PRAKTIK SUAP MASIH
SUBUR
M.Rakib,
S.H.,M.Ag., Jl.Ciptakarya Panam, Pekanbaru Riau Indonesia. 2015.
Tulisan
ini dibuat pada bulan puasa akhir, Kamis, tanggal 16 Juli 2014, persis di saat
tertangkapnya pengacara kondang, nomor satu di Indonesia, yaitu O.C. Kaligis,
yang sebenarnya penul;is sejak lama, kagum terhdap beliau. Tapi ada dugaan tak
bersalah dari KPK, tentang upaya suap, apakah benar?
Praktik Suap
Masih Subur di pengadilan. Pengadilan yang harusnya sebagai forum
mencari keadilan dan kepastian hukum, semakin tercoreng menjadi forum jual beli
perkara.
"Hakim itu wakil Tuhan di muka bumi, bukan wakil iblis. Perilaku koruptif dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangannya merupakan cerminan oknum hakim sebagai wakil iblis. Anekdot negatif bahwa H A K I M (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang) harus dilawan dengan kinerja yang positif, seperti jujur, bersih, dan berkeadilan," ujar pengajar di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Dr Ahmad Redi, Jumat (10/7/2015).
"Hakim itu wakil Tuhan di muka bumi, bukan wakil iblis. Perilaku koruptif dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangannya merupakan cerminan oknum hakim sebagai wakil iblis. Anekdot negatif bahwa H A K I M (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang) harus dilawan dengan kinerja yang positif, seperti jujur, bersih, dan berkeadilan," ujar pengajar di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Dr Ahmad Redi, Jumat (10/7/2015).
suap/sogok)
adalah pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan suatu yang haq atau untuk
membenarkan suatu yang batil. (Lihat Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah II/7819).
Adat bermula dengan hukum
Hukum bersandar di Kitabullah
Ikan berenang, dalam lubuk
Ikan belida, dadanya panjang
Adat pinang pulang ke tampuk
Adat sirih pulang ke gagang
Lebat daun bunga tanjung
Berbau harum bunga cempaka
Adat dijaga pusaka dijunjung
Baru terpelihara negara pusaka
Bukan lebah sembarang lebah
Lebah bersarang di buku buluh
Bukan salah sembarang salah
Pengacara kondang, rubuh dan runtuh.
Pohon nangka berbuah lebat
Menunggu masak,
terasa lama.
Berumpun pusaka, agama dan adat
Daerah beraturan, negaranya ada ulama.
- Pantun Agama
Banyak bulan perkara bulan
Tidak semulia bulan puasa
Banyak tuhan perkara tuhan
Tidak semulia Tuhan Yang Esa
Daun terap di atas dulang
Anak udang mati di tuba
Dalam kitab ada terlarang
Yang haram jangan dicoba
Bunga kenanga di atas kubur
Pucuk sari pandan Jawa
Apa guna sombong dan takabur
Rusak hati badan binasa
Asam kandis asam gelugur
Ketiga asam si riang-riang
Menangis mayat di pintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang
- Pantun Budi
Bunga cina di atas batu
Daunnya lepas ke dalam ruang
Adat budaya tidak berlaku
Sebabnya emas budi terbuang
Di antara padi dengan selasih
Yang mana satu tuan luruhkan
Diantara budi dengan kasih
Yang mana satu tuan turutkan
Apa guna berkain batik
Kalau tidak dengan sujinya
Apa guna beristeri cantik
Kalau tidak dengan budinya
Sarat perahu muat pinang
Singgah berlabuh di Kuala Daik
Jahat berlaku lagi dikenang
Inikan pula budi yang baik
Anak angsa mati lemas
Mati lemas di air masin
Hilang bahasa karena emas
Hilang budi karena miskin
Biarlah orang bertanam
buluh
Mari kita bertanam
padi
Biarlah orang bertanam
musuh
Mari kita menanam budi
Ayam jago, si ayam jalak,
Jago siantan, nama diberi
Segala sogok, saya tolak.
Hanya keadilan, yang saya
cari
Jikalau kita, bertanam
padi
Senanglah makan
adik-beradik
Hukum ditegakkan, akhlak
dan budi
Penjahat diubah, menjadi baik
Al-Fayyumi
rahimahullah mengatakan bahwa risywah (suap/sogok) secara
terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau
selainnya untuk memenangkan perkaranya memenuhi apa yang ia inginkan. (Lihat
Al-Misbah Al-Munir I/228).
