Tuesday, December 16, 2014

LEX POSTERIOR DEROGAT LEGI PRIORI



LEX POSTERIOR DEROGAT LEGI PRIORI
M.RAKIB    LPMP   RIAU  INDONESIA…2014

Jika sudah ada UU yang mengatur mengenai hal yang sama, akan berlaku asas atau prinsip peraturan perundang-undangan. Setidaknya terdapat empat asas hukum terkait dengan peraturan perundang-undangan:

1.Lex superior derogat legi inferiori
.
Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan
peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.

2.Lex specialis derogat legi generalis

Lex specialis is a Latin phrase which means “law governing a specific
subject matter”. It comes from the legal maxim “lex specialis derogat legi
generali”. This doctrine relates to the interpretation of laws. It can apply in
both domestic and international law contexts.18The doctrine states that a law governing a specific subject matter overrides a law that only governs general matters . Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi generalis
:
a)Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap
berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
b)Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-
ketentuanlex generalis(undang-undang dengan undang-undang).
c)Ketentuan-ketentuan  lex specialis harus berada dalam lingkungan
hukum (rezim) yang sama dengan  lex generalis. Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama
termasuk lingkungan hukum keperdataan.18
http://definitions.uslegal.com/l/lex-specialis/
diakses pada tanggal 8 Desember 2012.
12
Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah
3.Asas lex posterior derogat legi priori
Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan
aturan hukum yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori
mewajibkan  menggunakan hukum yang baru.Asas ini pun memuat prinsip-prinsip:
a.Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan
hukum yang lama
b.Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama.Asas ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Dengan adanya Asas Lex  posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan  suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting. Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan hukum baru mulai berlaku.

ASAS HUKUM SYARI’AH
a. Segala masalah tergantung pada tujuannya.
b. Kemudharatan itu harus dihilangkan
c. Kebiasaan itu dapat dijadikan hukum.
d. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
e. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Jika dikaitkan dengan ASAS atau kaidah-kaidah ushulliyah yang merupakan pedoman dalam mengali hukum islam yang berasal dari sumbernya, Al-Qur’an dan Hadits, kaidah FIQHIYAH merupakan kelanjutannya, yaitu sebagai petunjuk operasional dalam peng-istimbath-an hukum islam. Kaidah Fiqhiyah disebut juga sebaagai Kaidah Syari’iyah
Adapun tujuannya adalah untuk memudahkan Mujtahid dalam meng-istimbath-kan hukum yang sesuai dengan tujuan syara dan kemaslahatan manusia. Sementara Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapat kemashalatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut.
Adapun pengertian Kaidah Fiqhiyah, dapat diurai dari kaidah dan Fiqih. Kaidah menurut Dr. Ahmad Muhammad Asy- Syafi’i dalam buku Ushul Fiqh Islami adalah: “Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan satuan hukum juz’i yang banyak”. Sementara arti fiqih dari beberapa definisi yang dikemukankan fuqaha’ berkisar pada rumusan berikut:2)
1. Fiqh merupakan bagian dari Syaria’ah
2. Hukum yang dibahas mencakup hukum amali
3. Obyek hukum pada orang-orang mukallaf
4. Sumber hukum berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dalil lain yang bersumber pada kedua sumber utama tersebut
5. Dilakukan dengan jalan istimbath atau ijtihad sehingga kebenarannya kondisional dan temporer adanya.
Dengan demikian pengertian Kaidah Fiqhiyah dapat diartikan diantaranya sebagai, “Hukum–hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang dibangun oleh Syari’ serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya “ (Ahmad Muhammad Asy- Syafi’i 1983:5), atau “Sebagai suatu jalan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menolak kerusakan” (Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam).
Urgensi Kaidah Fiqhiyah
Hal yang berhubungan dengan Fiqh sangat luas, mencakup berbagai hukum furu’. Karena luasnya, maka itu perlu ada kristalisasi berupa kaidah-kaidah umum (kulli) yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Hal ini akan memudahkan para mujtahid dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa dibawah lingkup satu kaidah.
Dalam pembahasannya Kaidah Fiqhiyah sering menggunakan sistematika atas dasar keabsahan kaidah, atas dasar abjad, atau berdasarkan sistematika fiqh. Berdasarkan keabsahan kaidah, dibagi atas kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah qhairu asasiah. Kaidah asasiah oleh Imam Muhammad Izzudin bin Abdis Salam diringkas menjadi kaidah “Menolak kerusakan dan menarik kemashlahatan”. Kaidah ini merupakan kaidah yang oleh para Imam Mazhab telah disepakati tanpa ada pihak yang memperselisihkan kekuatannya. Adapun Kaidah asasiah ini terdiri atas 5 macam (panca kaidah) yaitu :
a. Segala masalah tergantung pada tujuannya.
b. Kemudharatan itu harus dihilangkan
c. Kebiasaan itu dapat dijadikan hukum.
d. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
e. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.

Sedangkan kaidah-kaidah qhairu asasiah merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, dan keabsahannya masih tetap diakui, yang oleh beberapa ulama dibagi atas beberapa macam, di antaranya:
a. Hasbi ash Shididiqi terdapat 19 macam kaidah
b. Abdul Mudjib terdapat 40 kaidah yang tidak dipertentangkan dan 20 kaidah yang diperselisihkan.
Panca Kaidah Asasiah
Panca kaidah itu digali dari sumber-sumber hukum, baik melalui Al Quran dan as sunnah maupun dalil-dalil istimbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fiqh, sehingga sampai dari nash itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam. Adapun bentuk-bentuk panca kaidah itu adalah:
A. Kaidah Yang Berkaitan dengan Fungsi Tujuan
1. Teks Kaidahnya
” Setiap perkara tergantung pada tujuannya”
2. Dasar-dasar Nash Kaidah
Firman Allah SWT:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
[1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan kepada-Nya dalam agama yang lurus (QS:Al Bayyinah:5)
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Barang siapa yang menghendaki pahala dunia niscaya Kami berikan kepadanya pahala di dunia itu, dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat niscaya kami berikan pula pahala akhirat itu (QS: Ali Imran:145)
Sabda Nabi SAW
Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seorang itu hanyalah apa yang ia niati (HR Perawi Enam dari Umar bin Khattab)
Tiada (pahala) bagi perbuatan yang tidak niat (HR Anas)
Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut niatnya (HR Ibnu Majah dari Abu Harairah)
Niat seorang mukmin itu lebih baik daripada perbuatan (HR Thabrani dari Shalan Ibnu Said)
3. Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan Niat
Kaidah Pertama
”Sesungguhnya (amalan) yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global maupun tafshili, apabila kemudian dipastikan dan ternyata salah maka kesalahannya tidak membahayakan (tidak membatalkan)”.
Kaidah Kedua
”Suatu (amalan) yang disyaratkat untuk dijelaskan, maka kesalahannya akan membatalkan perbuatannya.”
Kaidah Ketiga
”Suatu (amalan) yang harus dijelaskan secara garis besarnya dan tidak disyaratkan untuk terperinci, kemudian disebutkan secara terperinci dan ternyata salah maka membahayakan.”
Kaidah Keempat
”Niat dalam sumpah mengkhususkan lafal umum, dan tidak pula menjadikan umum pada lafal yang khusus.”
Kaidah Kelima
”Maksud dari lafal menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat yaitu dalam sumpah dihadapan qodli, dalam keadaan demikian maksud lafal menurut niat qodli”.
Kaidah tersebut sesuai dengan kaidah Nabi SAW:
”Sumpah itu (maksudnya) menurut niat orang yang menyumpah.”
Kaidah Keenam
”Yang dimaksud dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafal atau bentuk perkataan.”
Dalam suatu akad, bila terjadi perbedaan antara maksud (niat) si pembuat dengan lafal yang diucapkan, maka yang dianggap akad adalah niat/maksudnya, selama yang demikian itu masih diketahui.
Kaidah Ketujuh
”Seseorang yang tidak dapat melaksanakan ibadah karena suatu halangan, padahal ia berniat untuk melakukannya jika tiada halangan, maka ia mendapatkan pahala.”
Kaidah tersebut berkaitan dengan sabda Nabi SAW”
Apabila seorang sakit atau berpergian maka ia dianggap beramal sebagaimana ia dalam keadaan sehat atau tetap di rumah”.
4. Contoh Aplikasi
a.  Dalam shalat tidak disyaratkan niat menyebutkan jumlah rakaat, maka bila seoarang muslim berniat melaksanakan shalat magrib 4 rakaat, tetapi ia tetap dalam melaksanakan tiga rakaat, maka shalatnya tetap saja sah.
b. Seseorang yang akan melaksanakan shalat Zhuhur, tapi niatnya menunaikan shalat Ashar, maka shalatnya tidak sah.
c. Seseorang yang bersumpah tidak akan berbicara dengan seseoarang, dan maksudnya dengan Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada Ahmad saja.
B. Kaidah Yang Berkenaan Dengan Keyakinan
1. Teks Kaidahnya
”Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”
Yang dimaksud yakin adalah: sesuatu yang tetap, baik dengan penganalisaan maupun dengan dalil.
Sedang yang dimaksud ”syak” adalah: ” sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya, dan dalam ketidaktentuan itu sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya.”
2. Dasar –dasar Nash Kaidahnya
Firman Allah SWT
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran[690]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.
[690] Sesuatu yang diperoleh dengan prasangkaan sama sekali tidak bisa mengantikan sesuatu yang diperoleh dengan.
”Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS Yunus:36).
Sabda Nabi SAW
”Apabila seseorang di antara kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar masjid sehingga mendapatkan baunya.” (HR Muslim)
”Nabi mendapat pengaduan bahwa seseorang merasa bingung oleh sesuatu dalam shalatnya, Nabi bersabda,” ”Janganlah ia pergi sehingga benar-benar mendengar suara atau mendapatkan baunya.” (HR Bukhari dan Muslim)
”Apabila seseorang ragu-ragu di dalam shalatnya, tidak tahu sudah berapa rakaatkah shalatnya, tiga ataukah empat, maka buanglah keraguan tersebut dan berpeganglah kepada yang meyakinkan.” (HR Tarmidzi)
Menurut Logika
”Keyakinan adalah lebih kuat daripada keraguan, sebab dalam keyakinan terdapat keputusan (hakim) yang pasti yang tidak hilang oleh keraguan.”
3.Kaidah –kaidah yang berkaitan dengan Yakin
Kaidah Pertama
”Asal itu tetap sebagaimana semula, bagaimanapun keberadaanya’
Kaidah Kedua
”Asal itu bebas dari tanggungan”
Kaidah Ketiga
”Asal itu tidak ada”
Kaidah Keempat
Asal dalam setiap kejadian, dilihat dari waktunya yang terdekat”
Kaidah Kelima
Asal dari sesuatu adalah kebolehan.”
Kaidah Keenam
Asal dari dalam kemubahan adalah keharaman”
Kaidah Ketujuh
”Asal dari ucapan adalah hakikat ucapan tersebut.”
4. Contoh Aplikasinya
a. Apabila seorang sedang melakukan shalat Ashar, kemudian dia ragu apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat maka ambillah yang lebih yakin, yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum salam disunnahkan sujud sahwi dua kali.
b. Seorang musafir yang membaca takbiratul Ihram (bermakmum) dibelakang orang yang tidak diketahui apakah dia seorang musafir atau bukan, maka qasharnya tidak memenuhi syarat.
c. Seorang yang dalam perjalanan, kemudian ragu apakah sudah sampai di negerinya atau belum, maka tidak boleh mengambil rukhshah.
DAFTAR PUSTAKA :
1. Muchlis Usman. Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta. Raja Grafindo Persada. 1993.
2. Prof. DR Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung Pustaka Setia 1998
3. Paper Dwi Iswahyuni, Kaidah-kaidah Fiqhiyah, Program Studi Timur Tengah dan Islam, Program Pascasarjana, UI, 2007

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook