M.Rakib Jl.Ciptakarya Pekanbaru Riau Indonesia
1.
Waktu syuruk yaitu
28mins selepas subuh ketika matahari baru
naik ke langit ie subuh from 5.35am to 7.05am. 7.05am + 28mins=7.33am.
Therefore from 7.05am to 7.33am ialah waktu syuruk. Waktu ini adalah haram utk melakukan sebarang solat kerana tanduk syaitan berada di antara matahari. Rasulullah mengharamkan solat waktu ini juga kerana ia menyamai org yang menyembah matahari. Jika kita terbangun dari tidur pada pukul 7.00pg dan ingin mengqadakan sembahyang subuh, kita harus melepasi waktu syuruk itu.
2. Waktu zawal/Istiwa/rembah iaitu matahari berada tegak di atas kepala iaitu apabila kita berdiri tidak kelihatan bayangan kecuali di bawah kaki kita. Waktu inilah api neraka sedang bergeledak dan syaitan berkeliaran. Waktu ini panjangnya dalam 5-10mins sebelum waktu zohor.
3. Waktu fadilat/afdal untuk solat ialah sepertiga waktu selepas azan ie 20 mins selepas azan. Pahala yang besar diberikan pada orang-orang yang menghormati dan tidak melengahkan waktu solat. Kecuali Isyak, afdalnya ialah sepertiga malam ie sesudah azan hingga 10.30mlm.
Al-Ahwal Al-Syakhsiyah adalah istilah bagi
keseluruhan hukum yang menyangkut masalah keluarga dan peradilan Islam seperti
hukum perkawinan, kewarisan, wasiat dan Peradilan Agama. Pada awalnya
pembahasan hukum-hukum tersebut terdapat pada bab-bab fiqh yang terpisah. Baru
kemudian pada paruh kedua abad ke-19 hukum-hukum yang dikategorikan hukum
keluarga dihimpun dalam satu kajian khusus, Al-Ahwal Al-Syakhsiyah.
Jurusan
ini memiliki dua program studi; Program Studi Hukum Keluarga Islam dan Program
Studi Peradilan Islam.
Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan Familierecht
( Belanda ) atau law of familie (Inggris). Dalam konsep Ali
Afandi,[1] hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai
hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua,perwalian, pengampuan,
keadaan tak hadir).
Ada dua hal
penting dari konsep Ali Afandi tersebut, bahwa hukum keluarga mengatur hubungan
yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa
orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena
perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara
seorang dengan keluarga sedarah dengan istri (suaminya).[2]
Tahir Mahmud, mengartikan hukum
keluarga sebagai prinsip-prinsip hukum yang diterangkan berdasarkan ketaatan
beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara umum diyakini memiliki aspek religius
menyangkut peraturan keluarga, perkawinan, perceraian, hubungan dalam keluarga,
kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan
lain-lain.[3]
Definisi
Tahir Mahmud tersebut, pada dasarnya mengkaji dua sisi, yaitu tentang prinsip
hukum dan ruang lingkup hukum. Sedangkan ruang lingkup kajian hukum keluarga
meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian
mas kawin, perwalian, dan lain-lain. Apabila diperhatikan, definisi ini terlalu
luas, karena menyangkut warisan, yang dalam hukum perdata BW merupakan bagian
dari hukum benda.
Dalam
definisi ini setidaknya memuat dua hal penting yaitu, kaidah hukum dan
substansi (ruang lingkup) hukum. Kaidah hukum meliputi hukum keluarga tertulis
dan hukum keluarga tidak tertulis. Hukum keluarga tertulis adalah
kaidah-kaidah hukum yang bersumber daru undang-undang, traktat, dan
yurisprudensi. Hukum keluarga tidak tertulis merupakan kaidah-kaidah hukum
keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Misalnya, mamari dalam masyarakat sasak. Adapun ruang lingkup yang
menjadi kajian hukum keluarga meliputi perkawinan, perceraian, harta benda
dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian.
Berdasarkan definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum
keluarga pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah hukum baik tertulis maupun
tidak tertulis yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga
yang meliputi:
a)
Peraturan
perkawinan dengan segala hal yang lahir dari perkawinan
b)
Peraturan
perceraian
c)
Peraturan
kekuasaan orang tua
d)
Peraturan
kedudukan anak
e)
Peraturan
pengampuan (curatele) dan
f)
Peraturan perwlian
(voogdij).
Hukum perdata barat mengandung prinsip bahwa hukum
keluarga pada berbagai ketentuannya pada hakikatnya erat hubungannya dengan
tata tertib umum. Dengan demikian maka segala tindakan yang bertentangan dengan
ketentuan itu adalah batal demi hukum.
Dalam konsepsi hukum pedata Indonesia telah diadakan
pernyataan bahwa Hukum Perdata Barat (BW) tidak lagi dianggap sebagai
undang-undang yang mutlak berlaku. Ada beberapa pertimbangan yang melandasi
ketentuan tersebut antara lain:
1)
Ada tendensi
bahwa BW mengaju pada alam liberalisme, sehingga perlu ditinggalkan dan menuju
alam sosialisme Indonesia.
2)
Maklumat
Mahkamah Agung tentang tidak berlakunya sementara ketentuan karena tidak sesuai
lagi dengan perubahan zaman dan bersifat diskriminatif.
3)
Menjadikan jati
diri bangsa Indonesia yang pliralitis, sehingga berbeda jauh dengan kondisi
alam barat. Misalnya, dengan keberlakuan hukum islam dan hukum adat.[4]
Pada dasanya sumber hukum keluarga dapar dibedakan
menjadi dua macam, yaitu sumber hukum keluarga tertulis dan sumber hukum
perdata tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tidak tertulis merupakan
norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang serta ditaati oleh sebagian besar
masyarakat atau suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Sedangkan sumber
hukum keluarga tertulis berasal dari berbagai peraturan perundang-udangan,
yurisprudensi, dan perjanjian (traktat).
Sumber hukum keluarga tertulis yang menjadi rujukan di
Indonesia meliputi: (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
(2) Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de Gemengdebuwelijk), Stb. 1898
– 158; (3) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon (Huwelijke
Ordonnnantie Christen Indonesiers), Stb. 1933 -74; (4) Undang-Undang Nomor
32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak,dan Rujuk (beragama Islam); (5)
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (6) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan; (7) Peraturan Pemeritah Nomor 10 Tahun 1983 jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil; dan (8) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun1991
tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang berlaku bagi orang-orang yang
beragama Islam.[5]
Kekuasaan
orang tua
Seorang anak sah sampai ia mencapai usia dewasa dewasa
atau kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama kedua orang
tua itu terikat dalam hubungan perkawinan.Dengan demikian kekuasaan orang
tua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak atau [dalam halnya anak luar kawin
yang disahkan]. Oleh karena itu kekuasaan orang tua adalah kekuasaan yang
dilakukan oleh ayah dan ibu selama mereka itu terikat dalam perkawinan terhadap
anak-anaknya yang belum dewasa. Demikian isi dari pasal 299. Menurut pasal 300
kekuasaan orang tua itu biasanya dilakukan oleh si ayah.
Jika bapak berada di laur kemungkinan melakukan kekuasaan
itu yang melakukan kekuasaan adalah si ibu.[6]
Selanjutnya pasal 240 memuat ketentuan bahwa setelah
adanya keputusan perpisahan meja dan ranjang. Hakim harus memutuskan siapa
diantara orang tua harus melekukan kekuasaan orang tua terhadap anak.
di dalam hal ini bisa juga kekuasaan orang tua dilakukan si ibu. Mengenai
pengertian Jadi belum dewasa perlu duperhatikan pasal-ppasal seperti berikut :
Pasal 330 : Orang yang belum dewasa adalah orang yang
belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. jka ia pernah kawin, dan
ia masih belum mencapai umur 21 tahun ia tidak kembali dalam kedudukannya
sebagai orang belum dewasa.
Jadi inti dari uraian di atas adalah :
1.
Belum mencapai
umur 21 tahun
2.
Belum kawin.
Kembali berbica tentang kekuasaan orang tua, dari kekuasaan itu diatur
dalam pasal 298-310. Isi dari kekuasaan orang tua itu dibagi menjadi 2 bagian.
1.
Kekusaan
terhadap pribadi seorang anak,
2.
Kekuasaan
terhadap kekayaan anak
Tentang kekuasaan tentang peribadi seorang anak terdapat ketentuan sebagai
berikut:
Pasal 298 dan 301:
Tiap anak berapa pun umurnya, wajib menghormati
orangtuanya.
Tujuan
- Menguasai dasar ilmiah dan keterampilan bidang keahlian Hukum Keluarga dan Peradilan Islam sehingga mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan merumuskan cara penyelesaian masalah dalam bidang keahliannya.
- Mampu menerapkan keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada masyarakat dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama.
- Mampu bersikap dan berperilaku dalam membawakan diri dan berkarya di bidang keahlian Hukum Keluarga dan Peradilan Islam dalam kehidupan bersama di masyarakat.
- Mampu mengikuti perkembangan ilmu di bidang keahlian Hukum Keluar-ga dan Peradilan Islam.
Kompetensi
- Memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang Hukum Keluarga Islam, yang meliputi hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah, wakaf, dan urusan haji, serta memahami pranata hukum Islam Iainnya (Program Studi Hukum Keluarga Islam).
- Memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang Peradilan Agama di Pengadilan Agama (Program Studi Peradilan Islam).
No comments:
Post a Comment