PENELITIAN HUKUM DOKTRINAL
Dalam Copian
M.Rakib LPMP Riau Indonesia.2014
Soetandyo Wignjosoebroto, “Konsep
Hukum, Tipe Kajian, dan Metode
Penelitiannya”Dalam
Valerine J.L. Kierkhoof, Materi Bahan Bacaan MPH PPS Magister Ilmu Hukum dan
Magister Keno-tariatan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2001
Menemukan Asas dan Doktrin Hukum
Penelitian hukum ini merupakan suatu
penelitian hukum yang dikerjakan de-
ngan tujuan menemukan asas atau dok
-trin hukum positif yang berlaku.
Pene
-litian tipe ini lazim disebut
”studi dog
-matik” atau yang dikenal dengan
doctrinal research.
Mengingat
konsep ilmu hukum yang dapat dipersepsikan sebagai kaidah yang berasal dari
konsep norma dan asas, maka penelitian hukum doktrinal lebih tepat untuk
dikembangkan dikalangan praktisi dan akademisi hukum. Hal ini mengingat
banyaknya peraturan perundang-undangan, baik dalam garis vertikal maupun horizontal yang tidak sinkron dan
harmonis antara satu dengan lainnya. Di samping itu, mengingat penelitian
doktrinal inilah yang dapat dikatakan spesifik dan hanya dikenal dalam bidang ilmu
hukum. Karena bicara penelitian hukum tentang penarikan asas, sistematika dan
taraf sinkronisasi undang-undang, maka secara tidak langsung juga akan bicara
dalam pengertian ilmu hukum umum dan khusus, baik yang bersifat idiil maupun
riil.(Taufik H. Simatupang Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Kementerian Hukum dan HAM RIJl. Raya Gandul –Cinere Jakarta Selatan th_tupang@yahoo.co.id)
Penelitian Hukum Nondoktrinal menempatkan
hasil amatan atas realitas sosial untuk ditempatkan sebagai proposisi umum.
Validitas hukum tidak ditentukan oleh norma abstrak yang lahir dari kontruksi
pemikiran manusia, melainkan dari kenyataan-kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk memahami hukum dan
permasalahannya, berbagai konsep, doktrin dan metode ilmu-ilmu selain ilmu
hukum yang bersinggungan dengan masyarakat menjadi sahabat dalam studi hukum.
Selain menggunakan cara deduktif, penelitian nondoktrinal lebih banyak
menggunakan cara indkutif untuk menampilkan kenyataan.
Dalam
praktik penelitian hukum, kadang kedua pendekatan tersebut digunakan secara
bersamaan dan saling mendukung, sehingga menghasilkan beragam variasi metode
dalam studi hukum. Meskipun demikian, kebanyakan pengajar metode penelitian
hukum di perguruan tinggi masih bersikukuh membedakan penelitian hukum menjadi
dua kutub yang bertolak belakang. Bila suatu penelitian menggunakan metode
doktrinal, maka ia tidak mungkin nondoktrinal, demikian pula sebaliknya. Dalam
ketegangan itu, metode penelitian sosiolegal muncul sebagai varian metode
penelitian hukum yang menjembatani kecenderungan dikotomis tersebut. Metode
penelitian sosiolegal melakukan sekaligus pendekatan normatif (karakter utama
penelitian doktrinal) dengan pendekatan empiris (karakter utama penelitian
nondoktrinal) dalam suatu studi hukum dengan karakter metodologisnya
tersendiri.
Sosiolegal, Sosiologi Hukum, dan
Sociological Jurisprudence
Seringkali sosiolegal disamakan dengan sosiologi
hukum dan sociological jurisprudence. Sosiolegal berbeda dengan
sosiologi hukum yang berasal dari sosiologi dan bertujuan untuk menempatkan
hukum dalam kerangka struktur sosial yang luas. Beberapa konsep yang diteliti
di dalam sosiologi hukum adalah pengendalian sosial, sosialisasi hukum,
stratifikasi hukum, perubahan hukum dan perubahan sosial yang dilakukan dengan
metode penelitian sosial kuantitatif.
Sosiolegal juga berbeda dengan sociological
jurisprudence. Sociological jurisprudence merupakan paham dalam
teori hukum yang dikembangkan oleh Rescoe Pound di Amerika yang menekankan
pentingnya peranan hukum melalui putusan pengadilan dalam menyelesaikan perkara
dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan sosial. Dengan begitu, keputusan hakim
diharapkan bisa memberikan keadilan sekaligus sebagai sarana untuk merekayasa
masyarakat (law as a tools of social engineering).
Sedangkan sosiolegal tidak terbatas pada studi
tentang putusan hakim, melainkan hukum yang lebih luas. Meskipun terdapat
perbedaan antara sosiolegal, sosiologi hukum dan sociological
jurisprudence, diantara ketiganya terdapat benang merah sebagai studi
alternatif dari studi hukum normatif atau doktrinal yang menghendaki studi
hukum hanya merupakan studi terhadap norma-norma hukum tertulis.
Karakter Metodologis Penelitian
Sosiolegal
Di dalam buku ini, Sulistyowati Irianto
menyebutkan metode penelitian sosiolegal dapat diidentifikasi melalui dua hal
(hal 177). Pertama, studi sosiolegal melakukan studi tekstual terhadap
peraturan perundang-undangan dan kebijakan secara kritis untuk menjelaskan
problematika filosofis, sosiologis dan yuridis dari hukum tertulis. Dengan
demikian diketahui apa makna dan bagaimana implikasinya terhadap subjek hukum.
Kedua, studi sosiolegal menggunakan berbagai metode “baru” hasil perkawinan
antara metode penelitian hukum dengan ilmu sosial, seperti penelitian
kualitatif sosiolegal dan etnografi sosiolegal. Metode yang dikembangkan secara
interdisipliner tersebut dapat menjelaskan fenomena hukum yang sangat luas
seperti relasi kekuasaan dalam konteks sosial, budaya dan ekonomi di mana hukum
berada.
Melalui dua metode tersebut, studi sosiolegal
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan normatif kritikal dan empirisme
kualitatif di dalam satu penelitian. Dengan demikian penelitian hukum tidak
terkungkung menjadi penelitian dogmatis sekaligus juga tidak liar menjadi
penelitian non-hukum. Penggunaan sekaligus dua pendekatan tersebut ditujukan
untuk menjawab persoalan-persoalan hukum supaya hukum benar-benar hadir untuk
mendatangkan keadilan bagi semua kalangan, terutama bagi kalangan marjinal yang
realitasnya sering diabaikan dalam studi hukum normatif.
Praktik Penelitian Sosiolegal
Apakah mudah menggabungkan metode normatif
kritikal dengan empirisme kualitatif di dalam satu penelitian hukum? Bagaimana
hal itu dilakukan, bagaimana hasilnya dan apa saja kendala yang mungkin
dihadapi dalam melakukannya? Buku ini, pada bagian ketiga menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan memaparkan beberapa studi yang
menggunakan pendekatan sosiolegal pada beberapa tema tertentu. Contoh-contoh
penelitian yang ditampilkan dalam buku ini merupakan contoh-contoh yang unik
bila dibandingkan dengan penelitian hukum kebanyakan di Indonesia yang lebih
banyak terfokus pada institusi dan instrumen hukum.
Tulisan Sulistyowati Irianto dan Lim Sing Meij
dengan judul Praktik Penegakan Hukum: Arena Penelitian Sosiolegal yang Kaya
menunjukkan bahwa penelitian sosiolegal memiliki lapangan kajian yang sangat
luas. Pada tulisan ini dipaparkan sekilas beberapa contoh penelitian sosiolegal
misalkan yang dilakukan oleh John Flood yang meneliti interaksi antara asisten
pengacara dengan advokat di Inggris (hal 196). Melalui pendekatan etnografi
hukum Flood mengkaji saling ketergantungan antara asisten pengacara dengan
pengacara yang memiliki latarbelakang, kelas, dan tingkat pendidikan berbeda.
Flood mengeksplorasi interaksi antara asisten pengacara dengan advokat sehingga
bisa memberikan makna baru tentang hubungan mereka diantara beragam kepentingan
antara para pengacara, jaksa, hakim dan klien serta terhadap sistem hukum
secara luas.
Penelitian etnografi ini tidaklah mudah sebab
peneliti harus benar-benar masuk untuk melakukan pengamatan atas interaksi yang
sebenarnya sedang berlangsung. Studi etnografi dilakukan untuk mengetahui
interpretasi subjek penelitian atas suatu realitas, bukan untuk menunjukkan
hubungan sebab-akibat. Temuan-temuan dalam penelitian etnografi tidak dapat
digeneralisir sebab ia bersifat ad hoc, personal dan kontekstual, namun dapat
mengeksplorasi pemahaman dan pemaknaan hukum dari subjek hukum secara lebih
mendalam. Pada bagian ini juga diceritakan penelitian tentang kinerja Ombudsman
di Swedia yang dilakukan oleh Reza Bakakar yang memfokuskan kajiannya pada
kemampuan lembaga Ombudsman dalam melakukan perlawanan diskriminasi
etnis di bidang ketenagakerjaan.
