HUKUM
YANG TERJEBAK
PRAKTISI
HUKUM DI INDONESIA TELAH ‘MELUPAKAN’ DAN MENGABAIKAN NILAI-NILAI LUHUR PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN
TERJEBAK PADA ‘KOTAK NORMATIF’
Kaum
Praktisi Hukum Di Indonesia Telah ‘Melupakan’ Dan Mengabaikan Nilai-Nilai Luhur Pancasila
sebagai ideologi bangsa dan terjebak pada ‘kotak normatif’ yang telah
diwariskan oleh aliran HAM Barat. Sikap skeptis
ini diperkuat dengan pengalaman penulis buku tersebut tatkala menjadi “Guru
Besar Hukum Pidana Paripurna” yang diibaratkannya seperti Empu Gandring yang
ditusuk secara licik oleh Ken Arok dengan keris
(baca: UU Tipikor) karya si Empu sendiri.
Ken Arok melihat kerisnya yang sedang
di kikir (diperhalus). Keris diberikan oleh Empu gandring, diterima oleh Ken
Arok dan diamat-amati. Serentak sadar bahwa kerisnya belum selesai, maka Ken
Arok marah. Ken Arok pun mengamuk membabi buta.
Epu Gandring di tusuknya dengan keris bikinan sang empu itu sendiri. KenArok keterlanjuran menurutkan api amarah. Keris disabetkan di lumpang tempat kikiran besi. Lumpang yang terbuat dari batu itu terbelah jadi dua. Setelah itu keris disabetkan kearah paron (alas untuk menempa besi). Paron pun pecah berkepingan.
Epu Gandring di tusuknya dengan keris bikinan sang empu itu sendiri. KenArok keterlanjuran menurutkan api amarah. Keris disabetkan di lumpang tempat kikiran besi. Lumpang yang terbuat dari batu itu terbelah jadi dua. Setelah itu keris disabetkan kearah paron (alas untuk menempa besi). Paron pun pecah berkepingan.
Setelah
itu terdengarlah suara Empu Gandring yang menyumpah serapahi, “Ken Arok, besok
kau sendiri pun akan mati oleh keris itu juga. Anak dan cucu-cucumu, tujuh
orang raja akan meninggal pula dengan senjata yang sama.”
Keris
Mpu Gandring ini menurut beberapa sumber spritual sebenarnya tidak hilang.
Dalam arti hilang musnah dan benar-benar tidak ketahuan keberadaannya. Sekarang
marilah kita hitung. Dalam sejarah ataupun legenda yang kita ketahui, ternyata
hanya ada 6 (enam) orang yang terbunuh oleh Keris Mpu Gandring:
- Mpu Gandring, Sang Pembuat Keris.
- Kebo Ijo, rekan Ken Arok.
- Tunggul Ametung, Penguasa Tumapel saat itu.
- Ken Arok, Pendiri Kerajaan Singasari.
- Ki Pengalasan, pengawal Anusapati yang membunuh Ken Arok
- Anusapati, Anak Ken Dedes yang memerintah Ki Pengalasan membunuh Ken Arok.
Kisah
keris Mpu Gandring belumlah berhenti. Keris Mpu Gandring tidaklah sirna, selalu
bergentayangan mengiringi perjalanan anak manusia dalam memenuhi nafsu. Kisah
ini masih berkelanjutan hingga akhir masa. Keris Mpu Gandring mampu menjelma ke
dalam berbagai bentuk.
Hukum Amerika terjebak dalam kangkolikong aturan Yahudi
..Henry Ford pernah berkata:
“Barangkali ada bagusnya rakyat Amerika pada umumnya tidak
mengetahui asal-usul uang, karena jika mereka mengetahuinya, saya yakin esok
pagi akan timbul revolusi”
Pada hari ini rakyat Amerika sudah tidak lagi
mempercayai uang kertas dolar. Diantara mereka ada yang telah paham bagaimana
konspirasi Yahudi telah menguasai Amerika. Lalu orang-orang yang telah paham
ini membangun Liberty dollar, yaitu uang dolar berupa koin emas yang diedarkan
sebagai ‘uang sungguhan’.
