UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK
DI INDONESIA
By M.Rakib, SH.,M.Ag. Ciptakarya Pekanbaru Indonesia
A.
Ruang
lingkup perlindungan
anak Indonesia
Sejarah lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak, berawal
dari salah satu bentuk keseriusan pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak
(KHA) tahun 1990. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Hak Anak ini telah
diusulkan sejak tahun 1998. Namun ketika itu, kondisi perpolitikan dalam negeri
belum stabil sehingga RUU Perlindungan Anak, dibahas pemerintah dan DPR, pertengahan
tahun 2001. Pasal-pasal serta ayat yang memenuhi undang-undang ini terbaca
bahwa bangsa ini bertekat untuk melindungi
anak-anak. Hukuman fisik bagi
anak-anak, meliputi dilema sanksi hukuman fisik,[1]
yang kemudian dilarang oleh UU RI No.23
tahun 2002. Sedangkan hukum Islam membolehkannya, dalam batas-batas tertentu, sejak 15 abad yang lalu.KemudianUndang-Undang
Perlindungan Anak Nomor.
23tahun 2002 Bab 54 secara tegas menyatakan bahwa, “guru dan siapapun lainnya
di sekolah,
dilarang memberikan hukuman fisik,
kepada anak-anak.”[2]Lebih-lebihlagiIndonesia
merupakan salah satu negaraanggotapenandatanganan
dari konvensi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang
mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan
siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang
merendahkan atau hukumansebagaiberikut:
1. Penghapusan sanksi hukumanfisik.
Russel menambahkan, "Hukuman fisik yang ringan memang tidak begitu berbahaya, tapi tetap
saja tidak ada gunanya,[3] dalam
pendidikan. Hukuman seperti itu baru fektif kalau bisa menyadarkan si anak.
Sementara hukuman fisik seperti itu biasanya tidak bisa membuat jera.
2.Pro
kontra sanksi hukumanfisik.
Hukuman fisik itu membuat si anak merasa
terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri. Hal yang diharapkan, anak-anak menyadari kekeliruannya
melalui sanksi hukuman itu, lebih mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi
orang lain dan karena ia ingin diterima oleh orang lain, ia akan berusaha
menyesuaikan keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan
bantuan atau memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan
demikian, hukuman fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan
kadar dan waktu yang tepat.
Argumen lain yang disodorkan oleh
kelompok penentang adalah bahwa pendidikan yang dijalankan dengan menanamkan
rasa takut kepada si anak, akan membuat si anak seperti robot yang harus
mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan seperti itu membahayakan
perkembangan jiwa si anak, karena akan melahirkan anak-anak yang bermental
budak[4]
yang harus tunduk terhadap segala perintah. Tentunya hukuman itu harus ringan,
memberikan efek jera dan mengena kepada sasaran.[5]
3.Batasanperlindunganpadasanksi hukumanfisik
Ruang lingkup dan batasan, kewenangan negara
dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak ialah:
1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi , bidang hukum publikdanjuga bidang hukum perdata.
2. Perlindungan yang brsifat non yuridis, terdiridari bidang sosial, danjuga bidang kesehatandanbidang pendidikan.
Adapuntentang pengertian perlindungan anak menurut para sarjana :
1. Arif Gosita, perlindungan anak suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban.[6]
2. Abdul Hakim Garuda Nusantara, masalah perlindungan hukum bagi anak me-rupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia, tidak saja pendekatan yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas , ekonomi, sosial dan budaya.
Perlindungan Anak dapat dirumuskan :
1. Suatu perwujudan adanya keadilan dalam masyarakat, merupakan dasar utama perlindungan anak.
2. Suatu usaha bersama untuk melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi dan positif
3.Secara dimensional perlindungan anak beraspek mental.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak:
1. Ruang lingkup perlindungan meliputi, perlindungan pokok antara lain, sandang,pangan , pemukinan, pendidikan kesehatan dan hukum, jasmaniah dan rohaniah, keperluan primer dan sekunder.[7]
1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi , bidang hukum publikdanjuga bidang hukum perdata.
2. Perlindungan yang brsifat non yuridis, terdiridari bidang sosial, danjuga bidang kesehatandanbidang pendidikan.
Adapuntentang pengertian perlindungan anak menurut para sarjana :
1. Arif Gosita, perlindungan anak suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban.[6]
2. Abdul Hakim Garuda Nusantara, masalah perlindungan hukum bagi anak me-rupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia, tidak saja pendekatan yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas , ekonomi, sosial dan budaya.
Perlindungan Anak dapat dirumuskan :
1. Suatu perwujudan adanya keadilan dalam masyarakat, merupakan dasar utama perlindungan anak.
2. Suatu usaha bersama untuk melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi dan positif
3.Secara dimensional perlindungan anak beraspek mental.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak:
1. Ruang lingkup perlindungan meliputi, perlindungan pokok antara lain, sandang,pangan , pemukinan, pendidikan kesehatan dan hukum, jasmaniah dan rohaniah, keperluan primer dan sekunder.[7]
2. Jaminan pelaksanaan perlindungan, hendaknya dituangkan
dalam suatu peraturan yang tertulis baik dalam bentuk undang-undang atau perda,
yang perumusannya sederhana teapi dapat dipertanggungjawabkan serta
disebarluaskan secara merata dalam masyarakat. Kemudianpengaturannya harus disesuaikan dengan kondisi dan
situasi di Indonesia.[8]
Adapun hak dan kewajiban orang tua, menurut UU No 1 Tahun 1974.
1.Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
2.Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka
3.Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya manakla sudah tua.
4.Anak yang belum dewasa berada di bawah kekuasaan orang tua kecuali sudah melangsungkan perkawinan5. orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbutaan hukum,6 orang tua tidak boleh memindahkan hak /menggadaikan benda yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun. Perlu juga diperhatikah hak perdata bagi anak.
Hal-hal keperdataan Anak lain yang diatur antara lain adalah:
1. Hak dan kewajiban anak, orang tua, pemerintah dan masyarakat terhadap Anak; 2. Pemberian Identitas anak dengan pencatatan kelahirannya;
3. Pencabutan kekuasaan terhadap orang tua atau kuasa asuh yang lalai.
4.Pengasuhan dan pengangkatan anak serta
perwalian.
5.Perlindungan
Anak dalam beragama, kesehatan, pendidikan dan sosial Anak.[9]
Perlindungan anak dalam perkara pidana, dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya.[10] Sedangkan masalah perlindungan anak adopsi:
Perlindungan anak dalam perkara pidana, dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya.[10] Sedangkan masalah perlindungan anak adopsi:
1. Adopsi adalah suatu perbuatan pegambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dengan anak yang diangkat timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
2 . Menurut UU No 23 Tahun 2002 ( UU Perlindungan Anak ) Pasal 1 ayat 9 anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekeuasaan orang tua wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan .
Anak-anak menjadi korban yang kekerasan dalam rumah tangga, berhak melapor kepada polisi, apabila si anak tidak dapat melapor, makaorang lain dalam rumah tangga si anak, bahkan orang lain yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan di sekolahataudalam rumah tangga, wajib melindungi si anak. Perlindungan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diberikan kepada anak yang menjadi korban kekerasan di sekolah[11]dandalam Rumah Tanggadan:
a. Perlindungan dari keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya maupun perlindungan yang didapatkan berdasar penetapan pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan korban secara medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Didampingi oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan e. Pelayanan bimbingan rohani
B.UrgensiUndang-Undang Nomor 23
Tahun 2002
UU Nomor 23 Tahun 2002 ini dapat
dengan jelas dilihat dalam pasal 3 dari UU ini. Pasal 3 dari undang-undang ini
menyatakan: Perlindungan anak
bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujud-nya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Terkait dengan tujuan tersebut, selanjutnya UU ini mengatur lebih lanjut dalam pasal-pasal lain. Dalam hal menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.[12] UU ini mengatur hak tesebut dalam BAB III pasal 4 (Hak dan Kewajiban Anak). Selanjutnya UU ini juga mengatur hak anak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dalam pasal 13. Khusus dalam partisipasi mereka dalam proses pembangunan, undang-undang ini secara tegas mengakui hak anak untuk menyatakan pendapatnya, seperti termuat dalam Pasal 10 yang berbunyi “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.”pasal [13] Dan pada pasal 24 yang menyatakan: “Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.”
Pentingnya pemberian perlindungan hukum bagi anak,[14] baru disadari pemerintah pada sekitar tahun 1997 dengan lahirnya Surat Keputusan Menteri Sosial RI No: 81/huk/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak. Namun dengan persiapan yang sangat lama tersebut, menjadikan kebijakan yang diambil terkesan sangat lambat dan terlalu birokratis. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dari penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki ciri dan sifat khusus memerlukan pembinaan dan perlindungan[15] dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembngan fisik, mental sosial secara utuh, serasi,selaras dan seimbang.
Kejahatan terhadap kesusilaan pada umumnya menimbulkan kekhawatiran /kecemasan khususnya orang tua terhadap anak wanita karena selain dapat mengacam keselamatan anak-anak wanita (misalnya: perkosaan, perbuatan cabul)[16] dapat pula mempengaruhi proses pertumbuhan ke arah kedewasaan seksual lebih dini.Perihal tindak asusila terhadap anak ini telah diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlingdungan Anak. Secara eksplisit Pasal 81 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Kemudian dalam ayat (2) ditegaskan bahwa seseorang yang melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,[17] atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan juga dikenakan ketentuan sebagaimana ayat (1).
Komisi Nasional Perlindungan Anak,
menyatakan bahwa, kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ada 500 kasus, pada
2005 jumlahnya naik 40 persen, mencapai sekitar 700 kasus. Sebanyak 68 persen
kekerasan dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Kejadian yang tidak
dilaporkan diperkirakan jauh lebih banyak. Sebetulnya sudah cukup lengkap
aturan hukum yang melindungi anak-anak. Selain memiliki Undang-Undang No.
4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan mempuyai Undang-Undang No. 23/2002
tentang Perlindungan Anak.
Dalam undang-undang terakhir,
anak-anak berusia di bawah 18 tahun mendapat perlindungan dari berbagai bentuk
eksplotasi dan kekerasan.[18]Jagankan
penganiaya anak sendiri, orang yang menelantarkan anak orang lain sehingga
menjadi sakit atau menderita pun bisa di penjara lima tahun.Hanya prakteknya
tidak gampang memperkarakan orang tua yang melakukan kekerasan fisik terhadap
anaknya. Anak yang jadi korban penganiayaan atau kekerasan seksual biasanya
belum mampu atau tidak berani melapor ke polisi. Akibatnya banyak kasus yang
baru terungkap setelah anak tewas.Perlakuan salah terhadap anak, dibagi menjadi
dua golongan besar: berasal dari dalam keluarga dan berasal dari luar
lingkungan keluarga.
1. Dalam keluarga,
berupa :
a. Penganiayaan fisik, berupa cacat fisik sebagai akibat hukuman badan di luar batas, kekejaman atau pemberian racun.[19]
b. Kelalaian, merupakan perbuatan yang tidak disegaja akibat ketidaktahuan atau akibatan kesulitan ekonomi, meliputi: pemeliharaan yang kurang memadai, yang dapat mengakibatkan gagal tumbuh (failure to thrive), anak merasa kehilngan kasih sayang, ganguan kejiwaan, keterlambatan perkembangan; pengawasan yang kurang, dapat menyebabkan anak mengalami resiko terjadinya trauma fisik dan jiwa; kelalaian dalam mendapatkan pengobatan, misalnya tidak mendapat imunisasi; dan kelalaian dalam pendididikan meliputi kegagalan dalam mendidik anak untuk mampu beriteraksi dengan lingkungannya, gagal menyekolahkannya atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
c. Penganiayaan emosional. Berupa kecaman dengan kata-kata yang merendahkan anak, atau tidak mengakui anak. Sering pula berlanjut pada melalaikan anak, mengisolasinya dari lingkungan, atau menyalahkan anak secara terus menerus. Biasanya diiringi pula dengan penganiayaan dalam bentuk lain.
2. Di luar keluarga, berasal dari: satu institusi atau lembaga tempat kerja, di jalan dan bisa juga dari medan perang.
Dari uraian tersebut di atas penyusun bermaksud mengakaji UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kemudian mencoba dengan kaca mata Islam, apakah sesuai dengan hukum Islam atau tidak. Hal ini dirasa sangat perlu karena menyangkut kelangsungan hidup manusia terutama anak.Dalam catatan penulis, dari berbagai sumber, hanya di madarasah dan di pesantern , dan disekolah mlainnya, paling banyak terjadi dilemma hukuman fisik,karena lebih banyak manfaat dari pada mafsadat,[20]karena itu, kehadiran undang-undang ini, sangat berarti. Adapun penyebab terjadinya dilemma[21]ini, ialah situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi yang sulit dan membingungkan.Penyebab terjadinya dilemma hukuman fisik bagi anak-anak, ialah dalam satu kelompok anak-anak.
C. Signifikansi UU Perlindungan Anak.
UU Perlindungan
Anak pada Pasal 81 ayat 2 UU Nomor 23 tahun 2002 bahwa Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 ( delapan
belas )tahun dikategorikan masih kanak-anak, juga termasuk anak yang masih di
dalam kandungan.Apabila
seseorangbelumberumur 18 tahun, tiba-tibamelangsungkan
pernikahan,
tegas di katakan pernikahan
anak di bawah umur.
1.Anak berada di pihak yang lemah
Hukuman Fisik dan
pernikahan dini, merupakan pemangkasan
kebebasan hak si anak dalam memperoleh Hak hidup sebagai remaja yang berpotensi
untuk tumbuh, berkembang, dan berpotensi secara positif sesuai apa yang digarisbawahi agama.[22]Jikaanak tersebut,
dipukul, bisa dikatakanmelakukan kekerasan[23] dan
dikriminalisasi[24]
terhadap anak-anak seperti yang dinyatakan
pada Pasal 81 ayat 2 UU No 23 tahun 2002. Bagi
orang tua, ada
berkewajiban ntuk mencegah adanya perkawinan pada usia muda.
2.Anak
dalam keadaan keterpaksaan
Undang_Undang, No 23 Pasal 81 ayat 2 Tentang Perlindungan anak.[25]Sering terjadi pernikahan di bawah umur karena adanya unsur paksaan di kalangan masyarakat. Selama ini bukan lagi hal yang luar biasa. Sering kita temui di berbagai kota di indonesia ini di mana umur di saat melangsungkan pernikahan masih sangat muda dan belum cukup umur. kita ambil contoh daerah Indramayu jawa barat bisa di katagorikan sangat banyak kasus di temui ana-anak yang belum cukup umur telah melangsungkan pernikahan. bahkan masih muda belia telah menjalani hidup sebagai janda. alangkah tragis nya orang tua yang sampai hati menikahkan anak nya yang masih usia muda sudah harus dinikah kan. walaupun nanti nya akan menjadi janda. di lihat dari segi adat istiadat yang ada di beberpa daerah di indonesia ini. memang banyak di temui pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini seperti yang di lakukan oleh Syekh puji ini seharusnya dijatuhi hukuman 10 tahun penjara bahkan maksimal 15 tahun penjara denda Rp.60 juta dengan subsider enam bulan kurungan. tapi kenapa Majelis Hakim memutuskan hanya 4 tahun penjara.