Satu tulisan berbahasa Inggris di dalam buku ini
ditulis oleh Franz dan Keebet von Benda Beckmann yang menganalisis interaksi
antara hukum adat, hukum islam dan hukum negara pada etnis Minangkabau di
Sumatera Barat. Studi ini memberi contoh tentang bagaimana studi pluralisme
hukum dari relasi antara adat, hukum islam dan hukum negara berinteraksi dalam
satu wilayah sosial dapat melahirkan hukum hibrida yang baru. Studi ini dibawa
pada konteks masyarakat nagari di Sumatera Barat dalam mereorganisasi
pemerintahan, kontrol terhadap sumberdaya nagari, harta milik dan warisan.
Sulistyowati Irianto dan Lim Sing Meij kembali
tampil dalam mengeksplanasi pentingnya studi hukum feminis melalui tulisan
berjudul: Penelitian Hukum Feminis, Suatu Tinjauan Sosiolegal. Didahului dengan
menjelaskan posisi studi hukum feminis di dalam ilmu-ilmu sosial, humaniora dan
hukum lalu memaparkan bagaimana studi sosiolegal berperspektif feminisme
dilakukan. Studi seperti ini diperlukan untuk mengangkat realitas kehidupan
perempuan yang sering diabaikan di dalam studi hukum atus umum (hal xviii).
Tulisan berikutnya datang dari psikolog klinis
(Kristi Poerwandari) yang banyak melakukan pendampingan dan pemeriksaan
psikologis terkait kekerasan berbasis gender. Diceritakan pengalaman
mendampingi dua pembantu rumah tangga yang melarikan diri dari rumah majikan
karena menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual. Psikologi klinis
membantu menemukan kebenaran intersubjektif yang kontekstual yang acapkali
tidak mampu dipenuhi dengan paradigma positivis yang menghendaki bukti-bukti
yang langsung dapat ditangkap oleh panca indera. Upaya menemukan kebenaran yang
dilakukan oleh psikolog klinis jauh berbeda dengan pembuatan berita acara
pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi dalam mengungkap satu perkara pidana.
Kristi menyimpulkan bahwa pengembangan ilmu hukum sangat memerlukan bantuan
dari disiplin ilmu lain seperti psikologi untuk memungkinkan dihasilkannya
paradigma baru yang lebih memadai dan memenuhi kebutuhan. Paradigma positivisme
hukum dipandang tidak memenuhi kebutuhan mengupayakan keadilan dan dianggap
kadaluarsa harus diganti dengan paradigma yang berbeda, seperti paradigma
‘post-positivis’.
Bagian terakhir dari buku ini diisi dengan
tulisan Sulistyowati Irianto tentang praktik penelitian hukum dengan
menggunakan perspektif sosiolegal. Tulisan ini hadir untuk membantu mahasiswa
atau peneliti hukum yang berminat melakukan studi dengan perspekti sosiolegal
dan menghindari kendala yang seringkali muncul dalam melakukan penelitian
hukum. Semacam panduan singkat, tulisan ini memaparkan bagaimana merancang
suatu penelitian, merumuskan argumentasi penelitian (teoritikal dan praktikal),
merumuskan masalah penelitian dan pertanyaan penelitian, metode penelitian
dengan melakukan studi dokumen, studi lapangan, dan analisis data. Metode
penelitian yang dirumuskan secara jelas dan rinci akan menjadi pedoman yang memudahkan
jalannya prose penelitian. Mengakhiri tulisan ini Guru Besar Antropologi Hukum
dari Universitas Indonesia ini menyebutkan: ‘Penelitian yang baik akan
melahirkan pembelajaran teoritikal dan metodologi yang berharga. Disitulah
letak sumbangsih kita bagi ilmu pengetahuan.’
Buku ini mempertegas bahwa studi hukum tidak
harus selalu studi normatif terhadap institusi dan instrumen hukum, tetapi
memiliki arena yang sangat luas. Namun untuk mencapai keluasan cakupan
penelitian hukum agar sampai pada dimensi kultur dan interaksi manusia terhadap
hukum diperlukan modal dasar tentang ilmu-ilmu kemasyarakat yang acapkali tidak
didapat di perguruan tinggi hukum. Diperlukan upaya diversifikasi ilmu agar
penelitian hukum mencapai kebenaran terdalam dari permasalahan sosial yang
diteliti. Untuk itu, di perguruan tinggi hukum juga perlu diajarkan matakuliah
tentang ilmu-ilmu sosial agar memudahkan mahasiswa melakukan penelitian
sosiolegal. Ada lima disiplin ilmu yang sering dimasukan sebagai sosiolegal
diantaranya sosiologi hukum, antropologi hukum, sejarah hukum, politik hukum
dan psikologi hukum (Simarmata, 2006). Pelajaran tentang hukum adat juga
termasuk dalam rumpun sosiolegal. Selama ini, posisi matakuliah sosiolegal
terjepit keberadaannya dalam kurikulum perguruan tinggi hukum karena
dihilangkan atau dijadikan sebagai matakuliah pilihan.
Minimnya matakuliah yang menyajikan relasi antara
hukum dan masyarakat atau sosiolegal serta matakuliah yang mengajarkan berbagai
aliran dalam kajian hukum menjadi kendala tersendiri dalam melakukan studi
dengan menggunakan metode penelitian berperspektif sosiolegal. Oleh karena itu,
pengembangan penelitian sosiolegal idealnya seiring dengan perubahan kurikulum
perguruan tinggi hukum yang menguatkan keberadaan matakuliah hukum dan masyarakat
(sosiolegal). Sehingga pendidikan tinggi hukum tidak hanya berorientasi
memberikan pemahaman normatif kepada mahasiswa, melainkan menyiapkan lulusan
yang peka terhadap masalah manusia dan kemanusiaan (Rahardjo, 2009: 66)
Buku ini selain secara eksplisit mempromosikan
penggunaan metode sosiolegal dalam penelitian hukum di Indonesia, juga secara
implisit menekankan perlunya pengembangan pengajaran matakuliah sosiolegal
dalam pendidikan tinggi hukum di Indonesia untuk menopang berkembangnya studi sosiolegal.
Buku yang mengantarkan untuk berkenalan dengan metode penelitian sosiolegal.
(*)
Referensi:
Reza Banakar and Max Travers. 2005. Theory and
Method in Socio-Legal Research, Onati: Hart Publishing Oxford and Portland
Oregon.
Rikardo Simarmata, Socio-Legal Studies dan
Gerakan Pembaharuan Hukum. Digest Law, Society & Development,
Volume I Desember 2006-Maret 2007.
Satjipto Rahardjo. 2009. Pendidikan Hukum Sebagai
Pendidikan Manusia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Soetandyo Wignjosoebroto. 2002. Hukum: Paradigma,
Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Perkumpulan HuMa dan ELSAM.
Sunaryati Hartono. 1984. Penelitian Hukum di
Indonesia pada Akhir Abad Ke-20. Bandung: Penerbit Alumni.
PALING MENYAYAT HATI
Vemale.com - Sebuah kasus yang mengenaskan
terjadi pada balita perempuan di sebuah tempat penitipan anak. Lydia Bishop yang masih berusia 3 tahun, meninggal karena
lehernya terjerat sebuah tali di dekat area bermain.
Sepertinya ia hendak bermain perosotan dan
menemukan tali di situ. Dan entah bagaimana, ia bisa terjerat tali itu dan
meninggal di tempat. Hanya 20 menit saja ia ditinggalkan bermain sendirian di
taman bermain dan nyawanya melayang.
Pekerja di York College
Nursery, Sophee Redhead, menyangkal bahwa hal ini disebabkan oleh kelalaiannya
menjaga anak-anak. Pihak York College sendiri juga menolak bahwa kesehatan dan keselamatan di sana tidak terjamin.
Sepertinya ia hendak bermain perosotan dan menemukan tali di situ. Dan entah bagaimana, ia bisa terjerat tali itu dan meninggal di tempat. Hanya 20 menit saja ia ditinggalkan bermain sendirian di taman bermain dan nyawanya melayang.
(c) dailymail.co.uk
(c) dailymail.co.uk
Hal seperti ini memang masuk dalam jenis
kecelakaan. Namun juga menjadi catatan bahwa anak saat bermain memang perlu
pengawasan dari orang dewasa. Apalagi yang usianya belum 10 tahun, biasanya
memang sering sekali mengalami jatuh, terluka dan sebagainya.
Well, semoga kisah ini tak terulang kembali dan
menjadi alert bagi kita semua untuk menjaga anak-anak dan adik-adik kita yang
masih kecil saat sedang bermain. terutama yang sedang dalam masa pertumbuhan.
(RENUNGAN) AYAH KEMBALIKAN TANGAN DITA
Sepasang suami isteri – seperti pasangan
lain di kota-kota besar selalu meninggalkan anak-anak dan diasuh pembantu rumah
sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini,
adalah perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan
kerap kali dibiarkan saja oleh pembantunya karena sibuk bekerja di dapur.
Bermainlah dia bersama ayunan di atas buaian yang dibeli Ayahnya, atau memetik
bunga di halaman rumahnya.
Suatu hari dia melihat
sebatang paku berkarat. Si Anak pun mencoret lantai tempat mobil Ayahnya diparkirkan, namun karena lantainya
terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Lalu dicobanya lagi pada
mobil baru Ayahnya. Ya.. mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas.
Apalagi anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.
Kebetulan hari itu Ayah dan Ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin
menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia
beralih ke sebelah kiri mobil. DIbuatnya gambar
Ibu dan Ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya
mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu
rumah.
Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri tersebut melihat mobil
yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si Bapak yang belum lagi masuk ke rumah
ini pun terus menjerit, "Kerjaan
siapa ini !!!"...
Pembantu rumah yang tersentak mendengar jeritan itu pun segera berlari
keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan, lebih-lebih
melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya,
dia terus mengatakan "Saya tidak
tahu, Tuan". "Kamu di rumah
sepanjang hari, apa saja yang kau lakukan?" hardik si isteri lagi.
Si Anak yang mendengar suara Ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari
kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata "Dita
yang membuat gambar itu Ayahhh.. cantik.. kan...!",
katanya sambil memeluk Ayahnya sambil bermanja seperti biasa.
Si Ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari
pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan
sang Anak. Si Anak yang tak mengerti apa apa menangis kesakitan, pedih
sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si Ayah memukul pula belakang
tangan anaknya.
Sedangkan si Ibu hanya berdiam diri, seolah merestui dan merasa puas dengan
hukuman yang dikenakan pada sang Anak. Pembantu rumah terbengong, tidak tahu
harus berbuat apa. Si Ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian
ganti tangan kiri anaknya.
Setelah puas memukul, si Ayah masuk ke rumah diikuti si Ibu, pembantu rumah
tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.
Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si Anak kecil
luka-luka dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil
menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak
kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanya itu terkena air.
Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si Ayah sengaja membiarkan
anak itu tidur bersama pembantu rumah.
Keesokkan harinya, kedua belah tangan si Anak bengkak. Pembantu rumah
mengadu ke majikannya. "Oleskan obat
saja!", jawab Bapak.
Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan
waktu di kamar pembantu. Si Ayah konon bermaksud ingin memberi pelajaran pada
anaknya. Tiga hari berlalu, si Ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si
Ibu pun demikian, meski setiap hari dia bertanya kepada pembantu rumah. "Dita demam, Bu...", jawab
pembantunya ringkas. "Kasih panadol
saja," balas si Ibu. Sebelum si Ibu
masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita
dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya.
Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan
Dita sangat panas. "Yah, sore nanti
kita bawa ke klinik," kata majikannya
itu.
Sampai saatnya si Anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter merujuk
agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius.
Setelah beberapa hari dirawat inap dokter memanggil Bapak dan Ibu anak itu. "Tidak ada pilihan lagi..."
kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena
sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut… "Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawa anak Bapak dan Ibu,
maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah" kata dokter
itu. Bagaikan terkena halilintar si Bapak dan Ibu mendengar kata-kata itu.
Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yang dapat diucapkan lagi.
Si Ibu meraung merangkul si Anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata
isterinya, si Ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan
pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis,
si Anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut
kasa putih. Ditatapnya muka Ayah dan Ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah.
Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan
sakit, si Anak bersuara dalam linangan air mata.
"Ayah.. Ibu.. Dita tidak akan melakukannya lagi… Dita tak mau Ayah
pukul lagi. Dita janji tidak nakal lagi.. Dita sayang Ayah.. Dita sayang
Ibu...", katanya
berulang kali membuatkan si Ibu gagal menahan rasa sedihnya. "Dita
juga sayang Mbok Narti..." katanya memandang wajah pembantu rumah,
sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.
"Ayaaah.. kembalikan tangan Dita..!! Untuk apa diambil.. Dita janji
tidak akan mengulanginya lagi..!! Bagaimana Dita mau makan nanti?… Bagaimana
Dita mau bermain nanti?… Dita janji tidak akan coret-coret mobil lagi, Dita
janji...!!!"
katanya berulang-ulang.
Hancur hati si Ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat
hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah
jadi bubur.
Pada akhirnya si Anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan
ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah
minta maaf.
Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran
batin, sampai suatu saat sang Ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat
diiringi tangis penyesalannya yang tak bertepi...
Namun, si Anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tersebut tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan Ayahnya..
Semoga bermanfaat dan dapat diambil Hikmahnya …
No comments:
Post a Comment