Saturday, December 6, 2014

KONSEP HUKUM AGAMA TIDAK BOLEH DIUSIK Truth Claim



KONSEP HUKUM AGAMA TIDAK BOLEH DIUSIK
Truth Claim
Konsep HUKUM  Agama sebagai yang tidak boleh diusik, baku dan sakral (taqdis al-afkar al-diniyyah).
          Inilah satu problem  penelitian Hukum Islam. Tetapi problem kecil ini, paling tidak dapat dicairkan jika persoalan agama itu sendiri bisa dijelaskan melalui konsep dan obyek  kajiannya.  Dalam studi agama kita mengenal obyek dan pendekatan. Secara garis besar ada dua obyek kajian agama, yaitu agama sebagai doktrin danajaran, yang tertuang dalam teks kitab suci dan agama sebagai fenomena sosial yang termanifestasi dalam perilaku umat beragama. Sedangkan pendekatan agama secara garis besar juga dapat digolongkan dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan ilmiah (scientific approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach). Jika pendekatan ilmiah bersifat fisik, teramati dan terukur, maka pendekatan filsafat bersifat metafisik, tak terukur secara empiris. Pendekatan filsafat terhadap agama biasa digunakan oleh para filosof dan para mutakallimin, yang bersifat idealistik-spekulatif.
Dalam konteks ini Middleton menegaskan, bahwa penelitian “agama” (research on religion) berbeda dengan penelitian “keaga-maan” (religious research). Jika reseach on religion menekankan pada materi agama yang memiliki tiga elemen pokok (ritus, mitos dan magic), maka religious research lebih menekankan pada agama sebagai sistem (religious system) atau yang terkait dengan institusi dan fenomena sosial ( Muzhar, 1998:35).
Sebenarnya, menurut Muzhar (1998:37), penelitian agama yang sasarannya adalah “agama sebagai doktrin”, pintu pengembangan metodologinya sudah pernah dilakukan oleh ulama’  terdahulu, misalnya  ilmu Ushul Fiqh dan ilmu Mushthalah Hadits. Sementara penelitian agama yang sasarannya “agama sebagai fenomena sosial”, metodenya sudah tersedia sebagaimana yang telah dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial selama ini.
Abdullah (1989:xiii-xv) membagi subject matter penelitian agama dalam tiga kategori. Pertama, agama sebagai doktrin, yang sudah diyakini sebagai kebenaran yang hakiki. Kedua, agama sebagai fenomena keberagamaan. Ketiga, agama sebagai yang direspon oleh masyarakat. Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran, dengan segala refleksi pemikirannya, sedangkan kategori kedua meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah, maka kategori ketiga berusaha mengetahui corak masyarakat terhadap simbol dan ajaran agama.
Agama, memang tidak terlalu  mudah untuk dikaji. Pelbagai pendekatan yang digunakan dalam studi agama seringkali tumpang tindih, tidak mudah untuk dibedakan antara dimensi doktrinal-teologis dengan yang kultural-historis. Oleh sebab itu menurut Abdul-lah (2000:8) perlu pendekatan lain, yaitu kritis-filosofis. Pendekatan ketiga ini diharapkan mampu menjernihkan dan menengahi keruwetan antara yang doktrinal-teologis dengan kultural-historis. “Menjadikan ‘agama’ sebagai obyek kajian empirik dan menelitinya sebagai realitas manusiawi, bukan hanya memerlukan usaha keras melainkan keberanian yang cukup.” Demikian menurut Jacques Wadenburg seperti yang dikutip oleh   Permata (2000:13).

Bukan Problem Studi Agama
   Hingga saat ini studi agama yang dikembangkan oleh para ahli masih memiliki problem. Problem yang dihadapi dalam studi agama (utamanya Islam) menurut Richard  C. Martin adalah, karena para ahli humaniora —khususnya studi agama— kurang agresif dalam membantu memahami agama dan budaya masyarakat muslim (Marti, ed. Approaches to Islam in Religious Studies, The University of Arizona Press, 1985:xi).
Posisi tradisional studi Islam dalam program studi ketimuran dan kawasan yang menempati kedudukan penting di beberapa universitas di Amerika Utara juga menjadi bagian dari problem. Martin juga menegaskan bahwa kegagalan studi agama sebagai suatu “disiplin” ilmu yang baku juga merupakan gejala (symptom),  meskipun banyak muncul jurusan studi agama di sana (Amerika Utara).
KONFLIK ANTARA PENDEKATAN TEOLOGIS YANG NORMATIF,
        Penulis kutip di Google, seorang mahasiswa mencatakan bahwa problem studi agama adalah karena adanya konflik antara pendekatan teologis yang normatif, subyektif (fideistic-subjectivism) dan cenderung menganggap paling benar sendiri (truth claim) dengan sejarah agama yang bersifat ilmiah dan obyektif (scientific-objectivism) (Martin, 1985:2).
        Mengutip Charles J. Adam, Martin mengungkapkan adanya kesulitan mengenai hubungan langsung antara studi Islam dengan studi sejarah agama-agama. Hal ini karena dua alasan. Pertama, karena para sejarawan agama-agama tidak cukup memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan pengetahuan tentang masyarakat Islam dan tradisi agama mereka. Kedua, tema besar yang mendominasi horison para sejarawan agama-agama dalam beberapa dekade terakhir ini belum menyoroti pengalaman Islam atau problem yang ada dalam keilmuan Islam (Martin, 1985:3).
Memang ada problem serius yang dihadapi oleh para akademisi dalam studi agama. Sebagai pewaris religionswissenschaft abad XIX, para sejarawan agama-agama secara halus telah diabaikan oleh para ahli humaniora dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Para islamisis yang  memiliki tradisi orientalisme, dalam beberapa tahun terakhir ini semakin gencar mendapat serangan karena pandangan sempit dan distorsi citra tentang masyarakat Islam yang mereka ciptakan. Posisi orang yang hendak bertanya “bagaimana” mempelajari Islam sebagai agama dibingungkan oleh kecenderungan pada penggolongan (compartementalization) dalam pendidikan tinggi. Para sarjana di sebuah universitas yang sama, yang mempelajari pelbagai aspek peradaban Islam (bahasa, sejarah, ekonomi, politik,  sosiologi dan seterusnya) tidak apresiatif terhadap karya orang lain, kecuali jika karya itu berasal dari disiplin atau jurusan yang sama (Martin, 1985:3-4).
Jika kemudian Islam —dalam konteks studi agama— menda-pat perhatian besar (concern) dari kalangan islamisis, menurut Martin (1985:1), hal ini lebih disebabkan karena perkembangan dan pengaruh global terhadap penduduk Muslim dunia.
Meski studi agama belum dianggap sebagai “disiplin” ilmu, namun secara umum, menurut Martin, tetap layak karena berjalan dengan seperangkat asumsi teoretik dan prosedur metodologis. Di samping itu, para sarjana studi agama mempunyai akar dalam disiplin tradisional. Pertama, disiplin humaniora tradisional. Kedua, disiplin teologi, studi al-kitab dan sejarah gereja. Ketiga, disiplin ilmu-ilmu sosial. Keempat, studi kawasan (utamanya studi ketimuran), Timur Tengah, Asia Timur, Asia Selatan dan Tenggara (Martin, 1985:2).
Mengutip Jaqob Neusner, Martin mengungkapkan tiga persoalan tentang “disiplin” studi agama pada tingkat keilmuan. Pertama, apakah disiplin studi agama melahirkan kurikulum yang dibangun atas dasar konsensus? Kedua, apakah bobot keilmuan disiplin studi agama ditentukan program penelitian sehingga ada kemajuan yang dapat dilihat dalam penyelidikan atas persoaalan-persoalan yang muncul dalam jangka panjang? Ketiga, adakah kriteria-kriteria tertentu untuk mengakui suatu capaian secara layak? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat mengecewakan, namun begitu, masih ada peluang bagi orang-orang Yahudi untuk belajar tentang apa yang belum mereka dapatkan (Martin, 1985:16-7).
