Sungguh
memprihatinkan nasib guru saat ini.
Tentu saja dalam hal ini, guru menjadi sosok yang
serba salah. Akibatnya, eksistensi guru berada pada posisi yang sangat pasif.
Jika mereka mencoba aktif dan peduli dengan murid yang melanggar, maka penjara
sudah menunggunya. Memang secara yuridis, Perlindungan Guru dan Dosen telah
termuat dalam UU No. 14/2005. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang
menyebutkan bahwa Pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan
pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
Adapun maksud Perlindungan Profesi yang diamanatkan
dalam UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen adalah perlindungan terhadap
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan
dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan
pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan
tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi
perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja,
kesehatan, dan/atau risiko lainnya.
Meski telah ada UU yang melindungi guru/dosen, dalam
implementasinya seringkali menemui jalan buntu. Guru hanya dituntut agar dapat
mengantarkan peserta didik sebagai masyarakat terdidik, namun tidak sejalan
dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan kepada guru. Sungguh ironis.
Oleh sebab itu, guru harus pandai-pandai menyikapi hal
itu. Jika ada murid yang melanggar dan sulit untuk dinasihati, maka guru perlu
memanggil orang tua secara langsung. Namun, jika cara itu tidak juga
menunjukkan perbaikan, maka guru bisa memberikan hukuman atau menyerahkannya
kepada orang tua (dikeluarkan).
Memang perlu upaya yang lebih dalam rangka
menyelesaikan masalah ini. Pemerintah harus melindungi guru, agar mereka bisa
menunaikan tugasnya dengan baik. Selain itu, masyarakat perlu juga sadar dengan
posisi guru yang sangat dilematis. Dengan begitu, tujuan pendidikan nasional akan
tercapai dengan baik dan tidak ada yang dirugikan.
No comments:
Post a Comment