Korban dari perkawinan di usia muda
ini sering di perlakukan tidak manusiawi dari si pelaku dan dari pihak orang
tua si korban perkawinan dini tersebut. sementara itu orang tua dari pihak
wanita sering kali ikut terlibat tuk menikah kan anak pada usia muda walaupun
belum cukup umur. pada
kasus Syekh puji ini seharus nya Ulfa di kembalikan kepada orang tua nya, namun
karena orang tua Ulfa ikut terlibat dalam pernikahan di bawah umur tersebut
seharusnya ulfa di serahkan kepada negara agar mendapat pengasuhan yang benar
layak nya ana-anak. mungkin saja kalau masih berada di tangan terdakwa masih
bisa di kuasai oleh Syekh Puji. Timbul
pertanyaaan , antara lain :
a. Apa hakekat pernikahan di laksanakan disaat anak masih belum
belum cukup umur ?
b. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadi adanya pernikahan
antara Syekh Puji dan Ulva yang terjadi di Ungaran tersebut ?
c. Kenapa di majelis Hakim memutuskan penjara kepada Syekh Puji
hanya 4 tahun penjara?
d. Usia berapakah seharusnya pernikahan yang ideal di lakukan?
e. Apakah Pernikahan anak di bawah umur bisa di katakan suatu
tindakan kriminal?
f. Sejauh mana peranan masyarakat dan Pemerintah untuk
mengimplementasikan hukum positif tentang pernikahan anak di
bawah umur.
Kekerasan yang
dilakukan oleh orang tua dan guru kepada ,menunjukkan hukuman yang
kejam.Fenomena kekerasan dalam bentuk hukuman di rumah atau di sekolah sudah
saatnya ditiadakan, karena hukumankadang-kadang tidak memecahkan masalah, tapi
justru sebaliknya menumbuhkan kebencian dan rasa sakit hati murid.Itu
membuktikan kepada kita bahwa anak tidak hanya memiliki guru yang tunggal di
kelas, tapi guru bagi anak-anak kita sekarang banyak dan beragam, mulai dari
mall, ‘play station’, televisi, dan
lingkungan sekitar,” ujarnya. Karena
itu, seharusnya bentuk-bentuk hukuman di sekolah sudah tidak relevan lagi,
karena hanya akan memunculkan kebencian dan kekerasan baru,[26]
sementara di luar bentuk-bentuk kekerasan telah sedemikian nyata dilihat siswa.
Belajar itu memang perlu kerja
keras, tapi jika kerja keras itu dilakukan dengan berbagai kegiatan yang
menyenangkan, maka hasilnya juga akan menyenangkan, dan menjadi pendidik yang
menyenangkan pula. Menurut dari data – data yang saya lihat yakni bangkitnya
minat siswa terhadap pelajaran yang diberikan, adanya keterlibatan siswa,
terciptanya makna, munculnya semangat untuk menguasai materi pelajaran, dan
munculnya atau didapatkannya nilai kebahagiaan.[27]Tindak kekerasan guru
terhadap siswa kembali marak di media massa. Sebuah rekaman video singkat yang
berdurasi 1 menit 7 detik yang terjadi di salah satu SMK Negeri Gorontalo
merupakan salah satu contoh tindak kekerasan guru terhadap siswa yang
semestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak dapat mengendalikan
diri. Video ini direkam oleh salah seorang siswa tanpa sepengetahuan guru yang
bersangkutan.
Pada dasarnya orang tua dan guru
menginginkan anak-anak berperilaku baik dan sopan bukan karena takut akan
hukuman. Guru yang melakukan hukuman dengan tindak kekerasan fisik, mempunyai
tujuan semata-mata untuk mendisiplinkan siswanya. Hanya saja, cara yang
dilakukan guru dan penerapan tersebut
perlu dikoreksi kembali. Demikian pula dengan pihak sekolah. Dalam
menyikapi kasus tersebut pihak sekolah perlu mengambil langkah yang tepat untuk
mendisiplinkan siswa.[28]Akan tetapi,
anak-anakpentinguntukdilindungi.
Perlakuan kasar kepada anak dapat menyebabkan cedera bagi anak. Penganiayaan fisik ini berkaitan dengan hukuman fisik yang berlebihan. Akibatnya dapat menyebabkan anak cacat bahkan kematian, di samping itu akan mengganggu sikap emosional anak. Risikonya anak menjadi depresi, cemas, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan di sekolah.Di sekolah-sekolah yang tata tertibnya tidak konsisten biasanya akan terjadi berbagai macam masalah yang sangat menghambat proses belajar mengajar.Selain itu, tidak terlaksananya peraturan atau tata tertib secara konsisten akan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan siswa, baik di dalam maupun di luar sekolah.Walaupun setiap sekolah telah mempunyai peraturan tersendiri bukanlah berarti sekolah tersebut tidak menemukan berbagai bentuk pelanggaran. Pelanggaran terhadap peraturan sekolah kerap dilakukan oleh parasiswa.[29]
Disiplin di sini diartikan
ketaatan pada peraturan. Dari sini semuanya bermula, sebelum disiplin
diterapkan perlu dibuat peraturan atau tata tertib yang benar-benar realistik
menuju suatu titik, yaitu kualitas . Lalu mengapa banyak sekolah yang mutunya
rendah baik ditinjau dari nilai-nilai siswa, kinerja personal sekolah. Jawabanya
mungkin disebabkan masih belum jelasnya peraturan sehingga tidak mudah
diaplikasikan, atau buruknya pengawalan penerapan peraturan itu. Dalam hal ini
kekurangkonsistenan semua pihak. Bahkan kadang gurupun tidak tahu apa yang
harus dilakukan dalam kelas, sehingga ia hanya mengajar apa adanya terkesan
menghabiskan waktu mengajar saja.
Banyak hal yang harus ditangani
dalam ranah pendidikan di sekolah, tapi jika itu terlalu berat mungkin bisa
saja sedikit dikurangi hanya untuk hal belajar dan mengajar saja. Selama ini
yang terjadi di beberapa sekolah adalah seringnya kelas kosong saat jam
belajar. Ini dikarenakan guru tidak masuk kelas dan tanpa ada tugas yang harus
dikerjakan siswa. Ketidakmasukan guru itu bisa saja karena kepentingan dinas atau
yang lain.Ketidaktepatan dalam hal guru masuk kelas sehingga jeda waktu
pergantian jam bisa dimanfaatkan siswa untuk melakukan tindakan indisipliner.[30]
Komitmen guru dalam hal ini kadang sering menjadi penyebabnya. Dalam manajemen
sekolah, biasanya pengawasan banyak yang tidak bisa berjalan dengan baik,
lebih-lebih jika komitmen guru dan siswa rendah maka sekolah-pun akhirnya sulit
majunya.[31]Tapi
ternyata peraturan sekolah itu ada gunanya juga… diantaranya ialah :
1.Agar sekolah menjadi tertib2.Agar dapat mengikuti proses KBM
(kegiatan belajar mengajar) dengan nyaman dan tenang.3.Melatih murid untuk tepat waktu4.Melatih murid disiplin5.Melatih murid untuk mandiri 6.Melatih murid menaati peraturan di
masyarakat kelak, danmelatih respon mereka dalam menyikapi sebuah peraturan.[32]
Menurut Clemes ,2001, 47, ada beberapa pertanda yang
menunjukkan bila hukuman dan disiplin sekolah mungkin tidak sesuai untuk
diterapkan, sehingga anak sulit untuk mematuhi disiplin sekolah disebabkan:
1.Anak yang mempunyai citra diri yang sangat buruk, dan sangat dipengaruhi oleh kegagalannya sendiri, pasti membutuhkan penghargaan.2.Anak yang takut mencoba hal-hal yang baru, takut menerima tantanngan dan sulit melakukan kegiatan yang melelahkan, mungkin akan lebih bersemangat bila diberikan penghargaan.3.Anak yang sangat manja dan takut melakukan tugasnya sendirian, perlu diberikan penghargaan, jika dia ternyata mampu melaksanakan tugasnya tanpa bantuan orang lain.4.Anak yang merasa kecewa, karena selalu dibandingkan dengan saudaranya yang lebih pintar, lebih rajin, lebih mandiri, dan lebih aktif, perlu diberikan penghargaan agar dia merasa mampu untuk berhasil.5.Anak yang sering meperlihatkan citra diri yang negatif, atau perasaan takut yang berlebihan dengan mengatakan hal-hal seperti “Saya tidak dapat melakukannya,” dan “Saya selalu gagal,” “Saya tidak akan mampu melakukannya lagi,” adalah anak yang mungkin membutuhkan penghargaan.[33]
Di sekolah-sekolah yang tata tertibnya tidak konsisten biasanya akan terjadi berbagai macam masalah yang sangat menghambat proses belajar mengajar. Selain itu, tidak terlaksananya peraturan atau tata tertib secara konsisten akan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan siswa, baik di dalam maupun di luar sekolah.Penerapan disiplin sekolah sangat bergantung pada tekniknya. Di bawah ini diuraikan tiga teknik penerapan disiplin sekolah yang tertuang dalam bentuk peraturan sekolah, yakni “peraturan otoritarian, peraturan permisif, peraturan demokratis.”
1.
Peraturan otoritarian
Dalam peraturan otoritarian,
peraturan dibuat sangat ketat dan rinci. Orang yang berada dalam lingkungan
disiplin sekolah ini, diminta mematuhi dan menaati peraturan yang telah disusun
dan berlaku di tempat itu. Apabila gagal menaati dan mematuhi peraturan yang
berlaku, akan menerima sanksi[34]
atau hukuman berat. Sebaliknya, bila berhasil memenuhi peraturan, kurang
mendapat penghargaan atau hal itu sudah dianggap sebagai kewajiban. Jadi, tidak
perlu mendapat penghargaan lagi. Disiplin sekolah yang otoritarian selalu
berarti pengendalian tingkah laku berdasrkan dorongan, tekanan, pemaksaan dari
luar diri seseorang.
2.
Peraturan permisif
Dalam peraturan ini seseorang
dibiarkan bertindak menurut keinginannya. Kemudian dibebaskan untuk mengambil
keputusan sendiri dan bertindak sesuai dengan keputusan yang diambilnya itu.
Seseorang yang berbuat seseuatu, dan ternyata membawa akibat melanggar norma
atau aturan yang berlaku, tidak diberi sanksi atau hukuman. Dampak teknik
permisif ini berupa kebingunan dn kebimbangan. Penyebabnya karena tidak tahu
mana yang tidak dilarang dan mena yang dilarang atau bahkan menjadi takut,
cemas, dan dapat juga menjadi agresif serta liar tanpa kendali.
3.
Pendekatan
yangdemokratis
Pendekatan peraturan demokratis
dilakukan dengan memberi penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak
memahami mengapa diharapkan mematuhi dan menaati peraturan yang ada. Teknik ini
menekankan aspek edukatif bukan aspek hukuman. Sanksi atau hukuman dapat
diberikan kepada yanng menolak atau melanggar tata tertib. Akan tetapi, hukuman
dimaksud sebagai upaya menyadarkan, mengoreksi dan mendidik. Dalam disiplin
sekolah yang demokratis, kemandirian dan tanggung jawab dapat berkembang. Siswa
patuh dan taat karena didasari kesaadaran dirinya. Mengikuti peraturan yang ada
bukan karena terpaksa, melainkan atas kesadaran bahwa hal itu baik dan ada
manfaat.
Sanksi
adalah hukuman yang diberikan kepada siswa atau warga sekolah lainnya yang
melanggar tata tertib atau kedisiplinan yang telah diatur oleh sekolah, yang
secara eksplisit berbentuk larangan-larangan. Hal ini menurut Depdiknas
2001:10, “Sanksi yang diterapkan agar bersifat mendidik, tidak bersifat hukuman
fisik, dan tidak menimbulkan trauma psikologis.” Sanksi dapat diberikan secara
bertahap dari yang paling ringan sampai yang seberat-beratnya.Sanksi tersebut
dapat berupa:
1.Teguran lisan atau tertulis bagi yang melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sekolah yang ringan.
2.Hukuman pemberian tugas yang sifatnya mendidik, misalnya membuat rangkuman buku tertentu, menerjemahkan tulisan berbahasa Inggris, matematika dan lain-lain.
3.Melaporkan secara tertulis kepada orang tua siswa tentang pelanggaran yang di-lakukan putera-puterinya.
1.Teguran lisan atau tertulis bagi yang melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sekolah yang ringan.
2.Hukuman pemberian tugas yang sifatnya mendidik, misalnya membuat rangkuman buku tertentu, menerjemahkan tulisan berbahasa Inggris, matematika dan lain-lain.
3.Melaporkan secara tertulis kepada orang tua siswa tentang pelanggaran yang di-lakukan putera-puterinya.
4.Memanggil yang bersangkutan bersama orang tuanya agar yang bersangkutan tidak mengulangi lagi pelanggaran yang diperbuatnya.
5.Melakukan skorsing kepada siswa apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran peraturan sekolah berkali-kali dan cukup berat.
6.Mengeluarkan yang bersangkutan dari sekolah, misalnya yang bersangkutan tersangkut perkara pidana dan perdata yang dibuktikan oleh pengadilan.
Pemberian hukuman tidak ada bedanya
dengan pemberian penghargaan. Antara pemberian hukuman dan penghargaan
merupakan respons seseorang kepada orang lain karena perbuatannya. Bedanya,
pemberian penghargaan termasuk respons positif, sedangkan pemberian hukuman,[35] termasuk respons negatif. Akan
tetapi, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengubah tingkah laku
seseorang. Adapun respons positif bertujuan agar tingkah laku yang sudah baik
akan lebih bertambah frekuensinya sehingga akan lebih baik lagi di masa
mendatang. Sedang respons negatif (hukuman) bertujuan agar seseorang yang
memiliki tingkah laku yang tidak baik itu dapat berubah dan lambat laun akan
mengurangi frekuensi negatifnya.
Tegaknya peraturan sekolah secara konsisten merupakan faktor pertama dan utama yang dapat menunjang berlangsungnya proses belajar yang baik. Baik buruknya lingkungan sekolah sebenarnya sangat ditentukan oleh peraturan atau tata tertib yang dilaksanakan secara konsisten. Hanya di sekolah dengan peraturan yang konsistenlah proses belajar dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan rencana yang telah ditentukan di dalam kurikulum. Dengan adanya peraturan tersebut, sekolah dapat berfungsi sebagai arena persaingan yang sehat bagi para siswa untuk meraih prestasi yang semaksimal mungkin. Selain itu, yang paling penting, dengan adanya peraturan yang dijalankan secara konsisten, sekolah dapat menjalankan perannya sebagai lembaga pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas tingkah laku siswa.[36]
Tegaknya peraturan sekolah secara konsisten merupakan faktor pertama dan utama yang dapat menunjang berlangsungnya proses belajar yang baik. Baik buruknya lingkungan sekolah sebenarnya sangat ditentukan oleh peraturan atau tata tertib yang dilaksanakan secara konsisten. Hanya di sekolah dengan peraturan yang konsistenlah proses belajar dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan rencana yang telah ditentukan di dalam kurikulum. Dengan adanya peraturan tersebut, sekolah dapat berfungsi sebagai arena persaingan yang sehat bagi para siswa untuk meraih prestasi yang semaksimal mungkin. Selain itu, yang paling penting, dengan adanya peraturan yang dijalankan secara konsisten, sekolah dapat menjalankan perannya sebagai lembaga pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas tingkah laku siswa.[36]
Apa
kegunaan peraturan yang dicanangkan oleh banyak sekolah ? Banyak anak –
anak yang tidak setuju dengan masalah tersebut. Dan hanya segelintir orang yang
merasa menyukai tata tertib. Tentu peraturan dibuat bukan untuk dilanggar.
Tetapi, sebagian siswa merasa harus mengubah aturan yang dianggap kurang bermutu itu. Tak semua siswa
berambut gondrong itu, nakal, karena
rambut tak mempengaruhi akal pikiran. Meskipun ia botak kalau memang nakal
tetap nakal, meskipun rambutnya panjang tapi kalau asalnya pintar akan pintar juga.[37]Mereka yang kurang percaya
diri, akan rambutnya akan malas turun ke sekolah karena malu dengan rambutnya
yang tidak cocok apabila dicukur pendek, atau
mereka akan belajar bolos. Bolos itu tak hanya disebabkan oleh faktor
malas tetapi juga malu. Itu semua akibat
aturan. Begitupun dengan seragam yang hanya menjadi logo/formalitas
belaka. Siswa yang ingin sekolah diharuskan memakai seragam lengkap dengan
atributnya.[38]
Bahkan sebagian menganggap ini merupakan bentuk kekerasan fisik ataupun mental dan sangat berpengaruh bagi perkembangan anak-anak mereka. Tanggapan dan reaksi dari orangtua seperti ini sebenarnya wajar saja, sebab setiap orangtua pasti tidak mau menerima anak-anak mereka yang dianggap nakal atau tidak disiplin.Sebenarnya hukuman bukan berarti kekerasan, terlebih jika diberikan secara tepat dan edukatif. Namun semua itu dikembalikan kepada guru yang memberlakukan hukuman tersebut. Hukuman bisa saja berubah menjadi suatu kekerasan baik kekerasan fisik maupun psikologis jika guru yang membuat hukuman tersebut tidak mengetahui tujuan dan fungsi diberikannya hukuman kepada murid atau tidak bisa menggunakan hukuman tersebut secara tepat. Bahkan bisa saja pemberian hukuman tersebut dapat menimbulkan rasa dendam ataupun trauma dari murid akibat tidak bisa menerima hukuman yang diberikan oleh gurunya, selain itu dapat juga menurunkan rasa percaya diri murid bahkan dapat melemahkan hubungan guru dengan murid.
Orangtua sebaiknya memang diberi
tahu bahwa anaknya dihukum di sekolah, namun tentunya guru harus bisa
menjelaskan penyebab murid tersebut mendapat hukuman agar orangtua juga bisa
menerima konsekuensi atau resiko yang diterima oleh anaknya, dengan demikian
tidak akan terjadi salah paham antara orangtua dengan guru. Akan lebih baik
jika sebelumnya ada kesepakatan yang sudah dibuat secara tertulis antara guru
dengan murid.Bahkan juga dengan orangtua tentang bentuk konsekuensi positif dan
negatif yang akan diberikan kepada murid dalam rangka penerapan disiplin di
kelas maupun di sekolah, sehingga jika terjadi suatu pelanggaran yang membuat
seorang murid harus menerima konsekuensi berupa hukuman di sekolah / kelas maka
orangtua mengetahuinya dan bisa menerima konsekuensi yang diterima anaknya
sebagai suatu pembelajaran.
Idealnya jika hukuman tersebut
diberikan secara tepat. Artinya tepat dalam porsinya, tepat dalam waktu
pemberiannya, tepat dalam penggunaannya, dan tepat dalam bentuk hukumannya
serta ada follow up atau pembahasan
dari hukuman yang diberikan, maka akan memberikan efek sadar dan jera bagi
murid yang mengalaminya, dengan harapan tidak akan mengulangi kesalahan atau
pelanggaran yang sama dan lebih bertanggung jawab atas perilakunya.Maka hukuman
tersebut menjadi efektif. Namun sebaliknya, jika hukuman diberikan dalam porsi
yang tidak sesuai dengan kesalahan yang dilakukan, waktu pemberiannya tidak
segera serta bentuk hukumannya tidak ada nilai edukasinya dan tidak ada tindak
lanjutnya, maka hukuman tersebut tidak akan efektif dan tentunya tidak bisa
memberikan efek jera dan tidak membuat murid menyadari kesalahannya, bahkan
hukuman tersebut justru akan menjadi penguat bagi perilaku buruk murid,
terlebih jika guru mengabaikan perilaku positif yang coba ditunjukkan oleh
murid.
Hukuman dalam konteks“mengajari
siswa yang melakukan delinkuensi,[39]
seharusnya diperbaiki lagi. Dalam hal edukasi yang tepat dan tindak lanjutnya
kepada siswa setelah hukuman itu diberikan kepada siswa tersebut. Tetapi kalau
hukuman dalam konteksnya “membunuh siswa” sebaiknya itu dihilangkan saja. Para
orang tua juga sebaiknya memberikan andil yang besar untuk perkembangan anaknya
pula. Dengan pengawasan dan perhatian dari para orang tua, para siswa pun /
anak – anak akan terhindar pula dari
“hukuman. Ditulis dalam PIKA | Bertanda: hukuman siswa seharusnya, kedisiplinan siswa sekarang, peraturan disiplin hukuman, peraturan sekolah sekarang, seharusnya pelanggaran siswa, tindak lanjut hukuman.
Tidak
seorangpun menginginkan terjadinya tindak kekerasan, terutama di lembaga
pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara damai dan edukatif.
Namun kenyataannya masih banyak, bahkan hampir semua sekolah/madrasah belum
dapat memberikan hak anak, bahkan melakukan kekerasan terhadap anak. Tanpa
disadari hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang Republik
Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Deklarasi PBB
tentang hak-hak anak
Hukuman
secara fisik dan emosional dari guru terhadap murid merupakan hal yang lumrah
terjadi di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak guru biasa mencubit,
memukul anak-anak bahkan menghina mereka, baik di sekolah-sekolah negeri maupun
sekolah yang berbasis keagamaan. Kadang guru tidak menyadari bahwa hal ini
sebetulnya terlarang dalam hukum Indonesia. Undang-undang Perlindungan Anak No.
23, bab 54 secara tegas menyatakan bahwa guru dan siapapun lainnya di sekolah
dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak.
Kritikpenulisterhadap UU iniialah,[40]mengapatidakdibuatpengualian diduniapendidikan, karena di
duniapendidikanadahukumanpemukulanmurid ,tapitidakmengandungkekerasan. Walaupun
Indonesia merupakan salah satu penanda tanganan dari konversi PBB untuk Hak-hak
Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan negara menjamin bahwa:
”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan
atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang
merendahkan atau hukuman”. Meski demikian, tampaknya undang-undang tersebut belum
dipahami oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal ini sebagaimana laporan
penelitian Hidayati, dari penelitian lapangan terhadap 8 Madrasah Ibtida’iyah di propinsi Riau
ditemukan bahwa hukuman jasmani lumrah terjadi di semua madrasah yang dituju,
dengan kisaran antara 50% - 80%, anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah
mengalami hal ini dari guru-guru mereka secara rutin.[41]Ibarat
gunung es, kasus kekerasan,
seringmuncul di permukaan. Masih banyak tindak
kekerasan dalam pendidikan yang tidak tampak.[42]
Demikian rapuhnya kenyamanananak-anak
di dunia pendidikan, hingga aksi kekerasan dan
pelanggaran HAM terhadappara
pelajar, para remaja, bahkanBalita, terus
meningkat.Karenaituperludiperhatikandandianalisiskembalitentang:
1.Hak Anak dalam
Pendidikan
Dalam Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) Pasal
1 disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan
hendaknya diselenggarakan secara bebas (biaya), sekurang-kurangnya pada tingkat
dasar. Di samping itu, pendidikan dasar haruslah bersifat wajib; pendidikan
keahlian dan teknik hendaknya dibuat secara umum dapat diikuti oleh peminatnya;
dan pendidikan tinggi hendaknya dapat diakses secara sama bagi semua orang atas
dasar kelayakan.
Dalam
Pasal 2 Deklarasi HAM juga dinyatakan bahwa pendidikan hendaknya diarahkan
untuk mengembangkan secara utuh kepribadian manusia dan memperkokoh
penghormatan terhadap HAM dan kebebasan asasi. Pendidikan hendaknya mendorong
saling pengertian, toleransi, dan persahabatan antar berbagai bangsa tanpa
memandang perbedaan ras dan agama, dan hendaknya meningkatkan kegiatan PBB
untuk memelihara perdamaian.[43]
Dalam
upaya global, para pendidik berupaya memajukan pengajaran nilai, standar dan
prinsip yang terwujud dalam instrumen sebagaimana Pemusnahan Semua Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on Elimination of all Form of
Discrimination Against Women,
CEDAW),[44]Descrimination Based on Religion or Belief).[45]
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child, CRC), dan Deklarasi Sedunia tentang
Pendidikan untuk semua (Education for
all).
Secara
khusus dalam CRC terdapat empat prinsip dasar dalam menyelenggarakan pendidikan
yang dapat memenuhi hak anak, yaitu: non-discrimination
(non diskriminasi), the best interests of the child (kepentingan
terbaik bagi anak), the right to life,
survival and development (hak hidup, kelangsungan hidup dan
perkembangan), dan respect for the
views of the child (penghargaan terhadap pendapat anak).Pertama, Non-discrimination.Yang
dimaksud non diskriminasi adalah penyelenggaraan pendidikan anak yang bebas
dari diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang etnis, agama, jenis
kelamin, ekonomi, keluarga, bahasa dan kelahiran serta kedudukan anak dalam
status keluarga. Untuk mengimplementasikan prinsip ini pemerintah memiliki
kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang layak,[46]antara lain:
1.
Prinsip
kepentingan terbaik bagi anak.
The Best Interests of The
Child. Yang dimaksud dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, adalah dalam semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan,
kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, badan
legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus
menjadi pertimbangan utama.
2.
Prinsip
hak hidup.
The Right to Life,
Survival and Development.Yang dimaksud dengan
prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan adalah hak asasi yang
paling mendasar bagi anak yang harus dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga dan orangtua.[47]Karena
itulah KHA memandang pentingnya pengakuan serta jaminan dari negara bagi
kelangsungan hidup dan perkembangan anak, seperti dinyatakan dalam pasal 6 ayat
1, bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memilki hak yang
melekat atas kehidupan (inherent
right to life)”, serta ayat 2 “ negara-negara peserta secara
maksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development of child)”.
3.
Penghargaan
terhadap pendapatanak.
Respect for The Views of
The Child. Yang dimaksud dengan penghargaan
terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk
berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama
jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.Kemudian pembelajaran berbasis pemenuhan hak anakialah:
a. Menciptakan suasana kondusif
Suasana
yang kondusif akan meningkatkan minat dan motivasi belajar anak. Oleh
karenanya, suasana yang kondusif perlu terus dijaga ketika proses pembelajaran
dan latihan dilakukan. Sebab dengan suasana tersebut internalisasi nilai dan
sikap menjadi efektif. Bila dijumpai perusak suasana hendaklah segera diatasi
agar tidak merusak keseluruhan proses. Dari sebuah penelitian menunjukkan bahwa
lingkungan sosial atau suasana kelas merupakan penentu utama psikologis yang
mempengaruhi belajar akademis. Di samping itu, guru akan mencapai hasil lebih
tinggi jika mereka mampu menyingkirkan segala amcam ancaman, melibatkan emosi
siswa dan membangun hubungan yang humanistik.Bobbi
dePorter menyarankan terpenuhinya enam suasana agar dapat membangkitkan minat,
motivasi, dan keriangan anak mengikuti proses belajar:
Pertama, menumbuhkan niat
belajar. Keyakinan seseorang mengenai kemampuan dirinya amat berpengaruh pada
kemampuan itu sendiri. Dalam proses belajar-mengajar, baik guru maupun siswa
hendaknya dapat membangkitkan niat tersebut dari dalam dirinya sendiri. Bila
dijumpai siswa yang kurang bersemangat, maka mentalitas guru terhadap iklim
belajar akan menjadi teladan dan berpengaruh bagi keseluruhan proses belajar.
Memperhatikan emosi siswa juga dapat membantu percepatan pembelajaran mereka.
Bila niat tidak mudah tumbuh dari dalam diri sendiri, dorongan orang lan, dalam
hal ini terutama guru, amat diperlukan, agar tidak mempengaruhi semangat
belajar yang lain.
Kedua, menjalin rasa simpati
dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian sosial, sikap toleransi dan
saling menghargai di antara siswa. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh,
seperti memperlakukan siswa
sebagai manusia sederajat,[48]mengetahui
apa yang disukai siswa, cara pikir mereka, dan perasaan mereka mengenai hal-hal
yang terjadi dalam kehidupan mereka.
Membayangkan
apa yang siswa lakukan, antara lain:
Pertama, mengetahui hal yang menghambat para siswa
dalam memperoleh hal yang benar-benar mereka inginkan. Jika guru memang tidak
mengetahui hal yang diinginkan siswa, maka sebaiknya ditanyakan kepada siswa.
Kedua, hindari sejauh mungkin sikap sok
tahu.Berbicara dengan jujur kepada para siswa dengan cara yang membuat mereka
mendengarkan dengan jelas dan halus.Melakukan kegiatan yang menyenangkan
bersama para siswa.