Teori
Hukum Seperti Apa?
Dilihat
dari judulnya, buku ini memang didesain khusus untuk mengintroduksi sebuah
teori hukum. Romli tidak memberi batasan yang jelas tentang apa yang
dimaksudnya dengan teori hukum, kecuali mengutip pendapat Richard A. Posner
yang menyatakan bahwa teori hukum berfokus pada masalah hukum praktis tetapi
didekati dari luar disipilin ilmu hukum dengan menggunakan disiplin ilmu lain.
Kegunaannya adalah untuk mengungkapkan ruang gelap (dark corners) dari suatu sistem hukum dan menunjuk jalan arah
perubahan konstruktif yang sangat bernilai tentang unsur-unsur dari konsep
hukum. Kegunaan lain adalah untuk membantu menjawab pertanyaan mendasar tentang
sistem hukum yang intinya adalah pengetahuan tentang sistem, yang berbeda
maknanya dari sekadar mengetahui bagaimana menjalankannya dalam suatu sistem di
mana praktisi hukum telah biasa melakukannya.
Pengutipan Romli terhadap Posner ini diletakkan di bagian
pertama dari bukunya, dan oleh karena itu memberi bingkai pemikiran yang perlu
dicermati bahwa seperti itulah teori hukum yang sedang ingin dibangun oleh
Romli. Dalam buku yang dikutip oleh Romli, yaitu Frontiers of Legal Theory, sesungguhnya Posner sedang
“bereksperimen” untuk apa yang disebutnya “...
to supply the tools essential for understanding and improving the [legal]
system” melalui kaca mata eksternal disiplin hukum. Dalam hal ini, Posner
(2001: 1-2) mengingatkan:
It is in recognition of this limitation, of some
conspicuous failures of lawyer-engineered legal reform, and of the progress of
the social sciences that legal education, and legal thought more generally,
have become more interdisciplinary in recent years and as a result (law being
an undertheorized field relative to most of the academic field that might be
thought to adjoin or intersect it) more “theoretical.” This is not entirely a
good thing; a lot of legal theory is vacuous. But not all. Other disciplines
have much to contribute to the understanding and improvement of law. In this
book I examine contributions from economics, history, psychology, epistemology,
and statistical inference.
Jadi, teori hukum yang dimaksud oleh Posner ini (dan terkesan disepakati
oleh Romli), adalah teori yang menggunakan perspektif eksternal disiplin hukum.
Pengertian disiplin hukum di sini dimaknai Posner secara lebih sempit, sehingga
filsafat hukum tidak dimasukkannya. Lebih lanjut Posner (2001: 2) mengatakan:
By “legal theory” I mean to
exclude both philosophy of law (legal philosophy, or jurisprudence)—which is
concerned with the analysis of high-level law-related abstractions such as
legal positivism, natural law, legal hermeneutics, legal formalism, and legal
realism---and the analysis of legal doctrine, or its synonym, legal reasoning,
the core analytical component of adjudication and the practice of law. Legal
theory is concerned with the practical problems of law, but it approaches the
from the outside, using the tool of other disciplines. It does not consider the
internal perspective of the legal professional adequate to the solution even of
the practical problems of law.
Patut dipertanyakan, apakah Romli sedang mencoba membangun Teori Hukum
Intergratif ini ke arah analisis “high-level
law-related abstractions” (seperti konon diintroduksi oleh Friedman) atau
lebih kepada “practical problems of law”
(sebagaimana dimaui oleh Posner)? Jika meminjam Bruggink (1995: 170-176), akan
muncul pertanyaan serupa, yakni apakah ini sebuah teori yang bernuansa
kontemplatif (reflektif) atau bernuansa empiris? Romli ternyata tidak secara
tegas menunjukkan sikapnya. Sama seperti yang dilakukan oleh Mochtar dan
Satjipto, analisis paradigmatik demikian tampaknya tidak terlalu menarik
perhatian mereka. Sekalipun ada beberapa nama aliran filsafat hukum yang disinggung
dalam tulisan mereka dan sesekali dipakai juga untuk mendukung satu atau dua
proposisi yang dikemukakan, rupanya segera terlihat bahwa fondasi aliran-aliran
besar itu tidak pernah benar-benar mereka kritisi, sehingga pada gilirannya
semua persinggungan itu justru berpotensi melemahkan bangunan teoretis itu
sendiri.
Dalam buku ini, Romli Atmasasmita menunjukkan bahwa ia
ingin merekonstruksi pemikiran Mochtar dan Satjipto dengan menghasilkan satu
teori baru. Jika ditelusuri beberapa kamus, ada dua makna kata “rekonstruksi”
ini. Pertama, kata “rekonstruksi” (reconstruction)
dipakai untuk menunjukkan suatu proses pemulihan keadaan yang tidak lagi
berjalan normal. Jadi, ibarat kota yang hancur akibat perang, keadaan sarana
dan prasarananya sudah hancur atau tidak lagi utuh, sehingga perlu
direkonstruksi. Hasil rekonstruksi ini sangat mungkin akan berbeda dari
tampilan awal. “When a system or policy
is reconstructed, it is replaced with one that works differently” (BBC
English, 1992: 963). Namun, ada arti kedua sebagaimana ditulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 942)
yang mengartikan rekonstruksi sebagai
“pengembalian seperti semula.” Kurang lebih kondisinya mirip seperti penyidik
melakukan rekonstruksi atas suatu peristiwa pidana.
Teori
Hukum Integratif sebenarnya tidak benar-benar berangkat dari upaya
memulihkan teori Mochtar atau Satjipto dari kondisi ketidakmampuannya berjalan
normal. Kedua teori ini juga tidak sungguh-sungguh ditempatkan sebagai dua
pilar teori yang sepadan. Romli (2012: 85-86) menyebut teorinya sebagai Teori
Hukum Pembangunan Generasi (Jilid) II. Secara terminologis, Romli sudah
mencenderungkan posisi berdirinya di lingkaran pemikiran Mochtar daripada
lingkaran pemikiran Satjipto. Teori Hukum Pembangunan Generasi I (Mochtar) menyita tempat sebanyak 27 halaman
dalam buku ini, berbanding dengan 9 lembar saja untuk Teori Hukum Progresif
(Satjipto). Kontribusi yang terpenting dari teori Satjipto, hanya ditekankan
pada pemikiran bahwa hukum adalah sistem perilaku (system of behavior), suatu pemikiran yang sebenarnya juga sudah
digarisbawahi oleh Mochtar ketika ia menyatakan hukum tidak hanya kompleks kaidah dan asas
yang mengatur, tetapi
juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan berlakunya hukum itu dalam
kenyataan. Kata “kaidah/asas” di sini menunjuk kepada unsur idiil
dalam sistem hukum, kata “lembaga” merujuk ke unsur operasional, dan kata
“proses” merujuk ke unsur faktual.
Posisi berdiri dalam satu lingkaran di
atas juga diperlihatkan ketika Romli menegaskan pandangan Satjipto bahwa hukum
adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Pandangan ini dinilai Romli sebagai
pandangan yang sejalan dengan kalangan penstudi hukum kritis (critical legal studies) yang dilandaskan
pada aliran posmodernisme. Ia juga menilai bahwa marxisme hukum telah
memberikan pengaruh yang besar terhadap aliran posmodernisme yang kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh Jacques Derrida dengan teori “Social Deconstruction” dan Charles
Stamford [sic! maksudnya Sampford]
dengan teori “Chaotic of Law”
(Atmasasmita, 2012: 48-51). Lebih jauh lagi, Romli berkesimpulan bahwa nalar
posmodernisme yang menjadi sumber teori chaotisme hukum dan pandangan hukum
tentang “hukum yang tidak beraturan” sulit digunakan sebagai landasan pemikiran
bagi penyusunan atau pembaharuan politik hukum di Indonesia (Atmasasmita, 2012:
110).
Teori
Hukum Pembangunan Mochtar sebagai Titik Tolak
Sesuai dengan fokus tulisan ini, yaitu untuk menyoroti
posisi Teori Hukum integratif dalam konstelasi pemikiran filsafat hukum, maka
berangkat dari asumsi bahwa teori ini lebih dekat ke Teori Hukum Pembangunan
Generasi I (Mochtar), maka analisis dan kritik terhadap teori Mochtar dapat
ditujukan pula terhadap Teori Hukum Integratif (Teori Hukum Pembangunan
Generasi II). Butir-butir pemikiran Mochtar (2002: 1-105) dapat dibentangkan
sebagai berikut:
1. Hukum adalah salah satu dari kaidah
sosial (di samping kaidah moral, agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan
lain-lain), yang merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat, sehingga hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum
yang hidup (living law).
2. Hukum tidak hanya kompleks kaidah dan asas yang mengatur, tetapi juga meliputi lembaga-lembaga
dan proses yang
diperlukan untuk mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan.
3. Hukum
bercirikan pemaksaan oleh negara melalui alat-alat perlengkapannya, sebab tanpa
kekuasaan hukum hanyalah kaidah anjuran; kekuasaan diperlukan demi kehidupan masyarakat
yang tertib (teratur); hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan
kekuasaan harus ada batas-batasnya (kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman).
4. Kekuasaan dapat memunculkan wibawa dan
bertahan lama jika ia mendapat dukungan dari pihak yang dikuasai; untuk
itu, penguasa harus memiliki semangat mengabdi kepentingan umum (sense of public service), dan yang
dikuasai memiliki kewajiban tunduk pada penguasa (the duty of civil obidience); keduanya harus dididik agar memiliki
kesadaran kepentingan umum (public spirit).
5. Tujuan pokok dan pertama dari segala
hukum adalah ketertiban, yang merupakan syarat fundamental bagi adanya suatu
masyarakat yang teratur; untuk tercapai ketertiban diperlukan kepastian dalam
pergaulan antarmanusia dalam masyarakat; tujuan kedua setelah ketertiban adalah
keadilan, yang isi keadilan ini berbeda-beda menurut masyarakat dan zamannya.
6. Masyarakat Indonesia sedang dalam masa
peralihan (transisi) dari tertutup menuju terbuka, dinamis, dan maju (modern);
hakikat masalah pembangunan adalah pembaruan cara berpikir (sikap, sifat,
nilai-nilai), baik pada penguasa maupun yang dikuasai, misalnya pada anggota
masyarakat harus berubah dari sekadar bersikap mental sebagai kaula negara
menjadi bersikap mental sebagai warga negara (tidak hanya pasif mengikuti
perintah penguasa tetapi juga aktif mengetahui bahkan berani menuntut
hak-haknya).
7. Dalam masyarakat yang sedang membangun,
hukum tidak cukup hanya bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah
dicapai (sifat konservatif dari hukum), tetapi juga berperan merekayasa
masyarakat; namun intinya tetap harus ada ketertiban (selama perubahan
dilakukan dengan cara yang tertib, selama itu masih ada tempat bagi peranan
hukum).
8. Pembangunan harus dimaknai seluas-luasnya
meliputi segala segi dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan
ekonomi belaka.
9. Hukum sebagai alat pembaruan dalam
masyarakat yang sedang membangun itu dapat pula merugikan, sehingga harus
dilakukan dengan hati-hati; oleh sebab itu penggunaan hukum itu harus
dikaitkan juga dengan segi-segi sosiologi, antropologi dan kebudayaan; ahli
hukum dalam masyarakat yang sedang membangun perlu mempelajari hukum positif
dengan spektrum ilmu-ilmu sosial dan budaya.
10. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin
bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur (tertib); hukum berperan
melalui bantuan perundang-undangan dan keputusan [sic] pengadilan, atau kombinasi dari keduanya; namun pembentukan
perundang-undangan adalah cara yang paling rasional dan cepat dibandingkan dengan meteode pengembangan
hukum lain seperti yurisprudensi dan hukum kebiasaan.
11. Kendala atau kesukaran yang dihadapi dalam rangka
beperannya hukum dalam pembangunan: (a) sukarnya menentukan tujuan dari
perkembangan (pembaruan) hukum; (b) sedikitnya data empiris yang dapat
digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan prediktif; (c)
sukarnya mengadakan ukuran yang objektif tentang berhasil tidaknya usaha
pembaruan hukum; (d) adanya kepimpinan kharismatis yang kebanyakan bertentangan
kepentingannya dengan cita-cita legal
engineering menuju suatu masyarakat atau negara hukum; (e) masih rendahnya
kepercayaan dan keseganan terhadap hukum (respect
for the law) dan peranannya dalam masyarakat, khususnya bagi masyarakat
yang lahir melalui keguncangan politik (revolusi); (f) reaksi masyarakat karena
menganggap perubahan itu bisa melukai kebanggaan nasional; (d) reaksi yang
berdasarkan rasa salah diri, yaitu golongan intelektualnya sendiri tidak mempraktikkan
nilai atau sifat yang mereka anjurkan; heterogenitas masyarakat Indonesia, baik
dari segi tingkat kemajuan, agama, bahasa, dan lain-lain;
12. Dalam rangka pembentukan perundang-undangan dalam era
Indonesia yang sedang membangun, perlu diprioritaskan pembentukan peraturan
perundang-undangan di bidang-bidang hukum yang netral (tidak sensitif). Ranah
hukum demikian praktis tidak akan banyak menimbulkan kontroversi terkait dengan
adat istiadat, agama, dan nilai-nilai primordial lainnya.
Jika diilustrasikan, maka akan tampak bahwa Teori Hukum
Pembangunan menelaah pada upaya penyeimbangan antara hukum positif (law in the books) dan hukum yang hidup (living law). Fungsi hukum dengan
demikian mengarah pada sarana sebagai social
order (sebagai fungsi paling konservatif dari hukum) sekaligus sebagai
sarana social engineering. Ini
berarti, pada tahap yang paling awal, hukum wajib mengarah pada pencapaian
ketertiban sebagai syarat menuju kepada kepastian dan keadilan. Jadi, Mochtar
tetap menempatkan keadilan sebagai tujuan paling ideal, sekalipun ia meyakini
makna keadilan ini bisa sangat beragam. Semua ini diarahkan kepada keberhasilan
pembangunan nasional dalam konteks [sosial] keindonesiaan. Dalam paparannya, Mochtar
sesungguhnya sudah menyinggung dengan sangat jelas arti penting aparatur
pemerintah, yang oleh Romli disebut sebagai birokrat.[3] Mochtar menekankan perlunya ada sense of public service yang sebenarnya juga memposisikan birokrat
sebagai “motor” dalam menggerakkan fungsi-fungsi hukum tersebut. Ini berarti,
tiga hakikat hukum (sistem norma, perilaku, dan nilai) yang disebut oleh Romli
dengan “tripartite character of the
Indonesian legal theory of social and bureaucratic engineering” pada
dasarnya sudah terkonsepkan di dalam Teori Hukum Pembangunan Generasi I dari
Mochtar.
No comments:
Post a Comment