Martin banyak mengungkap kajian literatur dari para pendahulunya, semisal Charles J. Adam, W. C. Smith, Leonard Binder, Bernard Lewis, Edward W. Said, Yaqob Neusner dan beberapa para pendahulunya dalam kajian agama-agama. Martin menelusuri berbagai pendekatan dalam studi agama yang dipakai oleh para sarjana, misalnya pendekatan fenomenologi, geistswissen-schaften–das Verstehen (Wilhem Dilthey), personalis, dialogis (W.C. Smith), strukturalis mengenai mitos (Levi-Strauss), simbol budaya (Clifford Geertz), interpretasi aspek ritual (Victor Turner),
Dalam konteks ini kemudian Richard C. Martin (1985:4) menyarankan agar digunakan juga pendekatan filsafat hermeneutik untuk menafsirkan masalah yang dikondisikan oleh horison pemahaman historisitasnya (yang ini menurut Martin merupakan keharusan dalam proses studi teks).
Metodologi dan Pendekatan           
Studi agama memiliki multi-bentuk dan lapangan studi, subyek yang digunakan tidak hanya satu tetapi banyak subyek dan metode pendekatan. Demikian pula studi agama memiliki hubungan yang saling terkait dengan lapangan disiplin akademik yang luas (Capps, 1995:331).
Sebagai disiplin ilmu yang belum dianggap mapan, maka istilah yang digunakan dalam studi agama juga bermacam-macam.
Ada yang menggunakan istilah sejarah agama-agama (history of religions), fenomenologi agama (phenomenology of religion),  perban-dingan agama (comparative religion), studi agama ilmiah (the scientific study of  religion), religionswissenschaft, algemeine religionsgeschichte dan seterusnya.
Algemeine Religionsgeschichte dikaji di Eropa selama pertenga-han kedua abad ke-19 yang berusaha seobyektif mungkin dan mencoba melepaskan sejauh mungkin dari iman gereja dan kajian teologis. Tujuan lain dari Algemeine Religionsgeschichte ini adalah menuju upaya kolektif di kalangan pakar lebih dari sekedar studi lintas disiplin dan lintas budaya, tetapi juga kerjasama keilmuan yang melibatkan para penganut agama-agama (Martin, 1985: 6).
Sementara itu fenomenologi abad XX ingin mendudukkan pengalaman keagamaan manusia sebagai respon atas realitas terdalam. Agama tidak dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah evolusi, melainkan lebih merupakan aspek hakiki dari kehidupan manusia (Martin, 1985:7). Pendekatan fenomenologi dalam studi agama berusaha menangguhkan dan menjauhkan diri dari penilaian tentang nilai dan kebenaran data agama (epoche). Obyek ditangkap esensinya (eidetic-vision) yang berada di belakang fenomena keagamaan. Studi fenomenologi lebih patuh pada studi teologi dari pada studi yang lebih tua yang ada pada Algemeine Reli-gionsgeschichte karena pentingnya penangguhan penilaian (epoche).
Jika para sarjana abad XIX melahirkan cara-cara mengukur agama dan budaya dengan menghindari sesuatu yang superna-tural, fenomenologi abad XX ingin mendudukkan pengalaman keagamaan manusia sebagai respon atas realitas terdalam. Agama tidak dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah evolusi, tetapi lebih sebagai aspek hakiki dan kehidupan manusia. Banyak fenomenolog yang memilih pluralisme metodologi yang mengombinasikan pendekatan dalam studi sejarah, bahasa dan ilmu-ilmu sosial agar dapat menyinari fenomena keagamaan dalam penelitian (Martin, 1985:7).
 Fenomenologi agama juga sangat membutuhkan pendekatan terbuka dan empatik untuk memahami fenomena keagamaan.
Fenomenologi berusaha menangkap semua obyek yang berada di balik fenomena. Penelitian fenomenologi agama mengasumsikan, bahwa manifestasi empirik dari fenomena keagamaan menyem-bunyikan realitas “numenus” terdalam atau realitas suci yang ha-nya dapat ditangkap esensinya. Fenomenologi juga membutuhkan pendekatan empati dan terbuka bagi memahami fenomena keagamaan (Martin, 1985: 7-8).
Wilhelm Dilthey (1833-1911) menawarkan pendekatan yang disebut dengan geisteswissenschaften, yaitu studi budaya manusia yang secara historis melibatkan bentuk-bentuk ekspresi artistik, intelektual, sosial, ekonomi, agama dan politik. Komponen metodologis terpenting dalam historiografi Dilthey adalah das Verstehen, suatu istilah teknis yang berarti pemahaman tentang gagasan, intensi dan perasaan orang melalui manifestasi-manifestasi empirik dalam kebudayaan. Metode verstehen juga mengandaikan bahwa manusia dalam masyarakat dan lingkungan sejarahnya mengalami kehidupan sebagai bermakna yang diungkapkan dalam pola-pola yang dapat dilihat, dapat dianalisis dan dipahami (Martin, 1985:8).
Pendekatan lain dalam studi agama adalah “personalis”  atau “dialogis” yang ditawarkan oleh W.C. Smith. Pendekatan ini berupaya mengajak umat beragama untuk terlibat dialog dalam rangka mencapai pemahaman yang lebih baik atas dasar kemanusiaan. Di samping pendekatan-pendekatan tadi masih ada beberapa pendekatan lain, misalnya pendekatan strukturalis tentang mitos oleh Levi-Strauss, simbol budaya oleh Clifford Geertz dan interpretasi aspek ritual oleh Victor Turner yang mengilhami para sejarawan agama (Martin, 1985:9).
Sebagai obyek kajian ilmiah, studi tentang Islam  sangat  me-narik bagi para sarjana dari pelbagai disiplin ilmu, terutama di Barat. Sedemikian kompleksnya pendekatan yang digunakan dalam studi agama –terutama Islam—  sehingga semakin menambah ma-raknya minat kajian. Apa yang mendorong para ilmuwan Barat tertarik dengan studi Islam?
Seperti pengakuan Lewis, ada dua motif utama orang Eropa dalam mengkaji Islam. Pertama, adalah untuk belajar lebih banyak warisan klasik yang terpelihara dalam terjemahan dan komentar berbahasa Arab. Kedua, adalah membantu polemik Kristen ter-pelajar dalam melawan Islam. Bahkan dengan munculnya renaissance muncul alasan baru untuk mengkaji Islam ini, yaitu adanya rasa ingin tahu tentang budaya-budaya asing. Dari sini lantas memaksa mereka untuk mempelajari filologi atau teks klasik. Akhirnya pada abad XIX, di universitas-universitas Eropa studi-studi ketimuran menjadi “disiplin” tersendiri. Di Perancis dan Inggris motif-motif politik mendorong ambisi kedua negara itu untuk menjajah Timur Tengah. Hingga pasca Perang Dunia II, studi Timur Tengah di Ame-rika masih belum dianggap berhasil, sampai pada akhirnya mereka harus dimotivasi dengan gaji yang tinggi bagi pengajar profesional (native speaker). Para dosenpun diyakinkan dengan mistik epis-temologis bahwa hanya orang Yahudilah yang mampu mengajar-kan agama Yahudi dan hanya orang Islam saja yang mampu mengajarkan agama Islam, dan seterusnya (Martin, 1985:11-2).
Betapa kompleksitasnya studi Islam –sebagaimana juga studi agama-agama lainnya—sehingga perlu pendekatan yang memadai dan komprehensif, karena Islam tidak murni fenomena tempat dan ruang tertentu, melainkan – seperti yang disinggung dalam tulisan Martin (1985:10)—Islam merupakan fenomena yang dapat dijumpai di berbagai belahan dunia: Timur Tengah, Asia Tenggara, Cina, Uni Soviet dan seterusnya.
Charles J. Adam menggolongkan lapangan studi Islam dalam 11 aspek atau subdivisi: 1) pra-Islam Arab; 2) studi mengenai Nabi (Muhammad); 3) studi al-Qur’an; 4) studi Hadis; 5) studi kalam; 6) studi hukum Islam; 7) studi falsafah; 8) studi tasawuf; 9) studi sekte Islam, khususnya Syi’ah; 10) peribadatan dan kebaktian; 11) studi agama populer. Baik studi tentang peribadatan (worship), kebaktian (devotional life) dan studi agama populer (popular religion) menurut Charles J. Adam merupakan elemen-elemen yang harus dipertim-bangkan, bahkan diprioritaskan (Binder, ed., 1976:84).