Ketiga, menciptakan suasana
riang. Kegembiraan membuat siswa lebih mudah untuk belajar dan bahkan dapat
mengubah sikap negatif. Belajar dalam iklim menyenangkan, tanpa ada paksaan dan
tekanan, akan menimbulkan kesadaran untuk menemukan sendiri jawaban atas
persoalan yang dihadapi. Sebaliknya suasana tegang dan tertekan mengakibatkan
siswa belajar dengan terpaksa. Menciptakan suasana riang dapat dilakukan dengan
membiasakan membuat selingan. Misalkan, bertepuk tangan, berteriakan ‘hore’
menghentikkan jari, menulis poter, membuat catatan pribadi, membuat kejutan,
pengakuan atas prestasi siswa, pujian maupun penguatan. Hal terpenting dar
langkah ini adalah menjaga suasana riang agar tidak berubah menjadi senda gurau,
tidak melanggar hak asasinya.[49]
b. Meningkatkan kualitas emosi positif
Contoh-contoh
kualitas emosi positif adalah sikap jujur, toleransi, saling menghargai, empati
terhadap sesama, rasa percaya diri, sabar, dan sebagainya. Emosi positif ini
umumnya dimiliki oleh siswa atau remaja dari interaksi sosialnya, seperti
keluarga, sekolah dan pergaulan mereka di tengah masyarakat. Pendidikan
keluarga yang baik akan mendukung keberhasilan anak atau remaja di sekolah.
Begitu pula halnya dengan masyarakat. Ketiganya berinteraksi secara sinergis,
saling mempengaruhi. Anak yang pembohong umumnya berasal dari keluarga yang
suka bohong. Sebaliknya, keluarga yang hidup membiasakan kejujuran, rasa
tolerasi, saling menghargai, percaya diri sabar dan lain-lain. Menyebabkan anak
atau remaja akan terpola dengan kualitas emosional tersebut. Kualitas emosional
yang demikian sepatutnya ditingkatkan melalui pendidikan formal di sekolah yang
disiplin.[50]
Pendidikan berfungsi
menanamkan kualitas emosi positif kepada peserta didiknya. Proses internalisasi
nilai positif bukanlah pengetahuan tentangnya, seperti memperkenalkan apa itu
jujur, bagaimana konsep toleransi, atau menjelaskan apa itu empati. Sama sekali
bukan pengetahuan tentangnya. Proses internalisasi nilai positif adalah
penciptaan suasana, teladan, penerapan strategi belajar dan interaksi sosial
dalam komunitas pendidikan. Penanaman kualitas emosi positif berguna bagi
pembentukan watak (character building)[51]
Berikut ini akan diuraikan beberapa
kualitas emosi positif dan imbangnya. Tatkala seseorang tidak memiliki emosi
positif tersebut maka yang berkembang kemudian adalah karakter negatif. Pertama, jujur dan hukuman. Apabalia
seorang anak mau mengakui secara jujur atas perbuatannya yang salah, sebaiknya
ia diperlakukan secara arif, bukan dibalas dengan kemarahan. Misalnya, santi,
seorang siswi kelas IV SD, tidak mengerjakan PR. Guru akan bertanya kepadanya
mengapa ia tidak mengerjakan PR. Jika santi dengan jujur mengatakan bahwa ia
lupa, maka sang guru hendaknya dengan arif mengingatkan agar tidak mengulangi
kealpaannya, misalnya dengan membiasakan menyelesaikan tugas ketika ada
kesempatan dan tidak menunda-nundanya. Bukan dengan memarahi, apalagi menghukum
secara fisik. Sifat lupa adalah alamiah, dan karenanya tidak sepatutnya
seseorang mendapat hukuman tidak mendidik atas kealpaannya. Meskipun demikian,
tugas adalah sebuah amanat yang harus dikerjakan. Santi bisa dibimbing untuk
mengerjakan PR dengan cara damai, tanpa kekerasan, namun tetap ada sanksi.[52]
Jika cara kekerasan
ditempuh, misalnya menghukum santi karena tidak mengerjakan PR, maka suatu saat
apabila santi terlupa lagi mengerjakan PR, ia bisa berbohong, mencari alasan
lain sehingga sang guru tidak memberi hukuman. Jika alasan berbuat sesuatu
disampaikan secara jujur oleh seorang anak dan ia harus mendapatkan kecaman dan
hukuman, maka anak tersebut akan mencari jalan untuk menutupi kesalahannya agar
tidak dikecam atau dihukum. Bila santi pamit kepada orang tuanya bahwa ia
keluar rumah untuk bermain kerumah temannya akan dimarahi, maka bisa saja santi
berbohong dengan mengatakan keluar rumah untuk belajar bersama dengan temannya.[53]Akibatnya,
watak bohong akan melekat dalam dirinya karena orang tuanya sudah tidak
menghormati terhadap kejujurannya.
Perlakuan hukum-menghukum ini
akan dipahami sebagai jalan pintas untuk mengatasi masalah. Bisa dibayangkan
bagaimana jadinya jika santi di kemudian hari menjadi guru, dan muridnya
melakukan kesalahan? Tentulah terbayang di benak kita bahwa Santi akan menempuh
cara hukuman ini untuk mengatasi masalahnya. Penerapan hukuman bagaimanapun
berpotensi menimbulkan kekerasan.
Apakah
ini berarti bahwa hukuman itu tidak perlu diberikan? Tentu tidak demikian
maksudnya. Hukuman ditempuh sebagai alternatif yang paling akhir, setelah
proses bimbingan, sindiran, teguran, peringatan lisan dan tertulis, dan
skorsing sudah tidak efektif lagi, sementara kesalahan yang dilakukan tergolong
berat dan bila dibiarkan dapat menular kepada yang lain. Jika demikian
halnya, maka sekolah dalam hal ini guru, bisa menempuh cara hukuman untuk
menjadikan kualitas emosional anak tidak terus-menerus dalam karakter negatif.
Hukuman yang diberikan pun harus bersifat edukatif, bukan semata-mata bersifat
fisik, apalagi dilakukan dengan rasa dendam dan kebencian. Lagi pula tidak
semua kesalahan harus berakhir dengan hukuman.(Corporate punishmen.)[54]
Kedua, bersikap toleran,
tidak memaksakan untuk terjadinya bentrokan. Sikap toleran amat mudah diucapkan
tetapi sulit untuk dilakukan. Toleransi berarti mendiamkan, atau membiarkan
suatu perbuatan, sikap atau pendapat orang lain yang berbeda dengan perbuatan,
sikap atau pendapat diri sendiri, meski ada perbedaan secara diametral
sekalipun. Dalam bahasa Jawa toleransi disebut sebagai tepa selira, yakni menjaga perasaan orang lain agar ia tidak
tersinggung.
Perilaku
mendiamkan atau membiarkan tersebut dilakukan dengan kesadaran bahwa seseorang
perlu menempatkan perbuatan, sikap dan pendapat orang lain sebagai hal yang
berbeda dengan perbuatan, sikap dan pendapat orang tersebut. Dengan kesadaran
toleransi atau tepa selira
tadi, bila suatu saat nanti terjadi suatu konflik antar sesama, maka win-win
solution akan lebih mudah dicapai, karena masing-masing pihak dapat
memahami perbuatan, sikap atau pendapat orang lain. Inti dari toleransi adalah
menghargai perbedaan, dan membiarkan kondisi berbeda tersebut seperti apa
adanya. Jadi, toleransi adalah agree in disagreement. Perdamaian diperoleh melalui sikap
saling mengerti dan toleransi ini. Sebaliknya, bila orang sudah tidak lagi
menyadari arti perbedaan, maka potensi konflik dapat berubah sewaktu-waktu
menjadi bentuk-bentuk kekerasan.[55]
Menghargai
perbedaan berarti sikap untuk menerima kehadiran orang lain di tengah kehidupan
kita secara kolektif, learning to live together. Sekedar contoh, salah
satu SMU di Virginia, Amerika Serikat, menghimpun para siswa yang berasal dari
85 negara di dunia yang berbeda agama, bangsa, bahasa, budaya, ras dan
lain-lain. Contoh lainnya, International
Islamic University Malaysia yang
berdiri sejak 1983 setelah gagasan Islamisasi Ilmu diterima dan diaplikasikan
oleh beberapa negara Islam. Universitas ini menerima perwakilan dari 32 negara
dan 30% di antaranya berasal dari luar negeri.
Dalam
proses belajar-mengajar, sikap toleransi dapat ditumbuhkan melalui berbagai
metode pembelajaran. Jika Pak Fuad di tengah-tengah mengajarnya, memberi waktu
luang untuk tukar pendapat, diskusi, atau tanya jawab untuk bertanya, membahas,
usul, mengkritik atau bahkan menolak pendapatnya mengenai suatu masalah, dan
itu dliakukan secara rasional dengan menghargai perbedaan pendapat di antara
peserta didik, maka dengan demikian Pak Fuad telah berupaya menanamkan sikap
toleransi di antara para muridnya.[56]
Lebih dari sekedar pengetahuan tentang apa itu
toleransi, untuk apa toleransi dan bagaimana cara bertoleransi, memberi teladan
melalui metode mengajarnya tadi, memberi contoh konkrit bersikap toleransi.
Bila setiap kali guru
ataudosenmelakukandemikian, bila semua gurudan sekolah bersikap
demikian, toleransi menjadi bagian dari kehidupan, maka budaya damai (culture
of peace) akan mudah
dicapai.Hasil pengujian terhadap lebih dari 7000 orang di Amerika Serikat dan
18 negara lain menunjukkan bahwa manfaat empati antara lain adalah orang
menjadi lebih stabil secara emosional, lebih populer, lebih ramah dan lebih
berhasil dalam percintaan.[57]
Menurut Thomas Hatch dan Howard Gardner, empati adalah bagian penting untuk
pesona, sukses sosial bahkan kharisma.
Di
tengah pertengkaran yang sengit sekalipun, misalnya, guru tahu pasti kapan
harus bertahan dan kapan harus menyerah karena guru menyadari perasaan Anda dan
perasaan orang lain tentang hal yang dipertengkarkan.[58]Empati
berbeda dengan simpati. Simpati merupakan kecenderungan untuk ikut merasakan
segala sesuatu yang dirasakan orang lain karena kesamaan cita-cita,
penderitaan, daerah atau lainnya. Simpati adalah feeling with another person, sedangkan empati lebih dalam dari itu.
Empati tidak harus terjadi akibat persamaan kondisi antara satu dengan yang
lain, atau didahului dengan saling kenal. Lawan dari simpati adalah antipati,
yakni perasaan ketidaksenangan terhadap orang lain yang dapat berujud
kebencian. Padahal kebencian memicu permusuhan. Permusuhan memicu kekerasan.
Untuk mencegah kekerasan, yang perlu dibangun adalah sikap empati, dan bukan
antipati.[59]
Pada
dasarnya tujuan mengatasi sesuatu itu adalah untuk mencapai keberhasilan. Orang
yang over-pessimistic bila berhasil meraih sesuatu, besar kemungkinan ia
akan berlebihan dalam merayakan keberhasilannya. Sebaliknya orang yang over-optimistic, bila berhasil
terhadap sesuatu, akan bersikap biasa-biasa saja. Tatkala orang yang sama-sama
berhasil, berkumpul di satu tempat untuk merayakan kesuksesannya, maka luapan
emosi kegembiraannya sulit dibendung. Peristiwa kelulusan adalah hal lumrah
dalam sebuah ujian. Akan tetapi bila orang yang overjoy tersebut
berkumpul dan menimbulkan gerakan massal, dan ada faktor pemicu, maka perilaku
ini dapat berpotensi menggerakkan massa tersebut mengarah kepada perilaku
kekerasan kolektif.
Pendidikan damai dapat menanamkan rasa saling
kasih dan cinta antar sesama, tidak peduli apakah ia berkulit hitam atau putih,
kaya atau miskin, penduduk atau pendatang, warga negara lokal atau asing.
Dengan sentuhan bahasa cinta antar sesama, semuanya bisa duduk bersebelahan
dalam satu ruang kelas. Dalam hal ini, guru tidak sekedar mengajar namun juga
sebagai orang tua kedua ketika anak-anak berada di sekolah. Begitu pula orang
tua di rumah, menjadi guru yang kedua bagi putra-putrinya. Yang berlangsung
kemudian adalah sentuhan cinta dibarengi dengan semangat mendidik, atau
mendidik dilakukan dengan penuh kasih sayang,
mengurangitindakandilenkuensi.[60]
Pendidikan
damai menumbuhkan cinta pada sesama, cinta lingkungan, dan cinta alam semesta.
Cinta pada sesama menghindarkan konflik dan permusuhan, mencegah kekerasan dan
perang. Cinta lingkungan menumbuhkan sikap melestarikan dan merawat lingkungan
agar tetap bersih dan asri. Cinta pada alam semesta menjadikan anak tidak
merusak alam bahkan menjaganya dari kepunahan. Itulah sebabnya pendidikan damai
memberikan materi kesadaran pribadi, toleransi, kepedulian dengan sesama dan
cinta ini untuk memupuk budaya damai,
anti kekerasandalamberperilaku anak-anak.[61]
Keenam, bersikap adil.
Ketidakadilan merupakan bentuk kekerasan institusional (intitutional violence), seperti halnya kemiskinan,
rasialis, pelecehan seksual, serta bentuk repressive lainnya. Kekerasan institusional muncul sebagai
akibat kebijakan pihak-pihak tertentu (biasanya lembaga yang berwenang) dalam
memutuskan perkara. Kebijakan tidak adil yang dirasakan oleh seorang korban
dapat diluapkan dengan kekesalan, kekecewaan atau ketidakpuasan.
Bila ketidakadilan dirasakan oleh banyak
orang, hal ini akan memicu gerakan massa untuk menuntut keadilan, seperti unjuk
rasa, protes dan aksi demonstrasi. Unjuk rasa buruh pabrik menuntut kenaikan
gaju atau tunjangan, protes mahasiswa menolak kenaikan biaya kuliah, atau akasi
demonstrasi para aktivis penentang perang, bermula dari kebijakan yang kurang
transparan dan kurang adil ini. Aksi massal menuntut keadilan atas kebijakan
tertentu sewaktu-waktu bisa berubah menjadi overt violence atau kekerasan
terbuka bila ada faktor pemicu yang mendorong massa menjadi bringas dan anarki.
[1]Lihat Kusuma, W. Mulyanah, Hukum dan Hak-hak Anak, (Jakarta, CV. Rajawali, 1986),254 Lahirnya Undang-Undang
Perlindungan Anak, berawal dari salah satu bentuk keseriusan pemerintah
meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990. Terdiri dari 14 bab dan 93
pasal. Disahkan di Jakarta, tanggal 22 Oktober 2002.Dari keseluruhan pasal yang
tersedia menarik untuk menelaah pasal 2 dan 3 undang-undang ini mengingat kedua
pasal tersebut membicarakan asas dan tujuan. Dua buah pasal yang sesungguhnya
menjadi jiwa dari pasal-pasal lain. Karena kedua pasal ini sangat membantu untuk
memahami keseluruhan pasal-pasal lain dalam undang-undang dimaksud.
[2]Amiruddin
dan Zainal Azikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: Rajawali Press..Lihat Andreas Kapardis.1999. Psikologi
dan Hukum (Psychology And Law). Diterjemahkan oleh Achmad Ali. Makassar: FH Unhas.Anom Surya Putra. 2003. Teori
Hukum Kritis.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti..
