LEX POSTERIOR DEROGAT LEGI PRIORI
M.RAKIB LPMP
RIAU INDONESIA…2014
Jika
sudah ada UU yang mengatur mengenai hal yang sama, akan berlaku asas atau
prinsip peraturan perundang-undangan. Setidaknya terdapat empat asas hukum terkait
dengan peraturan perundang-undangan:
1.Lex
superior derogat legi inferiori
.
Peraturan
perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan
peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali
apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal
yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah.
2.Lex
specialis derogat legi generalis
Lex specialis is a Latin phrase which means “law governing a
specific
subject matter”. It comes from the legal maxim “lex
specialis derogat legi
generali”.
This doctrine relates to the interpretation of laws. It can apply in
both domestic and international law contexts.18The doctrine states that a law
governing a specific subject matter overrides a law that only governs general
matters . Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan
aturan hukum yang umum. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas
Lex specialis derogat legi generalis
:
a)Ketentuan-ketentuan
yang didapati dalam aturan hukum umum tetap
berlaku,
kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
b)Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan
ketentuan-
ketentuanlex
generalis(undang-undang dengan undang-undang).
c)Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan
hukum
(rezim) yang sama dengan lex generalis.
Kitab Undang-Undang
Hukum
Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama
termasuk
lingkungan hukum keperdataan.18
http://definitions.uslegal.com/l/lex-specialis/
diakses
pada tanggal 8 Desember 2012.
Sinkronisasi
dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah
3.Asas lex posterior derogat legi priori
Aturan
hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan
aturan
hukum yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori
mewajibkan
menggunakan hukum yang baru.Asas ini pun
memuat prinsip-prinsip:
a.Aturan
hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan
hukum
yang lama
b.Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama.Asas
ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak
pastian hukum. Dengan adanya Asas Lex posterior
derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya
tidak begitu penting. Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan
berlaku lagi pada saat aturan hukum baru mulai berlaku.
ASAS
HUKUM SYARI’AH
a. Segala masalah tergantung pada tujuannya.
b. Kemudharatan itu harus dihilangkan
c. Kebiasaan itu dapat dijadikan hukum.
d. Yakin itu tidak
dapat dihilangkan dengan keraguan.
e. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Jika
dikaitkan dengan ASAS atau kaidah-kaidah ushulliyah yang merupakan pedoman
dalam mengali hukum islam yang berasal dari sumbernya, Al-Qur’an dan Hadits,
kaidah FIQHIYAH merupakan kelanjutannya, yaitu sebagai petunjuk operasional
dalam peng-istimbath-an hukum islam. Kaidah Fiqhiyah disebut juga
sebaagai Kaidah Syari’iyah
Adapun tujuannya adalah untuk memudahkan Mujtahid
dalam meng-istimbath-kan hukum yang sesuai dengan tujuan syara dan
kemaslahatan manusia. Sementara Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam
menyimpulkan bahwa kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapat kemashalatan
dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut.
Adapun pengertian Kaidah Fiqhiyah, dapat diurai dari
kaidah dan Fiqih. Kaidah menurut Dr. Ahmad Muhammad
Asy- Syafi’i dalam buku Ushul Fiqh Islami adalah: “Hukum yang bersifat
universal (kulli) yang diikuti oleh satuan satuan hukum juz’i
yang banyak”. Sementara arti fiqih dari beberapa definisi yang dikemukankan
fuqaha’ berkisar pada rumusan berikut:2)
1. Fiqh merupakan bagian dari Syaria’ah
2. Hukum yang dibahas mencakup hukum amali
3. Obyek hukum pada orang-orang mukallaf
4. Sumber hukum berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah atau
dalil lain yang bersumber pada kedua sumber utama tersebut
5. Dilakukan dengan jalan istimbath atau ijtihad sehingga kebenarannya
kondisional dan temporer adanya.
Dengan
demikian pengertian Kaidah Fiqhiyah dapat diartikan diantaranya sebagai, “Hukum–hukum
yang berkaitan dengan asas hukum yang dibangun oleh Syari’ serta tujuan-tujuan
yang dimaksud dalam pensyariatannya “ (Ahmad Muhammad Asy- Syafi’i 1983:5),
atau “Sebagai suatu jalan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menolak
kerusakan” (Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam).
Urgensi Kaidah Fiqhiyah
Hal yang berhubungan dengan Fiqh
sangat luas, mencakup berbagai hukum furu’. Karena luasnya, maka itu perlu ada
kristalisasi berupa kaidah-kaidah umum (kulli) yang berfungsi sebagai
klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dan tiap-tiap
kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Hal ini akan
memudahkan para mujtahid dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni
dengan menggolongkan masalah yang serupa dibawah lingkup satu kaidah.
Dalam pembahasannya Kaidah Fiqhiyah
sering menggunakan sistematika atas dasar keabsahan kaidah, atas dasar abjad,
atau berdasarkan sistematika fiqh. Berdasarkan keabsahan kaidah, dibagi atas
kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah qhairu asasiah. Kaidah asasiah oleh
Imam Muhammad Izzudin bin Abdis Salam diringkas menjadi kaidah “Menolak
kerusakan dan menarik kemashlahatan”. Kaidah ini merupakan kaidah yang oleh
para Imam Mazhab telah disepakati tanpa ada pihak yang memperselisihkan
kekuatannya. Adapun Kaidah asasiah ini terdiri atas 5 macam (panca kaidah)
yaitu :
a. Segala masalah tergantung pada tujuannya.
b. Kemudharatan itu harus dihilangkan
c. Kebiasaan itu dapat dijadikan hukum.
d. Yakin itu
tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
e. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Sedangkan kaidah-kaidah qhairu
asasiah merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, dan keabsahannya masih tetap
diakui, yang oleh beberapa ulama dibagi atas beberapa macam, di antaranya:
a. Hasbi ash Shididiqi terdapat 19 macam kaidah
b. Abdul Mudjib terdapat 40 kaidah yang tidak
dipertentangkan dan 20 kaidah yang diperselisihkan.
Panca Kaidah Asasiah
Panca kaidah
itu digali dari sumber-sumber hukum, baik melalui Al Quran dan as sunnah maupun
dalil-dalil istimbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash
pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fiqh, sehingga sampai dari nash
itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam. Adapun bentuk-bentuk
panca kaidah itu adalah:
A. Kaidah Yang
Berkaitan dengan Fungsi Tujuan
1. Teks
Kaidahnya
” Setiap
perkara tergantung pada tujuannya”
2. Dasar-dasar
Nash Kaidah
Firman Allah
SWT:
Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
[1595] Lurus
berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
Dan mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan kepada-Nya dalam
agama yang lurus (QS:Al Bayyinah:5)
Sesuatu yang
bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang
telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami
berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala
akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan
memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Barang siapa
yang menghendaki pahala dunia niscaya Kami berikan kepadanya pahala di dunia
itu, dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat niscaya kami berikan pula
pahala akhirat itu (QS: Ali Imran:145)
Sabda Nabi SAW
Sesungguhnya
segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seorang itu hanyalah
apa yang ia niati (HR Perawi Enam dari Umar bin Khattab)
Tiada (pahala)
bagi perbuatan yang tidak niat (HR Anas)
Sesungguhnya manusia
itu dibangkitkan menurut niatnya (HR Ibnu Majah dari Abu Harairah)
Niat seorang
mukmin itu lebih baik daripada perbuatan (HR Thabrani dari Shalan Ibnu Said)
3.
Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan Niat
Kaidah Pertama
”Sesungguhnya
(amalan) yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global maupun
tafshili, apabila kemudian dipastikan dan ternyata salah maka kesalahannya
tidak membahayakan (tidak membatalkan)”.
Kaidah Kedua
”Suatu (amalan)
yang disyaratkat untuk dijelaskan, maka kesalahannya akan membatalkan
perbuatannya.”
Kaidah Ketiga
”Suatu (amalan)
yang harus dijelaskan secara garis besarnya dan tidak disyaratkan untuk
terperinci, kemudian disebutkan secara terperinci dan ternyata salah maka
membahayakan.”
Kaidah Keempat
”Niat dalam
sumpah mengkhususkan lafal umum, dan tidak pula menjadikan umum pada lafal yang
khusus.”
Kaidah Kelima
”Maksud dari
lafal menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat yaitu
dalam sumpah dihadapan qodli, dalam keadaan demikian maksud lafal menurut niat
qodli”.
Kaidah tersebut
sesuai dengan kaidah Nabi SAW:
”Sumpah itu
(maksudnya) menurut niat orang yang menyumpah.”
Kaidah Keenam
”Yang dimaksud
dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafal atau bentuk perkataan.”
Dalam suatu
akad, bila terjadi perbedaan antara maksud (niat) si pembuat dengan lafal yang
diucapkan, maka yang dianggap akad adalah niat/maksudnya, selama yang demikian
itu masih diketahui.
Kaidah Ketujuh
”Seseorang yang
tidak dapat melaksanakan ibadah karena suatu halangan, padahal ia berniat untuk
melakukannya jika tiada halangan, maka ia mendapatkan pahala.”
Kaidah tersebut
berkaitan dengan sabda Nabi SAW”
Apabila seorang
sakit atau berpergian maka ia dianggap beramal sebagaimana ia dalam keadaan
sehat atau tetap di rumah”.
4. Contoh
Aplikasi
a. Dalam shalat tidak disyaratkan niat menyebutkan
jumlah rakaat, maka bila seoarang muslim berniat melaksanakan shalat magrib 4
rakaat, tetapi ia tetap dalam melaksanakan tiga rakaat, maka shalatnya tetap
saja sah.
b. Seseorang yang akan melaksanakan shalat Zhuhur, tapi
niatnya menunaikan shalat Ashar, maka shalatnya tidak sah.
c. Seseorang yang bersumpah tidak akan berbicara dengan
seseoarang, dan maksudnya dengan Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada Ahmad
saja.
B. Kaidah Yang
Berkenaan Dengan Keyakinan
1. Teks Kaidahnya
”Keyakinan itu
tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”
Yang dimaksud
yakin adalah: sesuatu yang tetap, baik dengan penganalisaan maupun dengan
dalil.
Sedang yang
dimaksud ”syak” adalah: ” sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya,
dan dalam ketidaktentuan itu sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa
dapat dimenangkan salah satunya.”
2. Dasar –dasar Nash Kaidahnya
Firman Allah
SWT
Dan kebanyakan
mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu
tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran[690]. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka kerjakan.
[690] Sesuatu
yang diperoleh dengan prasangkaan sama sekali tidak bisa mengantikan sesuatu
yang diperoleh dengan.
”Dan kebanyakan
mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu
tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS Yunus:36).
Sabda Nabi SAW
”Apabila
seseorang di antara kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya kemudian sangsi
apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar
masjid sehingga mendapatkan baunya.” (HR Muslim)
”Nabi mendapat
pengaduan bahwa seseorang merasa bingung oleh sesuatu dalam shalatnya, Nabi
bersabda,” ”Janganlah ia pergi sehingga benar-benar mendengar suara atau
mendapatkan baunya.” (HR Bukhari dan Muslim)
”Apabila
seseorang ragu-ragu di dalam shalatnya, tidak tahu sudah berapa rakaatkah
shalatnya, tiga ataukah empat, maka buanglah keraguan tersebut dan berpeganglah
kepada yang meyakinkan.” (HR Tarmidzi)
Menurut Logika
”Keyakinan
adalah lebih kuat daripada keraguan, sebab dalam keyakinan terdapat keputusan
(hakim) yang pasti yang tidak hilang oleh keraguan.”
3.Kaidah –kaidah yang berkaitan dengan Yakin
Kaidah Pertama
”Asal itu tetap
sebagaimana semula, bagaimanapun keberadaanya’
Kaidah Kedua
”Asal itu bebas
dari tanggungan”
Kaidah Ketiga
”Asal itu tidak
ada”
Kaidah Keempat
”Asal dalam
setiap kejadian, dilihat dari waktunya yang terdekat”
Kaidah Kelima
” Asal dari
sesuatu adalah kebolehan.”
Kaidah Keenam
” Asal dari dalam
kemubahan adalah keharaman”
Kaidah Ketujuh
”Asal dari
ucapan adalah hakikat ucapan tersebut.”
4. Contoh Aplikasinya
a. Apabila seorang sedang melakukan shalat Ashar,
kemudian dia ragu apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat maka ambillah
yang lebih yakin, yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum salam disunnahkan sujud
sahwi dua kali.
b. Seorang musafir yang membaca takbiratul Ihram
(bermakmum) dibelakang orang yang tidak diketahui apakah dia seorang musafir
atau bukan, maka qasharnya tidak memenuhi syarat.
c. Seorang yang dalam perjalanan, kemudian ragu apakah
sudah sampai di negerinya atau belum, maka tidak boleh mengambil rukhshah.
DAFTAR PUSTAKA
:
1. Muchlis Usman. Kaidah Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta. Raja
Grafindo Persada. 1993.
2. Prof. DR Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu
Ushul Fiqih, Bandung Pustaka Setia 1998
3. Paper Dwi
Iswahyuni, Kaidah-kaidah Fiqhiyah, Program Studi Timur Tengah dan Islam,
Program Pascasarjana, UI, 2007
No comments:
Post a Comment