Friday, May 8, 2020

WAJIB BELAJAR SASTRA ARAB

PENGERTIAN KHOBARIYAH DAN INSYA’IYAH
WAJIB BELAJAR SASTRA ARAB WAJIB 
BAGI CALON USTADZ



DR.HM.RAKIB JAMARI,BA,.S.,H.,M.Ag DARI RIAU.
Calon ustadz harus memiliki dasar-dasar ilmu sastra Arab tentang pembagian seluruh ayat al-Quran menurut ilmu sastra cuma dua, yaitu: Pertama kalimat berita yang mengandung kata-kata biasa adan ada pula yang mengandung kiasan atau majaz. Kedua, kalimat tanya, yang disebut insya’iyah. Kalimat berita disebut khobariyah dan kalimat tanya, disebut insya’iyah. Kalam Insya’ (insya’iyah) الكلام على الإنشاء
الكلامُ على الإنشاءِ

Pembahasan Kalam Insya’ (perkataan yg tidak bisa dinilai benar atau dusta)
الإنشاءُ إمَّا طَلَبيٌّ أوْ غيرُ طَلَبيٌّ
Sebutan Kalam Insya’ bukan hanya kalimat Tanya, bahkan ada kategori:
1. Tholabiy (tuntutan) atau
2. Ghairu Tholabiy (tidak ada unsur tuntuan)
فالطَّلَبيُّ ما يَستدعِي مَطلوبًا غيرَ حاصِلٍ وَقْتَ الطلَبِ وغيرُ الطلَبِيِّ ما ليسَ كذلكَ
Suatu yang disebut Kalam Insya Tholabiy adalah perkataan yang memerlukan atau meminta suatu yang dituntut yang tidak ada/tidak dihasilkan pada saat penuntutan. Sedangkan Kalam Insya Ghairu Tholabiy adalah tidak seperti itu (yakni, perkataan Insya’ yang tidak ada unsur tuntutan terhadap suatu hal).
والأوَّلُ يَكونُ بخمسةِ أشياءَ: الأمْرُ، والنهيُ، والاستفهامُ، والتمنِّي، والنداءُ
Kalam insya’ kategori pertama (Insya’ Tholabiy) terdapat lima macam:
1. Amar (perintah)
2. Nahi (larangan)
3. Istifham (pertanyaan)
4. Tamanni (harapan)
5. Nida’ (penggilan)
Nah penerapan sastra al-Quran ini, ada dua sikap tentang Sifat Khabariyah. Dalam Al-Qur’an dan hadits, ditemukan banyak ayat atau hadits yang menyinggung tentang sifat yang sepintas bermakna organ tubuh Tuhan. Misalnya ayat “yadullah fauqa aydîhim” ini khabariyah yang majaz,sindiran, kiasan, yang secara literal bermakna kasat mata “tangan Allah di atas tangan-tangan mereka”, “tajrî bia’yuninâ” yang pengertian secara literal, harfiyah bermakna “perahu itu berjalan dengan banyak di atas mata kami” dan banyak teks lain yang menyebut adanya wajh (wajah), shûrah (bentuk), ‘ashâbi‘ (jari jemari) dan sebagainya.
Sifat sastra Al-Quran dalam ayat-ayat atau hadits yang menyatakan demikian itu disebut sebagai sifat khabariyah atau sifat Allah yang keberadaannya hanya bisa diketahui melalui teks Al-Qur’an atau hadits semata, tak bisa melalui akal. Bagaimanakah seorang Muslim seharusnya menyikapi sifat khabariyah ini? Imam Tajuddin as-Subki, salah satu ulama Asy'ariyah terkemuka dengan sangat indah menjelaskan pandangan para ulama tentang hal ini, mari teman belajar terus tanpa henti.
Ahlussunnah wal Jamaah (Asy’ariyah) dalam menetapkan sifat khabariyah tersebut sebagai berikut:

للأشاعرة قولان مشهوران في إثبات الصفات، هل تمر على ظاهرها مع اعتقاد التنزيه، أو تئول؟ والقول بالإمرار مع اعتقاد التنزيه هو المعزو إلى السلف، وهو اختيار الإمام في الرسالة النظامية. وفي مواضع من كلامه، فرجوعه معناه الرجوع عن التأويل إلى التفويض، ولا إنكار في هذا، ولا في مقابله، فإنها مسألة اجتهادية، أعني مسألة التأويل أو التفويض مع اعتقاد التنزيه. إنما المصيبة الكبرى والداهية الدهياء الإمرار على الظاهر، والاعتقاد أنه المراد، وأنه لا يستحيل على الباري، فذلك قول المجسمة عباد الوثن

"Para ulama Asy’ariyah mempunyai dua pendapat yang masyhur dalam menetapkan adanya sifat (khabariyah) Allah (bukan malah meniadakannya/ta'thîl); Apakah dimaknai sesuai makna lahiriahnya dengan disertai keyakinan menyucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk ataukah ditakwil? Pendapat yang membiarkan lafaz apa adanya sesuai lahiriahnya tetapi menyucikan Allah (dari sifat makhluk) adalah yang dinukil dari ulama salaf. Itulah pilihan Imam al-Haramain dalam risalah Nidhamiyah dan dalam beberapa tempat dari kitab-kitabnya. Rujuknya Imam al-Haramain maknanya adalah rujuk dari takwil menuju tafwidh. Hal ini tak boleh diingkari (disalahkan), begitu juga kebalikannya (yang mentakwil). Sesungguhnya ini adalah masalah, ijtihadiyah, yakni soal takwil dan tafwidh beserta tanzih (menyucikan Allah dari sifat yang tak layak). Sesungguhnya musibah besar dan petaka yang parah adalah meyakini makna lahiriyah lalu meyakini bahwa itulah yang dimaksud dan bahwa itu tak mustahil bagi Allah. Itu adalah keyakinan para Mujassimah, yaitu para penyembah berhala." (Tajuddin as-Subki, Thabaqât as-Syafi’iyah al-Kubrâ, juz V, halaman 191)

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook