Friday, December 12, 2014

HUKUM YANG TERJEBAK PRAKTISI HUKUM DI INDONESIA TELAH ‘MELUPAKAN’



HUKUM YANG TERJEBAK

PRAKTISI HUKUM DI INDONESIA TELAH ‘MELUPAKAN’ DAN MENGABAIKAN NILAI-NILAI LUHUR PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN TERJEBAK PADA ‘KOTAK NORMATIF’

          Kaum Praktisi Hukum Di Indonesia Telah ‘Melupakan’ Dan Mengabaikan Nilai-Nilai Luhur Pancasila sebagai ideologi bangsa dan terjebak pada ‘kotak normatif’ yang telah diwariskan oleh aliran HAM  Barat. Sikap skeptis ini diperkuat dengan pengalaman penulis buku tersebut tatkala menjadi “Guru Besar Hukum Pidana Paripurna” yang diibaratkannya seperti Empu Gandring yang ditusuk secara licik oleh Ken Arok dengan keris (baca: UU Tipikor) karya si Empu sendiri.

         Ken Arok melihat kerisnya yang sedang di kikir (diperhalus). Keris diberikan oleh Empu gandring, diterima oleh Ken Arok dan diamat-amati. Serentak sadar bahwa kerisnya belum selesai, maka Ken Arok marah. Ken Arok pun mengamuk membabi buta.
Epu Gandring di tusuknya dengan keris bikinan sang empu itu sendiri. KenArok keterlanjuran menurutkan api amarah. Keris disabetkan di lumpang tempat kikiran besi. Lumpang yang terbuat dari batu itu terbelah jadi dua. Setelah itu keris disabetkan kearah paron (alas untuk menempa besi). Paron pun pecah berkepingan.
Setelah itu terdengarlah suara Empu Gandring yang menyumpah serapahi, “Ken Arok, besok kau sendiri pun akan mati oleh keris itu juga. Anak dan cucu-cucumu, tujuh orang raja akan meninggal pula dengan senjata yang sama.”
Keris Mpu Gandring ini menurut beberapa sumber spritual sebenarnya tidak hilang. Dalam arti hilang musnah dan benar-benar tidak ketahuan keberadaannya. Sekarang marilah kita hitung. Dalam sejarah ataupun legenda yang kita ketahui, ternyata hanya ada 6 (enam) orang yang terbunuh oleh Keris Mpu Gandring:
  1. Mpu Gandring, Sang Pembuat Keris.
  2. Kebo Ijo, rekan Ken Arok.
  3. Tunggul Ametung, Penguasa Tumapel saat itu.
  4. Ken Arok, Pendiri Kerajaan Singasari.
  5. Ki Pengalasan, pengawal Anusapati yang membunuh Ken Arok
  6. Anusapati, Anak Ken Dedes yang memerintah Ki Pengalasan membunuh Ken Arok.
Kisah keris Mpu Gandring belumlah berhenti. Keris Mpu Gandring tidaklah sirna, selalu bergentayangan mengiringi perjalanan anak manusia dalam memenuhi nafsu. Kisah ini masih berkelanjutan hingga akhir masa. Keris Mpu Gandring mampu menjelma ke dalam berbagai bentuk.
Hukum Amerika terjebak dalam kangkolikong  aturan Yahudi  ..Henry Ford pernah berkata:
“Barangkali ada bagusnya rakyat Amerika pada umumnya tidak mengetahui asal-usul uang, karena jika mereka mengetahuinya, saya yakin esok pagi akan timbul revolusi”
Pada hari ini rakyat Amerika sudah tidak lagi mempercayai uang kertas dolar. Diantara mereka ada yang telah paham bagaimana konspirasi Yahudi telah menguasai Amerika. Lalu orang-orang yang telah paham ini membangun Liberty dollar, yaitu uang dolar berupa koin emas yang diedarkan sebagai ‘uang sungguhan’.
Teori Hukum Seperti Apa?

            Dilihat dari judulnya, buku ini memang didesain khusus untuk mengintroduksi sebuah teori hukum. Romli tidak memberi batasan yang jelas tentang apa yang dimaksudnya dengan teori hukum, kecuali mengutip pendapat Richard A. Posner yang menyatakan bahwa teori hukum berfokus pada masalah hukum praktis tetapi didekati dari luar disipilin ilmu hukum dengan menggunakan disiplin ilmu lain. Kegunaannya adalah untuk mengungkapkan ruang gelap (dark corners) dari suatu sistem hukum dan menunjuk jalan arah perubahan konstruktif yang sangat bernilai tentang unsur-unsur dari konsep hukum. Kegunaan lain adalah untuk membantu menjawab pertanyaan mendasar tentang sistem hukum yang intinya adalah pengetahuan tentang sistem, yang berbeda maknanya dari sekadar mengetahui bagaimana menjalankannya dalam suatu sistem di mana praktisi hukum telah biasa melakukannya.

Pengutipan Romli terhadap Posner ini diletakkan di bagian pertama dari bukunya, dan oleh karena itu memberi bingkai pemikiran yang perlu dicermati bahwa seperti itulah teori hukum yang sedang ingin dibangun oleh Romli. Dalam buku yang dikutip oleh Romli, yaitu Frontiers of Legal Theory, sesungguhnya Posner sedang “bereksperimen” untuk apa yang disebutnya “... to supply the tools essential for understanding and improving the [legal] system” melalui kaca mata eksternal disiplin hukum. Dalam hal ini, Posner (2001: 1-2) mengingatkan:
It is in recognition of this limitation, of some conspicuous failures of lawyer-engineered legal reform, and of the progress of the social sciences that legal education, and legal thought more generally, have become more interdisciplinary in recent years and as a result (law being an undertheorized field relative to most of the academic field that might be thought to adjoin or intersect it) more “theoretical.” This is not entirely a good thing; a lot of legal theory is vacuous. But not all. Other disciplines have much to contribute to the understanding and improvement of law. In this book I examine contributions from economics, history, psychology, epistemology, and statistical inference.
Jadi, teori hukum yang dimaksud oleh Posner ini (dan terkesan disepakati oleh Romli), adalah teori yang menggunakan perspektif eksternal disiplin hukum. Pengertian disiplin hukum di sini dimaknai Posner secara lebih sempit, sehingga filsafat hukum tidak dimasukkannya. Lebih lanjut Posner (2001: 2) mengatakan:
 By “legal theory” I mean to exclude both philosophy of law (legal philosophy, or jurisprudence)—which is concerned with the analysis of high-level law-related abstractions such as legal positivism, natural law, legal hermeneutics, legal formalism, and legal realism---and the analysis of legal doctrine, or its synonym, legal reasoning, the core analytical component of adjudication and the practice of law. Legal theory is concerned with the practical problems of law, but it approaches the from the outside, using the tool of other disciplines. It does not consider the internal perspective of the legal professional adequate to the solution even of the practical problems of law.
Patut dipertanyakan, apakah Romli sedang mencoba membangun Teori Hukum Intergratif ini ke arah analisis “high-level law-related abstractions” (seperti konon diintroduksi oleh Friedman) atau lebih kepada “practical problems of law” (sebagaimana dimaui oleh Posner)? Jika meminjam Bruggink (1995: 170-176), akan muncul pertanyaan serupa, yakni apakah ini sebuah teori yang bernuansa kontemplatif (reflektif) atau bernuansa empiris? Romli ternyata tidak secara tegas menunjukkan sikapnya. Sama seperti yang dilakukan oleh Mochtar dan Satjipto, analisis paradigmatik demikian tampaknya tidak terlalu menarik perhatian mereka. Sekalipun ada beberapa nama aliran filsafat hukum yang disinggung dalam tulisan mereka dan sesekali dipakai juga untuk mendukung satu atau dua proposisi yang dikemukakan, rupanya segera terlihat bahwa fondasi aliran-aliran besar itu tidak pernah benar-benar mereka kritisi, sehingga pada gilirannya semua persinggungan itu justru berpotensi melemahkan bangunan teoretis itu sendiri.
Dalam buku ini, Romli Atmasasmita menunjukkan bahwa ia ingin merekonstruksi pemikiran Mochtar dan Satjipto dengan menghasilkan satu teori baru. Jika ditelusuri beberapa kamus, ada dua makna kata “rekonstruksi” ini. Pertama, kata “rekonstruksi” (reconstruction) dipakai untuk menunjukkan suatu proses pemulihan keadaan yang tidak lagi berjalan normal. Jadi, ibarat kota yang hancur akibat perang, keadaan sarana dan prasarananya sudah hancur atau tidak lagi utuh, sehingga perlu direkonstruksi. Hasil rekonstruksi ini sangat mungkin akan berbeda dari tampilan awal. “When a system or policy is reconstructed, it is replaced with one that works differently” (BBC English, 1992: 963). Namun, ada arti kedua sebagaimana ditulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 942) yang mengartikan rekonstruksi sebagai “pengembalian seperti semula.” Kurang lebih kondisinya mirip seperti penyidik melakukan rekonstruksi atas suatu peristiwa pidana.

Teori Hukum Integratif sebenarnya tidak benar-benar berangkat dari upaya memulihkan teori Mochtar atau Satjipto dari kondisi ketidakmampuannya berjalan normal. Kedua teori ini juga tidak sungguh-sungguh ditempatkan sebagai dua pilar teori yang sepadan. Romli (2012: 85-86) menyebut teorinya sebagai Teori Hukum Pembangunan Generasi (Jilid) II. Secara terminologis, Romli sudah mencenderungkan posisi berdirinya di lingkaran pemikiran Mochtar daripada lingkaran pemikiran Satjipto. Teori Hukum Pembangunan Generasi I (Mochtar) menyita tempat sebanyak 27 halaman dalam buku ini, berbanding dengan 9 lembar saja untuk Teori Hukum Progresif (Satjipto). Kontribusi yang terpenting dari teori Satjipto, hanya ditekankan pada pemikiran bahwa hukum adalah sistem perilaku (system of behavior), suatu pemikiran yang sebenarnya juga sudah digarisbawahi oleh Mochtar ketika ia menyatakan hukum tidak hanya kompleks kaidah dan asas yang mengatur, tetapi juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan. Kata “kaidah/asas” di sini menunjuk kepada unsur idiil dalam sistem hukum, kata “lembaga” merujuk ke unsur operasional, dan kata “proses” merujuk ke unsur faktual.

           Posisi berdiri dalam satu lingkaran di atas juga diperlihatkan ketika Romli menegaskan pandangan Satjipto bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Pandangan ini dinilai Romli sebagai pandangan yang sejalan dengan kalangan penstudi hukum kritis (critical legal studies) yang dilandaskan pada aliran posmodernisme. Ia juga menilai bahwa marxisme hukum telah memberikan pengaruh yang besar terhadap aliran posmodernisme yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Jacques Derrida dengan teori “Social Deconstruction” dan Charles Stamford [sic! maksudnya Sampford] dengan teori “Chaotic of Law” (Atmasasmita, 2012: 48-51). Lebih jauh lagi, Romli berkesimpulan bahwa nalar posmodernisme yang menjadi sumber teori chaotisme hukum dan pandangan hukum tentang “hukum yang tidak beraturan” sulit digunakan sebagai landasan pemikiran bagi penyusunan atau pembaharuan politik hukum di Indonesia (Atmasasmita, 2012: 110).

Teori Hukum Pembangunan Mochtar sebagai Titik Tolak

Sesuai dengan fokus tulisan ini, yaitu untuk menyoroti posisi Teori Hukum integratif dalam konstelasi pemikiran filsafat hukum, maka berangkat dari asumsi bahwa teori ini lebih dekat ke Teori Hukum Pembangunan Generasi I (Mochtar), maka analisis dan kritik terhadap teori Mochtar dapat ditujukan pula terhadap Teori Hukum Integratif (Teori Hukum Pembangunan Generasi II). Butir-butir pemikiran Mochtar (2002: 1-105) dapat dibentangkan sebagai berikut:

1.      Hukum adalah salah satu dari kaidah sosial (di samping kaidah moral, agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan lain-lain), yang merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, sehingga hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (living law).
2.      Hukum tidak hanya kompleks kaidah dan asas yang mengatur, tetapi juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan.
3.      Hukum bercirikan pemaksaan oleh negara melalui alat-alat perlengkapannya, sebab tanpa kekuasaan hukum hanyalah kaidah anjuran; kekuasaan diperlukan demi kehidupan masyarakat yang tertib (teratur); hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan harus ada batas-batasnya (kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman).

4.      Kekuasaan dapat memunculkan wibawa dan bertahan lama jika ia mendapat dukungan dari pihak yang dikuasai;  untuk itu, penguasa harus memiliki semangat mengabdi kepentingan umum (sense of public service), dan yang dikuasai memiliki kewajiban tunduk pada penguasa (the duty of civil obidience); keduanya harus dididik agar memiliki kesadaran kepentingan umum (public spirit).
5.      Tujuan pokok dan pertama dari segala hukum adalah ketertiban, yang merupakan syarat fundamental bagi adanya suatu masyarakat yang teratur; untuk tercapai ketertiban diperlukan kepastian dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat; tujuan kedua setelah ketertiban adalah keadilan, yang isi keadilan ini berbeda-beda menurut masyarakat dan zamannya.
6.      Masyarakat Indonesia sedang dalam masa peralihan (transisi) dari tertutup menuju terbuka, dinamis, dan maju (modern); hakikat masalah pembangunan adalah pembaruan cara berpikir (sikap, sifat, nilai-nilai), baik pada penguasa maupun yang dikuasai, misalnya pada anggota masyarakat harus berubah dari sekadar bersikap mental sebagai kaula negara menjadi bersikap mental sebagai warga negara (tidak hanya pasif mengikuti perintah penguasa tetapi juga aktif mengetahui bahkan berani menuntut hak-haknya).
7.      Dalam masyarakat yang sedang membangun, hukum tidak cukup hanya bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai (sifat konservatif dari hukum), tetapi juga berperan merekayasa masyarakat; namun intinya tetap harus ada ketertiban (selama perubahan dilakukan dengan cara yang tertib, selama itu masih ada tempat bagi peranan hukum).
8.      Pembangunan harus dimaknai seluas-luasnya meliputi segala segi dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka.
9.      Hukum sebagai alat pembaruan dalam masyarakat yang sedang membangun itu dapat pula merugikan, sehingga harus dilakukan dengan hati-hati;  oleh sebab itu penggunaan hukum itu harus dikaitkan juga dengan segi-segi sosiologi, antropologi dan kebudayaan; ahli hukum dalam masyarakat yang sedang membangun perlu mempelajari hukum positif dengan spektrum ilmu-ilmu sosial dan budaya.
10.  Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur (tertib); hukum berperan melalui bantuan perundang-undangan dan keputusan [sic] pengadilan, atau kombinasi dari keduanya; namun pembentukan perundang-undangan adalah cara yang paling rasional dan cepat dibandingkan dengan meteode pengembangan hukum lain seperti yurisprudensi dan hukum kebiasaan.
11.  Kendala atau kesukaran yang dihadapi dalam rangka beperannya hukum dalam pembangunan: (a) sukarnya menentukan tujuan dari perkembangan (pembaruan) hukum; (b) sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan prediktif; (c) sukarnya mengadakan ukuran yang objektif tentang berhasil tidaknya usaha pembaruan hukum; (d) adanya kepimpinan kharismatis yang kebanyakan bertentangan kepentingannya dengan cita-cita legal engineering menuju suatu masyarakat atau negara hukum; (e) masih rendahnya kepercayaan dan keseganan terhadap hukum (respect for the law) dan peranannya dalam masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang lahir melalui keguncangan politik (revolusi); (f) reaksi masyarakat karena menganggap perubahan itu bisa melukai kebanggaan nasional; (d) reaksi yang berdasarkan rasa salah diri, yaitu golongan intelektualnya sendiri tidak mempraktikkan nilai atau sifat yang mereka anjurkan; heterogenitas masyarakat Indonesia, baik dari segi tingkat kemajuan, agama, bahasa, dan lain-lain;
12.  Dalam rangka pembentukan perundang-undangan dalam era Indonesia yang sedang membangun, perlu diprioritaskan pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang-bidang hukum yang netral (tidak sensitif). Ranah hukum demikian praktis tidak akan banyak menimbulkan kontroversi terkait dengan adat istiadat, agama, dan nilai-nilai primordial lainnya.

Jika diilustrasikan, maka akan tampak bahwa Teori Hukum Pembangunan menelaah pada upaya penyeimbangan antara hukum positif (law in the books) dan hukum yang hidup (living law). Fungsi hukum dengan demikian mengarah pada sarana sebagai social order (sebagai fungsi paling konservatif dari hukum) sekaligus sebagai sarana social engineering. Ini berarti, pada tahap yang paling awal, hukum wajib mengarah pada pencapaian ketertiban sebagai syarat menuju kepada kepastian dan keadilan. Jadi, Mochtar tetap menempatkan keadilan sebagai tujuan paling ideal, sekalipun ia meyakini makna keadilan ini bisa sangat beragam. Semua ini diarahkan kepada keberhasilan pembangunan nasional dalam konteks [sosial] keindonesiaan. Dalam paparannya, Mochtar sesungguhnya sudah menyinggung dengan sangat jelas arti penting aparatur pemerintah, yang oleh Romli disebut sebagai birokrat.[3] Mochtar menekankan perlunya ada sense of public service yang sebenarnya juga memposisikan birokrat sebagai “motor” dalam menggerakkan fungsi-fungsi hukum tersebut. Ini berarti, tiga hakikat hukum (sistem norma, perilaku, dan nilai) yang disebut oleh Romli dengan “tripartite character of the Indonesian legal theory of social and bureaucratic engineering” pada dasarnya sudah terkonsepkan di dalam Teori Hukum Pembangunan Generasi I dari Mochtar.



No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook