KELEMBUTAN ISLAM
M.RAKIB LPMP RIAU
INDONESIA
Menarik tulisan Al-Habib Muhammad Rizieq
Syihab tentang kelembutan. Pada kitab yang pernah dibaca sepuluh tahun yang
lalu, dikisahkan Ali bin Abi Talib ketika akan membunuh musuhnya yang terdesak,
musuhnya meludahinya, tiba-tiba datang rasa kelmbutan dalam hati Ali, orang itu
tidak dibuhnya, dengan alasan perangnya itu bukan didsarkan rasa emosi, jika
terpaksa membunuh, hanya karena Allah semata. Allah Mahalembut.
Dan Allah SWT melarang Rasulullah
SAW dari sikap kasar atau pun bengis, bahkan membimbing Rasulullah SAW agar
pemaaf dan mengutamakan Musyawarah. Firman-Nya SWT :
Artinya : “Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekeliling mu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya ”. (Âli-‘Imrân : 159)
KEKERASAN : Antara Ketegasan dan Kebengisan
Kekerasan merupakan cerminan dari
dua sikap :
1. Cerminan KETEGASAN SIKAP dan
KETEGARAN PRINSIP.
Kekerasan sebagai cerminan tegas
sikap dan tegar prinsip adalah kekerasan yang terpuji, dan tidak bertentangan
dengan syari’at. Karenanya, dalam surat At-Taubah ayat 73 dan At-Tahrîm ayat 9,
Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW untuk bersikap keras terhadap
orang-orang kafir dan munafiq.
Firman-Nya SWT :
Artinya : “Hai Nabi, Berjihadlah
( perangilah ) orang-orang kafir dan orang-orang munafiq itu, dan bersikap
keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah
tempat kembali yang seburuk-seburuknya ”. (At-Tahrîm : 9)
Selain itu, Allah SWT memuji para
Shahabat Nabi karena sikap keras mereka terhadap kaum kafir dan berkasih sayang
terhadap sesama. Firman-Nya SWT :
Artinya : “Muhammad itu adalah
utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap
orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka ”. (Al-Fath : 29)
Kekerasan yang terpuji ini biasa
disebut KETEGASAN, untuk membedakannya dengan KEKERASAN dalam arti negatif
yaitu ANARKISME.
2. Cerminan KEKASARAN SIKAP dan
KEBENGISAN HATI.
Ada pun kekerasan sebagai cerminan
kasar sikap dan bengis hati adalah kekerasan yang tercela, dan dilarang keras
oleh syari’at. Karenanya, Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW untuk
berda’wah dengan hikmah, ‘arif, bijak, dan lemah lembut. Firman-Nya SWT :
Artinya : “Serulah ( manusia ) ke
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka
dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia lah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia lah yang lebih mengetahui
tentang orang-orang yang mendapat petunjuk ”. (An-Nahl : 125)
Dan Allah SWT melarang Rasulullah
SAW dari sikap kasar atau pun bengis, bahkan membimbing Rasulullah SAW agar
pemaaf dan mengutamakan Musyawarah. Firman-Nya SWT :
Artinya : “Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekeliling mu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya ”. (Âli-‘Imrân : 159)
Kekerasan yang tercela inilah yang
biasa disebut sebagai KEKERASAN atau disebut juga BRUTALISME atau
ANARKISME.
Oleh karena itu, sungguh tidak masuk
akal, bila semua jenis kekerasan secara mutlak digeneralisir dan divonis
sebagai sesuatu yang tercela dan terlarang. Bukankah sudah menjadi kesepakatan
masyarakat internasional, bahwa tentara suatu negara dibenarkan untuk menyerang
dan menembak, bahkan membunuh musuh dalam membela kedaulatan bangsa dan negara.
Dan polisi suatu negara juga dibenarkan menembak mati para penjahat tatkala tak
ada pilihan lain untuk mengatasinya. Semua itu merupakan kekerasan yang
terpuji, bahkan kekerasan yang menjadi keharusan demi melindungi kedamaian dan
kelembutan dalam kehidupan suatu bangsa dan negara.
Disini kita tertantang untuk
mengkaji ulang DEFINISI tindak kekerasan, agar tidak terjadi PEMBUSUKAN MAKNA
dengan menggeneralisir bahwa semua kekerasan itu tercela dan patut dikecam
serta dilaknat. Dengan pendefinisian yang benar nantinya kita mudah memilah
mana kekerasan yang TERPUJI dan mana yang TERCELA, sehingga kita tidak lagi
memposisikan dalil-dalil kelembutan sebagai lawan dari dalil-dalil kekerasan
dalam arti KETEGASAN.
B. KELEMBUTAN dan
KETEGASAN
Tidak ada seorang pun yang
memungkiri bahwa sikap lembut dan bijak adalah sikap yang terpuji, bahkan harus
dikedepankan di berbagai situasi dan kondisi, apalagi dalam beramar ma’ruf nahi
munkar untuk menegakkan agama Allah SWT.
Dalam Shahîh Al-Imâm Al-Bukhâri rhm,
Hadits ke – 6.024, 6.256, 6.395 dan 6.927, yang semuanya bersumber dari
Sayyidah Âisyah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : “Sesungguhnya Allah
itu Maha Lembut, dan Ia menyukai kelembutan dalam segala urusan ”.
Hadits yang serupa atau semakna
diriwayatkan pula oleh para Ahli Hadits lainnya seperti Al-Imâm Muslim rhm,
Al-Imâm At-Tirmidzi rhm, Al-Imâm Ibnu Mâjah rhm, dan Al-Imâm Abu Daud rhm.
Namun demikian, Lembut bukan berarti
Tidak Tegas terhadap KESESATAN, dan bukan pula berarti Damai dengan PENISTAAN
AGAMA. Karena Tidak Tegas terhadap KESESATAN adalah kefasikan. Damai dengan
PENISTAAN AGAMA adalah kemunafikan.
Islam adalah agama perdamaian, tapi
bukan berarti pasrah kepada KESESATAN. Islam adalah agama kelembutan, tapi
bukan berarti diam terhadap PENISTAAN dan PENODAAN AGAMA.
Setiap kampanye perdamaian yang
ditujukan untuk memadamkan api perlawanan terhadap KESESATAN adalah pengkhianatan.
Sebaliknya, setiap kampanye perang untuk melawan KESESATAN adalah perjuangan.
Semua kampanye kelembutan dengan tujuan membiarkan PENISTAAN AGAMA adalah kejahatan.
Sebaliknya, semua kampanye ketegasan untuk menghentikan PENODAAN AGAMA adalah kebajikan.
Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
membenarkan sikap tegas tidak kalah banyaknya dengan nash tentang kelembutan.
Jadi, kita tidak boleh hanya mengambil dalil-dalil kelembutan dengan
mengabaikan dalil-dalil ketegasan, atau sebaliknya, karena keduanya sama-sama
datang dari sumber hukum yang sah, bahkan sumber dari segala sumber hukum
Islam, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Rasulullah SAW pernah melakukan 29
kali peperangan dalam sejarah hidupnya. Kita tidak bisa memungkiri bahwa perang
adalah tindak kekerasan, yang mengakibatkan pertumpahan darah, kemusnahan harta
benda, bahkan mengorbankan nyawa. Namun tentu saja, semua itu tidak dilakukan
oleh Rasulullah SAW, kecuali sebagai solusi terakhir, setelah sikap lembut dan
ramah dikedepankan
dan didahulukan.
Sungguh pun demikian rupa yang
dilakukan Rasulullah SAW dengan tegas dan keras, namun Allah SWT tidak pernah
mengecamnya, apalagi menyebut beliau dan para Shahabatnya sebagai golongan
“Radikal” atau menyatakan tindakan mereka ”Anarkis”, bahkan Allah SWT
membenarkan dan memujinya.
KETEGASAN inilah yang telah
diteladani oleh para Al-Khulafâ’ Ar-Râsyidîn ra. Lihatlah bagaimana Sayyidunâ
Abu Bakar Ash-Shiddîq ra tanpa ragu-ragu memerangi kaum murtaddîn dari para
pengikut Nabi Palsu Musailamah Al-Kadzdzab dan mereka yang tidak mau membayar
zakat, setelah terlebih dahulu diajak untuk bertaubat dengan penuh kelembutan.
Dan lihat pula bagaimana Sayyidunâ ‘Ali
Al-Murtadhâ krw dengan tegas menindak kaum bughât (pemberontak) yang durhaka
terhadap Imam yang haq, setelah terlebih dahulu diajak untuk kembali kepada
persatuan umat dan mentaati pimpinan.
Sayyidunâ ‘Ali ibnu Abi Thâlib krw
pernah menulis pesannya kepada para pembantunya dalam menjalankan roda
pemerintahan, antara lain berisi :
Artinya : “Mohonlah
pertolongan Allah. Campurlah sikap keras dengan segenggam kelembutan, lembutlah
ketika kelembutan itu yang terbaik. Dan mantapkan kekerasan saat engkau tidak
lagi mendapatkan cara kecuali kekerasan ”. (Nahjul Balâghoh, Juz III,
Hal.597, nomor ke 46)
Kesimpulannya, Lembut ada tempatnya
dan Tegas ada saatnya. Kelembutan harus dikedepankan dan diutamakan dalam
menegakkan agama Allah SWT, sedang ketegasan merupakan solusi akhir jika
kelembutan tak mampu menyelesaikan persoalan.
Posted
by Knights Of Masjid on 8:27 PM. Filed under feature, hisbah . You can follow any responses to this
entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response
DI SEBALIK
KETEGASAN HUKUM
PENELITIAN DOGMATIK ATAU DOCTRINAL
RESEARCH
M.RAKIB LPMP
RIAU INDONESIA. 2014
Ada Kelembutan Yang Tersulam Di
Sebalik Ketegasan Hukuman Fisik hudud ciptaan Sang Pencipta terhadap manusia
kerdil yang bernama manusia.Hukuman jilid atau pukulan rotan, sebatan di dalam hudud dikenakan kepada peminum minuman keras, penzina (bujang), Qozaf, dan peminum arak. Hukuman tidak dijalankan sesuka hati model HAM Barat, tetapi perlu berlandaskan syarat-syarat yang telah di gariskan Islam.
Alat pemukul adalah cemeti kulit yang berukuran sederhana, tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, tidak juga terlalu keras dan tidak terlalu lembut. Cemeti itu mestilah mempunyai satu ujung saja, tidak boleh kiranya ujung cemeti itu bercabang dua atau lebih.
Cara memegang cemeti adalah
dengan meletakkan cemeti di antara jari telunjuk dan jari manis atau diantara
jari kelingking dan jari manis. Tujuannya supaya sebatan yang dikenakan kepada
pesalah tidak terlalu kuat dan dapat mengawal sebatan itu secara sederhana.
Ketika seorang dosen menunjukkan cara memegang cemeti yang betul, semua orang
di dalam kelas yang terdiri dari pelajar Arab, Somalia, Rusia, Cina dan Melayu
terpaku melihat lembutnya cara hukuman yang telah di tetapkan oleh Islam.
Tiba-tiba terdengar suara seorang pelajar arab..
“Anisah, memang lembut begini ke cara pelaksanaan hukuman hudud dalam
Islam?” Tanya pelajar arab itu.
“ Ya, memang lembut beginilah hukum Allah.Kamu semua terkejut melihat
hukum Allah seindah ini? Masyarakat memang begitu, bila dengar saja tentang pidana
hudud mereka membayang suatu hukuman yang ganas dan sengsara, teruk. Tetapi
sebenarnya hukum Allah itu indah..” Jawab dosen di Siria ‘’ kami TERKEJUT” kata mahasiswa asal
Malaysia, yang tulisannya, sebahagian penulis kutip ini..
Berbeda dengan pukulan
sebatan yang dilakukan, diamalkan sekarang sama ada di penjara ataupun
sekolah-sekolah pesantren di Indonesia, yaitu dengan mengenggam rotan di antara
ibu jari dan jari telunjuk,supaya kekuatan sebatan secara maksimum dapat
diberikan.Kadar pukulan adalah sederhana. Tidak di pukul terlampau kuat dan tidak juga terlampau lembut. Orang yang menjatuhkan hukuman itu pula tidak boleh menghayun cemeti itu hingga melebihi paras kepala. Hm, bayangkanlah..sekuat mana pukulan itu…
Narapidana atau pesalah di sebat di bahagian belakang badan ( و الكتفين الظهر) , disebat dalam keadaan pesalah itu duduk, tidak dilentangkan badannya, dan tidak di ikat atau di pegang oleh sesiapa. Sekirannya narapidana atau pesalah itu mengelak ataupun lari ketika hendak di sebat (akibat kesakitan), pesalah tidak perlu di kejar.
Ketika hukuman di jalankan, naara pidana atau pesalah lelaki perlu membuka baju dan dalam masa yang sama menutup aurat mereka,yaitu menutup dari pusat hingga ke lutut. Manakala bagi nara pidana atau pesalah wanita pula, aurat harus di tutup seperti biasa, tetapi pesalah harus memakai sehelai pakaian yang nipis.
Berbeza dengan hukuman pukulan sebat yang dijalankan sekarang di bebrapa negara dan Malaysia, dan Timur tengah lainnya, badan sang terpidana atau pesalah dilentangkan dan di ikat, pesalah di sebat di bahagian punggung, Orang yang menjalankan hukuman itu pula menghayunkan semaksimun mungkin rotan yang terdiri dari pelbagai saiz ukurannya, ketika menjilid atau menyebat narapidana atau pesalah dan aurat pesalah sama sekali tidak terjaga ketika hukum di jatuhkan, bahagian punggung di biarkan terbuka begitu saja tanpa ada sehelai kain pun menutupinya. Allahurabbi…
Nah,
bagaimana di Indonesia yang
jelas negara hukum, sebagaimana yang diterangkan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945, dengan demikian maka segala sesuatu yang berhubungan dengan
penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus berlandaskan dan berdasarkan atas
hukum. Negara hukum ialah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur
oleh Undang-Undang yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan
pemberi suara rakyat.4 Negara hukum merupakan suatu negara yang dalam wilayahnya
terdapat alat-alat perlengkapan negara, khusus-nya alat-alat perlengkapan dari
pemerintah dalam tindakannya terhadap para warga negara dan dalam hubungannya
tidak boleh bertindak se-wenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan
hukum yang berlaku, dan semua orang dalam hubungan Kemasya- rakatan harus
tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
5
Negara kekuasaan, hukum, dan politik
merupakan satu kesatuanyang sulit untuk dipisahkan, karena semua komponen tersebut
senantiasa bermain dalam pelaksanaan roda kenegaraan dan pemerintahan, komponen-komponen
tersebut hanya akan berjalan dengan semestinya apabila ada pelaksana yang mengerti
tentang bagaimana cara kerja dari komponen tersebut. Diantara banyak pelaksana
negara, kekuasaan, hukum dan politik ini terdapat mereka yang disebut sebagai pejabat negara, baik secara
umum maupun secara khusus.
.
Dimasa modern ini, masyarakat tidak
lagi mengenal perjanjian yang berdasarkan atas kepercayaan satu sama lain
seperti yang mereka kenal dulu, Setiap perjanjian yang dilakukan oleh
masyarakat pasti
akan mengarah kepada notaris sebagai
sarana keabsahan perjanjian yang
4
Sudargo Gautama,
Pengertian Tentang Negara Hukum,
Alumni, 1973, Bandung, hlm. 13.
5
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_hukum
,
DiaksesTanggal 9 februari 2013
6
HabibAdjie,
HukumNotaris Indonesia
, RefikaAditama, Bandung, 2009, hlm.
13.
Penelitian ini membahas ketidak selarasan peraturan
perundang-Undangan antara Pasal 80
(1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak. Kedua pasal tersebut
mengatur tentang larangan-larangan melakukan kekerasan atau hukuman fisik bagi anak.
Sedangkan hadis nabi, memerintahkan agar
anak yang sudah berumur 10 tahun t5idakm salat, boleh diberi hukuman fisik,
dipukul. tidaknya kedua peraturan perundang-undangan yang berbeda tingkatan
tersebut dijadikan satu kesatuan.Bagaimana peraturan perundang-undangan yang
tepat secara hukum Islam, guna mengatur sinkronisasi hukum.
.
Penelitian ini merupakan peneltian
normative yakni mengkaji norma-norma terkait
penelitian yang diteliti.Dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, asas-asas
hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf
sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.Hasil
penelitian, untukmasalahtempat kedudukan dan
wilayah jabatan agar tidak terpecah sepertisekarang tidak perlu diadakan
dalam satu perundang-undangankarena landasan
hukum berbeda . Untuk menghasilkan
produkperaturan-perundang-undangan yang tepat secara hukum khususnya mengenai tempat
kedudukan dan wilayah jabatan baik notaris maupun PPAT maka dalam pembentukannya
harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baikyang terdapat
1Catatan
Mahasiswa, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang.
2
Pembimbing Utama, Dosen Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang.
3
Pembimbing Pendamping, Dosen
Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang.
didalam pasal 6 ayat (1) Undang
-
“Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
atau penelitian hukum kepustakaan (library research).”[1][1]
Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau
kaidah yang berlaku. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif
tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (undang-undang dasar), kodifikasi,
undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya.”[2][2]
“Penelitian tipe ini lazim disebut sebagai “studi
dogmatik” atau yang dikenal dengan doctrinal research.”[3][3]
“Penelitian tipe doktrinal (doctrinal research) adalah mirip dengan tipe
penelitian hukum normatif.”[4][4]
“Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis/dogmatik.”[5][5]
“Dogmatik hukum bersifat teoritis-rasional, sehingga pengungkapannya terikat
pada metode yang didasarkan pada persyaratan logika deduktif. Disamping itu,
maka dogmatik hukum memperhitungkan kecermatan, ketetapan dan kejelasan.”[6][6]
“Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library
research) ini dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data
sekunder belaka.”[7][7]
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan tersebut mencakup:
1. Penelitian terhadap asas-asas hukum
2. Penelitian terhadap sitematik hukum
3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan
horizontal
4. Perbandingan hukum
B. Variabel Penelitian
“variable
penelitian ini adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian
suatu penelitian.”[9][9] Menurut Abdulkadir Muhammad, “rumusan masalah dibuat
sekhusus mungkin, tetapi tetap mencerminkan adanya hubungan antara variable.”[10][10] Berdasarkan masalah yang dirumuskan pada bab satu, maka
dapatlah ditetapkan variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap hak
asasi manusia dalam kehidupan bernegara di indonesia?
C. Data dan Sumber Data
Adapun
yang menjadi sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data
sekunder berdasarkan studi pustaka / studi literatur (library research). Sumber data sekunder tersebut diklasifikasikan
antara:
1. Bahan hukum primer (bahan hukum yang mengikat secara umum)
yang terdiri dari:
a. Norma dasar atau kaidah dasar dalam pembukaan (preambule) UUD 1945;
b. Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia.
c. Undang-undang No 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi
Manusia.
d. Konvensi-konvensi internasional di bidang hak asasi manusia.
e. Yurisprudensi yang ada hubunganya dengan pelanggaran hak
asasi manusia.
2. Bahan
hukum sekunder yaitu yang memberi Penjelasan mengenai bahan hukum primer
seperti berbagai bahan kepustakaan berupa buku, majalah, hasil penelitian,
makalah dalam seminar, dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Bahan
hukum Tertier
Yaitu Bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang mana terdiri
a. Kamus hukum
b. Kamus bahasa Indonesia
c. Kamus Bahasa Inggris
d. Artikel artikel dan laporan dari media massa ( surat
kabar , jurnal hukum, majalah dan lain sebagainya ).[11][11]
D. Lagkah-Langkah Penelitian
Pengumpulan
data dilakukan melalui kegiatan studi kepustakaan, studi dokumen, dan studi
catatan hukum.[13][13]
Kepustakaan yang dimaksud terdiri dari perundang-undangan, buku karya tulis
bidang hukum.
Kegiatan
studi kepustakaan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a.
Penentuan sumber data sekunder
(sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier), berupa
perundang-undangan, literatur di bidang ilmu pengetahuan hukum, dan kamus.
b. Identifikasi data sekunder (sumber hukum primer, sumber
hukum sekunder, dan sumber tertier) yang
diperlukan, yaitu proses mencari dan menemukan bahan hukum berupa ketentuan
dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan ; judul buku, nama pengarang,
cetakan, kota penerbit, penerbit, tahun terbit dan nomor halaman karya tulis
bidang hukum.
c.
Inventarisasi data yang relevan
dengan rumusan masalah (pokok bahasan atau subpokok bahasan), dengan cara
pengutipan atau pencatatan.
d. Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan
relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.[14][14]
2. Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul kemudian diolah.
Pengolahan data dilakukan dengan cara:
a. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data
yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan
dengan masalah/variabel penelitian.
b. Penandaan data (coding), yaitu memberikan catatan atau
tanda yang menyatakan jenis sumber data (buku literatur, perundang-undangan,
atau dokumen); pemegang hak cipta (penulis, tahun penerbitan); atau rumusan
masalah/variabel penelitian (masalah pertama tanda A, masalah kedua tanda B,
dan seterusnya).
c. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang
data secara teratur, berurutan, logis mehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.
d. Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data
menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah/variabel
penelitian.[15][15]
3. Analisis Data dan Pembahasan
Menurut Abdulkadir Muhammad, “Penelitian hukum
umumnya menggunakan analisis kualitatif, dengan alasan: (1) Data yang terkumpul
berupa kalimat-kalimat pernyataan; (2) Data yang terkumpul umumnya berupa
informasi; (3) Hubungan antara variabel tidak dapat diukur dengan angka ….”[16][16]
Kemudian menurut Hilman Hadikusuma, “penelitian yang
hanya melakukan studi kepustakaan (data sekunder) tanpa melakukan penelitian
lapangan (data primer). Laporan skripsi itu akan hanya bersifat deskripsi
analitis berdasarkan pendekatan masalah yang bersifat normatif-juridis.”[17][17]
Penelitian ini juga memusatkan perhatiannya pada
hukum sebagai sistem peraturan-peraturan yang abstrak, hukum sebagai suatu
lembaga yang benar-benar otonom, terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar
peraturan perundang-undangan. Menurut Bambang Sunggono, “Pemusatan perhatian
yang demikian ini akan membawa kepada penggunaan metode normatif dalam
menggarap hukum. Sesuai dengan cara pembahasan yang bersifat analitis, maka
metode ini disebut sebagai normatif analitis.”[18][18]
Menurut Dengan demikian, analisis data dilakukan
secara kualitatif, konprehensif, dan lengkap. Analisis kualitatif artinya
menuraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun,
logis, tidak tumpang tindih, dan efektif. Konprehensif artinya analisis data
dilakukan secara mendalam dan berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian.
Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlewatkan atau terlupakan, semuanya
masuk dalam analisis.
[1][1] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, cet. 4, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13-14; Lihat
juga Bambang Sunggono, Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 184.
[2][2] Abdulkadir Muhammad, Hukum dan
Penelitian Hukum, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 52.
[3][3] Bambang Sunggono, Metodologi
Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 86.
[4][4] Bambang Sunggono, Ibid., hal.
93.
[5][5] Abdulkadir Muhammad, Op. cit.
[6][6] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Loc. cit., hal. 4; Bandingkan dengan “rechtsdogmatiek” dari K. F.
von Gerber dan Paul Laban, lihat, Sjachran Basah, Ilmu Negara (Pengantar,
Metode, dan Sejarah Perkembangan), cet. 8, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hal. 85.
[7][7] Ibid., hal. 13-14; Lihat,
Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.,; Lihat Juga, Hilman Hadikumsuma, Metode
Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, cet. 1, (Bandung: Mandar
Maju, 1995), hal. 65-66.
[8][8] Ibid., hal. 13-14.
[9][9] Suharsimi Arikunto, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, cet. 6, (Jakarta: Bina Aksara, 1989) hal.
89, 90, 92.
[12][12] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit,
hal. 125; Lihat juga, Bambang Sunggono, Loc. cit., hal. 184.
[13][13] Bambang Sunggono, Loc. cit.,
hal. 184; Lihat juga Abdulkadir Muhammad, Loc. cit., hal. 125.
[14][14] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit,
hal. 125.
[15][15] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit,
hal. 125.
[16][16] Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.,
hal. 92.
[17][17] Hilman Hadikumsuma, Loc. cit.,
hal. 120, 121.
[18][18] Bambang Sunggono, Loc. cit.,
hal. 68, 186;
No comments:
Post a Comment