Sedangkan
Ibnu Al-Atsir rahimahullah mengatakan bahwa risywah (suap/sogok)
ialah sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang pada keinginannya dengan cara
yang dibuat-buat (tidak semestinya). (Lihat An-Nihayah Fi Gharibil Hadits
II/546).
Dari
beberapa pengertian di atas, bisa kita simpulkan bahwa suap adalah harta yang
diperoleh karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia (baik untuk
memperoleh keuntungan maupun menghindari kerugian atau bahaya) yang semestinya
harus diselesaikan tanpa imbalan.
Atau
bisa juga kita katakan, risywah (suap-menyuap) ialah pemberian apa saja
berupa uang atau yang lain kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan
agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil.
- HUKUM SUAP DALAM TINJAUAN SYARIAH
Praktik
suap menyuap di dalam agama Islam hukumnya haram berdasarkan dalil-dalil syar’i
berupa Al-Qur’an, Al-Hadits, dan ijma’ para ulama. Pelakunya dilaknat oleh
Allah dan Rasul-Nya.
Terdapat
banyak dalil syar’i yang menjelaskan keharaman suap menyuap, di antaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Dalil dari Al-Qur’an Al-Karim, firman Allah Ta’ala:
سَمَّاعُونَ
لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِن جَآءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ
أَعْرِضْ عَنْهُمْ
“Mereka
itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang
haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka
putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka……”.
(QS. Al-Maidah: 42).
Di
dalam menafsirkan ayat ini, Umar bin Khaththab, Abdullah bin Mas’ud radliyallahu’anhuma
dan selainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan as-suhtu (sesuatu
yang haram) adalah
risywah (suap-menyuap). (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an karya imam Al-Qurthubi VI/119).
risywah (suap-menyuap). (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an karya imam Al-Qurthubi VI/119).
Berkenaan
dengan ayat di atas, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullah menyebutkan
di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau
berkata: “Jika seorang Qodhi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya
kepada kekufuran”. (Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah XI/437).
Penafsiran
ini semakna dengan firman Allah Ta’ala di dalam surat Al-Baqarah ayat
188 yang menjelaskan haramnya memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
Allah
Ta’ala berfirman:
وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ (188)
“Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:
188).
Imam
Al-Qurthubi mengatakan, “Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan
harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan
bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang
dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang
batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang
hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah.
Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (Lihat
Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an II/711).
Dalam
menafsirkan ayat di atas, Al-Haitsami rahimahullah mengatakan,
“Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara
mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak
orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu tidak halal bagi
kalian”. (Lihat Az-Zawajir ‘An Iqtirof Al-Kaba-ir, karya Haitsami
I/131).
2.
Dalil dari Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, diantaranya:
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِى
وَالْمُرْتَشِى فِى الْحُكْمِ.
Dari
Abu Hurairah radliyallahu ’anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah
hukum.” (HR. Ahmad II/387 no.9019, At-Tirmidzi III/622 no.1387, Ibnu Hibban
XI/467 no.5076. Dan dinyatakan Shohih oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih
At-Targhib wa At-Tarhib II/261 no.2212).
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
Dan
diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima
suap”. (HR. Abu Daud II/324 no.3580, At-Tirmidzi III/623 no.1337, Ibnu
Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad II/164 no.6532, II/190 no.6778. Dan
dinyatakan Shohih oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa
At-Tarhib II/261 no.2211).
عن ثوبان
قال : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ
وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
Dan
diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan
perantaranya.” (HR. Ahmad V/279 no.22452. namun sanad hadits ini
dinyatakan Dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani di dalam Dho’if At-Targhib
wa At-Tarhib II/41 no.1344).
Hadits-hadits
ini menunjukkan bahwa suap-menyuap termasuk dosa besar, karena pelakunya
diancam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan Laknat dari Allah.
Dan arti laknat ialah terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah. Al-Haitami rahimahullah
memasukkan suap ke dalam dosa besar yang ke-32.
3.
Dalil Ijma’
Para
ulama telah sepakat secara ijma’ akan haramnya suap menyuap secara umum,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, dan Ash-Shan’ani, semoga
Allah merahmati mereka semua. (Lihat Al-Mughni XI/437, An-Nihayah
II/226, dan Subulussalam I/216).
Imam
Al-Qurthubi rahimahullah di dalam kitab Tafsirnya mengatakan bahwa para
ulama telah sepakat akan keharamannya. (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an
VI/119).
Imam
Ash-Shan’ani mengatakan, “Dan suap-menyuap itu haram berdasarkan Ijma’,
baik bagi seorang qodhi (hakim), bagi para pekerja yang menangani
shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:
188). (Lihat Subulus Salam II/24).
Redi mengatakan hakim memutus menggunakan irah-irah 'Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa'. Sudah pasti bahwa hakim harus benar-benar menjadi manusia yang menjadikan sikap dan prilakunya dalam memutus harus berjalan di jalan Tuhan.
"Ini sudah kasus kesekian tertangkap tangannya hakim oleh KPK, misalnya hakim Ibrahim ditangkap bersama seorang pengacara Adner Sirait, hakim Setyabudi Tejocahyono, hakim pengawas PN Jakpus Syarifudin, hakim ad hoc PHI Bandung Imas Dianasari, hakim Kartini Marpaung di PN Samarang, dan hakim ad hoc Tipikor Pontianak Heri Kisbandono," paparnya.
Menurut Redi, kasus ini menunjukkan masih lemah dan cideranya mentalitas oknum hakim dan panitera tersebut. Hal ini menjadi pertanda pula bahwa pembinaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung masih lemah.
Redi mengatakan hakim memutus menggunakan irah-irah 'Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa'. Sudah pasti bahwa hakim harus benar-benar menjadi manusia yang menjadikan sikap dan prilakunya dalam memutus harus berjalan di jalan Tuhan.
"Ini sudah kasus kesekian tertangkap tangannya hakim oleh KPK, misalnya hakim Ibrahim ditangkap bersama seorang pengacara Adner Sirait, hakim Setyabudi Tejocahyono, hakim pengawas PN Jakpus Syarifudin, hakim ad hoc PHI Bandung Imas Dianasari, hakim Kartini Marpaung di PN Samarang, dan hakim ad hoc Tipikor Pontianak Heri Kisbandono," paparnya.
Menurut Redi, kasus ini menunjukkan masih lemah dan cideranya mentalitas oknum hakim dan panitera tersebut. Hal ini menjadi pertanda pula bahwa pembinaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung masih lemah.
"Mahkamah Agung harus melakukan evaluasi dan perbaikan terus-menerus dalam pembinaan hakim. Saat ini banyak juga hakim yang sudah baik, namun sangat banyak pula hakim yang tidak baik. Kerja keras harus dilakukan oleh Mahkamah Agung untuk terus memperbaiki integritas hakim," jelasnya.
Stigma negatif atas dunia peradilan semakin mengakar bila reformasi peradilan tidak dilakukan secara konsisten, berkelanjutan, dan sinergis. Menurut Redi, petinggi-petinggi hakim di Mahkamah Agung terlalu sibuk dengan urusan konflik kelembagaan dengan Komisi Yudisial, tidak sangat serius mengurus masalah internal, khususnya pembinaan hakim.
Penangkapan ini, lanjut Redi, semakin membuktikan pula bahwa kewenangan penyadapan KPK sangat ampuh memberantas tindak pidana korupsi. Wacana revisi UU Tipikor dengan menghapus kewenangan penyadapan, sangat tidak relevan dan sangat memperlemah KPK sehingga akan menyuburkan praktik korupsi di negeri ini.
"KPK harus semakin meningkatkan pemberantasan tidak pidana korupsi dengan dukungan penyadapan. Saat ini, di berbagai cabang kekuasaan negara, prilaku koruptif ini terlihat subur. Misalnya, pasca penangkapan oknum pejabat dan anggota DPRD di Kabupaten Muba Sumsel, KPK harus pula melakukan penyelidikan atas potensi praktik koruptif di daerah lain. Banyak kepala daerah yang memiliki harta bombastis, setelah menjadi kepala daerah. Ini juga harus menjadi perhatian KPK dengan kewenangan penyadapannya," ungkapnya.
Atas tertangkap tangannya hakim, panitera, dan advokat di PTUN Medan ini, KPK harus segera menungkap pula aktor intelektual suap ini. Pengacara tentunya menyuap karena adanya orang yang menyuruh menyuap.
"Sekali lagi, muram dunia peradilan semakin dipertontonkan oleh oknum hakim PTUN Medan," tutupnya. (ega/asp)
No comments:
Post a Comment