Bagaimana kritik yang diberikan Martin dalam konteks studi Islam? Mengutip  Binder, Martin mengungkapkan adanya prasang-ka agama dan politik dalam studi Timur Tengah. Seberapa seriuskah prasangka tersebut menggerakkan keinginan untuk mengkaji Timur Muslim? Apakah pengaruhnya terus berlanjut pada mereka yang mengajar studi Timur Tengah sekarang? Jawaban provokatif atas pertanyaan ini diberikan oleh Edward W. Said dalam karyanya, Orientalism. Menurut Said, “studi ketimuran” sebagai disiplin keilmuan secara material dan intelektual terkait dengan ambisi politik dan ekonomi Eropa, dan orientalisme telah menghasilkan gaya pemikiran yang dilandaskan pada distingsi teologis dan epistemologis antara “Timur” dan “Barat” dalam banyak masa. Said melanjutkan, bahwa orientalisme Barat mengembangkan cara-cara “pembahasan” tentang  Islam (khusunya  Arab) sehingga memapankan dan menyempurnakan rasa superioritas budaya Barat atas budaya lain. Said juga melihat adanya bias dalam tulisan-tulisan para sejarawan kolonial, misionaris, dan sarjana Barat. Bias yang paling populer menurut Said adalah proyeksi media tentang Arab saat ini sebagai masyarakat yang terbelakang, irasional dan penuh nafsu birahi (Martin, 1985:14-5).
Dalam konteks pendekatan studi agama, Martin (1985:4) menyarankan agar digunakan studi filsafat hermeneutik untuk me-nafsirkan masalah yang dikondisikan oleh horison pemahaman historisitasnya (yang ini merupakan keharusan dalam proses studi teks). Kemudian dalam menjembatani problem studi agama antara yang teologis-dogmatik (fideistic-subjectivism) versus scientific-objectivism, Martin memberikan pilihan yang disebut dengan kombinasi.
Sementara pada kesempatan yang lain dalam melihat ber-bagai  paradigma pendekatan studi agama yang ada, Martin juga menyarankan digunakannya pendekatan multidisiplin. Fokus studi multi disiplin adalah pada materi dan adaptasi kreatif serta penerapan metode pada bidang-bidang tertentu dalam data agama (Martin, 1985:16).
Pendekatan studi agama menurut Martin bisa dibaca da-lam bagan berikut:


(Dikutip dari hasil catatan kuliah dengan Prof. Dr. Amin Abdullah)
Dalam bagan di atas tampak bahwa terdapat dua arus pemi-kiran yang berlawanan dalam studi agama. Di satu sisi, pendekatan yang digunakan berorientasi teologis yang cenderung normatif dan subyektif, sementara pada sisi yang lain ada yang menggunakan pendekatan historis, yang mencoba melihat persoalan dari aspek kesejarahan dan menggunakan analisis ilmiah terhadap agama lain dan membutuhkan jarak bagi peneliti yang cenderung obyektif. Dari kedua pendekatan tersebut kemudian Martin memberikan pilihan kombinasi. Diharapkan dengan pendekatan kombinasi ini akan melengkapi pendekatan studi agama dan Islam secara komprehensif.
Demikianlah pemikiran Martin mengenai Islam dan studi agama yang cukup detail dalam memaparkan pelbagai masa-lahnya. Martin dalam konteks ini lebih dari sekadar seorang editor yang mengantarkan tulisan dari sebuah buku yang berjudul Appro-aches to Islam in Religious Studies, melainkan juga memberikan analisis-nya mengenai Islam dan problem studi agama. Ketertarikan Martinterhadap Islam sebagai yang ia geluti sudah dimulai sejak lama. Ia penulis buku Islam: A Cultural Perspective dan beberapa artikel tentang pendekatan-pendekatan untuk memahami fenomena keberagama-an Islam. Di samping itu  sebagai ketua  jurusan studi agama-agama di Arizona State University, ia memimpin riset tentang signifikansi al-Qur’an dalam konteks lokal dunia muslim. Paling tidak dengan tulisan awal Martin ini (Islam and Religious Studies: An Introductory Essay), kita memperoleh gambaran umum tentang pendekatan Islam dalam studi agama (Approaches to Islam in Religious Studies).

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook