M.RAKIB PANAM PEKANBARU RIAU INDONESIA 2015
Allah menurunkan ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah
yaitu Surat An-Nisa ayat 11 bahwa
Allah mensyari’atkan tentang pembagian pusaka untuk. yaitu bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Menurut ayat tersebut di atas,
setiap anak secara umum berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Jadi setiap
anak adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang mengkhususkannya.
Sabda Rasulullah SAW: “Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan
adalah sedekah.”
[1] “Seorang
pembunuh tidak mendapat warisan.”[2] Menurut hadits di atas Nabi tidak
meninggalkan warisan bagi anak-anaknya serta melarang seorang anak yang
membunuh ayahnya untuk mendapatkan warisan.
(3)
Mengqayyidkan Ayat Yang Mutlaq.
Mengqayyidkan artinya memberikan
persyaratan.Misalnya setiap pencuri harus dipotong tangannya, padahal ada
syarat-syaratnya,Taqyid (Pensyaratan)[3]
terhadap ayat Al-Qur’an yang mutlak
yaitu lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya:“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan (keduanya).” [4]
yaitu lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya:“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan (keduanya).” [4]
Ketentuan
tambahan (penyempurnaan) yang dilakukan Rasulullah SAW. Maka sikap seorang
Muslim terhadap hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak
kepada Allah dan Rasul-Nya supaya Dia memberikan ketentuan hukum di antara mereka, tidak lain hanya mengatakan: Kami mendengar dan Kami
mematuhinya. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia.” [5]
Penggunaan nash As-Sunnah untuk masalah hukum dan aqidah haruslah nash yang bersifat qath’i,[6] karena tidak boleh adanya keraguan sedikitpun dalam masalah aqidah/i’tiqadiyah. Sedangkan untuk masalah hukum/Syari’ah masih dapat digunakan nash As-Sunnah yang mencapai derajat dzanni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal ini karena dalam masalah Syari’ah tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah i’tiqadiyah).
Alasan Ijma’ Shahabat dijadikan sumber hukum Islam.[7]Dari segi mungkin tidaknya ‘seluruh orang yang berijma’ berkumpul, saling mengetahui ijma’ dan dapat mengkoreksi bila diketahui kesalahannya, maka hal ini hanya mungkin terjadi pada masa shahabat, tidak pada masa selain mereka. Sebagai contoh, ijma’ ulama. Maka untuk terwujudnya ijma’ ulama, haruslah diperjelas ‘siapa saja ulama’ itu; apakah ulama yang sudah sering digunakan untuk ‘membuat hukum pesanan’ juga termasuk di dalamnya? Akan pasti benarkah ijma’ mereka tersebut?
Benarkah semua ‘ulama’ mengetahui dan
menyetujui ijma’ tersebut? Tidak adakah yang selanjutnya menarik kembali
atau membatalkan ijma’nya sampai ia meninggal? Dan mungkinkah para ulama
(seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia) mampu berkumpul bersama membahas suatu
masalah baru? Masih banyak yang tidak bisa terjawab selain oleh para shahabat,
padahal semua hal tadi merupakan syarat sahnya sebuah ijma’ oleh suatu
kelompok. Karena ketidakmungkinan itu pula yang pada akhirnya muncul istilah
‘jumhur ulama’; artinya kebanyakan ulama berijtihad dengan hasil serupa ter-hadap
suatu masalah. Jumhur berbeda dengan ijma’.Banyaknya pujian kepada para Shahabat
secara jama’ah, baik tercantum dalam Al-Qur’an maupun hadits (keduanya
dalil yang qath’i kebenarannya). Firman Allah.[8] Bahwa Nabi Muhammad SAW, bersikap tegas terhadap orang
kafir dan lemah lembut terhadap sesama kaum muslimin.
QS. At-Taubah: 100
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.[9]
Ayat ini, adalah petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat menunjukkan suatu kepastian tentang kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jama’ah, bukan secara pribadi-pribadi). Apabila mereka bersepakat terhadap suatu masalah, tentulah hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji para shahabat tersebut bersifat qath’i sehingga dapat ditentukan bahwa ijma’ shahabat dapat digunakan sebagai dalil syara’.
Para shahabat Nabi Muhammad SAW., merupakan generasi yang mengumpulkan, menghafalkan dan menyampaikan Al-Qur’an beserta Sunnah pada generasi berikutnya. Di samping itu para shahabat merupakan orang-orang yang hidup semasa Rasulullah SAW, hidup bersama, mengalami sulit dan senang secara bersama. Merekalah yang mengetahui kapan, di mana, dan berkaitan dengan peristiwa apa suatu ayat Al-Qur’an diturunkan. Merekalah yang mengetahui Sunnah Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri kehidupan kaum Muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah masih hidup. Lalu adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan manusia di muka bumi ini selain mereka (para shahabat)? Ijma’ siapa lagi selain ijma’ mereka yang lebih baik dan lebih kuat?[10]
Memang tidak mustahil para shahabat pun melakukan kesalahan, sebab mereka pun tetap manusia yang tidak ma’shum. Akan tetapi secara syar’i mereka mustahil bersepakat atau berijma’ atas suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam ijma’ mereka tentang suatu persoalan maka tentu akan terdapat kesalahan dalam Islam, dalam Al-Qur’an dan Hadits sebab merekalah yang menyampaikan Al-Qur’an dan menuturkan Hadits Rasulullah saw pada generasi berikutnya. Bahkan sebenarnya mereka pulalah yang memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya kesalahan dalam ijma’ shahabat adalah mustahil terjadi secara syar’i.
3. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid dari
umat Muhammad SAW dalam
suatu masa terhadap hukum syara’ setelah beliau wafat. Akan
tetapi ada juga Ijma’sahabat yaitu kesepakatan para sahabat Nabi SAW.Salah
satu ijma’ shahabat terpenting adalah pengumpulan Al-Qur’an menjadi mushaf.
Al-Qur’an dalam bentuk sekarang ini merupakan hasil kesepakatan (ijma’)[11] para
shahabat. Bersamaan dengan ini Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar akan
menjaganya.[12]
Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan, baik dari depan
maupun dari belakangnya diturunkan dari yang
Mahabijaksana, lagi Mahaterpuji.[13]
[6] Al-Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi
turunnya berkualitas
qath’i
(pasti benar). Akan tetapi hukum-hukum yang
dikandung al-Qur’an
ada kalanya bersifat qath’i (pasti benar) dan ada kalanya bersifat zhanni (Relatif benar). Lihat Jamal al-Banna, Tafsir al-Qur'an
al-Karim: Baina al-Qudama wa al-Muhaddiin (Kairo: Dar-Syuruq, 2008), hlm.
246
[7]Lafadz Ijma’ menurut bahasa bisa
berarti tekad yang konsisten tehadap sesuatu atau kesepakatan suatu kelompok
terhadap suatu perkara. Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh, Ijma’
adalah kesepakatan terhadap suatu hukum bahwa hal itu merupakan hukum syara’.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul Halli wal Aqdi, ijma’ Shahabat atau sebagainya. Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah SAW.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul Halli wal Aqdi, ijma’ Shahabat atau sebagainya. Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah SAW.
[10] Sobhi Masmassani, Filsafat
Hukum Dalam Islam, terj.Ahmad Sudjono, cet.
ke-1(Bandung, Al-Ma’arif, 1976), hlm. 135. Lihat
juga Ibn
Ḥazm, Al-Iḥkăm fi al-Uşŭl al-Aḥkăm,
(Beirut, Dăr al-Kutub al-‘Ilmiah, 2004), jilid.I, hlm. 16.
[11]Ijma' umat terbagi menjadi dua: 1. Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma'
di mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang
menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. 2. Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di
mana para ulama' diam, tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap
menyetujui. Menurut Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang
sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut
ijma' yang sebenarnya. Selain ijma' umat
tersebut masih ada macam-macam ijma' yang lain, yaitu: Ijma' sahabat Ijma'
Khalifah yang empat, Ijma' Abu Bakar dan
Umar, Ijma' ulama Madinah, Ijma' ulama
Kufah dan Basrah,Ijma' itrah (golongan Syiah)
No comments:
Post a Comment