ANTI KEKERASAN ISLAM LEMAH LEMBUT
m.rakib lpmp riau indonesia
Islam itu, sangat lembut
Harus baik, apapun yang disebut
Bicara kasar, jangan diturut
Sekalipun dicontohkan oleh yang berjanggut
Tuduhan buat bid'ah, tak lakun lagi
Dicari kata, lebih pedas lagi
Sesama muslim, bersakit hati
Mulai hari ini, segeralah berhenti.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ
لِلْمُؤْمِنِينَ
“Berendahhatilah
kamu terhadap orang-orang yang beriman. ” (QS. Al Hijr: 88)
Syaikh Muhammad Al Amin Asy
Syinqithi mengatakan, “’Berendah dirilah‘ yang dimaksud dalam ayat ini
hanya untuk mengungkapkan agar seseorang berlaku lemah lembut dan tawadhu’
(rendah diri).”[1] Jadi sebenarnya ayat ini berlaku umum untuk
setiap perkataan dan perbuatan, yaitu kita diperintahkan untuk berlaku lemah
lembut. Ayat ini sama maknanya dengan firman Allah Ta’ala,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ
الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ
حَوْلِكَ
“ Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
(QS. Ali Imron: 159). Yang dimaksud dengan bersikap keras di sini adalah
bertutur kata kasar.[2] Dengan sikap seperti ini malah membuat orang
lain lari dari kita.
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
“Berlaku lemah lembut inilah akhlaq Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang di mana beliau diutus dengan membawa akhlaq yang mulia ini.”[3]
Keutamaan Bertutur Kata yang Baik
Pertama: Sebab Mendapatkan Ampunan
dan Sebab Masuk Surga
Dari Abu Syuraih, ia berkata pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ،
دُلَّنِي عَلَى عَمِلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ
“Wahai Rasulullah, tunjukkanlah
padaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.” Beliau
bersabda,
إِنَّ مِنْ مُوجِبَاتِ
الْمَغْفِرَةِ بَذْلُ السَّلامِ، وَحُسْنُ الْكَلامِ
“Di antara sebab mendapatkan
ampunan Allah adalah menyebarkan salam dan bertutur kata yang baik.”[4]
Kedua: Mendapatkan Kamar yang
Istimewa di Surga Kelak
Dari ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Di surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya
dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar.” Kemudian
seorang Arab Badui bertanya, “Kamar-kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa,
wahai Rasulullah?” Beliau pun bersabda,
لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ
وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ
وَالنَّاسُ نِيَامٌ
“Kamar tersebut diperuntukkan
untuk siapa saja yang tutur katanya baik, gemar memberikan makan (pada orang
yang butuh), rajin berpuasa dan rajin shalat malam karena Allah ketika manusia
sedang terlelap tidur.”[5]
Ketiga: Bisa menggantikan Sedekah
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ
صَدَقَةٌ
“Tutur kata yang baik adalah
sedekah.”[6]
Dari ‘Adi bin Hatim, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ
بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Selamatkanlah diri kalian dari
siksa neraka, walaupun dengan separuh kurma. Jika kalian tidak mendapatkannya,
maka cukup dengan bertutur kata yang baik.”[7]
Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjadikan tutur kata yang baik sebagai pengganti dari
sedekah bagi yang tidak mampu untuk bersedekah.”[8]
Ibnu Baththol mengatakan, “Tutur
kata yang baik adalah sesuatu yang dianjurkan dan termasuk amalan kebaikan yang
utama. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits ini)
menjadikannya sebagaimana sedekah dengan harta. Antara tutur kata yang baik dan
sedekah dengan harta memiliki keserupaan. Sedekah dengan harta dapat
menyenangkan orang yang diberi sedekah. Sedangkan tutur kata yang baik juga
akan menyenangkan mukmin lainnya dan menyenangkan hatinya. Dari sisi ini,
keduanya memiliki kesamaan (yaitu sama-sama menyenangkan orang lain).”[9]
Keempat: Menyelematkan Seseorang
dari Siksa Neraka
Dalilnya adalah hadits Adi bin Hatim
di atas. Ibnu Baththol mengatakan, “Jika tutur kata yang baik dapat
menyelamatkan dari siksa neraka, berarti sebaliknya, tutur kata yang kotor
(jelek) dapat diancam dengan siksa neraka.”[10]
Kelima: Dapat Menghilangkan
Permusuhan
Ibnu Baththol mengatakan,
“Ketahuilah bahwa tutur kata yang baik dapat menghilangkan permusuhan dan
dendam kesumat. Lihatlah firman Allah Ta’ala,
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ
حَمِيمٌ
“Tolaklah (kejelekan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS.
Fushilat: 34-35). Menolak kejelekan di sini bisa dengan perkataan dan tingkah
laku yang baik.”[11]
Sahabat yg mulia, Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu
‘anhuma- mengatakan, “Allah memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar
ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat
jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan
semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan
musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena
tingkah laku baik semacam ini.”
Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan, “Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki
kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu
yang berat bagi setiap jiwa.”[12]
Berlaku Lemah Lembut Bukan Berarti
Menjilat
Perlu dibedakan antara berlaku lemah
lembut dengan tujuan membuat orang tertarik dan berlaku lembah lembut dengan
maksud menjilat. Yang pertama ini dikenal dengan mudaroh yaitu berlaku
lemah lembut agar membuat orang lain tertarik dan tidak menjauh dari kita. Yang
kedua dikenal dengan mudahanah yaitu berlaku lemah lembut dalam rangka
menjilat dengan mengorbankan agama. Sikap yang kedua ini adalah sikap tercela
sebagaimana yang Allah firmankan,
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ
فَيُدْهِنُونَ
“Maka mereka
menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula
kepadamu).” (QS. Al Qalam: 9)
Ibnu Jarir Ath Thobari menafsirkan
ayat di atas, “Wahai Muhammad, orang-orang musyrik tersebut ingin kalian
berlaku lembut pada mereka (dengan mengorbankan agama kalian) dengan memenuhi
seruan untuk beribadah kepada sesembahan mereka. Jika kalian demikian, maka
mereka akan berlaku lembut pada kalian dalam ibadah yang kalian lakukan pada
sesembahan kalian.”[13]
Oleh karenanya, orang yang bersikap
mudaroh akan berlemah lembut dalam pergaulan tanpa meninggalkan sedikitpun
prinsip agamanya. Sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha
menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian dari prinsip
agamanya.
Hendaknya kita bisa memperhatikan
perbedaan antara mudaroh dan mudahanah. Lemah lembut yang
dituntunkan adalah dalam rangka membuat orang tertarik dengan akhlaq kita yang
baik. Sikap pertama inilah yang akan membuat orang menerima dakwah, namun tetap
dengan mempertahankan prinsip-prinsip beragama. Sedangkan lemah lembut yang
tercela adalah jika sampai mengorbankan sebagian prinsip beragama dan
mendiamkan kemungkaran tanpa adanya pengingkaran minimalnya dengan hati.
Semoga Allah senantiasa
menganugerahkan kepada kita tutur kata yang baik dan akhlaq yang mulia. Segala
puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.com
Diselesaikan dengan anugerah Allah
di Panggang-Gunung Kidul, 24 Muharram 1431 H
[1] Adhwaul Bayan, Muhammad Al Amin Asy
Syinqithi, 3/238, Dar Ilmi Al Fawaid.
[2] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu
Katsir, 3/233, Muassasah Qurthubah.
[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3/232,
[4] HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir no. 469
(Maktabah Al ‘Ulum wal Hikam, cetakan kedua, 1404 H). Al ‘Iroqi dalam
Takhrij Al Ihya’ (2/246) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid
(bagus). Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah (1035)
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih dan perowinya terpercaya.
[5] HR. Tirmidzi no. 1984 dan Ahmad (1/155).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[6] HR. Ahmad (2/316) dan disebutkan oleh Al Bukhari
dalam kitab shahihnya secara mu’allaq (tanpa sanad). Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[7] HR. Bukhari no. 6023 dan Muslim no. 1016.
[8] ‘Iddatush Shobirin wa Dzakhirotusy
Syakirin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Mawqi’ Al Waroq
[9] Syarh al Bukhari, Ibnu Baththol,
17/273, Asy Syamilah.
[10] Syarh al Bukhari, 4/460.
[11] Syarh al Bukhari, 17/273.
[12] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
12/243.
[13] Tafsir Ath Thobari, Ibnu Jarir Ath
Thobari, 23/157, Tahqiq: Dr. Abdullah bin Abdil Muhsin At Turki, Dar Hijr.
No comments:
Post a Comment