KONSEP HUKUM AGAMA TIDAK
BOLEH DIUSIK
Truth Claim
Konsep HUKUM Agama sebagai yang tidak boleh diusik, baku dan sakral (taqdis al-afkar al-diniyyah).
Inilah satu problem penelitian Hukum Islam. Tetapi problem kecil
ini, paling tidak dapat dicairkan jika persoalan agama itu sendiri bisa
dijelaskan melalui konsep dan obyek kajiannya. Dalam
studi agama kita mengenal obyek dan pendekatan. Secara garis besar ada dua
obyek kajian agama, yaitu agama sebagai doktrin danajaran, yang tertuang dalam
teks kitab suci dan agama sebagai fenomena sosial yang termanifestasi dalam
perilaku umat beragama. Sedangkan pendekatan agama secara garis besar juga
dapat digolongkan dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan ilmiah (scientific
approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach). Jika
pendekatan ilmiah bersifat fisik, teramati dan terukur, maka pendekatan
filsafat bersifat metafisik, tak terukur secara empiris. Pendekatan filsafat
terhadap agama biasa digunakan oleh para filosof dan para mutakallimin,
yang bersifat idealistik-spekulatif.
Dalam
konteks ini Middleton menegaskan, bahwa penelitian “agama” (research on
religion) berbeda dengan penelitian “keaga-maan” (religious research).
Jika reseach on religion menekankan pada materi agama yang memiliki tiga
elemen pokok (ritus, mitos dan magic), maka religious research
lebih menekankan pada agama sebagai sistem (religious system) atau yang
terkait dengan institusi dan fenomena sosial ( Muzhar, 1998:35).
Sebenarnya,
menurut Muzhar (1998:37), penelitian agama yang sasarannya adalah “agama
sebagai doktrin”, pintu pengembangan metodologinya sudah pernah dilakukan oleh
ulama’ terdahulu, misalnya ilmu Ushul Fiqh dan ilmu Mushthalah
Hadits. Sementara penelitian agama yang sasarannya “agama sebagai fenomena
sosial”, metodenya sudah tersedia sebagaimana yang telah dikembangkan dalam
ilmu-ilmu sosial selama ini.
Abdullah
(1989:xiii-xv) membagi subject matter penelitian agama dalam tiga
kategori. Pertama, agama sebagai doktrin, yang sudah diyakini sebagai
kebenaran yang hakiki. Kedua, agama sebagai fenomena keberagamaan. Ketiga,
agama sebagai yang direspon oleh masyarakat. Jika kategori pertama
mempersoalkan substansi ajaran, dengan segala refleksi pemikirannya, sedangkan
kategori kedua meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah, maka
kategori ketiga berusaha mengetahui corak masyarakat terhadap simbol dan ajaran
agama.
Agama,
memang tidak terlalu mudah untuk dikaji. Pelbagai pendekatan yang
digunakan dalam studi agama seringkali tumpang tindih, tidak mudah untuk
dibedakan antara dimensi doktrinal-teologis dengan yang kultural-historis. Oleh
sebab itu menurut Abdul-lah (2000:8) perlu pendekatan lain, yaitu kritis-filosofis.
Pendekatan ketiga ini diharapkan mampu menjernihkan dan menengahi keruwetan
antara yang doktrinal-teologis dengan kultural-historis. “Menjadikan ‘agama’
sebagai obyek kajian empirik dan menelitinya sebagai realitas manusiawi, bukan
hanya memerlukan usaha keras melainkan keberanian yang cukup.” Demikian menurut
Jacques Wadenburg seperti yang dikutip oleh Permata (2000:13).
Bukan Problem Studi Agama
Hingga saat ini studi agama yang dikembangkan
oleh para ahli masih memiliki problem. Problem yang dihadapi dalam studi agama
(utamanya Islam) menurut Richard C. Martin adalah, karena para ahli
humaniora —khususnya studi agama— kurang agresif dalam membantu memahami agama
dan budaya masyarakat muslim (Marti, ed. Approaches to Islam in Religious
Studies, The University of Arizona Press, 1985:xi).
Posisi tradisional studi Islam dalam program studi ketimuran
dan kawasan yang menempati kedudukan penting di beberapa universitas di Amerika
Utara juga menjadi bagian dari problem. Martin juga menegaskan bahwa kegagalan
studi agama sebagai suatu “disiplin” ilmu yang baku juga merupakan gejala
(symptom), meskipun banyak muncul jurusan studi agama di sana (Amerika
Utara).
KONFLIK ANTARA PENDEKATAN
TEOLOGIS YANG NORMATIF,
Penulis kutip di Google, seorang
mahasiswa mencatakan bahwa problem studi agama adalah karena adanya konflik
antara pendekatan teologis yang normatif, subyektif (fideistic-subjectivism)
dan cenderung menganggap paling benar sendiri (truth claim) dengan
sejarah agama yang bersifat ilmiah dan obyektif (scientific-objectivism)
(Martin, 1985:2).
Mengutip Charles J. Adam, Martin
mengungkapkan adanya kesulitan mengenai hubungan langsung antara studi Islam
dengan studi sejarah agama-agama. Hal ini karena dua alasan. Pertama,
karena para sejarawan agama-agama tidak cukup memiliki kontribusi terhadap
pertumbuhan pengetahuan tentang masyarakat Islam dan tradisi agama mereka. Kedua,
tema besar yang mendominasi horison para sejarawan agama-agama dalam beberapa
dekade terakhir ini belum menyoroti pengalaman Islam atau problem yang ada
dalam keilmuan Islam (Martin, 1985:3).
Memang
ada problem serius yang dihadapi oleh para akademisi dalam studi agama. Sebagai
pewaris religionswissenschaft abad XIX, para sejarawan agama-agama
secara halus telah diabaikan oleh para ahli humaniora dan ilmu-ilmu sosial
lainnya. Para islamisis yang memiliki tradisi orientalisme, dalam
beberapa tahun terakhir ini semakin gencar mendapat serangan karena pandangan
sempit dan distorsi citra tentang masyarakat Islam yang mereka ciptakan. Posisi
orang yang hendak bertanya “bagaimana” mempelajari Islam sebagai agama
dibingungkan oleh kecenderungan pada penggolongan (compartementalization)
dalam pendidikan tinggi. Para sarjana di sebuah universitas yang sama, yang
mempelajari pelbagai aspek peradaban Islam (bahasa, sejarah, ekonomi,
politik, sosiologi dan seterusnya) tidak apresiatif terhadap karya orang
lain, kecuali jika karya itu berasal dari disiplin atau jurusan yang sama
(Martin, 1985:3-4).
Jika
kemudian Islam —dalam konteks studi agama— menda-pat perhatian besar (concern)
dari kalangan islamisis, menurut Martin (1985:1), hal ini lebih disebabkan
karena perkembangan dan pengaruh global terhadap penduduk Muslim dunia.
Meski
studi agama belum dianggap sebagai “disiplin” ilmu, namun secara umum, menurut
Martin, tetap layak karena berjalan dengan seperangkat asumsi teoretik dan
prosedur metodologis. Di samping itu, para sarjana studi agama mempunyai akar
dalam disiplin tradisional. Pertama, disiplin humaniora tradisional. Kedua,
disiplin teologi, studi al-kitab dan sejarah gereja. Ketiga, disiplin
ilmu-ilmu sosial. Keempat, studi kawasan (utamanya studi ketimuran),
Timur Tengah, Asia Timur, Asia Selatan dan Tenggara (Martin, 1985:2).
Mengutip
Jaqob Neusner, Martin mengungkapkan tiga persoalan tentang “disiplin” studi
agama pada tingkat keilmuan. Pertama, apakah disiplin studi agama
melahirkan kurikulum yang dibangun atas dasar konsensus? Kedua, apakah
bobot keilmuan disiplin studi agama ditentukan program penelitian sehingga ada kemajuan
yang dapat dilihat dalam penyelidikan atas persoaalan-persoalan yang muncul
dalam jangka panjang? Ketiga, adakah kriteria-kriteria tertentu untuk
mengakui suatu capaian secara layak? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
tersebut sangat mengecewakan, namun begitu, masih ada peluang bagi orang-orang
Yahudi untuk belajar tentang apa yang belum mereka dapatkan (Martin,
1985:16-7).
Martin
banyak mengungkap kajian literatur dari para pendahulunya, semisal Charles J.
