DIMENSI HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG
KEJAHATAN ANAK-ANAK
By M.Rakib, SH.M.Ag. LPMP Riau Indonesia.17-Juni 2014
A.Esensi Hukum Pidana Islam
1. Jarimah
Dalam
kitab al-Ahkam as-Sultaniyyah,
Al-Mawardi mengungkapkan, esensi hukum Islam adalah
menegakkan keadilan berdasarkan kemauan pencipta manusia sehingga terwujud
ketertiban dan ketentraman masyarakat.Namun apabila
hukum Islam dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah dan Nabi
Muhammad, baik yang termuat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits dalam hukum Islam, tindak pidana (delik, jarimah), [1]diartikan
sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syarak atau agama yang diancam
oleh Allah dengan hukuman hudud (hukum atau ketetapan Allah SWT) atau takzir
(putusan hukum yang ditetapkan oleh hakim). Larangan-larangan syarak tersebut,
menurut Al-Mawardi, bisa berupa mengerjakan perbuatan yang memang dilarang atau
meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.
Abdul Qadir Audah dalam At-Tasyri al-Jinai al-Islamy Muqaran bil bil
Qanunil Wad'iy menegaskan, pengertian tindak pidana menurut hukum Islam
sangat sejalan dengan pengertian tindak pidana (delik) menurut hukum
konvensional kontemporer. Pengertian tindak pidana dalam hukum konvensional
adalah segala bentuk perbuatan yang dilarang oleh hukum, baik dengan cara
melakukan perbuatan yang dilarang maupun meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan. Jinayah didefinisikan sebagai perbuatan
yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan
agama, jiwa, akal, atau harta benda.Dalam Islam dikenal dengan istilah al-Ahkam al-Jina'iyah atau hukum
pidana. Al-ahkam al-jina'iyah
bertujuan untuk melindungi kepentingan dan keselamatan umat manusia dari
ancaman tindak kejahatan dan pelanggaran sehingga tercipta situasi kehidupan
yang aman dan tertib.
Dasar larangan dan hukuman,
menurut Audah, perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana
adalah suatu perintah dan larangan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan
dampak yang buruk, baik bagi sistem ataupun aturan masyarakat, akidah,
kehidupan individu, keamanan harta, kehormatan diri (nama baik), perasaannya,
maupun berbagai pertimbangan lain yang harus dipelihara. Pensyari’atan hukuman
terhadap setiap tindak pidana dalam hukum Islam bertujuan untuk mencegah
manusia melakukan tindakan tersebut. Seandainya tidak ada hukuman, perintah dan
larangan tersebut tidak memiliki arti apa pun dan tidak memberikan pengaruh.
"Karena itu, kenyataan bahwa hukuman dapat melahirkan rasa aman dan pengendalian
(atas manusia) merupakan suatu perkara yang telah dipahami dan hasilnya sesuai
yang diharapkan," papar Audah. Menurut Audah,
hukuman juga dapat mencegah manusia untuk berbuat tindak pidana, menolak
kerusakan di muka bumi, dan mendorong manusia untuk menjauhi perkara yang
membahayakan.
Dalam hal ini, walaupun hukuman
ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan umum, hakikat pidana itu sendiri
bukanlah suatu kebaikan, melainkan suatu perusakan bagi pelaku itu sendiri
(seperti hukuman mati, potong tangan, dan lainnya). "Meskipun begitu,
hukum Islam tetap mewajibkan adanya hukuman. Sebab, hukuman dapat membawa
kemaslahatan yang hakiki bagi masyarakat sekaligus memelihara kemaslahatan
tersebut," tuturnya.Penetapan suatu hukuman cenderung mengarah kepada
hal-hal yang tidak disukai manusia, yakni selama hukuman itu memberikan
kemaslahatan masyarakat dan mencegah hal-hal yang disukai mereka, selama hal
itu dapat merusak mereka. Ada data
penelitian yang dihimpun melalui kajian atas isi putusan Pengadilan
Negeri Surabaya tentang pencabulan yang dilakukan anak di bawah umur dan
dokumenter (literature) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif
analisis serta kesimpulan diperoleh melalui pola berfikir deduktif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa putusan hakim dalam menjatuhkan perkara Nomor : 33/Pid.B/2008/PN.Sby, bagi pelaku pencabulan yang dilakukan anak di bawah umur dengan memvonis 6 (enam) bulan, membebankan biaya perkara Rp. 1000 (Seribu Rupiah) dan denda Rp. 1.000 (Seribu Rupiah), selain memenuhi Pasal 290 KUHP hakim juga berdasarkan pada pertimbangan hal-hal yang mem beratkan dan pada hal-hal yang meringankan. Menurut UU perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 pasal 81 dan 82 pelakunya dijatuhi dengan hukuman penjara paling singkat 3 tahun dan hukuman penjara paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000 (Enam Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000 (Tiga Ratus Juta Rupiah).
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa putusan hakim dalam menjatuhkan perkara Nomor : 33/Pid.B/2008/PN.Sby, bagi pelaku pencabulan yang dilakukan anak di bawah umur dengan memvonis 6 (enam) bulan, membebankan biaya perkara Rp. 1000 (Seribu Rupiah) dan denda Rp. 1.000 (Seribu Rupiah), selain memenuhi Pasal 290 KUHP hakim juga berdasarkan pada pertimbangan hal-hal yang mem beratkan dan pada hal-hal yang meringankan. Menurut UU perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 pasal 81 dan 82 pelakunya dijatuhi dengan hukuman penjara paling singkat 3 tahun dan hukuman penjara paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000 (Enam Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000 (Tiga Ratus Juta Rupiah).
Sedangkan Hukum Pidana Islam tidak membolehkan untuk menjatuhkan hukuman pidana bagi anak di bawah umur, tetapi dalam rangka mendidik dan mengarahkan kepada kemaslahatan, maka anak di bawah umur dapat dijatuhi hukuman taâzir.[2] Berdasarkan analisis di atas, penulis menyarankan bagi penegak hukum agar dapat melindungi hak-hak anak sebagaimana dalam undang-undang tersebut, bagi orang tua agar masa depannya lebih baik.
B.Karakteristik Hukum Pidana Islam
Para ahli hukum Islam (fuqaha)
menempatkan jinayah (Hukum Pidana
Islam) memiliki sifat dan karakter yang berbeda dengan hukum pidana positif
suatu negara. Perbedaan ini terletak pada otoritas pembentukan hukumnya, yang
bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, karena itu dari sudut pandang ini
pelaksanaan hukum pidana Islam sebagai bagian dari ibadah atau sebagai wujud
ketaqwaan hamba kepada Tuhannya, untuk mengawal tingkah laku manusia agar
sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.[3]
Ketentuan hukum pidana Islam sering
dipahami sebagai doktrin, sehingga melahirkan pandangan bahwa hukum pidana
Islam tidak mungkin untuk diubah atau diganti dalam pelaksanaannya seperti
halnya melaksanakan doktrin agama mengenai aqidah dan ibadah. Sehingga timbul
kesan kurang memberi kesempatan atau peluang untuk mengkaji dari sudut pandang
ilmu pengetahuan yang berusaha membuktikan kebenaran hukum. Hukum pidana Islam
ditempatkan sebagai bagian hukum dari ajaran Islam, tetapi ketentuan hukum itu
masih memberi ruang gerak akal manusia untuk melakukan ijtihad guna merespon
perkembangan masyarakat yang terjadi saat ini. Hukum pidana Islam selain
sebagai hukum normatif dalam mengatur dan melaksanakan hukum, sedang ijtihad
yang dipergunakan untuk mengisi hukum ta’zir
dan hukum acaranya. [4]
Hukum pidana Islam dapat ditemukan dalam berbagai ayat yang tersebar
diberbagai surat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dari kedua sumber tersebut
diperoleh suatu kaidah (asas) yang mengatur beberapa perbuatan yang
dilarang dan yang diancamkan kepada orang yang melakukan pelanggaran hukum. Selanjutnya
para fuqaha mensistematisir dalam bentuk kitab hukum, pada umumnya fuqaha
menggolongkan jarimah ke dalam: jarimah hudud, jarimah qishash-diyat, dan
jarimah ta’zir. Dalam hal ini, ketentuan Allah dalam jinayat itu berhubungan dengan perbuatan yang dilarang, karena itu
ia berfungsi sebagai social control dan social engeeniring of law dalam
mengawal tingkah laku atau perbuatan manusia agar sesuai dengan eksistensi dan
martabat manusia sebagai makhluk terbaik.
1.Ketentuan Allah Sebagai Penjaga Eksistensi Manusia
Ketentuan-ketentuan Allah yang
menjaga eksistensi manusia secara permanen itu disebut “had”, jamaknya “hudud”,
artinya ketentuan (hukum) yang telah ditentukan Allah, dan menjadi hak
Allah. karena itu cara penerapannya sangat teliti dan hati-hati, dalam hal ini
Nabi bersabda yang artinya: “ Hindarilah
hukuman hudud karena ada syubhat”[5]. Jarimah had dibagi menjadi dua yaitu hudud dan qisas-diyat.
Macam-macam jarimah hudud telah ditentukan yaitu zina, qadzaf, sirqah,
syurbah, hirabah, riddah, dan bughah.[6]
Dan jarimah qisas-diyat yaitu qatl al-‘amd, qatl syibh al-‘amd, qatl
al-khata’, jarh al-‘amd, dan jarh al-khata’.
