JIKA
PEMERINTAH SALAH TANGKAP DAN SALAH HUKUM
Haji M.Rakib Panam Pekanbaru Riau
Indonesia. 2015.
Merajuk pada Pasal 1365
KUHPerdata, yang berbunyi: “
tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut
JIL, juga JIN serta Barat dengan propaganda
busuknya mulai menyebarkan opini miring dan pemahaman-pemahaman yang tidak
sesuai dengan yang Islam ajarkan, diantaranya Barat telah mempropagandakan
bahwasanya Islam
tidak ada hubungannya dengan pemerintahan, kekuatan, kesiagaan,
politik dan jihad. Islam tidak menuntuk kepada pemeluknya untuk membela tanah
air mereka dan membebaskan tanah air mereka dari orang-orang yang merampasnya.
Hasan Al-Banna menyebut sifat pemahaman Islam ala barat itu dengan Islam
Kolonialis Barat yang Hina. Padahal di dalam Al-Qur’an terdapat dalil yang
mewajibkan adanya kepemimpinan dalam Islam (An-Nisa : 59, An-Nisa : 83).
Dan hal ini dinafikan oleh
pemerintahan sekuler Turki yang dulu terbentuk pertama kali. Fungsinya adalah
untuk memecah belah ummat Islam. Meurut Hasan tugas ummat Islam adalah
menjelaskan agama Islam sebagaimana yang dikehendaki Allah kepada manusia yaitu
Islam yang menjadi aqidah, syari’at dan sistem kehidupan. Lalu melalui Fiqih
politiknya, Hasan menghimpun barisan
jihad di dunia ilmu hukum untuk mengusir
para Kolonialis yang Hina dari bumi Islam. Islam harus memimpin. Islam
harus berkuasa. Islam harus mengatur urusan hidup manusia, melindungi semua
manusia , hewan dan tumbuhan.
Bagaimana menurut Hukum Islam dan Hukum
Baarat, jika pemerintah salah tangkap dan salah hukum, pertanyaan apakah
persoalan menggugat pemerintah di muka hakim dapat disamakan dengan rakyat
biasa. Secara teoritik, Kranenburg memaparkan secara kronologis adanya
tujuh konsep mengenai permasalahan apakah negara dapat digugat dimuka hakim
perdata, yakni:
1)Konsep negara sebagai lembaga kekuasaan dikaitkan
dengan konsep hukum sebagai keputusan kehendak yang diwujudkan oleh kekuasaan,
menyatakan bahwa tidak ada tanggung
gugat negara.
2)Konsep yang
membedakan negara sebagai penguasa dan Negara sebagai fiscus. Sebagai penguasa, negara
tidak dapat digugat dan sebaliknya sebagai fiscus Negara dapat digugat. c)
3) Konsep yang
mengetengahkan kriteria sifat hak, yakni apakah suatu hak dilindungi oleh hukum
publik ataukah hukum perdata.
4) Konsep yang
mengetengahkan kriteria kepentingan hukum yang dilanggar.
5) Konsep yang mendasarkan pada perbuatan melawan
hukum sebagai dasar untuk menggugat Negara.
6) Konsep yang
memisahkan fungsi dan pelaksanaan fungsi
7) Konsep yang
mengetengahkan suatu asumsi dasar bahwa negara dan alat-alatnya berkewajiban dalam tindak-tanduknya, apapun
aspeknya (hukum publik atau hukum perdata) memperhatikan tingkah laku menusiawi
yang normal.
Berkenaan dengan kedudukan pemerintah sebagai
wakil dari badan hukum publik yang dapat
melakukan tindakan-tindakan hukum dalam bidang keperdataan seperti jual-beli,
sewa menyewa, membuat perjanjian, dan sebagainya, maka dimungkinkan muncul
tindakan pemerintah yang bertentangan dengan hukum (onrecht matige overheidsdaad ).
Berkenaan dengan perbuatan pemerintah yang bertentangan dengan hukum ini
disebutkan bahwa hakim perdata - berkenaan dengan perbuatan melawan hukum oleh
pemerintah - berwenang menghukum pemerintah untuk membayar ganti rugi. Di samping
itu, hakim
3 dikutip dari
Philipus Hadjon
4 perdata dalam
berbagai hal dapat mengeluarkan larangan atau perintah terhadap pemerintah untuk melakukan tindakan tertentu.
4. Merajuk pada Pasal 1365
KUHPerdata, yang berbunyi: “
tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut
.”
Ketentuan ini
telah mengalami pergeseran penafsiran, sebagaimana tampak dari beberapa
yurisprudensi. Pada periode sebelum 1919 ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata
ditafsirkan secara sempit, dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum,
timbulnya kerugian, hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan
kerugian, dan kesalahan pada pelaku. Berdasarkan pernafsiran demikian, tampak
bahwa perbuatan melawan hukum berarti sama dengan perbuatan yang bertentangan
dengan undang-undang.
5 Setelah tahun
1919 kriteria perbuatan melawan hukum adalah mengganggu hak orang lain,
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan
kesusilaan, bertentangan dengan
kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang
dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap benda orang lain.
Dengan adanya perluasan penafsiran ini, maka perlindungan hukum yang dapat
diberikan kepada warga negara juga semakin luas dan hal ini dianggap malah
melahirkan kesulitan dalam praktik peradilan. Di Indonesia ada dua
yurisprudensi Mahkamah Agung yang menunjukkan pergeseran kriteria perbuatan
melawan hukum oleh penguasa, yaitu: a)
Putusan MA dalam
perkara Kasum (Putusan No. 66K/Sip/1952), yang dalam kasus ini MA berpendirian
bahwa perbuatan melawan hukum terjadi apabila ada perbuatan sewenang dari pemerintah. b)
Putusan MA dalam
perkara Josopandojo (Putusan No. 838K/Sip/1970), dalam kasus ini MA
berpendirian bahwa kriteria
onrechtmatige
overheidsdaad
adalah
4
J. Spier, dalam buku
Hukum
Administrasi Negara,
karya Ridwan HR,
hlm. 271
5
Algra/Jansen, dalam buku
Hukum
Administrasi Negara,
karya Ridwan HR,
hlm. 272
5
undang-undang
dan peraturan formal yang berlaku, kepatutan dalam masyarakat yang harus
dipenuhi oleh penguasa. Putusan MA ini jelas menunjukkan bahwa kriteria
perbuatan melawan hukum oleh penguasa
adalahperbuatan penguasa itu melanggar undang-undang dan peraturan formal yang
berlaku, serta perbuatan penguasa tersebut melanggar kepentingan dalam
masyarakat yang seharusnya dipatuhinya. Perlindungan hukum bagi rakyat terhadap
tindakan hukum pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum
publik, dilakukan melalui peradilan umum. Kedudukan pemerintah dalam hal ini
tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum
perdata, sehingga pemerintah dapat menjadi tergugat maupun penggugat.
Konteks ini sesuai dengan Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan kesamaan kedudukan
dimuka hukum (equality
before the law).
2.Pelindungan
Hukum dalam Bidang Publik
Keputusan
sebagai instrumen hukum pemerintah dalam melakukan tindakan hukum sepihak,
dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum terhadap warga negara,
apalagi dalam negara hukum modern, oleh karena itu diperlukan perlindungan
hukum bagi warga negara terhadap
tindakan hukum pemerintah. Dalam rangka perlindungan hukum, keberadaan asas-asas
umum pemerintahan yang baik memiliki
peranan penting sehubungan dengan adanya langkah mundur pembuat undang-undang,
yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membuat peraturan peundang-undangan, dan adanya
freies rrmessen
pada pemerintah. Namun di sisi lain, pemberian
kewenangan ini dapat menjadi peluang terjadinya pelanggaran kehidupan
masyarakat oleh pemerintah. Ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu
perlindungan hukum preventif dan
represif. Perlindungan hukum preventif memberikan rakyat kesempatan untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemeritah
mendapat bentuk yang defintif. Artinya perlindungan hukum preventif ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan represif bertujuan
untuk menyelesaikan sengketa.