Lihat juga Anthon Freddy Susanto. 2005. Semiotika Hukum. Bandung: Refika Aditama. Antonio
Cessie. 2005. Hak Asasi Manusia Di Dunia yang Berubah (Human Rights In A
Changing Word). Diterjemahkan oleh Rahman Zainuddin.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia..Berhubungan dengan Aristoteles.
2007. Politik
(La Politica). Diterjemahkan oleh Syamsur Irawan. Bandung: Visi Media. Lihat Atkinson, Rita L., et.al. 1983. pengantar psikologi. terj.
Nurdjannah Taufiq. Jakarta: Erlangga. Lihat juga Bambang
Mulyono. 1984. Pendekatan
Analisis Kenakalan Remaja dan Penaggulangannya.
Yogyakarta: Kanisius.Lihat Bambang Sunggono. 2006. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Press.. Lihat juga Jean Soto menyatakan"Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, berakar
dari hukuman-hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari
orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar
penderitaan umat manusia ini bisa sirna."Tetapi argumentasi beliau
ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim dan belum tentu bisa
dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita terima pernyataan
seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari hukuman-hukuman keras
yang diterima dari orangtuanya, akarnya
adalah terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman itu. Hukuman ekstrim
itulah yang menjadi sumber penderitaan umat manusia. Lihatjuga Khalid Bin Ali Al-Musyaiqih,
Op.Cit.,121
[3]Marlina,
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia
Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice , Refki Aditama,
Bandung, 2009, hlm. 34-35. Bandingkan Lilik Mulyadi, 2005. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, Bandung, PT. Cipta Aditya
Bakti. Hal. 16-17. Soetodjo, Wagiati, 2006. Hukum
Pidana Anak. Bandung, PT. Refika Aditama. hal. 17. Berkaitan dengan Anna
Volz, Advocacy Strategies Training
Manual: General Comment No.10: Children’s Rights in Juvenile Justice,
Defence for Children International, 2009. Dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, Anak
yang Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional, Internet, hal 1. Diakses pada 19 September 2012.Lihat juga Joan Durant yang merupakan kepala
peneliti dan rekannya Ron Ensom dari Children's Hospital of Eastern Ontario di
Ottawa, mengatakan bahwa hukuman fisik akan membuat anak menjadi agresif dan
anti sosial, selain itu juga menyebabkan gangguan kognitif dan gangguan
pertumbuhan. Penelitian terbaru juga memperlihatkan bahwa hukuman fisik akan
mengurangi materi abu-abu pada otak, yang berkaitan dengan intelijen atau
IQ."Hukuman fisik pada anak tidak hanya akan mengakibatkan sikap agresif
pada anak, hal ini juga bisa membuat anak mengalami banyak kesulitan, misalnya saja
depresi dan penggunaan narkoba," ujar Durant. "Tidak ada penelitian
yang menunjukkan hasil positif jangka panjang dari hukuman fisik," diterapkan
di 32 negara.
[4]Darji Darmodiharjo dan Sidarta, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum, (Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama: 2004),223.Lihat
Baharits,A.H.S.Tanggung Jawab
Ayah Terhadap Anak
Laki-Laki.(Jakrta: Gema Insani Press. 1996), 49 Bandingkan dengan Indrakusuma, A.D. Pengantar
Ilmu Pengetahuan. Malang:
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP
Malang.(1973),56. Lihat huga J.J. Hasibuan,Proses
Belajar Mengajar. (Bandung: Remaja Karya 1988), 224. Berkaitan dengan JVS.
Tondowidjojo CM. Kunci Sukses Pendidikan. (Yogyakarta: Kanisius. . 1991),179
[6]Ishaq.. Dasar-Dasar
Ilmu Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 54.
Lihat juga JanHendrik Kapar. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kansius, 1996.),39.. Lihat
juga Jazim Hamidi.. Hermeneutika
Hukum.(Jakarta:
UII press. 2005), 88.
Lihat juga John Gillisen dan Frits Gorle. 2005. Sejarah Hukum Suatu Pengantar (Historische Inleiding
Tot Het Recht). Diterjemahkan
oleh Fredy Tengker. Bandung: Refika Aditama.Kansil.. Pokok-Pokok Etika profesi hukum. (Jakarta: Pradya Paramita.2006),hlm
281
[7]TM..Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy,Para Ahli yang pro dengan hukumanfisk dalam pendidikan, sebagian pakar menerima hukuman
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak.
Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat
tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua masih bisa menangani
anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, maka
tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu boleh diberikan setelah
nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya. Dalam
kaitan ini, Russel menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin mengatakan
bahwa hukuman dalam proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin
hanya masuk sebagai alternatif kedua."John Locke menulis, "Benar
bahwa hukuman fisik kadang-kadang diperlukan.LihatjugaTM.MuhammadHasbi Ash-Shiddieqy, Islam Dan HakAsasiManusia, ,
(Semarang, PustakaRizki Putra : 1997), 12
[8]Abdullah,
A.S.
Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al Qur’an.(Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1990).57 Lihat juga Agus
Soejono. Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum.
(Bandung: CV. Ilmu, 1980), 231. Bandingkan dengsn Baharits,A.H.S.Tanggung
Jawab Ayah Terhadap
Anak Laki-Laki. Jakrta: Gema
Insani Press, 1996.),24. Berkaitan dengan Indrakusuma, A.D.
Pengantar Ilmu Pengetahuan.
Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, 1973), 48
[9]JVS.
Tondowidjojo CM. Kunci Sukses Pendidikan.
(Yogyakarta: Kanisius. 1991), 122
Rahmat, J..Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda
Karya,1994), 166.Lihat juga Soeitoe,
S. Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.982),123
. Lihat juga Sukadipura, B..Aneka
Problema Keguruan.(Bandung: Angkasa,1982), 67
Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan. (Jakrta: PT.
Rineka Cipta,1992). 98.Bandingkan dengan Tafsir, A. Pendidikan Dalam
Ilmu Perspektif Islam.
(Bandung: Remaja Rosdakarya.,1992),
59bahwa anak berkebutuhan khusus,
juga harus dilindungi, mereka juga
memiliki hak yang sama dengan anak yang lainnya. Mereka juga memiliki
talenta yang baik guna meningkatkan prestasi dan potensinya. Prestasi anak
berkebutuhan khusus di antaranya dalam bidang olahraga, seni dan kebudayaan.
Menurut dia, setiap manusia memiliki potensi, minat, dan bakat yang harus
dikembangkan dengan baik. Salah
satunya, katanya, bagaimana menumbuhkembangkan anak untuk hidup dan berkembang
dengan baik. "Apabila hak anak dapat terpenuhi maka akan membentuk anak
Indonesia yang sehat, tumbuh dan berkembang dengan baik, cerdas, ceria, dan
berakhlak mulia," katanya. Linda menjelaskan, ABK adalah anak dengan
karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya, tanpa selalu
menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik. Anak berkebutuhan
khusus, di antaranya penyandang tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,
tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan anak dengan gangguan
kesehatan. Oleh karena karakteristik dan hambatan yang dimiliki, katanya, ABK
memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan
dan potensi mereka. Ia
mencontohkan tunanetra memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan
Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
[10] Sulaiman,
In’am, Masa Depan Pesantren (Eksistensi
Pesantren di Tengah Gelombang Modernisasi). Malang : Madani (Kelompok Intrans
Publishing, 2010), 341. Lihat juga Moleong,
lexi j, Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi
revisi). Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2006), 78.Bandingkan
Ritzer, George, dan Douglas, Goodman, Teori
Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial
Postmodern.
Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008). 18.Tidak
seorangpun menginginkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi di lembaga
pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara damai dan edukatif.
Namun kenyataannya masih banyak, bahkan hampir semua sekolah/madrasah belum
dapat memberikan hak anak, bahkan melakukan kekerasan terhadap anak. merupakan
salah satu penanda tanganan dari konversi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan
dalam artikel 37 yang mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tak seorang anakpun
boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi
ataupun perlakuan yang merendahkan atau hukuman”. Meski demikian, tampaknya
undang-undang tersebut belum dipahami oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal
ini sebagaimana laporan penelitian Nur
Hidayati, dari penelitian lapangan terhadap 8 Madrasah Ibtidaiyah di propinsi
Riau ditemukan bahwa hukuman jasmani lumrah terjadi di semua madrasah yang
dituju, dengan kisaran antara 50% - 80%, anak-anak melaporkan bahwa mereka
pernah mengalami hal ini dari guru-guru mereka secara rutin.
[11]Sanksi ta‘zîr
dapat berupa: (1) hukuman mati; (2) cambuk yang tidak boleh lebih dari 10 kali;
(3) penjara; (4) pengasingan; (5) pemboikotan; (6) salib; (7) ganti rugi
(ghuramah); (8) peyitaan harta; (9) mengubah bentuk barang; (10) ancaman
yang nyata; (11) nasihat dan peringatan; (12) pencabutan sebagian hak kekayaan
(hurmân); (13) pencelaan (tawbîkh); (14) pewartaan (tasyhîr).
Bentuk sanksi ta‘zîr hanya terbatas pada bentuk-bentuk tersebut. Khalifah atau yang mewakilinya yaitu qâdhî (hakim) diberikan hak oleh syariat untuk memilih di antara bentuk-bentuk sanksi tersebut dan menentukan kadarnya; ia tidak boleh menjatuhkan sanksi di luar itu.Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan rasa prihatin masihbanyaknya kasus-kasus kekerasan di sekolah, termasuk kekerasan Mauro Billy Fiesandy (9), siswa SDN Kepatihan, Banyuwangi.Kekerasan di sekolah selama ini menduduki peringkat kedua setelah kekerasan di rumah yakni sekitar 25% dari semua kasus kekerasan yg dilaporkan ke KPAI selama tahun 2008 dan 2009."Kekerasan terhadap anak di sekolah terjadi karena beberapa sebab. Selain minimnya pengetahuan guru tentang hak-hak anak, juga karena guru kurang profesional, miskin metode kreatif sehingga selalu mengambil metode hukuman kekrasan untuk mendisiplinkan murid," kata Ketua KPAI, Hadi Supeno dalam rilis yang diterima detikcom, Senin(2/8/2010)..Padahal, kata dia, banyak metode untuk mendisiplinkan anak. Pihaknya selama ini sering menerima keluhan guru yang merasa terhambat tugasnya gara-gara UU Perlindungan Anak. Ini fenomena aneh karena menginginkan guru dikecualikan dalam UU PA. "Pendidikan tak hanya mensosialisasikan UU Sisdiknas, tetapi juga UU PerlindunganAnak, agar para guru dan birokrasi pendidikan tahu akan hak-hak anak," tambahnya.Padahal, pasal 54 UU PA menyebutkan sekolah wajib melindungi anak dari segala bentuk kekerasan yg dilakukan oleh guru, siswa, maupun penyelenggara pendidikan. Bagi yg melanggar, bisa dikenai pasal 80 UU PA dengan ancaman hukuman 3,6 tahun penjara dan atau denda uang Rp 7,2 juta untuk kekerasan ringan dan 5 tahun penjara dan atau denda 100 juta untuk kekerasan berat.Lihat UU.RI Nomor 23 Tahun 2002, ( Jakarta, , SinarGrafika : 2008) ,28
Bentuk sanksi ta‘zîr hanya terbatas pada bentuk-bentuk tersebut. Khalifah atau yang mewakilinya yaitu qâdhî (hakim) diberikan hak oleh syariat untuk memilih di antara bentuk-bentuk sanksi tersebut dan menentukan kadarnya; ia tidak boleh menjatuhkan sanksi di luar itu.Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan rasa prihatin masihbanyaknya kasus-kasus kekerasan di sekolah, termasuk kekerasan Mauro Billy Fiesandy (9), siswa SDN Kepatihan, Banyuwangi.Kekerasan di sekolah selama ini menduduki peringkat kedua setelah kekerasan di rumah yakni sekitar 25% dari semua kasus kekerasan yg dilaporkan ke KPAI selama tahun 2008 dan 2009."Kekerasan terhadap anak di sekolah terjadi karena beberapa sebab. Selain minimnya pengetahuan guru tentang hak-hak anak, juga karena guru kurang profesional, miskin metode kreatif sehingga selalu mengambil metode hukuman kekrasan untuk mendisiplinkan murid," kata Ketua KPAI, Hadi Supeno dalam rilis yang diterima detikcom, Senin(2/8/2010)..Padahal, kata dia, banyak metode untuk mendisiplinkan anak. Pihaknya selama ini sering menerima keluhan guru yang merasa terhambat tugasnya gara-gara UU Perlindungan Anak. Ini fenomena aneh karena menginginkan guru dikecualikan dalam UU PA. "Pendidikan tak hanya mensosialisasikan UU Sisdiknas, tetapi juga UU PerlindunganAnak, agar para guru dan birokrasi pendidikan tahu akan hak-hak anak," tambahnya.Padahal, pasal 54 UU PA menyebutkan sekolah wajib melindungi anak dari segala bentuk kekerasan yg dilakukan oleh guru, siswa, maupun penyelenggara pendidikan. Bagi yg melanggar, bisa dikenai pasal 80 UU PA dengan ancaman hukuman 3,6 tahun penjara dan atau denda uang Rp 7,2 juta untuk kekerasan ringan dan 5 tahun penjara dan atau denda 100 juta untuk kekerasan berat.Lihat UU.RI Nomor 23 Tahun 2002, ( Jakarta, , SinarGrafika : 2008) ,28
[12]Syahran, M. Ridwan.. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, Trull, 1999),266.
Lihat juga Timothy J. (Clinical Psychology (Seventh Edition). Dirangkum
oleh Didi Tarsidi dari Belmont,
California: Thomson Wadsworth. 2005).,79.Lihat juga Van Apeldoorn, L.J.. Pengantar Ilmu Hukum. Terjemahan Oetarid Sadino. Cet. 22. Jakarta: Pradnya Paramita,1985),119. Lihat juga Watson Robert, dan
Hendry Clay lindgren. 1974. Psychology Of The Child. New York: Jon Wiley
and Sons. Berkaitan dengan Wawan Tanggul Alam.. Etika Profesi Hukum. (Jakarta: Milenia Populer. 2004),256. Bandingkan Weithorn,
Lois A. Psychology and Child Custody Determinations: Knowledge, Roles, and
Expertise. University of Nebraska Press. 1987),118
[13]Khalid
Abdurrahman, 10
Kesalahan Orang Tua Yang TIdakDisadari1. Menyatakan
“Sayatidaksalah, orang lain yang salah” .Setiapiamengalamisuatuperistiwadanterjadisuatukekeliruan,
maka yang keliruatausalahadalah orang lain, benda lain
&situasitertentu, dandirinyaselalubenar. Yang
pantasuntukdiberiperingatansanksi, atauhukumanadalah orang lain yang .Akibatnyaketikadewasa.Sulitmengakuikesalahandirisendiri(
sulituntukintropeksidiri ) Selalumenyalahkanpihak lain atausituasitertentu.
Susah diberimasukan2. “MengajariAnakuntukMembalasKetikaanakmemukulataudipukul,sebagian
orang
tuabiasanyatidaksabarmelihatanaknyadisakitidanmemprovokasianakkitaunutukmembalasnya.Secaratidaklangsungmengajarianakbalasdendam.Akibatnyaketikadewasa.Seringmembalas,
melawanbalikataumembalikkanapa yang orang lain sampaikankepadanya. 3. TelevisisebagaiagenPendidikanAnak..Banyak orang tua yang
tidakmaupusingdantidakmau repot
untukmendidikkarakteranaksejakdinidansuk-kontrakantanggungjawabmendidikinikepadatelevisi,
pembantu di rumahatau guru di sekolah. Anakdibiarkanberjam-jam menonton TV
supaya orang tuabisamelakukanaktivitas lain. Akibatnyaketikadewasa:Banyakpolapikirsalah
yang menetapkandalampikirannya ,Kekerasan , Materialisme,
Balasdendam,Sifatkurangkreatifdanproduktif .Romantisme yang salah4. Mudahterpancingemosiketikakeinginananaktidakterpenuhi,
sianaksering kali rewelataumerengek, menangis, bergulingdsb,
dengantujuanmemancingemosi orang tua yang
padaakhirnyaortumarahataumalahmengalah.Jikaterpancing, anakakanmerasamenang,
danmerasabisamengendalikan orang tuanya. Akibatnyaketikadewasa:Mudahmanipulasi
orang lain dengan pura2 sakit, mintadikasihaniSukamenuntutkeinginannyadipenuhi
à bilatidak :malas – marah - balasdendam5. “Berbohong Kecil – TidaktepatijanjiTanpasadarkitasebagai
orang tuasetiaphariseringmembohongianakuntukmenghindarikeinginannya. Apakahkitamenjelaskannyadengankalimat yang
jujur?Ataukitalebihmemilihberbohongdenganmengalihkanperhatiansikecilketempatlain,
setelahitukitaburu-burupergi?Akibatnyaketikadewasa:Mudahjanjipada
orang lain, tetapitidakmenepati ( integritas ) Sukaberbohong6. “BanyakMengancam”“Adik,
jangannaikkeatasmeja! nantijatuhdannggakada yang
maumenolong!””Inisalah.....itutidakbenar...., nantidihukum Bu Guru
loh” “….nanti Mama/Papa marah!”Akibatnyaketikadewasa:Tidakpercayadiri
– takutsalahKurangkreatif7. Memberijulukan yang burukKebiasaanmemberikanjulukan yang
burukpadaanakbisamengakibatkan rasa rendahdiri, tidakpercayadiri/mimder,
kebencianjugaperlawanan.Akibatnyaketikadewasa:
Minder 8. Mengejek / Menggoda( yangtidakdisukaianak
) Orang tua yang biasamenggodaanaknya,
seringkalisecaratidaksadartelahmembuatanakmenjadikesal. Hal
iniakanmembangunketidaksukaananakpadakitadan yang
seringterjadianaktidakmenghargaikitalagi. Akibatnyaketikadewasa:Kuranghargai orang tua Minder 9.
MenghukumAnakSaat Kita MarahJanganpernahmemberikansanksiatauhukumanapa
pun padaanakketikaemosikitasedangmemuncak, karenaseringkali yang
keluardarimulutkita,
akancenderungmenyakitidanmenghakimidantidakmenjadikananaklebihbaik. Akibatnyaketikadewasa:Kepahitan
/ terlukaTidakmudahmengampuni orang lain
Emosional ( pemarah , mudahtersinggung ) Sulitbekerjasamadalam team10. Menekankanpadasesuat yang SalahBanyak
orang tua yang seringbicara / berkomentarketika anak2nya tidakakur,
sukabertengkar, malas, nakal, ulanganjelek,
dsb.Namunpadasaatmerekabermaindenganakur, nilaibagus, rajinbelajar,
kitaseringkalimenganggapnyatidakperlumemberikomentar.
[14]Apabila sanksi hukuman sama
sekali tidak diadakan niscaya perilaku (siswa) akan lebih
semrawut. Bisa menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa yang
melanggar masih banyak, apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet.
Jika hukuman itu diadakan menuntut konsekuensi bagi para pendidik itu sendiri.
Maksudnya, pendidik harus benar-benar bisa sebagai suri tauladan bagi anak
didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi tidak
diikuti kedisiplinan pendidik, bagaikan halilintar di waktu siang bolong,
banyak yang menyepelekan.
[15]Lihat Maidin Gultom. Perlindungan Hukum terhadap Anak
dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.(Bandung : Refika Aditama,
2008,) hlm. 4. Lihat Irma Setyowati Sumitro.
Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta : Bumi Aksara, 1990, hlm. 19. Dengan Maidin Gultom. Op.cit., hlm 55-56. Lihat B. Simanjuntak. Kriminologi. Bandung : Tarsito,
1984, hlm. 55. Lihat juga Romli
Atmasasmita. Peradilan Anak
di Indonesia. Bandung : Mandar Maju, 1997, hlm. 51.Lihat Romli Atmasasmita. Op.cit., hlm. 51.Lihat juga Maidin Gultom. Op.cit., hlm 37-38.Lihat Bismar Siregar dkk. Hukum dan Hak-Hak Anak. Jakarta : Rajawali, 1986, hlm.22.Bandingkan juga at Maidin Gultom.Op.cit.,
hlm 98-99.
[17] Lihat M. Harahap. YahyaBeberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan
dan Penyelesaian Sengketa. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 36
12Fathur Rohman, Bentuk-Bentuk Pelanggaran Santri. Pealanggaran dalam proses
pembelajaran non formal dan seringkali mendapat hukuman berkaitan dengan tugas,
(pendidikan, departemen bahasa dan departemen keamanan) tersebut, diantaranya
adalah: 1.Santri tidak menggunakan kopiah dalam shalat berjamaah.2. Santri
bermain/bercanda di masjid .3.Santri tidak shalat berjamaa’ah .4.Santri
terlambat pergi shalat berjama’ah .5.Santri tidak menggunakan Bahasa
Arab/Inggris untuk komunikasi. 6.Santri mencuri barang/uang milik teman .7.Santri
berkelahi dengan temannya 8.Santri keluar pondok tanpa izin .9.Santri membuat
gaduh ketika jam belajar . 10.Santri merokok.11.Santri memiliki kecenderungan
seksual pada sesama jenis 12.Santri berpacaran.
[19]Beberapa definisi hukuman telah
dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya:Pertama, hukuman
adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga
menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan
perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya. Lihat Amin
Danien Indrakusuma,1973:14. Kedua ,menghukum adalah memberikan atau mengadakan
nestapa/penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan kita dengan
maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasainya untuk menuju kearah
perbaikan ,Suwarno, Jakarta, 1981), 115.
[20]‘Abdurrahman
Ibn Nashir,As Sa’diy, Al Qawa’id al-Fiqhiyyah,.Sebaliknya,
bila sejumlah mafsadat berbenturan maka diutamakan yang paling ringan
mafsadatnya. Mafasid (kerusakan) :
bisa haram atau makruh. Apabila seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang
jelek, maka diambil yang paling ringan kerusakannya. Apabila salah satunya
haram dan yang lainnya makruh, maka dikerjakan yang makruh. Maka memakan
sesuatu yang masih diragukan keharamannya lebih didahulukan daripada memakan
sesuatu yang pasti haramnya. Apabila keduanya haram atau keduanya makruh, maka yang
dikerjakan adalah yang paling ringan keharamannya atau kemakruhannya. Kondisi
di atas semuanya hanya dalam kondisi darurat !!
[21]Hukuman
pukulan rotan adalah sebuah hukuman tindak pidana yang berlaku di Malaysia, Aceh dan Singapura. Undang-undang mengenai pukulan rotan.Jumlah
pukulan rotan terbanyak yang bisa dikenakan kepada seorang terdakwa menurut
undang-undang Malaysia ialah 24 kali pukulan rotan. Terdapat dua jenis rotan
yang digunakan: Rotan jenis tipis, yang digunakan untuk kasus sogok-menyogok, kesalahan korupsi, dan kriminalitas kerah
putih; Rotan jenis tebal, yang digunakan untuk tindak kejahatan serius,
umpamanya kasus perkosaan dan kejahatan seksual. Rotan jenis tipis tidak
begitu merusakkan badan, tetapi lebih menyakitkan. Pukulan rotan dengan rotan
tebal yang melebihi lima kali bisa mengakibatkan impotensi dan mati rasa dari punggung ke bawah, dimana hal tersebut sukar disembuhkan. Oleh karena sakitnya
pukulan rotan yang begitu dahsyat, undang-undang Malaysia telah memberi
pengecualian pada kategori-kategori di bawah terhindar dari hukuman tersebut: Perempuan, karena pukulan rotan bisa mengganggu kesehatan
kandungan; Lelaki berumur 50 tahun keatas; Orang yang disahkan tidak sehat oleh dokter;
dan Orang gila. Aturan
hukum pukulan rotan (Merotan).
Pada hari hukuman merotan
dilaksanakan, para terhukum yang terlibat akan memperoleh pemeriksaan kesehatan. Mereka akan berbaris dalam sebuah barisan untuk
giliran masing-masing di tempat yang mana lokasi pelaksanaan hukuman merotan
tidak bisa terlihat oleh mereka. Pejabat Penjara Negeri Johor akan menyaksikan pelaksanaan merotan, bersama-sama dengan seorang
dokter dari Rumahsakit Sultanah Aminahdan seorang pegawai penjara.
Pemeriksaan teliti lalu diambil supaya hukuman merotan tidak dijatuhkan kepada
orang yang salah. Petugas penjara akan membacakan hukuman kepada terhukum, dan
memintanya mengesahkan adakah hukuman yang terbaca itu betul atau tidak. Ia
juga akan menanyakan terhukum tersebut apakah pembelaan telah dibuat. Jika belum, hukuman merotan akan ditangguhkan sehingga
keputusan pembelaan dinyatakan. Patung terpidana yg
diikat ke rangka berbentuk "A". Dalam gambar ini, kepalanya masih
belum diletakkan dibawah kayu melintang.Terdakwa masih dalam keadaan telanjang
selepas pemeriksaan kesehatan, kecuali sehelai penutup yang diikatkan di
pinggang. Sewaktu dirotan, tangan dan punggungnya diikat kepada suatu rangka
berbentuk "A". Kepalanya diletakkan dibawah sebatang kayu melintang
supaya badannya membungkuk.Algojo yang melaksanakan hukuman merotan haruslah
kompeten dan disahkan melalui ujian/tes oleh pengadilan. .
[22] Lihat Bismar
Siregar. Op.cit., hlm.
33-34.L ihat juga M.
Harahap. YahyaBeberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan
dan Penyelesaian Sengketa. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 36
[25]Yasraf
Amir Piliang.. Dunia yang Berlari Mencari Tuhan-Tuhan Digital. (Jakarta: Grasindo, 2004)182.Bandingkan Yusti Probowati Rahayu. Dibalik Putusan Hakim.
Sidoarjo: Citra Media, 2000),311.Ditinjau
dari Perkawinan yang di lakukan oleh Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji
dan anak di bawah umur, yang telah dijatuhi putusan Sela nomor
233/Pid.B/2009?PN.UNG oleh majelis Hakim Pengadilan negeri Ungaran Jawa tengah
pada tanggal 13 oktober 2009 batal demi hukum.
karena dakwaan Jaksa tidak memenuhi syarat
yang ada pada pasal 143, ayat (2) huruf B KUHP yaitu tidak menyebutkan keadaan,
cara dan posisi terdakwa melakukan persetubuhan terhadap korban. Penolakan
Perkawinan di usia muda terhadap anak di bawah umur, harus ditolak. Penolakakan
juga datang dari berbagai aktifis dari berbagai LSM, mengatakan bahwa Dakwaan
Jaksa telah memenuhi aspek materil dan
Substansi Hukum. sehingga hal yang terjadi dalam persidangan perkawinan anak di
bawah umur yang dilakukan oleh Syekh Puji ini ada nya Hal yang tidak beres
dalam hal keputusan Hakim dan dalam pelaksanaan putusan sering ditemukan di
mana pelaku perkawinan dini itu masih bebas walaupun sudah ada keputusan
penjara.
[26]Prasetyo, Eko, Guru: Mendidik Itu Melawan, (Jogjakarta: Riset. 2005),211.
Lihat juga Dewantara, Ki Hajar, Pendidikan, Jogjakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Cetakan II. 1977. Bandingkan dengan Suparno, Paul, SJ., dkk, , Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi, (Jogjakarta: Kanisius. 2002), 129
Lihat juga Dewantara, Ki Hajar, Pendidikan, Jogjakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Cetakan II. 1977. Bandingkan dengan Suparno, Paul, SJ., dkk, , Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi, (Jogjakarta: Kanisius. 2002), 129
[27]Budiman, Leila C. Mengenal Dunia Kanak-Kanak. (Jakarta: Rajawali Press,1985),107.
Lihat juga Dagun, Save M.. Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta,1990), 79. Bandingkan dengan Dana Zohar dan Ian Marshall.. Spiritual
Intelligence (Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik
Dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan). Diterjemahkan oleh Rahmani
Astuti. Bandung: Mizan, 2001), 155 . Lihat juga Daniel Goleman. Emotional
Intelligence. New
york: Bantam,1996) 135. Bandingkan Darwan Prinst. 2003. Hukum Anak Di Indonesia. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti. Lihat juga Departemen pendidikan dan
kebudayaan. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,1996), 56 Pendidikan
yang paling berpengaruh adalah pendidikan emosi, di mana guru harus bisa
mengendalikan emosi saat berada di dalam kelas.Emosi itu sebetulnya tidak ada
yang negatif dan positif, tapi yang harus diingat bahwa emosi itu harus
dikendalikan,” katanya. Melalui pengendalian emosi itulah, katanya, akan
tercipta emosi positif, dan akan menghasilkan hati yang senang dan situasi otak
cemerlang.
[28]Kritikterhadap UU No.23 Th 2002, secaraumum,bagaimanapunbaiksuatuperaturanperundang-undangan, namunkalausubstansinyatidakdapatditerapkan,
makaundang-undangitumerupakanhuruf-hurufmati.Olehkarenaitu,
hendaknyakalaumembuatperaturanhendaknyamemperhatikan 4 (empat) halpentingyaitu:
(1) Undang-undang yang dibuatharusjauhberlakukedepan (predictability), (tidakmudahmerubahkarenaalasan-alasantertentu);
(2) Dapatdiimplementasikan (applicable); (3)
Mengandungnetralitas/keadilan (fairners); dan (4) tercermin di
dalamnyakepastianhukum (certainty).Kemudiantidakbolehbertentangandengannilai-nilai
agama danadat yang positif yang hidupdalammasyarakat.
[29]Spirit perlindungan yang termaktub dalam UU No
14/2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam Pasal 39 UU No 14/2005 tentang Guru dan
Dosen dijelaskan bahwa perlindungan yang merupakan hak guru meliputi
perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja. Merupakan kewajiban pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat,
organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan untuk memberikan perlindungan
tersebut. Perlindungan terhadap guru akan berjalan optimal
jika masing-masing pemangku pendidikan menyadari hal itu. Dijelaskan dalam
Pasal 39 UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, guru berhak mendapatkan
perlindungan hukum yang mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan,
ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari
pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak
lain. Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan
kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan
yang tidak wajar, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain
yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas dan pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan
lingkungan kerja, dan/atau risiko lain .Lihat UU No 14/2005 tentang Guru dan
Dosen Pasal 39.
[30]Erich
Fromm. Akar Kekerasan (The Anatomy Of Human Destructiveness). Diterjemahkan oleh Imam Muttaqin. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2000),62,. Bandingkan Erna karim., Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia,1999),109. Lihat juga Faturochman.. Keadilan Perspektif Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, .2002),66.
[31]Pengaturan mengenai
kekerasan dan penganiayaan terhadap anak dapat kita temui dalam pasal pidana
penganiayaan ringan yaitu Pasal 351 jo. 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 23/2002”).Berkaitan
dengan hal ini, pada 2010 pernah ada putusan Mahkamah Agung mengenai penganiayaan terhadap seorang anak yang dilakukan oleh
tetangganya yaitu putusanNo. 606 K/Pid.Sus/2009. Korban yang bernama
Winarto telah dianiaya oleh Terdakwa atas nama Trimurti Rundu Padang alias Mama
Ajeng dengan cara mencubit kedua tangan korban, dada, pipi, serta memukul
bagian belakang korban serta menendang alat kelamin korban. Penganiayaan
terjadi setelah anak Terdakwa yang bernama Erik terlibat perkelahian dengan
Winarto yang membuat anak Terdakwa itu menangis.Jaksa Penuntut Umum menuntut
Mama Ajeng dengan pidana penganiayaan Pasal 351 KUHP dan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau
penganiayaan terhadap anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 ayat (1) UU 23/2002. Dalam amar putusannya, hakim Pengadilan Negeri
memutus bersalah terdakwa dan terdakwa dikenakan pidana percobaan 1 (satu)
tahun 10 (sepuluh) bulan serta harus membayar biaya perkara Rp2 ribu. Putusan
ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.Apabila Anda
hendak memproses perkara ini secara pidana, Anda dapat melaporkan pelaku kepada
kepolisian. Namun, hemat kami, adalah lebih baik mengedepankan pendekatan
kekeluargaan sepanjang perbuatan tersebut tidak membahayakan anak Anda secara
fisik maupun psikis.
[32]Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1999),312
[33]LihatClemes
2001:47Ada beberapa pertanda yang menunjukkan
bila hukuman dan disiplin sekolah mungkin tidak sesuai untuk diterapkan,
sehingga anak sulit untuk mematuhi disiplin sekolah disebabkan oleh:1.Seorang
anak yang mempunyai citra diri yang sangat buruk dan sangat dipengaruhi oleh
kegagalannya sendiri pasti membutuhkan penghargaan.2.Seorang anak yang takut
mencoba hal-hal yang baru, takut menerima tantanngan dan sulit melakukan
kegiatan yang melelahkan mungkin akan lebih bersemangat bila diberikan
penghargaan.3.Seorang anak yang sangat manja dan takut melakukan tugasnya
sendirian perlu diberikan penghargaan jika dia ternyata mampu melaksanakan
tugasnya tanpa bantuan orang lain.4.Seorang anak yang merasa kecewa karena
selalu dibandingkan dengan saudaranya yang lebih pintar, lebih rajin, lebih
mandiri, dan lebih aktif.
[34]Sanksi
potong gundul atau disebut halq ialah
memotong rambut dengan menghilangkan rambut seluruhnya. Istilahnya plontos. Halq ini beda dengan taqshir yaitu
memotong sebagian rambut atau sekedar potong pendek. Kepala gundul memang
sebagian dari tanda-tanda golongan khawarij atau kelompok haruriyah (karena
mereka banyak domisili di daerah Harur). Golongan kategori menyimpang dari
jalan tenga (sikap tawassuth) yang menamakan (mendakwa) dirinya sebagai
kelompok Syurah (orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan
akhirat) ini salah satu tandana disebut oleh Rasulullah mayoritas gundul. .Lihat
Gatot Suparmono,
Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta
Djambatan, , 2000),213
[35]Mohammad Kemal Darmawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, Bandung,Citra Aditya Bakti, 1994),
54.Dalam
peraturan otoritarian, peraturan dibuat sangat ketat dan rinci. Orang yang
berada dalam lingkungn disiplin sekolah ini diminta mematuhi dan menaati
peraturan yang telah disusun dan berlaku di tempat itu. Apabila gagal menaati
dan mematuhi peraturan yang berlaku, akan menerima sanksi atau hukuman berat.
Sebaliknya, bila berhasil memenuhi peraturan, kurang mendapat penghargaan atau
hal itu sudah dianggap sebagai kewajiban. Jadi, tidak perlu mendapat
penghargaan lagi. Disiplin sekolah yang otoritarian selalu berarti pengendalian
tingkah laku berdasrkan dorongan, tekanan, pemaksaan dari luar diri
seseorang.Peraturan Permisif. Dalam peraturan
ini seseorang dibiarkan bertindak menurut keinginannya. Kemudian dibebaskan
untuk mengambil keputusan sendiri dan bertindak sesuai dengan keputusan yang
diambilnya itu. Seseorang yang berbuat seseuatu, dan ternyata membawa akibat
melanggar norma atau aturan yang berlaku, tidak diberi sanksi atau hukuman.
Dampak teknik permisif ini berupa kebingunan dn kebimbangan. Penyebabnya karena
tidak tahu mana yang tidak dilarang dan mena yang dilarang atau bahkan menjadi
takut, cemas, dan dapat juga menjadi agresif serta liar tanpa kendali.
[36]Muchtar, Fachuddin, Situasi Anak Yang
BerkonflikDengan Hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Semarang, Samin dan Yayasan SETARA,Yogyakarta, 2006), 134.Lihat juga Nowak, Manfred, Pengantar pada Rezim HAM Internasional, Pustaka Hak Asasi Manusia Wallenberg Institute, 2003), 119. Banyak guru yang sekarang ini khawatir
memberikan pendidikan disiplin pada murid karena akan disalahartikan sebagai
tindak kekerasan. Hukuman disiplin bagi murid yang melanggar tata tertib
dijadikan alasan bagi orangtua dan keluarga untuk membawa guru ke ranah hukum
kriminal. Malah, sebagian orangtua merasa bangga dengan tindakan mengadukan
guru memberikan hukuman pelanggaran disiplin sekolah. Sampai saat ini memang
belum ada titik temu terkait pengaduan penganiayaan terhadap murid oleh guru.
Hal ini menjadi dillema serta membuat guru khawatir dan cemas memberikan
pendidikan disiplin pada muridnya karena harus berhadapan dengan pelanggaran
hak azasi manusia.Antara-hukuman-dan-disiplin-sekolah.
[37]Tindak
Kekerasan Guru terhadap Siswa.Akhir-akhir ini
tindak kekerasan guru terhadap siswa kembali marak di media massa. Sebuah
rekaman video singkat yang berdurasi 1 menit 7 detik yang terjadi di salah satu
SMK Negeri Gorontalo merupakan salah satu contoh tindak kekerasan guru terhadap
siswa yang semestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak dapat
mengendalikan diri. Video ini direkam
oleh salah seorang siswa tanpa sepengetahuan guru yang bersangkutan.
[38]Mengapa orang barat dan jepang yang
tak memakai seragam dan berambut gondrong,tapi
bisa menguasai dunia dengan kepintarannya. Banyak orang yang
rapi,disiplin,pandai menjadi musuh masyarakat/koruptor. Itu semua hanya topeng
belaka, jangan mendidik siswa dengan topeng. Seakan-akan niat tulus itu tak
berarti apa-apa dibandingkan BP3 dan seragam sekolah. Itu sebabnya banyak siswa
nakal menjadi pembangkang,karena mereka sekolah tidak didasari niat itu
tadi.Banyak salah persepsi dari orangtua terhadap hukuman yang didapat sang
anak dari guru mereka. Lihat Gatot
Suparmono, Hukum Acara Pengadilan Anak,(
Jakarta, Djambatan, 2000),211
[39]Juvenile Deliquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik
norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda.
Ketentuan kejahatan anak atau disebut delikuensi anak diartikan sebagai bentuk
kejahatan yang dilakukan anak dalam title-titel khusus dari bagian KUHPdan atau
tata peraturan perundang-undangan. Pengadilan anak dibentuk karena dilatar
belakangi sikap keprihatinan yang melanda Negara-negara Eropa dan Amerika atas
tindakan kriminalisasi yang dilakukan anak dan pemuda yang jumlahnya dari tahun
ke tahun semakin meningkat. Namun perlakuan terhadap pelaku tindak kriminal
dewasa, sehingga diperlukan tindakan perlindungan khusus bagi pelaku kriminal
anak-anak. Pengadilan anak dimaksudkan untuk menanggulangi keadaan yang kurang
menguntungkan bagi anak-anak, dan dalam pelaksanaan proses peradilan pidana
anak tidak boleh diperlakukan sama seperti orang dewasa.
[40]KritikIon Fuller, bahwaada 8 (delapan) asas yang harusdiper-hatikandanmenjadipedomandalammembentuksistemhukum,
yaitu: a. Harusmengandung per-aturan; b. Peraturan yang
telahdiaturharusdiumumkan; c. Peraturantidakbolehada yang berlakusurut; d.
Peraturanharusdirumuskansebagaisusunankalimat yang mudahdimengerti;e. Suatususu-nan
tidakbolehmengandungperaturan yang bertentangansatusamalainnya; f.
Peraturantidakbolehmengandungnorma yang tidakdapatditerapkan; g.
Tidakbolehterlalucepatmerubahperaturan,
karenaakanberakibatsubjekhukumkehilanganorientasinya; h.
Harusadakecocokanperaturan yang diundangkandenganperaturanpelaksanaanya.
[41]Hidayati,. Memperkecil
Kekerasan Terhadap anak-anak di Madrasah Ibtidaiyah. (Jakarta:
Departemen Agama 2007). 24.LihatjugaUndang-undang
Perlindungan Anak No. 23, bab 54 secara tegas menyatakan bahwa guru dan
siapapun lainnya di sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada
anak-anak. 2007
[42]Kelemahandalamberbagaisubstansiperaturanperundang-undangan yang
normanyakurangjelassehinggasulituntukdiimplementasikan, over-lapping substansiantarasatuundang-undangdenganundang-undanganlainnya,
salingrebutankewenanganantarasatulembagadenganlembagalainnya.Padahalsemuanya
phenomena tersebuttidakselayaknya/perluterjadi, karenasesamapejabatpublikataucivil
servant tidakperlurebutankewenangan, karenatujuankeberadaancivil servant
adalahmelakukantugassebagaipelayanmasyarakat demi tercapainyatujuan yang
telahditetapkanolehnegara.
[43]Sedangkan
pada Pasal 3 disebutkan bahwa orang tua memiliki hak utama untuk menentukan
jenis pendidikan yang semestinya diberikan kepada anak-anak mereka. PBB
menindaklanjuti pasal-pasal ini melalui berbagai kegiatan untuk memelihara
perdamaian dunia. Dengan kata lain, pendidikan damai adalah upaya menyeluruh
PBB melalui proses belajar mengajar yang humanis, dan para pendidik damai yang
memfasilitasi perkembangan manusia. Mereka berjuang melawan proses dehumanisasi
yang ditimbulkan akibat kemiskinan, prasangka diskriminasi, perkosaan,
kekerasan, dan perang.
[44]Lihat
Office of the High Commisioner for Human Rights, Convention on the Eliminationof all Forms of Discrmination againts
Women, (Geneva: OHCHR, 1979),1-12. Hasil konvensi ini ditandatangani dan
diratifikasi oleh resolusi Sidang Umum PBB No. 34 /180 tertanggal 18 Desember
1979, dan diberlakukan sejak 3 September 1981. Hasil konvensi ini memuat 30
pasal yang sebagian besar berisikan perlindungan bagi hak-hak kaum perempuan..
[45]LihatDeclaration on the Elimination or All Form
of Intolerance and of Discrmination Based on Religion or Belief,
(Geneva: OHCHR)
[46] KHA pasal 2 ayat (1).
[47]UUPemerintah
RI, UU. Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, pasal 2.Lihat juga Agung Wahyono dan Sin Rahayu, Tinjauan tentang pengadilan anak di
Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika,1993),128
[48]Kekerasan
dalam pendidikan telah diharamkan dan dianggap pelanggaran HAM. Jaman dahulu
jika seorang guru memukul murid dengan tangan atau tongkat rotan dianggap hal
yang wajar dan biasa. Apalagi jika ayah atau ibu memukul anaknya. Itu dianggap
bagian dari proses pendisiplinan, bahkan ungkapan cinta kasih dan rasa sayang
kepada murid atau anak. Namun jaman sudah berubah. Penghukuman fisik apalagi
menggunakan tongkat atau alat lain tidak lagi dianggap sesuatu yang lazim,
wajar, normal apalagi baik dan benar. Penghukuman fisik (bahkan kata-kata kasar
atau menghina) bahkan oleh orangtua sendiri telah dianggap kekerasan. Apa yang
jaman dahulu dianggap sangat baik pada jaman sekarang malah dianggap tidak
baik.Orang tuadan guru harus, menerima
perubahan konsepsi dan sikap pendidikan itu dengan syukur dan sukacita.
Perubahan itu kita anggap membuat kita semakin manusiawi dan dekat dengan
status kita sebagai manusia terhormat dan mulia yang diciptakan Allah menurut
citraNya. Pada masa kini tanpa menggunakan tongkat, sapu lidi, ikat pinggang,
atau gagang kayu kita tetap bisa mengasihi anak-anak kita dan murid-murid yang
dipercayakan kepada kita. Kita bisa mendidik tanpa harus menghajar, memukul
atau melibas. Ada banyak sekali cara tanpa kekerasan untuk mendorong seorang
anak pintar, berdisiplin dan menghargai norma. Itu artinya sebagai orangtua,
guru, atasan, kakak atau abang, kita pun harus belajar banyak lagi.LihatBunadiHidayat, op.cit.,109.
[49]Langkah-langkahantisipasihukumanfisik, terhadapremaja. Hal ini bisa
dilakukan dengan beberapa cara berikut.: 1.Memberikan
teladan dalam wujud komunikasi yang jelas 2.Mengakui
setiap usaha siswa 3.Murah
senyum 4. Menggunakan energi untuk menciptakan
lebih banyak energi 5. Menjadi pendengar yang baik 6. Mengungkapkan
pikiran para siswa melalui kata-kata Anda sendiri. 7.Menyatakan
kembali situasi negatif untuk menemukan hal-hal yang positif di dalamnya.Lihat Kunarto,
Hak Asasi Manusia Dalam Penegakan Hukum,
(Jakarta, Cipta Manunggal, 1996),88
[50]Lihat
Siagian,Disiplin merupakan tindakan
manajemen 1998:305-307, mendorong para anggota organisasi memenuhi berbagai
kebutuhan yang harus dipenuhi oleh para anggota organisasi. Dengan demikian
pendisiplinan pegawai adalah suatu bentuk pelatihan yang berusaha memperbaiki
dan membentukk pengetahuan, sikap, dan perilaku karyawan sehingga para karyawan
tersebut secara sukarela berusaha bekerja secara kooperatif dengan para
karyawan yang lain serta meningkatkan prestasi kerjanya.Dalam suatu organisasi
sesederhana apapun berikutnya, terdapat dua jenis disiplin, yaitu disiplin yang
bersifat preventif maupun yang bersifat korekatif. Demikian pula bentuk
pendisiplinan pun dalam organisasi mencakup pendisiplinan prevetnif dan
pendisiplinan korektif. Pendisiplinan preventif merupakan bentuk pendisiplinan
yang bersifat tindakan yang mendorong para bawahan untuk taat pada berbagai
ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Sedangkan
pendisiplinan korektif lebih ditujukan kepada pemberian sanksi kepada bawahan
atas sejumlah pelanggaran yang telah dilakukannya.Dengan kejelasan dan
penjelasan tentang pola sikap, tindakan, dan perilaku yang diinginkan dari
setiap anggota organisasi maka diusahakan pencegahan pelanggaran, dan jangan
sampai para pegawai berperilaku negatif.
[51]Membangun
watak tergolong dalam hidden curriculum yang pencapaiannya
bergantung pada proses pendidikan ketimbang pada substansinya. Watak tidak
dapat diajarkan, melainkan diperoleh melalui pengalaman anak yang perlu
dilatih. Model pembiasaan akan menghasilkan pengalaman yang dapat membangun
watak. Karenanya, yang perlu dikontrol adalah kondisi yang memberikan
pengalaman belajar mereka.Pembangunan watak dan model lebih efektif diperoleh
melalui cara dialogis, dengan jalan mendiskusikan kasus nyata. Menurut Paulo
Freire, untuk menjadikan pendidikan itu bermakna, maka paradigma yang
digunakan harus diarahkan kepada pendidikan dialogis dan transformatif.
Pendidikan dengan nilai transformatif menghasilkan sumber daya dengan kinerja
yang mandiri, tidak perlu dikontrol, produktif, dapat mengendalikan diri (dalam
mengawali dan mengakhiri pekerjaan, dalam menciptakan dan melaksanakan
pekerjaan, dan dalam menyelesaikan pekerjaan).
[52]Badingah, S. Agresivitas
Remaja Kaitannya dengan Pola Asuh, Tingkah Laku Agresif Orang Tua dan Kegemaran
Menonoton Film Keras. (Program Studi Psikologi – Pascasarjana, UI. Depok.
1993), 157.Tujuan dari adanya sanksi disiplin ini adalah koreksi, yaitu dengan
adanya tahap peringatan yang jelas tentang apa yang diperlukan dan
akibat-akibat ketidakpatuhan. Jika digunakan sistem progresif yang demikian,
para arbiter akan mengevaluasi snaksi terhadap norma arbitrasi untuk menentukan
keadilan sistem disiplin. Sanksi-sanksi harus diberikan secara progresif.
Tindakan disiplin awal adalah tepat bagi pelanggaran dan pelanggaran yang lebih
tinggi tingkatannya akan menghasilkan pula sanksi-sanksi yang lebih tinggi
pula. Namun demikian, pendisiplinan bawahan memerlukan sikap manajemen yang
tepat. karena masalah disiplin adalah masalah kepegawaian yang saling
terkait.Manajemen perlu mengingat, bahwa mereka tidak dapat membuat seseorang
bekerja dengan efektif. Hanya pegawai/bawahan yang dapat membuat hal itu
terjadi. Para bawahan harus memahamibahwa sebagai hasil pelanggarannya, dia
telah berada pada suatu jalan menuju ke sanksi tertentu, sesuai dengan bobot
pelanggarannya. Interaksi antara pendisiplinan bawahan ini menjelaskan bahwa
disiplin bukan untuk bawahan tertentu saja, tetapi setiap bawahan dalam keadaan
yang sama, akan diperlakukank dengan cara yang sama pula.Pembinaan disiplin
pegawai sebagai bentuk pembinaan sikap terhadap bawahan adalah suatu bentuk
upaya yang sinkron dengan keinginan dari pemimpin untuk menyelesaikan masalah
secara bersama-sama dengan cara yang positif. Sering hal tersebut tidak mungkin
terjadi. Tujuan utama dak tindakan pendisiplinan adalah memastikan bahwa
perilaku bawahan telah konsistenk dengan peraturan organisasi.Faktor-faktor
yang umum mempengaruhi disiplin bawahan, meliputi dimensi individu (kemampuan,
persepsi, motif, sasaran, kebutuhan, dan nilai); suasana motivasi dan
kompensasi; dimensi kelompok (status, norma, keeratan, dan komunikasi); dan
struktur organisasi (termasuk unsur-unsur makro dalam pengendalian dan
pencemaran).
Prestasi kerja mempengaruhi sasaran-sasaran organisasi dan individu. Prestasi kerja bawahan yang produktif, memberikan sasaran dan umumnya tidak memerlukan surat peringatan atau disiplin. Dan sebaliknya, prestasi kerja bawahan yang tidak produktif berasal dari sasaran-sasaran organisasi dan individu yang tidak terpenuhi.
Prestasi kerja mempengaruhi sasaran-sasaran organisasi dan individu. Prestasi kerja bawahan yang produktif, memberikan sasaran dan umumnya tidak memerlukan surat peringatan atau disiplin. Dan sebaliknya, prestasi kerja bawahan yang tidak produktif berasal dari sasaran-sasaran organisasi dan individu yang tidak terpenuhi.
[53]TinjauandariLandasanHukumPendidikan,
Kekerasandalampendidikansangatbertentangandengan: 1. pasal 3 Undang-UndangRepublik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentangSistemPendidikanNasional,
"fungsipendidikannasionaluntukmengembangkankemampuandanmembentukwataksertaperadabanbangsa
yang bermartabatdalamrangkamencerdaskankehidupanbangsa, bertujuanuntukberkembangnyapotensipesertadidik
agar menjadimanusia yang berimandanbertakwakepadaTuhan Yang MahaEsa,
berakhlakmulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, danmenjadiwarganegara
yang demokratissertabertanggungjawab". 2. pasal 4 ayat 1 yang
menyatakanbahwapendidikandiselenggarakansecarademikratisdanberkeadilansertatidakdiskriminatifdenganmenjunjungtinggihakasasimanusia,
nilaikeagamaan, nilaikulturaldankemajemukkanbangsa (UU Sisdiknas) 3.
Tentangkekerasanfisik, padapasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 TentangPerlindunganAnakdinyatakansebagaiberikut:
(1) Setiap orang yang melakukankekejaman, kekerasanatauancamankekerasan,
ataupenganiayaanterhadapanak, dipidanadenganpidanapenjara paling lama 3 (tiga)
tahun 6(enam) bulandan/ataudenda paling banyakRp 72.000.000,00 (tujuhpuluhduajuta
rupiah).(2) Dalamhalanaksebagaimanadimaksuddalamayat (1) lukaberat,
makapelakudipidana
denganpidanapenjara paling lama 5 (lima)
tahundan/ataudenda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratusjuta rupiah). (3)
Dalamhalanaksebagaimanadimaksuddalamayat (2) mati, makapelakudipidanadenganpidanapenjara
paling lama 10 (sepuluh) tahundan/ataudenda paling banyakRp
200.000.000,00 (duaratusjuta rupiah). (4)
Pidanaditambahsepertigadariketentuansebagaimanadimaksuddalamayat (1), ayat (2),
danayat (3) apabila yang melakukanpenganiayaantersebut orang tuanya.
[54]Corporate punishment terbagi atas tiga buah tipe utama:-
Parental Corporate punishment, merupakan kekerasan dalam lingkup
keluarga- School Corporate punishment, misalnya perilaku kekerasan
dari guru terhadap murid di sekolah- Judicial Corporate punishment,
misalnya pemukulan atau pencambukan baik orang muda maupun dewasa dalam koridor
hokum. Sekretaris Jenderal Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Arist Merdeka
Sirait memyatakan kekerasan di dunia pendidikan cukup banyak terjadi. Dari 1926
kasus yang dilaporkan sepanjang 2008, 28 persennya terjadi di lingkungan
sekolah, sisanya terjadi di lingkungan keluarga, sosial, dan pekerjaan.
[55]Megawangi, Ratna. Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. (IPPK
Indonesia Heritage Foundation, 2003), 122
[56]Sudah
seharusnya guru mempunyai payung hukum yang sama. Undang-Undang Perlindungan
Guru yang kemudian melahirkan Komisi Perlindungan Guru adalah wajib untuk
segera direalisasikan. Selama ini situasi dunia pendidikan yang menyangkut
payung hukum perlindungan guru masih belum kondusif. Karena banyak guru yang
akhirnya berurusan dengan penegak hukum karena ketidaktahuan mereka. ”Mereka
banyak yang belum terlindungi oleh hukum dan kadang karena kepolosan atau
minimnya pengetahuan, justru menghadapkan mereka pada hukum itu sendiri,” Ahmad Zaenal . Banyak guru yang terseret ke
meja hijau, karena kasus-kasus yang terjadi di sekolah padahal boleh jadi
perbuatan guru adalah murni untuk memberikan penyadaran dan efek jera kepada siswa.
Ada beberepa alasan mengapa guru harus segera mempunyai Undang-Undang
Perlindungan Guru dan kemudian melahirkan Komnas Perlindungan Guru: 1. Untuk
memberikan payung hukum kepada Guru 2. Untuk memberikanadvokasi kepada guru,
yang notabene tidak mengetahui permasalahan hukum.3. Memberikan kenyamanan
dalam melaksanakan tugasnya.4. Menjadi penyeimbang terhadap UU perlindungan
anak dan Komnas perlindungan anak, dan yang tidak kalah penting adalah5.
Memberikan perlindungan dan dukungan terhadap guru.
[57]Daniel
Goleman, Emotional Intelligence, (New
York Bantam, 1995), 97. lihat juga Jeanne. Seagai, “Raising Your Emotional
Intelligence”. Lihat Ary Nilandari (terj.), Melejitkan Kepekaan Emosional,
(Bandung: Kaifa, 1997), 138
[59]Kebalikan
dari hukuman fisik adalah rasa empati mewujudkan perasaan maupun pemahaman pemikiran seseorang
dengan cara menempatkan diri atau ikut merasakan perasaan orang lain tanpa
merasakan yang sebenarnya. Seorang yang berempati cenderung merasakan
sesuatu yang dilakukan orang lain andai ia berada dalam situasi yang
dialami oleh orang lain tersebut. Melalui empati, orang menggunakan perasaannya
secara efektif di dalam situasi orang lain, didorong oleh emosinya seolah-olah
ia ikut ambil bagian dalam gerakan-gerakan yang dilakukan orang lain secarafisik,
emosional, dan mental yang sama dengan yang dikerahkan dalam kesadaran aktif.
[60]Shaw dan
McKay, DelikuensiDi Daerah Pemukiman
Golongan Masyarakat Kelas Bawah,Penelitian
,1969. Selama tiga puluh tahun di Chicago berkenaan dengan yang menyimpulkan
bahwa di daerah pemukiman golongan masyarakat kelas bawah, dimana kemapanan dan
keseragaman nilai sosial masyarakat stabil, delikuensi cenderung dinilai
sebagai alternatif yang disetujui oleh para pelakunya sebagai alternatif
perilaku walaupun merupakan pelanggaran hukum.Dan pada kenyataannya rata-rata
anggota geng motor yang dianggap meresahkan ini adalah orang-orang yang tidak
cukup memiliki kemapanan sosial, baik dalam ekonomi, intelektual, maupun strata
sosial lainnya. Aksi geng motor saat ini tidak lebih dari sikap kegamangan,
frustasi atau keputusasaan atas kondisi sosial yang mereka hadapi Agustin
Satyawati, 2007.Alternatif SolusiMenurut Hirchi dalam
Junger, 1990, ada motto yang berkembang di kalangan anak delikuen yaitu bahwa,
“Kami akan melakukannya jika kami bisa melakukannya”, sehingga dalam keadaan
demikian, Cohen dan Felson dalam Junger, 1990 mengemukakan dalam opportunity
theory bahwa, “Jika anda memberikan kesempatan kepada remaja untuk melakukan
pelanggaran sebagian besar dari mereka pasti akan melakukannya”. Remaja memang
belum mempunyai identifikasi diri yang kuat dengan masyarakatnya dan hanya
memiliki sedikit rasa tanggung jawab.Maka disini perlu satu proses pendampingan
atau keterikatan attachment remaja
oleh seseorang yang sangat berarti baginya seperti orang tua, teman, keluarga
ataupun guru. Keterikatan emosional ini meliputi tiga sub konsep, yaitu : kasih
sayang antara remaja dengan orang-orang yang memiliki ikatan emosional
dengannya, komunikasi diantara mereka dan pengawasan. Sehingga Rutter dan Giller
dalam Junger, 1990 melihat ketiga konsep tersebut sebagai faktor-faktor yang
penting peranannya dalam melindungi remaja mengekspresikan perilaku
delikuennya.Konsep pedampingan ini tentunya perlu disosialisasikan dan
diimplementasikan secara intensif oleh pemerintah dan dibantu oleh lembaga
swadaya masyarakat (LSM) atau pun organisasi-organisasi sosial lainnya dalam
rangka tindakan preventif ataupun pengentasan delikuensi yang diarahkan kepada
masyarakat strata bawah dan secara khusus kepada anggota keluarga geng motor
sebagai ikatan sosial terdekatnya.
[61]
Delinkuensi dan Strata Sosial. Dalam konteks
delinkuensi, Cohen 1955memaparkan hasil penelitiannya yang memperlihatkan
anak-anak kelas pekerja yang mengalami anomi di sekolah yang mayoritas dari
berisi siswa dari strata kelas menengah, sehingga mereka membentuk sub-budaya
yang anti nilai-nilai menengah yang berisikan norma-norma yang negatif dalam
pandangan masyarakat.Remaja dari kelas bawah tersebut cenderung tidak memiliki
materi dan keuntungan simbolis sehingga selama mereka berlomba dengan remaja
kelas menengah mereka banyak mengalami kekecewaan dan kemudian membentuk
‘geng’.Lihat Lawang, M.Z. Robert. Pengantar
Keadilan Dunia. (Jakarta: Depdikbud RI Universitas Terbuka, 1980),98
No comments:
Post a Comment