Adam, W. C. Smith, Leonard Binder, Bernard Lewis, Edward W. Said, Yaqob Neusner
dan beberapa para pendahulunya dalam kajian agama-agama. Martin menelusuri
berbagai pendekatan dalam studi agama yang dipakai oleh para sarjana, misalnya
pendekatan fenomenologi, geistswissen-schaften–das Verstehen (Wilhem
Dilthey), personalis, dialogis (W.C. Smith), strukturalis mengenai mitos
(Levi-Strauss), simbol budaya (Clifford Geertz), interpretasi aspek ritual
(Victor Turner),
Dalam
konteks ini kemudian Richard C. Martin (1985:4) menyarankan agar digunakan juga
pendekatan filsafat hermeneutik untuk menafsirkan masalah yang dikondisikan
oleh horison pemahaman historisitasnya (yang ini menurut Martin merupakan
keharusan dalam proses studi teks).
Metodologi
dan Pendekatan
Studi
agama memiliki multi-bentuk dan lapangan studi, subyek yang digunakan tidak
hanya satu tetapi banyak subyek dan metode pendekatan. Demikian pula studi
agama memiliki hubungan yang saling terkait dengan lapangan disiplin akademik
yang luas (Capps, 1995:331).
Sebagai
disiplin ilmu yang belum dianggap mapan, maka istilah yang digunakan dalam
studi agama juga bermacam-macam.
Ada
yang menggunakan istilah sejarah agama-agama (history of religions),
fenomenologi agama (phenomenology of religion), perban-dingan
agama (comparative religion), studi agama ilmiah (the scientific
study of religion), religionswissenschaft, algemeine
religionsgeschichte dan seterusnya.
Algemeine
Religionsgeschichte dikaji di Eropa selama pertenga-han
kedua abad ke-19 yang berusaha seobyektif mungkin dan mencoba melepaskan sejauh
mungkin dari iman gereja dan kajian teologis. Tujuan lain dari Algemeine
Religionsgeschichte ini adalah menuju upaya kolektif di kalangan pakar
lebih dari sekedar studi lintas disiplin dan lintas budaya, tetapi juga
kerjasama keilmuan yang melibatkan para penganut agama-agama (Martin, 1985: 6).
Sementara
itu fenomenologi abad XX ingin mendudukkan pengalaman keagamaan manusia sebagai
respon atas realitas terdalam. Agama tidak dipandang sebagai satu tahapan dalam
sejarah evolusi, melainkan lebih merupakan aspek hakiki dari kehidupan manusia
(Martin, 1985:7). Pendekatan fenomenologi dalam studi agama berusaha
menangguhkan dan menjauhkan diri dari penilaian tentang nilai dan kebenaran
data agama (epoche). Obyek ditangkap esensinya (eidetic-vision)
yang berada di belakang fenomena keagamaan. Studi fenomenologi lebih patuh pada
studi teologi dari pada studi yang lebih tua yang ada pada Algemeine
Reli-gionsgeschichte karena pentingnya penangguhan penilaian (epoche).
Jika
para sarjana abad XIX melahirkan cara-cara mengukur agama dan budaya dengan
menghindari sesuatu yang superna-tural, fenomenologi abad XX ingin mendudukkan
pengalaman keagamaan manusia sebagai respon atas realitas terdalam. Agama tidak
dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah evolusi, tetapi lebih sebagai
aspek hakiki dan kehidupan manusia. Banyak fenomenolog yang memilih pluralisme
metodologi yang mengombinasikan pendekatan dalam studi sejarah, bahasa dan
ilmu-ilmu sosial agar dapat menyinari fenomena keagamaan dalam penelitian (Martin,
1985:7).
Fenomenologi agama juga sangat membutuhkan pendekatan
terbuka dan empatik untuk memahami fenomena keagamaan.
Fenomenologi
berusaha menangkap semua obyek yang berada di balik fenomena. Penelitian
fenomenologi agama mengasumsikan, bahwa manifestasi empirik dari fenomena
keagamaan menyem-bunyikan realitas “numenus” terdalam atau realitas suci yang
ha-nya dapat ditangkap esensinya. Fenomenologi juga membutuhkan pendekatan
empati dan terbuka bagi memahami fenomena keagamaan (Martin, 1985: 7-8).
Wilhelm
Dilthey (1833-1911) menawarkan pendekatan yang disebut dengan geisteswissenschaften,
yaitu studi budaya manusia yang secara historis melibatkan bentuk-bentuk
ekspresi artistik, intelektual, sosial, ekonomi, agama dan politik. Komponen
metodologis terpenting dalam historiografi Dilthey adalah das Verstehen,
suatu istilah teknis yang berarti pemahaman tentang gagasan, intensi dan
perasaan orang melalui manifestasi-manifestasi empirik dalam kebudayaan. Metode
verstehen juga mengandaikan bahwa manusia dalam masyarakat dan
lingkungan sejarahnya mengalami kehidupan sebagai bermakna yang diungkapkan
dalam pola-pola yang dapat dilihat, dapat dianalisis dan dipahami (Martin,
1985:8).
Pendekatan
lain dalam studi agama adalah “personalis” atau “dialogis” yang
ditawarkan oleh W.C. Smith. Pendekatan ini berupaya mengajak umat beragama
untuk terlibat dialog dalam rangka mencapai pemahaman yang lebih baik atas
dasar kemanusiaan. Di samping pendekatan-pendekatan tadi masih ada beberapa
pendekatan lain, misalnya pendekatan strukturalis tentang mitos oleh
Levi-Strauss, simbol budaya oleh Clifford Geertz dan interpretasi aspek ritual
oleh Victor Turner yang mengilhami para sejarawan agama (Martin, 1985:9).
Sebagai
obyek kajian ilmiah, studi tentang Islam sangat me-narik bagi para
sarjana dari pelbagai disiplin ilmu, terutama di Barat. Sedemikian kompleksnya
pendekatan yang digunakan dalam studi agama –terutama Islam— sehingga
semakin menambah ma-raknya minat kajian. Apa yang mendorong para ilmuwan Barat
tertarik dengan studi Islam?
Seperti
pengakuan Lewis, ada dua motif utama orang Eropa dalam mengkaji Islam. Pertama,
adalah untuk belajar lebih banyak warisan klasik yang terpelihara dalam
terjemahan dan komentar berbahasa Arab. Kedua, adalah membantu polemik
Kristen ter-pelajar dalam melawan Islam. Bahkan dengan munculnya renaissance
muncul alasan baru untuk mengkaji Islam ini, yaitu adanya rasa ingin tahu
tentang budaya-budaya asing. Dari sini lantas memaksa mereka untuk mempelajari
filologi atau teks klasik. Akhirnya pada abad XIX, di universitas-universitas
Eropa studi-studi ketimuran menjadi “disiplin” tersendiri. Di Perancis dan
Inggris motif-motif politik mendorong ambisi kedua negara itu untuk menjajah
Timur Tengah. Hingga pasca Perang Dunia II, studi Timur Tengah di Ame-rika
masih belum dianggap berhasil, sampai pada akhirnya mereka harus dimotivasi
dengan gaji yang tinggi bagi pengajar profesional (native speaker). Para
dosenpun diyakinkan dengan mistik epis-temologis bahwa hanya orang Yahudilah
yang mampu mengajar-kan agama Yahudi dan hanya orang Islam saja yang mampu
mengajarkan agama Islam, dan seterusnya (Martin, 1985:11-2).
Betapa
kompleksitasnya studi Islam –sebagaimana juga studi agama-agama
lainnya—sehingga perlu pendekatan yang memadai dan komprehensif, karena Islam
tidak murni fenomena tempat dan ruang tertentu, melainkan – seperti yang
disinggung dalam tulisan Martin (1985:10)—Islam merupakan fenomena yang dapat
dijumpai di berbagai belahan dunia: Timur Tengah, Asia Tenggara, Cina, Uni
Soviet dan seterusnya.
Charles
J. Adam menggolongkan lapangan studi Islam dalam 11 aspek atau subdivisi: 1)
pra-Islam Arab; 2) studi mengenai Nabi (Muhammad); 3) studi al-Qur’an; 4) studi
Hadis; 5) studi kalam; 6) studi hukum Islam; 7) studi falsafah; 8) studi
tasawuf; 9) studi sekte Islam, khususnya Syi’ah; 10) peribadatan dan kebaktian;
11) studi agama populer. Baik studi tentang peribadatan (worship),
kebaktian (devotional life) dan studi agama populer (popular religion)
menurut Charles J. Adam merupakan elemen-elemen yang harus dipertim-bangkan,
bahkan diprioritaskan (Binder, ed., 1976:84).
Bagaimana
kritik yang diberikan Martin dalam konteks studi Islam? Mengutip Binder,
Martin mengungkapkan adanya prasang-ka agama dan politik dalam studi Timur
Tengah. Seberapa seriuskah prasangka tersebut menggerakkan keinginan untuk
mengkaji Timur Muslim? Apakah pengaruhnya terus berlanjut pada mereka yang
mengajar studi Timur Tengah sekarang? Jawaban provokatif atas pertanyaan ini
diberikan oleh Edward W. Said dalam karyanya, Orientalism. Menurut Said,
“studi ketimuran” sebagai disiplin keilmuan secara material dan intelektual
terkait dengan ambisi politik dan ekonomi Eropa, dan orientalisme telah
menghasilkan gaya pemikiran yang dilandaskan pada distingsi teologis dan
epistemologis antara “Timur” dan “Barat” dalam banyak masa. Said melanjutkan,
bahwa orientalisme Barat mengembangkan cara-cara “pembahasan” tentang
Islam (khusunya Arab) sehingga memapankan dan menyempurnakan rasa
superioritas budaya Barat atas budaya lain. Said juga melihat adanya bias dalam
tulisan-tulisan para sejarawan kolonial, misionaris, dan sarjana Barat. Bias
yang paling populer menurut Said adalah proyeksi media tentang Arab saat ini
sebagai masyarakat yang terbelakang, irasional dan penuh nafsu birahi (Martin,
1985:14-5).
Dalam
konteks pendekatan studi agama, Martin (1985:4) menyarankan agar digunakan
studi filsafat hermeneutik untuk me-nafsirkan masalah yang dikondisikan oleh
horison pemahaman historisitasnya (yang ini merupakan keharusan dalam proses
studi teks). Kemudian dalam menjembatani problem studi agama antara yang
teologis-dogmatik (fideistic-subjectivism) versus scientific-objectivism,
Martin memberikan pilihan yang disebut dengan kombinasi.
Sementara
pada kesempatan yang lain dalam melihat ber-bagai paradigma pendekatan
studi agama yang ada, Martin juga menyarankan digunakannya pendekatan
multidisiplin. Fokus studi multi disiplin adalah pada materi dan adaptasi
kreatif serta penerapan metode pada bidang-bidang tertentu dalam data agama
(Martin, 1985:16).
Pendekatan
studi agama menurut Martin bisa dibaca da-lam bagan berikut:
(Dikutip
dari hasil catatan kuliah dengan Prof. Dr. Amin Abdullah)
Dalam
bagan di atas tampak bahwa terdapat dua arus pemi-kiran yang berlawanan dalam
studi agama. Di satu sisi, pendekatan yang digunakan berorientasi teologis yang
cenderung normatif dan subyektif, sementara pada sisi yang lain ada yang
menggunakan pendekatan historis, yang mencoba melihat persoalan dari aspek
kesejarahan dan menggunakan analisis ilmiah terhadap agama lain dan membutuhkan
jarak bagi peneliti yang cenderung obyektif. Dari kedua pendekatan tersebut
kemudian Martin memberikan pilihan kombinasi. Diharapkan dengan pendekatan
kombinasi ini akan melengkapi pendekatan studi agama dan Islam secara komprehensif.
Demikianlah
pemikiran Martin mengenai Islam dan studi agama yang cukup detail dalam
memaparkan pelbagai masa-lahnya. Martin dalam konteks ini lebih dari sekadar
seorang editor yang mengantarkan tulisan dari sebuah buku yang berjudul Appro-aches
to Islam in Religious Studies, melainkan juga memberikan analisis-nya
mengenai Islam dan problem studi agama. Ketertarikan Martinterhadap Islam
sebagai yang ia geluti sudah dimulai sejak lama. Ia penulis buku Islam: A
Cultural Perspective dan beberapa artikel tentang pendekatan-pendekatan
untuk memahami fenomena keberagama-an Islam. Di samping itu sebagai
ketua jurusan studi agama-agama di Arizona State University, ia memimpin
riset tentang signifikansi al-Qur’an dalam konteks lokal dunia muslim. Paling
tidak dengan tulisan awal Martin ini (Islam and Religious Studies: An
Introductory Essay), kita memperoleh gambaran umum tentang pendekatan Islam
dalam studi agama (Approaches to Islam in Religious Studies).
No comments:
Post a Comment