Secara umum tujuan hukum Islam adalah
untuk kemaslahatan manusia, artinya semua kewajiban, baik perintah, larangan,
dan anjuran pada hakekatnya kembali untuk memelihara tujuan hukum[7](dhoruriyah,
hajiyah, dan tahsiniyah). Karena itu, hal-hal yang bersifat dharuriyah
(primer) dari tujuan hukum itu dapat diklasifikasi sebagai berikut:
Pertama, semua pokok ibadah pada dasarnya untuk memelihara agama dan eksistensinya,
seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat. Sedangkan semua masalah kebiasaan
pada dasarnya untuk memelihara eksistensi jiwa dan akal, seperti makan, minum,
berpakaian, dan mendiami rumah.
Kedua, semua masalah muamalah pada dasarnya untuk memelihara eksistensi harta dan
keturunan, termasuk juga memelihara eksistensi jiwa dan akal.
Ketiga, sedangkan jinayat sebagai manifestasi dari amar ma’ruf nahi munkar pada
dasarnya untuk memelihara dan menjaga semua eksistensi tersebut di atas dari
kerusakan.
Masalah jinayat yang tercakup dalam
jarimah hudud dan qaisas-diyat yang disyariatkan pada dasarnya untuk memelihara
eksistensi manusia dan kemuliaan manusia, sebagai pembeda antara manusia dengan
makhluk lain, seperti hukuman had qisas-diyat untuk memelihara eksistensi jiwa
dari pembunuhan dan penganiayaan, hukuman had minuman keras untuk memelihara
eksistensi akal, hukuman zina untuk memelihara eksistensi asal-usul (keturunan)
manusia, hukuman had pencurian untuk memelihara eksistensi harta, hukuman had
hirabah untuk memelihara eksistensi jiwa dan harta. Maka upaya untuk memelihara
eksistensi itu pada dasarnya untuk penguatan martabat manusia, dan fuqaha’
telah merumuskan menjadi lima kategori, yaitu memelihara agama, memelihara
jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta[8].Dan
hal-hal yang bersifat hajiyah (skunder) dari tujuan hukum itu
dapat dikategorikan sebagai berikut:
Pertama, hal yang primer dalam ibadah
disebut “azimah” (yang seharusnya), maka dalam keadaan tertentu boleh
dilakukan rukhsah (keringanan) dengan tujuan untuk menghindarkan kesulitan,
seperti karena sakit atau safar. [9]
Kedua, dalam masalah kebiasaan, seperti makan, boleh memakan makanan
yang lezat asalkan halal, boleh memakai pakaian yang baik, boleh mendiami rumah
yang baik, juga boleh memakai kendaraan yang baik, dan lain sebagainya.
Ketiga, dalam masalah muamalah, seseorang boleh jual-beli secara
salam, dibolehkan juga dengan istina’muzara’ah, murabahah, ijarah, musaqqah,
dan lain-lain. Dalam perkawinan, dibolehkan thalak untuk menghindari
kemudlaratan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Masuk hajiyat juga, seperti
memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama.
Keempat, dalam bidang uqubah (jinayah), seperti
diharuskan tukang jahit mengganti kerugian atas kain yang dirusakkan, tidak
melaksanakan hudud karena syubhat (kesamaran) pada perkara pidana, larangan
menjual minuman keras dan sejenisnya, larangan penimbunan barang, dan lain
sebagainya.[10]
Adapun hal-hal yang bersifat tahsiniyah
[11](tersier)
adalah semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang
baik, yang semuanya tercakup dalam bagian akhlak karimah, antara lain:
Pertama, dalam hal ibadah, seperti kewajiban bersuci dari
najis, menutup aurat, memakai yang indah, mengerjakan amalan sunnah. Kedua, dalam hal kebiasaan, seperti memelihara adab
makan, minum, sopan santun terhadap orang yang lebih tua, adab berkendaraan,
adab dalam hubungan sesama manusia, dan lain sebagainya.
Ketiga, dalam hal muamalah, seperti menghormati tamu, larangan
menjual benda najis, larangan melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Keempat, dalam hal uqubah, seperti melarang
para wanita dengan memakai pakaian seksi dan merangsang seks di jalan-jalan.
Larangan membunuh orang yang sudah menyerah dalam peperangan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dipahami bahwa:
1.
Integritas moral suatu
bangsa akan menemukan jati dirinya dan akan menjadi karakter bangsa apabila
landasan spiritual masyarakat benar-benar melahirkan keyakinan yang kokoh dalam
jiwa setiap individu, sehingga melahirkan ketaatan dan kepatuhan terhadap
ketentuan hukum.[12]
2.
Dalam mengawal ketaatan
dan kepatuhan itu, Allah menetapkan perintah dan anjuran (sunnah) untuk
dilaksanakan dan larangan untuk ditinggalkan, dengan janji dan ancaman. Janji
bagi orang yang melaksanakan perintah dan anjuran akan dibalas kebahagian di
dunia dan di akherat kelak. Ancaman bagi
orang yang melanggar larangan akan dibalas dengan kesengsaraan,
ketidaktentraman dan neraka di akherat kelak.[13]
3.
Sedangkan dalam menjaga
eksistensi manusia yang paling asasi, Allah menetapkan hukuman (uqubah) yang telah ditentukan dalam
Al-Qur’an dan sunnah berupa hukuman had yaitu hudud dan qisas-diyat, sebagai
bentuk penjagaan yang konsisten, permanen sampai akhir zaman, dan sebagai wujud
dibedakannya manusia dengan makhluk yang lain. Sedangkan selain hudud dan qisas-diyat, yaitu ta’zir, yang cakupannya sangat luas, karena itu, eksistensinya
diserahkan sepenuhnya kepada manusia, pada zaman modern ini mekanismenya sesuai dengan sistem
ketata-negaraan dalan suatu negara.[14]
C. Subjek
dan Objek Hukum Pidana Islam
Hukum apapun di dunia,tentu ada sasarannya,
begitu pula dalam Islam ada subyek dan
obyek Hukum Pidana Islam. Adakah batas minimal umur
anak menurut konsep syar’i untuk kelayakan mempertanggung jawabkan tindak
pidana atas kerugian orang lain? Batas
minimal umur untuk cakap berbuat dalam hal ibadah berbeda dengan kecakapan
mempertanggungjawabkan tindak pidana; batas minimal umur anak untuk
mempertanggungjawabkan tindak pidana disamakan antar pelaku pria dan wanita;
batas minimal umur dimaksud memakai standar tamyiz
yaitu tujuh tahun. Kemudian dikenal pula hukuman khusus untuk mendidik, yang
disebut dengan istilah Jarimah ta’zir.[15]
Ciri khas
jarimah ta'zir adalah sebagai berikut: 1.Hukumannya tidak tertentu dan
tidak terbatas,artinya artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara'
dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.2.Penetapan hukuman tersebut adalah
hak penguasa.Hukuman jarimah banyak jumlahnya yang dimulai dari hukuman yang
paling ringan sampai hukuman paling terberat. Hakim diberi kewenangan untuk
memilih di antara
hukuman tersebut, yaitu
hukuman yang sesuai dengan keadan jarimah serta diri pembuatnya.hukuman-hukuman
jarimah ta'zir antara lain :
Pada dasarnya menurut syari'at Islam, hukuman ta'zir adalah untuk memberikan
pengajaran (ta'dib) dan tidak sampai
membinasakan, karena itu dalam hukum ta'zir
tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan
tetapi beberapa foqoha'memberikan pengecualian dari hukuman umum tersebut
,yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghedaki
demikian atau pemberatasan tidak terlaksanakankecuali dengan jalan
membunuhnya,seperti mata-mata, untuk pembuat fitnah, namun foqoha' yang lain
mengatakan dalam jarimah ta'zir tidak ada hukuman mati.
Di kalangan
fuqoha' terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam
ta'zir.menurut pendapat yang terkenal dikalangan ulama maliki,batas tertinggi
diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta'zir didasari hukuman kemashalatan
masyarakat dan atas berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, pendapat
bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir adalah 39 kali,dan menurut Abu Yusuf 75
kali. Ada dua
hukuman jilid dalam
hukum Islam
yaitu :
1.
Hukuman jilid pertama
adalah hukuman yang terbatas
2.
Hukuman jilid kedua
adalah hukuman yang tidak
terbatas
Adapun dasar pengambilan hukumnya dari:
Al-
Tasyri’ al Jana-i al Islamy I hal 601
فإذا ارتكب الصغير اية جريمة قبل
بلوغه السابعة فلايعاقب عليها جنائيا ولا تأديبيا
Pada usia
berapa tahun seorang anak dapat digugat perdata atas perbuatan hukumnya menurut
hukum Islam?
Seorang
anak dapat digugat perdata pada usia lima belas tahun dengan syarat nyata
baligh atau nyata rusyd (pandai),berakal
sehat.
Dasar Pengambilan
Hukum
Al-
Ashbah wa al- Nadza’ir 240
الاول ما لايلحق فيه بالبالغ بلا خلاف وذلك في التكاليف الشرعية من
الواجبات والمحرمات والتصرفات من العقود والفسوخ والولايات
Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu VII hal 739
تنتهي الولاية على النفس في رأي الحنفية في حق الغلام ببلوغه خمسة عشر سنة
Al Tasyri’ al Jana-i al Islamy I halaman 602
مرحلة الادراك التام ويسمى الإنسان فيها بالبالغ والراشد
Kapan
anak dapat menjadi terdakwa pidana atau tergugat perdata tanpa diwakili oleh
orang tua kandungnya di hadapan hakim peradilan?
Anak
dapat menjadi terdakwa pidana atau tergugat perdata tanpa diwakili oleh orang
tuanya dihadapan hakim pada usia 15 tahun (mukallaf)
Sharh
Jamal ala al Minhaj V hal 409
وَقَوْلُهُ: تَكْلِيفُ كُلٍّ أَيْ شَرْطُ صِحَّةِ الدَّعْوَى أَنْ يَكُونَ
كُلٌّ مِنْ الْمُدَّعِي, وَالْمُدَّعَى عَلَيْهِ مُكَلَّفًا فَلا تَصِحُّ مِنْ
صَبِيٍّ وَلا مَجْنُونٍ وَلا عَلَيْهِمَا وَكَوْنُهَا لا تَصِحُّ عَلَى الصَّبِيِّ
إنَّمَا هُوَ بِالنِّسْبَةِ لِطَلَبِ الْجَوَابِ مِنْهُ وَطَلَبِ تَحْلِيفِهِ
وَإِلا فَهِيَ تُسْمَعُ عَلَيْهِ لأَجْلِ إقَامَةِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ كَمَا
ذَكَرَهُ الرَّشِيدِيُّ
Mughni
ala al Muhtaj IV hal 513
تنبيه: قد علم من ذلك أنه لا تنافي بين ما ذكر هنا وما ذكر في كتاب دعوى
الدم والقسامة من أن شرط المدعَى عليه أن يكون مكلفاً ملتزماً للأحكام، فلا تصح
الدعوى على صبي ومجنون؛ لأن محل ذلك عند حضور وليهما فتكون الدعوى على الولي،
Sekira
seorang anak terbukti secara bersama-sama (isytirak)
melakukan tindak pidana dengan orang yang sudah dewasa, bagaimana pertanggung
jawaban hukumnya?
Anak yang
melakukan tindak pidana secara bersama-sama (isytirak) dengan orang yang sudah
dewasa, pertanggungjawabannya dipisahkan, maksudnya anak diadili dengan
pengadilan anak.[16]
Dasar
Pengambilan Hukum
Al Mughni
Li Ibn Qudamah IX hal 337
ولنا أنه شارك من لا مأثم عليه في فعله فلم يلزمه قصاص كشريك الخاطىء ولأن
الصبي والمجنون لا قصد لهما صحيح ولهذا لا يصح إقرارهما فكان حكم فعلهما حكم الخطأ
Dapatkah
orang tua angkat, orang tua asuh bertindak selaku waliyyuddam atas nama
anak angkat atau anak asuhnya atau mereka dibebani denda pidana?
Orang tua
angkat dan orang tua asuh dapat bertindak selaku waliyyuddam atas nama
anak angkat atau anak asuhnya sepanjang menyangkut kepentingan mereka, bukan
untuk menanggung beban karena perbuatan mereka.
Dasar
Pengambilan Hukum
Al
Sharqawi II hal 363
الثالث يسقط فيه القود عن بعضهم فقط دون البعض الآخر إما لإستحالة إيجاب
القود عليه ككونه اصلا او صبيا او مجنونا شاركه غيره
Hamisy
I’anah al Thalibin IV hal 128
و يثبت القود للورثة العصبة وذي الفروض بحسب إرثهم المال ولو مع بعد
القرابة كذي رحم إن ورثناه أو مع عدمها كأحد الزوحين والمعتق وعصبته
Kifayat
al Akhyar II hal 148
الوجه الثاني كونها على العاقلة فإذا جنى الحر على نفس حر آخر خطأ أو عمد
خطأ وجبت الدية على عاقلة الجاني.
Hamisy al
Bajuri II hal 203
والمراد بالعاقلة عصبة الجانى لا اصله و فرعه
Adakah
batas normatif bahwa sanksi pidana atas anak yang belum dewasa maksimal separo
sanksi yang sama atas pelaku pidana yang dewasa?
Tidak ada
batas normatif bahwa sanksi pidana anak yang belum dewasa maksimal separuh
sanksi pelaku yang dewasa. Karena sanksi pidana pada anak ta’dib/ta’zir, maka
diserahkan pengaturan dari waliyyul amri.
Dasar
Pengambilan Hukum
Al
Tasyri’ al Jana-i al Islamy I hal 602
لايسأل الصبى المميز عن جرائمه مسؤلية جنائية وإنما سئل مسؤلية تأديبية
Nihayat
al Muhtaj VII hal 436
ويعزر القاذف المميز صبيا او مجنونا زجرا وتأديبا له
Bagaimana
konsep syariah/fiqh Islam tentang anak sipil dan dimana landasan
hukumnya?
Dalam syariah/fiqh
Islam tidak mengenal terminology anak sipil
Sejak
usia berapa tahunkah anak boleh dilepas dari ikatan huququl hadlonah dan
sejak itu bukan lagi menjadi tanggungan orang tua atau kerabatnya?
Anak
boleh dilepas dari ikatan haqqul hadlanah
sejak tamyiz (7 tahun) sedang kesiapan anak untuk mandiri dan bertanggung jawab
terhadap diri sendiri sejak baligh (15 tahun)[17]
Dasar
Pengambilan Hukum
I’anat al
Thalibin IV hal 101
قال في الروض وشرحه: المحضون كل صغير ومجنون ومختلّ وقليل التمييز. وقوله
إلى التمييز: أي وتستمر التربية إلى التمييز: قال في التحفة: واختلف في انتهائها
في الصغير فقيل بالبلوغ، وقال الماوردي بالتمييز وما بعده إلى البلوغ كفالة
والظاهر أنه خلاف لفظي
Penahanan
dalam jangka waktu tertentu bisa diberlakukan terkait kepentingan
a. Penyidikan : 10-20 hari dan
terlama 30 hari
b. Penuntutan: 10-15 hari dan
terlama 25 hari
c. Pemeriksaan: 15 hari dan
terlama 30 hari.
Tepatkah
bila penahanan dengan tentang waktu seperti tersebut diatas diberlakukan pada
anak yang belum dewasa?
Penahanan
utnuk penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan terhadap anak menjadi kewenagan
waliyul amri dengan tujuan yang terkait dengan kemaslahatan anak.
Dasar
Pengambilan Hukum
Nihayat
al Muhtaj VII hal 436
ويعزر القاذف المميز صبيا او مجنونا زجرا وتأديبا له
1.
Subyek Hukum
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh
Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah
2.
diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun syarat-syarat taklif
atas subjek hukum, adalah sebagai berikut:
1. Ia memahami atau
mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari
Allah.
2. Ia telah mampu menerima
beban taklif atau beban hukum.
3. Ahliyah al-Ada Kamilah
atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai
usia dewasa.
Dalam
dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia
dan badan hukum.
a.
Manusia.
Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia
sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta
balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak
mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih
berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat
urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang
oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum.
Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau
dibantu oleh orang lain.
b.
Badan Hukum
Badan hukum adalah suatu badan yang
terdiri dari kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dann kewajiban.
Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia.
Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para
anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa
hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi
hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
2.
Obyek Hukum
Dilihat dari segi hukum wadh’i :
a. Pengertian sabab
Sabab
secara etimologi adalah sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu
tujuan. Secara terminologi sabab adalah sesuatu yang keberadaannya dijadikan
syar’i sebagai pertanda keberadaan suatu hukum, dan ketiadaan sabab sebagai
pertanda tidak adanya hukum. Misalnya, Allah menjadikan zina sebagai sabab
ditetapkannya hukuman, karena zina itu sendiri bukanlah penyebab ditetapkannya
hukuman, tetapi penetapan hukuman itu adalah dari syar’i.
a. Pembagian
sabab
- Dari segi objeknya:
a. Sebab al-waqti,
seperti tergelincirnya matahari sebagai pertanda wajibnya shalat zhuhur, [18] “Dirikanlah shalat karena telah
tergelincirnya matahari…”.
b. Sebab al-ma’nawi, seperti mabuk sebagai
penyebab diharamkannya khamr.
- Dari segi kaitannya dengan kemampuan mukallaf:
a. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan
mampu dilakuka. Misalnya, jual beli yang menjadi penyebab pemilikan harta,
pembunuhan sengaja menyebabkan dikenakan hukuman dan akad nikah disebabkannya dihalalkan
hubungan suami-istri. Sebab seperti ini terbagi lagi menjadi 3, yaitu:
·
Sebab
yang diperintahkan syara’. Contohnya, nikah menjadi penyebab terjadinya hak
waris mewarisi dan nikah itu diperintahkan.
·
Sebab
yang dilarang syara’. Seperti pencurian sebagai penyebab dikenakan hukuman
potong tangan dan pencurian itu sendiri dilarang.
·
Sebab
yang diizinkan(ma’zun bihi). Misalnya, sembelihan segai penyebab dihalakannya
hewan sembelihan, dan penyembelihan itu sendiri adalah sesuatu yang mubah.
b. Sebab yang bukan perbuatan mukallaf dan tidak
mampu untuk dilakukan. Contohnya, tergelincirnya matahari sebagai penyebab
wajibnya shalat zuhur.
- Dari segi hukumnya:
a. Sebab al-masyru’, yaitu semua yang membawa pada
kemaslahatan dalam pandangan syar’i sekalipun dibarengi kemafsadatan secara
zhahir, seperti jihad.
b. Sebab ghairu al-masyru’, yaitu sebab yang
membawa kepada mafsadat dalam pandangan syar’i sekalipun didalamnya terkandung
pula kemaslahatan secara zhahir, seperti adopsi.
- Dari segi pengaruhnya terhadap hukum:
a. Asbabul mu’sir filhukmi (‘illat)
Contoh: mabuk sebagai sebab yang berpengaruh
pada hukum, yang merupakan ‘illat
keharaman khamr.
b. Assababu ghairul mu’sir fil hukmi (sebab yang
tidak berpengaruh pada hukum)
Contohnya: waktu sebagai penyebab wajibnya shalat.
- Dari segi jenis musabbab:
a. Sebab bagi hukum taklifi, seperti munculnya
hilal sebagai pertanda kewajiban puasa.
b. Sebab untuk menetapkan hak milik,
melepaskan/menghalalkannya. Misalnya, jual beli sebagai penyebab kepemilikan
barang yang dibeli.
- Dari segi hubungan sabab dengan musabab:
a. Sebab al-syar’i, seperti tergelincirnya
matahari sebagai sebab wajibnya shalat zuhur.
b. Sebab al-‘aqli (sebab yang hubungannya dengan
musabbab didasarkan pada hukum adat kebiasaan atau ‘urf), seperti tubuh merasa tidak sehat karena ada penyakit.
- Syarth
a. Pengertian Syarth
Secara
etimologi syarth ialah syarat/’alamah/pertanda. Secara terminologi ialah
sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan berada diluar hukum
itu sendiri, yang ketiadaannya hukum pun tidak ada.
b.Macam-macam syarth
Dari segi kaitannya dengan sabab dan musabbab,
dibagi menjadi dua:
a. Al-syarth
al-mikammil li al-sabab (syarat
penyempurnaan sebab) seperti haul dalam kewajiban zakat pada harta yang gtelah
mencapai satu nisab.
b.
Al-syarth al-mikammil il al-musabbab (syarat yang menjadi penyempurnaan bagi
musabbab), seperti kemampuan menyerahkan barang sebagai penyempurnaan sebagai
akad jual-beli.
Dari segi pensyaratannya:
a. Al-syarth
al- syar’i (syarat yang ditentukan syar’i terhadap berbagai hukum), seperti
persyaratan yang ada dalam muamalah atau ibadah.
b. Al-syarth
al-ja’li (syarat yang dibuat para mukallaf), seperti
membawa barang yang telah dibeli kerumah pembeli sebagai syarat yang disepakati
penjual & pembeli saat akad jual beli berlangsung.
Dari segi hubungan syarth dengan masyyruth
a. Al-syarth
al-syar’i (syarat yang hubungannya dengan yang
disyaratkan didasarkan atas hukum syara’), seperti wudhu uuntuk shalat.
b. Al-syarth
al’aqli (syarat yang disyaratkan didasarkan atas nalar
manusia).
c. Al-syarth
al-‘adi (syarat yang hubungannya dengan yang
disyaratkan didasarkan kepada adat kebiasaan/’urf).
3. Mani’
a. Pengertian Mani’
Secara etimologi mani’ berarti halangan,
sedangkan secara terminologi adalah sifat zhahir yang dapat diukur yang
keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau ketiadaan sebab.[19]
b. Macam-macam Mani’
1. Dari segi pengaruhnya
kepada hukum dan sebab
·
Mani’ yang berpengaruh terhadap sabab,
karena mani’ merusak hikmah yang ada pada sabab. Contoh: hutang menyebabkan
batalnya kewajiban zakat, karena harta tersebut tidak mencapai satu nishab lagi
(sabab).
- Mani’ yang berpengaruh terhadap hukum, yang artinya menolak adanya hukum meskipun ada sabab yang mengakibatkan adanya hukum.
a. Mani’ yang tidak berkumpul dengan hukum
taklifi, yaitu sesuatu yang menyebabkan hilangnya akal sehingga menyebabkan
terhalangnya taklif.
b. Mani’ yang bersamaan dengan ahliyyah taklif,
tetapi mani’ itu menghilangkan taklif.
c. Mani’ yang menghilangkan kemestian taklif, dan
membawa seseorang untuk bersikap memilih.
Ulama Hanafiyah membagi mani’
kepada lima macam, yaitu:
1. Mani’
yang menyebabkan tidak berlakunya akad, seperti objek jual beli tidak ada.[20]
- Mani’ yang menyebabkan akad tidak sempurna bagi orang ketiga di luar akad, seperti Bai’ Al Fudhuli.
- Mani’ memulai hukum, seperti khiyar Syarth dalam jual beli.
- Mani’ untuk menyempurnakan hukum, seperti keberadaan khiyar Ru’yah dalam jual beli.
- Mani’ yang menghalangi sifat mengikat suatu hukum, seperti adanya cacat dalam barang yang dibeli.
4. Sah, Fasad, dan Batal
a.
Pengertian Sah, Fasad, dan Batal
Secara etimologi
sah atau Shihhah atau shahih artinya sakit. Secara
terminologi, sah yaitu tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’,
apabila sebabnya ada, syaratnya terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil
memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu.
Secara etimologi fasad berarti perubahan
sesuatu dari keadaan yang semestinya. Secara terminologi menurut jumhur ulama
sama dengan batal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah adalah kerusakan yang
tertuju kepada salah satu sifat, sedangkan hukum asal perbuatan itu
disyari’atkan.
c. Status Sah, fasad, dan batal
Wahbah Al Zuhaili menyatakan
bahwa yang terkuat dalam pendapat mayoritas ulama ushul fiqh yang mengatakan
bahwa sah, fasad, dan batal termasuk dalam hukum
wadh’i.[21]
d.
Hak – Hak Yang Berkaitan Dengan Hukum Pidana Islam
1.
Hak Allah dan Hak Manusia, (Ar.: al-haqq
Allah; dan al-haqq al-‘ibad). Secara etimologi mengandung pengertian yang
banyak dan bermacam-macam, namun semuanya mengacu kepada arti ketetapan dan
kepastian, seperti milik, bagian, keadilan, kewenangan, kebenaran, dan
lain-lain.
Ulama fikih menyatakan bahwa al-haqq (hak) merupakan hubungan
spesifik antara pemegang atau pemilik hak dan kemaslahatan yang diperoleh dari
hak itu. Hubungan tersebut dalam syariat Islam tidak bersifat alamiah, yang
bersumber dari alam atau ketetapan akal manusia.[22]
1.
Pembagian Hak,ditinjau dari segi
kepemilikannya, hak dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1) hak Allah SWT murni;
2) hak manusia murni; 3) hak yng didalamnya tergabung hak Allah SWT dan hak
manusia, namun hak Allah SWT lebih dominan; dan 4) hak yang di dalamnya tergabung
dua hak tersebut, namun hak manusia lebih doninan.
2.
Hak Allah Murni, ialah sesuatu yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT, mengagungkan-Nya, dan menegakkan syiar agama-Nya; atau sesuatu yang
dimaksudkan untuk mewujudkan kepentingan, manfaat, dan kemaslahatan orang
banyak tanpa kekhususan pada orang tertentu. Hak tersebut dinisbahkan kepada
Allah SWT, karena besarnya kepentingan hak itu dan keumuman manfaatnya. Dengan
kata lain, hak tersebut merupakan hak masyarakat dan pensyariatan hukumnya
dimaksudkan untuk kemaslahatan umum, hukan untuk kemaslahatan inidividu secara
khusus. Hak tersebut bertalian dengan ketertiban umum.
Menurut
Mazhab Hanafi, hak Allah, dapat dikelompokkan pada delapan macam sebagi berikut:
a. Ibadah murni,
seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat, salat lima waktu sehari
semalam, puasa bulan Ramadan, Zakat harta, dan haji di Baitullah. Ibadah
tersebut dimaksudkan untuk menegakkan syiar agama dan sekaligus untuk menjaga
ketertiban dan keteraturan masyarakat.
b. Ibadah yang
mengandung makna ma’unah, yakni
pertolongan ynag diberikan untuk memelihara jiwa dan harta. Misalnya, zakat
fitrah disebut ibadah, karena dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT dengan bentuk memberi pertolongan kepada fakir miskin. Oleh karena itu,
untuk menunaikan ibadah semacam ini disyaratkan niat. Makna ma’unah tersebut
merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil tanah yang tetap produktif di tangan
pemiliknya.
c. Ma’unah (pertolongan) yang mengandung
makna ibadah, seperti mengeluarkan sepersepuluh atau seperduapuluh dari hasil
bumi. Pengeluraran ma’unah tersebut merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil
tanah yang tetap produktif di tangan pemiliknya.
d. Ma’unah yang mengandung makna hukuman (uqubah) seperti pengenaan pajak atas
nonmuslim. Pengenaan pajak tersebut dimaksudkan sebagai imbalan terhadap tanah
produktif yang tetap mereka garap dan terpelihara dari berbagai bentuk
kezaliman. Ma’unah sebagai hukuman
merupakan ganti rugi atas kewajiban jihad yang tidak dibebankan kepada mereka.
e.
Uqubah (hukuman) murni, seperti hukuman terhadap pelaku perzinaan, pencurian,
meminum minuman keras, dan lainnya. Hukuman tersebut merupakan hak Allah SWT
murni, karena persyaratannya dimaksudkan untuk memaslahatan umum dan menjaga
ketertiban masyarkat. Oleh karena itu, hukuman tersebut tidak dapat digugurkan
atau dimaafkan oleh siapapun dan dilaksanakan oleh lembaga pengadilan sebagai
kepanjangan tangan pemerintah.
f.
Hukuman terbatas, seperti terhalangnya seorang pembunuh dari hak mewarisi harta
orang yang dibunuhnya. Terhalangnya hak mewarisi itu merupakan bentuk hukuman
sebagi pembalasan terhadap pembunuhan yang dilakukannya. Hanya saja balasan itu
tidak terkait dengan fisik pembunuh atau pengurangan harta
bendanya. Hukuman ini merupakan hak Allah SWT , karena dimaksudkan untuk
kepentingan umum dan memelihara ketertiban, yaitu mencegah ketamakan untuk
memeperoleh harta warisan dan pewarisnya sebelum saatnya tiba.[23]
g.
Hukuman yang mengandung makna ibadah, yaitu semua hak yang berkisar antara
ibadah dan hukuman, seperti kafarat sumpah, kafarat zihar (menyamakan istri
dengan ibu kandung), kafarat membunuh karena tersalah dan lainnya.
4. Hak
Allah SWT. yang berdiri sendiri, tidak bertalian dengan tanggung jawab manusia
sebagai hamba-Nya yang wajib dilaksanakan sebagai kepatuhan kepada-Nya . Hak
tersebut di antaranya seperlima hasil rampasan perang (ghanimah), harta karun yang terpendam yang ditemukan, dan hasil
penambangan. Pengeluaran hak Allah SWT tersebut tidak disyaratkan niat, karena
tidak termasuk ibadah. Harta yang seperlima tersebut dipergunakan untuk
kemaslahatan dan kepentingan umum.
Berdasarkan kesepakatan ulama fikih, hukum yamg terkait dengan hak-hak Allah SWT tersebut adalah sebagai berikut Pertama, tidak boleh digugurkan, baik dengan pemaafan, perdamaian, atau pelepasan hak itu. Hak tersebut juga tidak boleh diubah, baik dengan pengurangan atau penambahan atau penggantian dalam bentuk lain. Oleh karena itulah hukuman pencurian tidak dapat gugur disebabkan adanya maaf dari orang hartanya dicuri.[24].
Kedua, hak tersebut tidak dapat diwarisi. Ahli waris tidak berkewajiban melaksanakan hak-hak Allah SWT yang tidak dikerjakan oleh pewarisnya sebelum meninggal dunia, kecuali apabila pewaris telah mewasiatkan untuk mengeluarkannya, seperti wasiat untuk mengeluarkan zakat yang belum dibayarnya. Ahli waris juga tidak bertanggung jawab atas tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan oleh pewarisnya .
Ketiga, berlaku keterpaduan
antara hukuman yang menjadi hak Allah SWT. Seseorang yang berzina,[25]
beberapa kali atau mencuri berkali-kali, namun belum dikenakan hukuman, maka
cukup dihukum sekali saja atas dosa-dosanya yang berkali-kali itu, karena maksud
hukuman itu adalah membuatnya jera dan tidak kembali mengerjakan kejahatannya.
Tujuan itu dapat terwujud dengan hukuman sekali saja. Pelaksanaan hukuman
tersebut adalah kewenangan pemerintah .
Hak yang di
dalamnya tergabung Hak Allah SWT dan Hak Manusia, namun Hak Allah SWT lebih
dominan. Misalnya, iddah perempuan yang di ceraikan. Di dalamnya terdapat hak
Allah SWT yang berbentuk kepentingan dan kemaslahatan umum, yaitu memelihara
nasab (keturunan) secara umum dari percampuran. Adapun hak manusia yang ada di
dalamnya ialah pemeliharaan kemurnian anak,[26] mantan suami secara khusus dari
percampuran dengan nasab orang lain jika mantan istri kawin dengan laki-laki
lain sebelum habis masa iddahnya. Hak Allah SWT dalam hal ini lebih dominan,
karena pemeliharaan nasab secara umum berkaitan langsung dengan persoalan
sosial, tatanan, dan ketertiban. Kemaslahatan yang terkait adalah pemeliharan
masyarakat dari berbagai kekacauan dan dekadensi. Contoh lain ialah
poemeliharaan manusia terhadap kehidupanya, akalnya, kesehatannya, dan harta
bendanya. Didalamnya juga terdapat dua hak namun hak Allah SWT lebih dominan,
karena keumuman manfaat pemeliharaan itu kembali pada masyarakat secara
keseluruhan. Adapun hukum yang terkait dengan hak-hak ini sama dengan hak Allah
SWT lebih dominan.
Hak yang di
dalamnya tergabung Hak Allah SWT dan Hak Manusia, namun Hak manusia lebih
dominan. Misalnya, adalah kisas (pembunuhan) terhadap pembunuh dalam pembunuhan
sengaja.[27]
Sebagai hak manusia, kisas mewujudkan kemaslahatan wali orang yang terbunuh,
menyembuhkan sakit hatinya, serta memadamkan api kemarahan dan dendamnya
terhadap pembunuh. Syariat islam memandang aspek ini lebih berat, sehingga hak
manusia dianggap lebih dominan dan hak Allah SWT. Oleh karena itu, wali korban
sebagai pemilik hak, disamping berhak menuntut kisas, diperkenankan untuk
memaafkan pembunuh sehingga hukuman kisas tidak dilaksanakan. Selajutnya mereka
dapat berdamai dengan pembayaran diat (tebusan/denda), bahkan hal ini
dianjurkan oleh Allah SWT dalam al-Quran:
“…Maka
barang siapa yang mendapatkan pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula…”[28]
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan mana di antara dua hak itu yang lebih dominan, ketika nas tidak menejelaskannya. Misalnya hukuman terhadap tindak pidana qazf (menuduh orang lain berbuat zina) merupakan hak Allah SWT jika dilihat dari segi kemanfaatan dan kemaslahatan umum yang ada di dalamnya, yaitu memelihara kehormatan manusia pada umumnya dan memberantas kerusakan dan kejahatan dalam masyarakat. Kemudian ditinjau dari segi menolak aib orang yang dituduh berbuat zina dan mengembalikan kehormatannya, maka hukuman itu merupakan hak manusia perseorangan
Menurut ulama Mazhab Hanafi, dalam kasus seperti ini, hak Allah SWT lebih nyata dan dominan. Oleh karena itu, hukumannya tidak dapat digugurkan disebabkan kemaafan yang diberikan oleh yang dituduh, sementara pelaksanaanya berada di tangan pemerintah, yaitu lembaga peradilan. Namun, menurut Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanbali, dan satu riwayat dari Imam Malik, dalam kasus qazf ini hak manusia lebih dominan. Oleh karena itu, hukumannya dapat digugurkan oleh pemaafan orang yang dituduh berzina.[29]
Hak Asasi
Manusia. Dalam bahasa Indonesia hak “asasi” dijelaskan sebagai hak yang dasar
atau pokok, seperti hak hidup dan hak mendapat perlindungan. Ide hak-hak asasi
manusia timbul pada abad ke-17 dan ke-18, sebagai reaksi terhadap keabsolutan
raja-raja dan kaum feodal di zaman itu tehadap rakyat yang mereka perintah atau
manusia yang mereka pekerjakan sebagai lapisan bawah. Lapisan bawah tidak
mempunyai hak-hak. Mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang, sebagai budak
yang dimiliki. Sebagai reaksi terhadap keadaan yang pincang ini, timbullah
gagasan supaya lapisan bawah itu-karena mereka adalah manusia juga diangkat
derajatnya dari kedudukan budak menjadi sama dengan lapisan atas. Muncullah ide
untuk menegakkan hak-hak asaasi manusia (HAM). Semua manusia sama, tidak ada
budak yang dimiliki; semua merdeka dan bersaudara.[30]
Namun, jauh sebelum abad ke –17 dan ke –18, telah dikenal berbagi aturan yang mengatur tentang hak-hak asasi manusia. Dalam Kode Hukum Hammurabi, Raja Babylonia (abad ke-18 SM), misalnya, ada indikasi yang membenarkan bahwa dalam masyarakat manusia di dunia Barat telah mulai tumbuh kesadaran akan martabat dan harkat dirinya, sehingga Kode Hukum Hammurabi sengaja diundangkan untuk memberantas kecongkakan sebagian manusia atas sesamanya untuk membawa keadilan bagi seluruh masyarakat.
Dalam hukum ini dijelaskan bahwa
hukuman pembalasan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Kedudukan dan
kebebasan kaum wanita diakui sama dengan kaum lelaki. Pihak suami dan istri
tidak boleh menggagalkan perkawinan yang sudah dijalaninya atau yang sedang
berlangsung. Adapun bagi pelaku zina dikenakan hukuman mati. Seseorang akan
dikenakan sanksi pidana apabila ia membangun rumah sedemikian gegabahnya,
sehingga runtuh dan menyebabkan orang lain cedera.
Dalam akar budaya masyarakat
Indonesia pun, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan martabat manusia
sudah mulai berkembang. Misalnya, dalam masyarakat Jawa kuna telah dikenal
istilah “Hak Pepe”, yaitu hak warga desa yang diakui dan dihormati oleh
penguasa setempat, seperti hak mengemukakan pendapat, walaupun hak tersebut
bertentangan dengan kemauan penguasa. Piagam
Madinah juga mengatur tentang hak-hak asasi manusia (HAM). Dalam Piagam ini
dijelaskan bahwa umat Islam diikat dengan tali ikatan agama, bukan berdasarkan
suku, asal-ususl, ras dan kedudukan sosial (pasal 1). Kaum Yahudi adalah salah
satu umat yang peralel, berdampingan dengan kaum mukmin,[31] dan
bebas menjalankan agama mereka, seperti halnya kaum muslim (pasal 25). Orang
Yahudi juga berhak mendapat pertolongan dan santunan, sepanjang hak-hak kaum
muslim tidak terganggu (pasal 16). Sesama muslim tidak boleh saling membunuh
(pasal 14). Tidak ada perbedaan di antara suku-suku yang ada mereka sederajat
(pasal 26-35).
Bagi bangsa Indonesia, menurut Nurcholish Madjid, perjuangan menegakkan
hak-hak asasi manusia (HAM) adalah kewajiban bersama. Hal ini sesuai dengan
tuntutan nilai-nilai falsafah Pancasila. Semua sila dalam falsafah itu
melahirkan kewajiban untuk menegakkan hak-hak asasi, khususnya sila
“kemanusiaan yang adil dan beradab”. Namun, dalam kenyataannya, kesadaran
tentang HAM dikalangan masyarakat luas masih merupakan masalah .
Dalam UUD 1945 juga dijelaskan beberapa prinsip dasar tentang HAM .[32] Pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 misalnya, dinyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan karenanya segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Dalam UUD 1945 juga dijelaskan beberapa prinsip dasar tentang HAM .[32] Pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 misalnya, dinyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan karenanya segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Hak-hak tiap warga negara sama
didepan hukum, hak atas pekerjaan dan penghitungan yang layak (pasal 27), hak
kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran, baik lisan maupun
tulisan (pasal 28), kebebasan dalam beragama (pasal 29), hak mendapatkan
pendidikan (pasal 31, dan hak untuk mendapatkan layanan dan perlindungan
kesejahteraan sosial (pasal 34) .
Ide hak-hak asasi manusia juga terdapat
dalam Islam. hal ini dapat dilihat dalam ajaran tauhid. Tauhid dalam Islam,
menurut Harun Nasution, mengandung arti bahwa yang ada hanya satu pencipta bagi
alam semesta. Ajaran dasar pertama dalam Islam adalah la ilaha illa Allah
(tiada Tuhan selain Allah SWT, tiada Pencipta selain Allah SWT). Seluruh alam
dan semua yang ada diatas, dipermukaan, dan di dalam bumi adalah ciptaan Yang
Maha Esa. Semuanya; manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda tak bernyawa
berasal dari Yang Maha Esa .
Tujuan hukum
pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan kemauan pencipta manusia
sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat.Namun bila tujuan hukum
Islam dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah dan Nabi Muhammad,
baik yang termuat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, yaitu untuk
kebahagiaan hidup manusia didunia dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil
segala yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak
berguna kepada kehidupan manusia. Dengan kata lain tujuan hukum Islam adalah
kemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani individu dan masyarakat.
Kemaslahatan dimaksud, dirumuskan oleh Abu Ishak Asy-Syathibi dan disepakati
oleh ahli hukum Islam lainnya seperti yang telah dikutip oleh H.Hakam Haq,[33]
yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sedangkan Asas-asas
dalam Hukum Pidana Islam.
1.
Azas Legalitas
Asas
Lealitas adalah tidakada larangan atau hukuman sebelum adanya undang-undang
yang mengaturnya.
Sejak
lima belas abad yang lalu Islam sudah
menerpkan asas legalitas yaitu sejak zaman nabi Muhammad saw , hal ini disebut
dalam :
“
Kami tidak membinasakan suatu negeripun melainkan sudah ada baginnya yang memberi
peringatan” [34]
“ Tidak adalah tuhanmu membinasakan, kota-kota sebelum dia mengutus
diibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka, dan
tidak pernah pula kami membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam keadaan
melakukan kedzaliman”. .[35]
Dua ayat tersebut menjadi azas
legalitas yang mana suatu negara atau
kota yang tidak ada yang memperingati atau membacakan ayat-ayat dan
tidak ada yang melakukan kedzaliman maka Negara atau kota itu tidak boleh
menerapkan hukuman pidana, baik itu hudud,qishas, diyat atau ta’zir.
2.
Asas praduga tak bersalah
Asas
yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan kejahatan harus dianggap
tidak bersalah,[36] sebelum
hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya
itu.
Wahai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebab kakamu menyesal atas perbuatanmu itu.[37]
3.
Asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain
Asas
ini menyatakan bahwa setiap perbuatan m[38]anusia
baik itu perbuatan yang baik atau buruk akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Macam-macam jarimah, dalam
hukum pidana Islam ada empat macam jenis jarimah: Jarimah Hudud, adalah jarimah yang hukumannya telah ditentukan
dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul serta menjadi hak Allah smata .Yang
termasuk jarimah ini ialah zina adalah
melakukan hubungan persetubuhan diluar ikatan pernikahan yang syah secara
syara'. Zina merupakan salah satu dosa besar.
1)
Penetapan Perbuatan zina
Hukum bagi pelaku zina dapat diterapkan
jika yang bersangkutan benar-benar melakukannya. Dalam masalah ini Rasulullah
SAW benar-benar berhati-hati dalam mentetapkan hukuman ini.
Hukuman tida dijatuhkan sebelum yakin bahwa bahwa orang yang dituduh atau
mengaku zina benar-benar melakukanya.
2)
Beberapa dasar untuk menetapkan suatu perbuatan zina:
b.Pengakuan Pelaku.
Dari Jabir bin
abdullah Al-Anshari ra. bahwa seorang laki-laki dari aslam datang kepada Rasulullah
SAW., dia
menceritakan bahwa dia telah berzina. Pengakuannya ini diucapkan empat kali.
Kemudian Rasulullah menyuruh supaya orang itu dirajam, maka ia pun dirajam dan
orang itu telah mukhson. Jumhur ulama
berpendapat bahwa kehamilan saja belum dapat dijadikan dasar penetapan
perbuatan zina.
3)
had zina dapat dijatuhkan jika pelakunya memenuhi syarat:
a. Pelakunya sudah baligh dan berakal
b.Perbautan zina dilakukan atas kemauan sendiri
c.Pelakunya mengetahu bahwa zina adalah haram
·
Terbukti secara syar'i bahwa ia benar-beanr melakukan zina
4)
Bentuk had zina
Had
untuk zina :
a)
Rajam , yaitu hukuman mati dengan
dilempari batu hingga meninggal.
Artinya: "
Apabila laki-laki dan perempuan tua (sudah enikah) berzina maka rajamlah
keduanya sampai mati sebagai peringatan dari Allah dan Allah maha perkasa lagi
Bijaksana."[40]
Yang dimasud Mukhsan adalah orang yang memenuhi syarat syarat sebagai berikut:
1.Merdeka. 2.Baligh 3.Berakal. 4.Pernah bercampur dengan
suami/istri dalam perkawinan yang sah.
b)
Dera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Had ini diberlaku-kan
bagi pelaku zina yang belum pernah bercampur dalam perkawinan yang sah.
Berdasarkan Q.S. Al-Nur : 2. dan juga hadist:" Dari zaid bin khalid
al Juhaini dia berata: " Saya mendengar Nabi SAW., menyuruh agar orang
yang berzina dan dia bukan mukhsan, didera
seratus kali dan diasingkan selama satu tahun."[41]
c)
Dera 50 kali dan diasingkan selama 1/2 tahun, yaitu jika pelaku adalah hamba sahaya. Berdasarkan Q.S. An-Nisa'
: 25.
Barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini
wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui
keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu
kawinilah mereka dengan seizin tuannya, dan berilah maskawinnya menurut yang
patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan
bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan
apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan
perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman
wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah
bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan
zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.[42]
b.
Menuduh zina (al-Qadaf)
Qadzaf secara bahasa artinya adalah melempar.
Dalam istilah fiqh yang dimaksud qadzaf adalah melemparkan tuduhan berzina
dengan terang-terangan. Allah SWT berfirman[43]:
Artinya:" Sesungghnya orang-orang
yang menuduh (berzina) wanita yang baik-baik, yang lengah (dari perbuatan keji)
lagi beriman, mereka mendapat laknat di dunia dan akhirat dan bagi mereka azab
yang besar."
Had qadzaf, bagi
pelaku yang menuduh seseorang yang beriman berzina,
maka diancam dengan hukuman dera 80 kali jika ia merdeka dam 40 kali jika ia
hamba sahaya, jika kesaksiannya tidak diterima. Sesuai dengan Q.S. Al- Nur : 4
yang artinya: " Orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik (Muhsonaati) berbuat zina dan mereka
tidakmendatangkan empat orang saksi,maka deralah mereka dengan delpn puluh kali
dera."dan juga Q.S Al- Nur : 25 ;" Dan apabila mereka(budak) telah
kawin dan melakukan zina maka bagi mereka separoh hukuman dari yang diberikan
pada wanita-wanita yang merdeka yang sudah bersuami."
Gugurnya
had qadzaf, apabila:
a)
Penuduh dapat membuktikan dengan empat orang saksi bahwa tertuduh telah benar-benar berzina.
b)
Dengan cara li'an jika tertuduh adalah istri penuduh
c)
Pengakuan dari si tertuduh bahwa tuduhan adalah benar.
d.
Minum (khamr): QS.Al- Maidah: 90
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah... adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. [44]
d.
Pencurian (al-Sariqah)[45]:
Pencurian adalah
suatu perbuatan mukalaf mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi
dari tempat penyimpanannya dan mencapai satu nishab dan orang yang mencuri tiak
emmpunyai andil kepemilikan terhadap barang tersebut. Dari
definisi itu , dapat
dirumuskan bahwa pencurian yang dikenakan pada sesorang, harus memenuhi
unsur-unsur:
1)
Mengambil harta orang lain
2)
Pengambilannya secara sembunyi-sembunyi
3)
Harta itu disimpan di tempat pnyimpanannya.
4)
Pelaku adalah mukallaf
5)
Barang yang dicuri mencapai satu nishab
6)
Pelaku tidak mempunyai andil kepemilikan atas harta yang dicuri
g.
Albaghyu
: Dalam QS. Al- Hujurat
: 9 dan Hadist
Jarimah
Qisas,
adalah jarimah yang hukumannya sama dengan jarimah yang dilakukan. Yang
termasuk jarimah ini ialah pembunuhan dengan sengaja dan penganiayaan dengan sengaja
yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan. Jarimah
Diyat,
adalah jarimah yang hukumannya ganti rugi atas penderitaan yang dialami si
korban atau keluarganya, yang termasuk jarimah ini ialah pembunuhan tak
disengaja yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan.[47]
a.
Pembunuhan sengaja: QS al- Baqarah : 178
dan hadist
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
kepadamu, qishaash, berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih.[48]
b.
Pembunuhan semi-sengaja : Hadist
”
sesungguhnya diyat kekeliruan dan menyerupai segaja ( pembunuhan dengan cambuk dan tongkat ) adalah seratus ekor onta,
diantara empat puluh ekor yang didalam perutnya ada anaknya”.
c.
Pembunuhan tidak sengaja: QS.An Nissa' : 92 dan Hadist
Q.S.an-Nisa’[4]:92
Artinya: dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Mahabijaksana.[49]
1. Jarimah
Ta’zir, adalah jarimah yang tidak dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an
dan Sunnah Rasul. Jarimah ta’zir ada yang disebutkan dalam nash, tetapi macam
hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa untuk menentukan hukuman tersebut.
Jarimah ta’zir ini dibagi menjadi 3, yaitu :
a.
Jarimah hudud atau qishash/diyat yang
syubhat atau tidak memenuhi syarat,
namun sudah merupakan maksiat. Contohnya, percobaan pencurian, percobaan
pembunuhan, pencurian di kalangan keluarga.
b.
Jarimah yang ditentukan oleh Al-qur’an dan Hadits namun tidak ditentukan
sanksinya. Misalnya, penghinaan, saksi palsu, tidak amanah.
c. Jarimah yang
ditentukan oleh ulil amri demi kemaslahatan umum.
[1] Ali
Bek Badawi dalam al-Ahkam al-'Ammah fil
Qanun al-Jina'i menyebutkan, dalam hukum konvensional, suatu perbuatan atau
tidak berbuat dikatakan sebagai tindakan pidana apabila diancamkan hukuman
terhadapnya oleh hukum pidana konvensional.Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan,
Jinayah (al-jinayah) berasal dari
kata jana-yajni yang berarti akhaza (mengambil) atau sering pula
diartikan kejahatan, pidana, atau kriminal.
[2] Penelitian
kepustakaan tentang "Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.33/Pid. B/2008/PN.Sby Tentang
Pencabulan Dalam Perspektif UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan
Hukum Pidana Islam" Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan
tentang apa Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby
dan.Bagaimana Perspektif UU No. 23 Tahun 2002 Terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid. B/2008/PN.Sby serta
Bagaimana Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya
No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby.
[5]Marsum, Jinayat (Hukum
Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum UII,
1991), hlm. 62. Lihat juga: A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1967), 52. Bandingkan: Abdul Qadir Audah.
[7] TM. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 186.
[11] Marsum, Jinayat
(Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum
UII, 1991). 325
[12] Ketaatan dan kepatuhan tersebut akan melahirkan prilaku atau
moral yang sesuai dengan ketentuan hukum tersebut, seperti iman seorang muslim
yang kokoh akan melahirkan ketaatan dan kepatuhan menjalankan perintah dan
meninggalkan larangan Allah, dan implikasi dari ketaatan dan kepatuhan itu
adalah akhlak karimah.
[15]Jarimah
ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir,pengertian ta'zir
menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran.dan menurut
istilah,sebagaimana yang dikemukakan oleh Iman Al Mawardi,pengertiannya sebagai
berikut: Ta'zir
itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan
hukumannya oleh syara'.Secara
ringkas ta'zir dapat di katakan bahwa hukuman ta'zir itu adalh hukuman yang
belum ditetapkan oleh syara'.melainkan diserahkan kepada ulil amri.baik
penentuan maupun pelaksanaannya.dalam menentukan hukuman tersebut,penguasa
hanya menetapkan secara global saja.artinya pembuat undang-undang tidak
menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta'zir,melainkan hanya
menetapkan sekumpulan hukuman,dari yang seringan-ringannya sampai
seberat-seberatnya.(A.Wardi Muslich 2004 : 19).
Hukuman ancaman (tagdid),teguran (tanbih)dan
peringatan. Ancaman
juga merupakan salah satu hukuman ta'zir dengan syarat akan membawa hasil dan
bukan hanya ancaman kosong.minsalnya dengan ancaman akan dijilid,dipenjarakan
atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakanya lagi. Sementara
hukuman teguran pernah dilakukan Rosulullah terhadap sahabat abu dzar yang
memaki-maki orang lain dengan menghinakan ibunya.maka Rosulullah saw
berkata;wahai abu dzar engkau menghina dia dengan menjelek-jelekan
ibunya,engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat-sifat jahiliyah.Hukuman
peringatan juga diterapkan dalam syari'at islam dengan jalan memberi nasehat
kalau hukuman ini cukup membawa hasil.hukuman ini dicantumkan dalam al-Qur'an
sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
Hukuman pengucilan (al-hajru). Hukuman
pengucilan merupakan salah satu hukuman ta'zir yang disyari'atkan oleh Islam.dalam
sejarah,Rosullah pernah melakukan hukuman pengecualin terhadap tiga orang yang
tidak ikut serta dalam perang tabuk,yaitu ka'ab bin malik,miroroh bin
rubi'ah,dan hilal bin umaiyah.mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpak
diajak bicara. Hukuman
denda ditetapkan juga oleh syariat islam sebagai hukuman,antra lain mengenai
pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya,hukuman didenda dengan lipat
dua kali harga buah tersebut. Addul Qodir audah membagi tiga hukuman
terhadap jarimah ta'zir yaitu:
1.
Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengadung
unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat namun hal itu sudah dianggap
sebagai perbuatan maksiat seperti pencurian harta syirkah,pembunuhan ayah
terhadap anaknya dan pencurian yang bukan harta benda.
2. Jarimah
ta'zir dimana jenis jarimah di tentukan oleh nash,tetapi saksinya oleh syariat
diserahkan kepada penguasa seperti sumpah palsu,sakit palsu,mengurangi, timbangan,menipu,mengikari
janji,menghianati amanah,dan menghina agama.
3.
Jarimah ta'zir dimana jarimah dan saksinya secara
penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat.dalam hal
ini akhak menjadi pertimbangan yang paling utama minsalnya pelanggaran terhadap
peraturan lingkungan hidup ,lalu lintas,dan pelanggaran terhadap pemerintah
lainnya.
[16] Tingkat
kemampuan seorang mumayyiz. Kemampuan ‘aql atau nalar,adalah hal
yang di perhitungkan pertama kali pada seorang anak untuk di sebut mumayyiz. Bulugh
(tanda-tanda pubertas fisik) dan ciri khasnya. Saat anak beranjak dewasa,
menjadi lebih mudah bagi kita untuk mengetahui dengan tepat tingkat
perkembangannya. Pada tingkat tertentu dalam kehidupan seorang anak, berbagai
macam aspek perkembangannya dapat diamati. Masa pubertas dapat dengan mudah
terlihat jika seorang anak berada dalam pengamatan yang terus menerus dan
seksama. Istilah bulugh yang juga dikenal dengan istilah pubertas
merupakan masa transisi fisik dari fase kanak-kanak menjadi fisik orang dewasa
dengan ditandai oleh gejala-gejala fisik—penomena mimpi bagi laki-laki dan haid
bagi kalangan perempuan. Adapun klasifikasi umur yang menginjak era
pubertas/transisi fisik menurut para ahli hukum, sebagaiman di rangkum oleh
Dadan Muttaqien, bahwa sejauh ini masa pubertas tidak pernah dicapai sebelum
usia Sembilan tahun. Mereka juga menekankan bahwa masa puber tidak selalu
terjadi di usia ini pada setiap anak, karena banyaknya factor-faktor yang
munkin dapat menunda proses kedewasaan fisik. Oleh karena itu sebagian besar
ahli hukum seperti: al-Awza’I, Imam Ahmad, al-Syafi’I, Abu Yusuf,
dan Muhammad, semua berkesimpulan bahwa lima belas tahun adalah usia paling
lambat bagi seseorang untuk mencapai kematangan fisik, terlepas dari tidak
tampaknya tanda-tanda fisik. Rusyd (kedewasaan mental) . Hukum juga
menekankan pentingnya pencapaian rusyd atau kedewasaan mental, yaitu
baik kesempurnaan bulugh maupun kematangan mental, dalam arti mampu
untuk berfikir (‘aql).
[17] Allah
Swt berfirman (yang artinya): ”Dan
apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh (al hulum=mimpi), maka hendaklah
mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin“ (QS. An-Nur[24]:59)Syariah
Islam mengarahkan anak sesuai masa baligh. Proses pendidikan anak dalam Islam,
pada dasarnya mengarahkan anak agar dewasa secara pemikiran (aqil) seiring
dengan kedewasaannya secara biologis (baligh). Ajaran Islam yang memerintahkan untuk mengajari
anak shalat pada usia tujuh tahun (HR Ahmad, at Tirmidzi, Thabrani dan
Hakim), dan diperbolehkannya memukul tanpa menyakitkan anak yang berusia
sepuluh tahun bila ia tak mau sholat (HR Ahmad, Tirmidzi, Thabrani dan Hakim) hingga ditetapkannya usia baligh sudah terbebani
hukum syariah (mukallaf).Selanjutnya adalah pembahasan pertanyaan saya sendiri
tentang hukuman bagi seorang anak yang melakukan tindak kejahatan. Di dalam
Islam, seorang anak yang berbuat kejahatan, tidak dikenai hukuman, kecuali yang
berkaitan dengan hukuman-hukuman tertentu yang sudah ditetapkan oleh Allah swt.
Misalnya, jika seorang anak masih belum shalat meskipun umurnya telah mencapai
10 tahun, maka dia harus dipukul.
Keluarga,
masyarakat dan negara bertanggung jawab terhadap kriminalitas yang dilakukan
anak-anak saat ini. Tingkat tanggung jawabnya bertambah dan puncaknya berada di
negara. Menyerahkan pendidikan anak kepada keluarga saja belum cukup, apabila
masyarakat dan negara tidak menerapkan aturan dan sanksi untuk melindungi
anak-anak dari tindak kejahatan dan berbuat jahat. Dalam pandangan Islam, negara adalah satu-satunya
institusi yang dapat melindungi anak dan mengatasi persoalan kejahatan anak ini
secara sempurna. Ini karena Islam telah menjadikan berbagai hukum yang
menjauhkan anak dari tindak kriminal dan mewajibkan negara untuk menerapkan
hukum tersebut.
[20] Tentang “ Hakim, Mahkum
Fih, Mahkum ‘Alaih, dan Logika Hubungan antara Hakim dan Mukallaf serta
Ragam-ragam Hukum yang ditentukan kepada Mukallaf”. Dimana makalah ini
memaparkan bahwa Hakim adalah Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum. Mahkum
Fih adalah perbuatan mukallaf yang dikenakan hukum. Sedangkan Mahkum ‘Alaih adalah
subyek hukum yaitu mukallaf. Adapun
hubungan antara hakim dan mukallaf sangat berhubungan erat. Adanya hukum,
hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih menjadikan terlaksananya hukum syar’i.
Sedangkan ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf meliputi hukum taklifi dan hukum wadh’i . Dimana hukum taklifi dibagi menjadi 5 yaitu : 1. Wajib 2. Haram 3. Sunat 4. Mubah 5. Makruh Dan Hukum wadh’i dibagi menjadi 7 yaitu : 1. Sebab 2. Syarat 3. Mani’ 4. Syah 5. Batal 6. ‘Azimah 7. Rukhshah
Sedangkan ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf meliputi hukum taklifi dan hukum wadh’i . Dimana hukum taklifi dibagi menjadi 5 yaitu : 1. Wajib 2. Haram 3. Sunat 4. Mubah 5. Makruh Dan Hukum wadh’i dibagi menjadi 7 yaitu : 1. Sebab 2. Syarat 3. Mani’ 4. Syah 5. Batal 6. ‘Azimah 7. Rukhshah
[22] Sumber
hak adalah Allah SWT, karena Allah SWT adalah pembuat syariat, undang-undang
dan hukum atas manusia dan seluruh alam. Oleh karena itu, hak selalu terkait
dengan kehendak Allah SWT dan merupakan pemberian-Nya, yang dapat diketahui
berdasarkan sumber hukum Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an dan sunah Rasulullah
Saw.
[25] Sebuah survey yang melibatkan
rata-rata 100 responden remaja usia 15-24 tahun yang ada di setiap kecamatan di
Kota Bandung, pernah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan 25
Messenger Jawa Barat, selama Juni 2008 lalu. Hasilnya, sekitar 56% remaja Kota
Bandung sudah pernah berhubungan seks bebas (berzina) di luar nikah, dengan
pacar, teman, dan pelacur. Perilaku remaja yang mengadopsi seks bebas seperti
itu paling banyak dipengaruhi oleh tontonan film porno, termasuk dari internet
dan melalui telepon seluler.
Perilaku seks bebas di kalangan
remaja tidak hanya dipraktekkan remaja kota besar seperti Jakarta dan Bandung,
tetapi juga di kota-kota lain yang bukan tergolong kota metropolitan. Misalnya,
sebagaimana dilakukan oleh seorang siswi salah satu SMK di Praya, Kabupaten
Lombok Tengah, NTB. Siswi berusia 17 tahun itu, untuk bisa melakukan seks bebas
(berzina) dengan pacarnya yang berusia 21 tahun, harus pergi ke kota yang agak
besar (Mataram), di sana mereka menyewa sebuah kamar di salah satu hotel kelas
melati. Seks bebas yang dilakukannya itu berlangsung siang-siang sekitar jam
11:00 waktu setempat. Keduanya terjaring razia yang dilakukan aparat Polsek
Mataram bersama Satpol PP Kota Mataram dan aparat kecamatan setempat. Siswi SMK
yang masih berusia 17 tahun itu, mengaku sedang menjalani liburan pasca ujian
tengah semester .(http://kompas.co.id/read/xml /2008/12/16/13390917/siangsiang.ngamar.siswi.smk.digaruk)
[29] Menurut hasil survey yang dilakukan
sebuah lembaga di tahun 2008, diperoleh data sekitar 63% remaja mengaku sudah
melakukan hubungan seks bebas (berzina) sebelum nikah. Responden survey
meliputi remaja SMP dan SMA di 33 provinsi di Indonesia. Tiga tahun sebelumnya
(2005), sebuah survey yang diselenggarakan sebuah perusahaan kondom,
mengungkapkan data sekitar 40-45% remaja berusia antar 14-24 tahun menyatakan
bahwa mereka telah berhubungan seks bebas (berzina) di luar pernikahan. Survey
tersebut dilaksanakan di hampir semua kota besar di Indonesia dari Sabang
sampai Merauke. (lihat tulisan berjudul Konser Musik, Zina dan Kerusuhan, December …) Bila data survey
tersebut reliable dan valid, maka dari dua data di atas menunjukkan adanya kenaikan
yang cukup signifikan. Dari 40-45 persen di tahun 2005, menjadi 63% di tahun 2008.
Artinya, ada kenaikan sekitar hampir 30 persen dalam jangka waktu ‘hanya’ tiga
tahun.
[36] Everyone charged with criminal offence shall have
the right to be presumed innocent until proved guilty according to law. Setiap
orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai
kesalahannya dibuktikan menurut hukum. Asas ini ada dalam Pasal 14 [2] Konvensi
Internasional tentang Hak-Hak Sipil & Hak Politik (1966) yang dalam bahasa
Inggris dikenal dengan kalimat ”Everyone charged with criminal offence shall
have the right to be presumed innocent until proved guilty according to
law”.Indonesia-pun mengakui dan memberlakukan Konvensi ini berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on
Civil and Political Rights [Kovenan Internasional Tentang hak-hak Sipil dan Politik].
Konvensi ini tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah
sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang ; bahkan, tidak menegaskan juga
masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas
toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah atau (Dinyatakan) bersalah atas
dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
[39] Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan
perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. QS. an-Nisa’ (4) : 15
[49] Mengenai "ketidak
sengajaan" dalam pembunuhan yang tersebut dalam ayat ini, ialah ketidak
sengajaan yang disebabkan karena kurang berhati-hati yang sesungguhnya dapat
dihindari oleh manusia yang normal. Misalnya apabila seorang akan melepaskan
tembakan atau lemparan sesuatu yang dapat menimpa atau membahayakan seseorang,
maka ia seharusnya meneliti terlebih dahulu, ada atau tidaknya seseorang yang
mungkin dikenai pelurunya tanpa sengaja. Dengan demikian jelaslah, bahwa tidak
adanya sikap berhati-hati itulah yang menyebabkan pembunuh itu harus dikenai
hukuman seperti tersebut di alas, walaupun ia membunuh tanpa sengaja, agar dia
dan orang lain selalu berhati-hati dalam segala pekerjaannya terutama yang
berhubungan dengan keamanan jiwa manusia. Adapun diat atau denda yang
dikenakan kepada pembunuh, dapat dibayar dengan beberapa macam barang pengganti
kerugian, yaitu dengan seratus ekor unta, atau dua ratus ekor sapi, atau dua
ribu ekor kambing, atau dua ratus lembar pakaian atau uang seribu dinar atau
dua belas ribu dirham. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari
Jabir, dari Rasulullah saw disebutkan sebagai berikut: Artinya:
"Bahwasanya Rasulullah saw telah mewajibkan diat itu sebanyak seratus ekor
unta kepada orang yang memiliki unta, dan dua ratus ekor sapi kepada yang memiliki
sapi dan dua ribu ekor kambing kepada yang memiliki kambing. dan dua ratus
perhiasan kepada yang memiliki perhiasan"H.R. Abu Daud.
No comments:
Post a Comment