BUKAN KRITIK TERHADAP UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN
ANAK
M.RAKIB SH.,M.Ag
Berdasarkan
prinsip non- diskriminasi,
Kesejahteraan
hak anak tanpa terkecuali.
Baik Itu
Anak normal, maupun anak tiri.
Kekerasan
harus, dihindari.
Anak yang sedang bermasalah tetap mendapatkan
prioritas yang sama dari pemerintah dan masyarakat dalam memperoleh
kesejahteraan tersebut.
Kondisi anak dewasa ini yang sangat
mengkhawatirkan seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah dan masyarakat.
Realita menunjukkan bahwa kesejahteraan anak untuk saat ini, nampaknya masih
jauh dari harapan. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak sedikit
anak yang menjadi korban kejahatan dan dieksploitasi dari orang dewasa, dan
tidak sedikit pula anak-anak yang melakukan perbuatan menyimpang, yaitu
kenakalan hingga mengarah pada bentuk tindakan kriminal, seperti narkoba,
minuman keras, perkelahian, pengrusakan, pencurian bahkan bisa sampai
pada melakukan tindakan pembunuhan.
Perilaku menyimpang yang dilakukan anak ini
disebabkan oleh beberapa faktor internal maupun eksternal dari si anak, di
antaranya adalah perkembangan fisik dan jiwanya (emosinya) yang belum stabil,
mudah tersinggung dan peka terhadap kritikan, serta karena disebabkan
pengaruh lingkungan sosial di mana anak itu berada.(Gatot Supramono, 2000:4).
Perilaku menyimpang anak-anak tersebut (atau yang
disebut juga dengan deliquency) tidak dapat dipandang mutlak sama
dengan perbuatan menyimpang yang dilakukan orang dewasa. Meskipun pada
prinsipnya jenis perbuatannya sama, namun tingkat kematangan fisik dan emosi
anak masih rendah, dan masa depan anak seharusnya dapat menjadi pertimbangan
dalam hal menentukan perlakuan yang tepat terhadap mereka.
Terhadap anak yang melakukan perbuatan yang
menyimpang, sikap yang ditunjukkan masyarakat dan pemerintah seringkali kurang
arif. Anggapan atau stigma sebagai anak nakal atau penjahat seringkali
diberikan kepada mereka, bahkan dalam proses peradilan, mereka kerapkali diperlakukan
tidak adil. Sehingga yang terjadi adalah anak-anak pelaku kejahatan tersebut
menjadi korban struktural dari para penegak hukum.
A.Ruang lingkup perlindungan anak Indonesia
Hal yang
menyangkut, hukuman fisik bagi anak-anak, menurut hasil penelitian ini yang
meliputi dilema hukuman fisik terhadap anak-anak, [1] yang
sudah dilarang oleh UU RI No.23 tahun 2002. Sedangkan hukum Islam
membolehkannya, dalam batas-batas tertentu, sejak 15 abad
yang lalu. Kemudian Undang-Undang
Perlindungan Anak Nomor. 23 tahun
2002 Bab 54 secara tegas menyatakan bahwa, “guru dan siapapun lainnya di
sekolah, dilarang memberikan hukuman fisik,
kepada anak-anak.” Lebih-lebih lagi Indonesia
merupakan salah satu negara anggota penandatanganan
dari konvensi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang
mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan
siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang
merendahkan atau hukuman sebagai berikut:
1. Tuntutan penghapusan hukuman fisik.[2]
Russel menambahkan, "Hukuman fisik yang ringan memang tidak
begitu berbahaya, tapi tetap saja tidak ada gunanya,[3] dalam
pendidikan. Hukuman seperti itu baru efektif kalau bisa menyadarkan si anak.
Sementara hukuman fisik seperti itu biasanya tidak bisa membuat jera.
2.Hukuman fisik bermasalah.
Hukuman
fisik itu membuat si anak merasa terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas
niatnya sendiri."Jawabannya
bahwa anak-anak akan menyadari kekeliruannya melalui hukuman itu, dan kemudian
dia akan lebih mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi orang lain dan
karena ia ingin diterima oleh orang lain, ia akan berusaha menyesuaikan
keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan bantuan atau
memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan demikian, hukuman
fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan kadar dan waktu
yang tepat.
Argumen
lain yang disodorkan oleh kelompok penentang adalah bahwa pendidikan yang
dijalankan dengan menanamkan rasa takut kepada si anak, akan membuat si anak
seperti robot yang harus mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan seperti
itu sangat membahayakan perkembangan jiwa si anak, karena akan melahirkan
anak-anak yang bermental budak yang harus tunduk terhadap segala perintah.
Tentunya hukuman itu harus ringan dan mengena kepada sasaran.[4]
3.Batasan perlindungan terhadap hukuman fisik
Ruang lingkup dan batasan, kewenangan negara
dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak ialah:
1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi , bidang hukum publik dan juga bidang hukum perdata.
2. Perlindungan yang brsifat non yuridis, terdiri dari bidang sosial, dan juga bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
Adapun tentang pengertian perlindungan anak menurut para sarjana :
1. Arif Gosita, perlindungan anak suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban.
1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi , bidang hukum publik dan juga bidang hukum perdata.
2. Perlindungan yang brsifat non yuridis, terdiri dari bidang sosial, dan juga bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
Adapun tentang pengertian perlindungan anak menurut para sarjana :
1. Arif Gosita, perlindungan anak suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban.
2. Abdul Hakim Garuda Nusantara, masalah perlindungan hukum bagi anak me-rupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia, tidak saja pendekatan yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas , ekonomi, sosial dan budaya.
Perlindungan Anak dapat dirumuskan :
1. Suatu perwujudan adanya keadilan dalam masyarakat, merupakan dasar utama perlindungan anak.
2. Suatu usaha bersama untuk melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi dan positif
3. Secara dimensional perlindungan anak beraspek mental.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak:
1. Ruang lingkup perlindungan meliputi, perlindungan pokok antara lain, sandang, pangan , pemukinan, pendidikan kesehatan dan hukum, jasmaniah dan rohaniah, keperluan primer dan sekunder.[5]
2. Jaminan
pelaksanaan perlindungan, hendaknya dituangkan dalam suatu
peraturan yang tertulis baik dalam bentuk undang-undang atau perda, yang
perumusannya sederhana teapi dapat dipertanggungjawabkan serta disebarluaskan
secara merata dalam masyarakat. Kemudian pengaturannya
harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia
Adapun hak dan kewajiban orang tua, menurut UU No 1 Tahun 1974.
1.Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
2.Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka
3.Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya manakla sudah tua.
4.Anak yang belum dewasa berada di bawah kekuasaan orang tua kecuali sudah melangsungkan perkawinan
5. orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbutaan hukum
6, orang tua tidak boleh memindahkan hak /mengadaikan benda yang dimiliki anknya yang belum berumur 18 tahun. Perlu juga diperhatikah hak perdata bagi anak.
Hal-hal keperdataan Anak lain yang diatur antara lain adalah:
1. Hak dan kewajiban anak, orang tua, pemerintah dan masyarakat terhadap Anak; 2. Pemberian Identitas anak dengan pencatatan kelahirannya;
3. Pencabutan kekuasaan terhadap orang tua atau kuasa asuh yang lalai.[6]
4.Pengasuhan
dan pengangkatan anak serta perwalian.
5.Perlindungan
Anak dalam beragama, kesehatan, pendidikan dan sosial Anak.
Perlindungan anak dalam perkara pidana,[7] dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya. Sedangkan masalah perlindungan anak adopsi:
Perlindungan anak dalam perkara pidana,[7] dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya. Sedangkan masalah perlindungan anak adopsi:
1. Adopsi adalah suatu perbuatan pegambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dengan anak yang diangkat timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
2 . Menurut UU No 23 Tahun 2002 ( UU Perlindungan Anak ) Pasal 1 ayat 9 anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekeuasaan orang tua wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan .
Anak-anak menjadi korban yang kekerasan dalam rumah tangga, berhak melapor kepada polisi, apabila si anak tidak dapat melapor, maka orang lain dalam rumah tangga si anak, bahkan orang lain yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan di nsekolah atau dalam rumah tangga, wajib melindungi si anak. Perlindungan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diberikan kepada anak yang menjadi korban kekerasan di sekolah, [8] dan dalam Rumah Tangga dan :
a. Perlindungan dari keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya maupun perlindungan yang didapatkan berdasar penetapan pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan korban secara medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Didampingi oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan
e. Pelayanan bimbingan rohani
B. Urgensi Undang-Undang
Nomor
23 Tahun 2002
UU Nomor 23 Tahun 2002 ini dapat
dengan jelas dilihat dalam pasal 3 dari UU ini. Pasal 3 dari undang-undang ini
menyatakan: Perlindungan anak bertujuan untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujud-nya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Terkait dengan tujuan tersebut, selanjutnya UU ini mengatur lebih lanjut dalam pasal-pasal lain. Dalam hal menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, UU ini mengatur hak tesebut dalam BAB III pasal 4 (Hak dan Kewajiban Anak). Selanjutnya UU ini juga mengatur hak anak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dalam pasal 13. Khusus dalam partisipasi mereka dalam proses pembangunan, undang-undang ini secara tegas mengakui hak anak untuk menyatakan pendapatnya, seperti termuat dalam Pasal 10 yang berbunyi “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.”[9] Dan pada pasal 24 yang menyataakan: “Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.”
Pentingnya pemberian perlindungan hukum bagi anak, [10] baru disadari pemerintah pada sekitar tahun 1997 dengan lahirnya Surat Keputusan Menteri Sosial RI No: 81/huk/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak. Namun dengan persiapan yang sangat lama tersebut, menjadikan kebijakan yang diambil terkesan sangat lambat dan terlalu birokratis. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dari penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki ciri dan sifat khusus memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembngan fisik, mental sosial secara utuh, serasi,selaras dan seimbang.
Kejahatan terhadap kesusilaan pada umumnya menimbulkan kekhawatiran /kecemasan khususnya orang tua terhadap anak wanita karena selain dapat mengacam keselamatan anak-anak wanita (misalnya: perkosaan, perbuatan cabul) dapat pula mempengaruhi proses pertumbuhan ke arah kedewasaan seksual lebih dini. Perihal tindak asusila terhadap anak ini telah diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlingdungan Anak. Secara eksplisit Pasal 81 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Kemudian dalam ayat (2) ditegaskan bahwa seseorang yang melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan juga dikenakan ketentuan sebagaimana ayat (1).
Simaklah angka yang disodorkan oleh
Komisi Nasional Perlindungan Anak. Kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ada
500 kasus, pada 2005 jumlahnya naik 40 persen, mencapai sekitar 700 kasus.
Sebanyak 68 persen kekerasan dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Kejadian
yang tidak dilaporkan diperkirakan jauh lebih banyak. Sebetulnya sudah cukup
lengkap aturan hukum yang melindungi anak-anak. Selain memiliki Undang-Undang
No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan mempuyai Undang-Undang No. 23/2002
tentang Perlindungan Anak.
Dalam undang-undang terakhir,
anak-anak berusia di bawah 18 tahun mendapat perlindungan dari berbagai bentuk
eksplotasi dan kekerasan. Jagankan penganiaya anak sendiri, orang yang
menelantarkan anak orang lain sehingga menjadi sakit atau menderita pun bisa di
penjara lima tahun. Hanya
prakteknya tidak gampang memperkarakan orang tua yang melakukan kekerasan fisik
terhadap anaknya. Anak yang jadi korban penganiayaan atau kekerasan seksual
biasanya belum mampu atau tidak berani melapor ke polisi. Akibatnya banyak
kasus yang baru terungkap setelah anak tewas. Perlakuan salah terhadap
anak, dibagi menjadi dua golongan besar: berasal dari dalam keluarga dan
berasal dari luar lingkungan keluarga.
1. Dalam keluarga, berupa :
1. Dalam keluarga, berupa :
a. Penganiayaan fisik, berupa cacat fisik sebagai akibat hukuman badan di luar batas, kekejaman atau pemberian racun.[11]
b. Kelalaian, merupakan perbuatan yang tidak disegaja akibat ketidaktahuan atau akibatan kesulitan ekonomi, meliputi: pemeliharaan yang kurang memadai, yang dapat mengakibatkan gagal tumbuh (failure to thrive), anak merasa kehilngan kasih sayang, ganguan kejiwaan, keterlambatan perkembangan; pengawasan yang kurang, dapat menyebabkan anak mengalami resiko terjadinya trauma fisik dan jiwa; kelalaian dalam mendapatkan pengobatan, misalnya tidak mendapat imunisasi; dan kelalaian dalam pendididikan meliputi kegagalan dalam mendidik anak untuk mampu beriteraksi dengan lingkungannya, gagal menyekolahkannya atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
c. Penganiayaan emosional. Berupa kecaman dengan kata-kata yang merendahkan anak, atau tidak mengakui anak. Sering pula berlanjut pada melalaikan anak, mengisolasinya dari lingkungan, atau menyalahkan anak secara terus menerus. Biasanya diiringi pula dengan penganiayaan dalam bentuk lain.
2. Di luar keluarga, berasal dari: satu institusi atau lembaga tempat kerja, di jalan dan bisa juga dari medan perang.
Dari uraian tersebut di atas penyusun bermaksud mengakaji UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kemudian mencoba dengan kaca mata Islam, apakah sesuai dengan hukum Islam atau tidak. Hal ini dirasa sangat perlu karena menyangkut kelangsungan hidup manusia terutama anak. Dalam catatan penulis, dari berbagai sumber, hanya di madarasah dan di pesantern , dan disekolah mlainnya, paling banyak terjadi dilemma hukuman fisik,karena lebih banyak manfaat dari pada mafsadat,[12] karena itu, kehadiran undang-undang ini, sangat berarti. Adapun penyebab terjadinya dilemma[13] ini, ialah situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi yang sulit dan membingungkan.Penyebab terjadinya dilemma hukuman fisik bagi anak-anak, ialah dalam satu kelompok anak-anak.
C. Signifikansi UU Perlindungan Anak.
UU Perlindungan
Anak pada Pasal 81 ayat 2 UU NO 23 tahun 2002 Bahwa Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 ( delapan belas ) tahun dikategorikan masih kanak-anak,
juga termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Apabila seseorang belum berumur 18 tahun, tiba-tiba melangsungkan
pernikahan, tegas di katakan pernikahan
anak di bawah Umur. Hal itu merupakan
pemangkasan kebebasan hak si anak dalam memperoleh Hak hidup sebagai remaja
yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang, dan berpotensi secara positif sesuai
apa yang digaris bawahi agama. Jika anak tersebut, dipukul, bisa
dikatakan melakukan kekerasan dan dikriminasi terhadap
anak-anak seperti yang dinyatakan pada Pasal 81 ayat 2 UU No 23
tahun 2002. Bagi orang tua, ada
berkewajiban ntuk mencegah adanya Perkawinan pada usia muda.
Di tinjau dari Perkawinan yang di lakukan oleh Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji dan anak di bawah umur, yang telah dijatuhi putusan Sela nomor 233/Pid.B/2009?PN.UNG oleh majelis Hakim Pengadilan negeri Ungaran Jawa tengah pada tanggal 13 oktober 2009 batal demi hukum. karena dakwaan Jaksa tidak memenuhi syarat yang ada pada pasal 143, ayat (2) huruf B KUHP yaitu tidak menyebutkan keadaan, cara dan posisi terdakwa melakukan persetubuhan terhadap korban.
Penolakan Perkawinan di usia muda yang di lakukan oleh Syekh Puji kepada anak di bawah umur. Penolakakan juga datang dari berbagai aktifis dari berbagai LSM, mengatakan bahwa Dakwaan Jaksa telah memenuhi aspek materil dan Substansi Hukum. sehingga hal yang terjadi dalam persidangan perkawinan anak di bawah umur yang dilakukan oleh syeh Puji ini ada nya Hal yang tidak beres dalam hal keputusan Hakim dan dalam pelaksanaan putusan sering ditemukan di mana pelaku perkawinan dini itu masih bebas walaupun sudah ada keputusan penjara.
2. Undang_Undang, No 23 Pasal 81 ayat 2 Tentang Perlindungan anak.
Sering terjadi pernikahan di bawah umur di kalangan masyarakat selama ini bukan lagi hal yang luar biasa. sering kita temui di berbagai kota di indonesia ini di mana umur di saat melangsungkan pernikahan masih sangat muda dan belum cukup umur. kita ambil contoh daerah Indramayu jawa barat bisa di katagorikan sangat banyak kasus di temui ana-anak yang belum cukup umur telah melangsungkan pernikahan. bahkan masih muda belia telah menjalani hidup sebagai janda. alangkah tragis nya orang tua yang sampai hati menikahkan anak nya yang masih usia muda sudah harus dinikah kan. walaupun nanti nya akan menjadi janda. di lihat dari segi adat istiadat yang ada di beberpa daerah di indonesia ini. memang banyak di temui pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini seperti yang di lakukan oleh syeh puji ini seharus nya syeh puji di jatuhi hukuman 10 tahun penjara bahkan maksimal 15 tahun penjara denda 60 juta dengan subsider enam bulan kurungan. tapi kenapa Majelis Hakim memutuskan hanya 4 tahun penjara.
Korban dari perkawinan di usia muda
ini sering di perlakukan tidak manusiawi dari si pelaku dan dari pihak orang
tua si korban perkawinan dini tersebut. sementara itu orang tua dari pihak
wanita sering kali ikut terlibat tuk menikah kan anak pada usia muda walaupun
belom cukup umur. pada kasus syeh puji ini seharus nya ulfa di kembalikan
kepada orang tua nya, namun karena orang tua Ulfa ikut terlibat dalam
pernikahan di bawah umur tersebut seharusnya ulfa di serahkan kepada negara
agar mendapat pengasuhan yang benar layak nya ana-anak. mungkin saja kalau
masih berada di tangan terdakwa masih bisa di kuasai oleh Syekh Puji.timbul
pertanyaaan , antara lain :
a. Apa hakekat pernikahan di laksanakan disaat anak masih belum
belum cukup umur ?
b. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadi adanya pernikahan
antara Syekh Puji dan Ulva yang terjadi di Ungaran tersebut ?
c. Kenapa di majelis Hakim memutuskan penjara kepada syekh Puji
hanya 4 tahun penjara?
d. Usia berapakah seharusnya pernikahan yang ideal di lakukan?
e. Apakah Pernikahan anak di bawah umur bisa di katakan suatu
tindakan kriminal?
f. Sejauh mana peranan masyarakat dan Pemerintah untuk
mengimplementasikan hukum positif tentang pernikahan anak di
bawah umur.
Kekerasan yang dilakukan
oleh orang tua dan guru kepada ,menunjukkan hukuman yang kejam.Fenomena
kekerasan dalam bentuk hukuman di rumah atau di sekolah sudah saatnya
ditiadakan, karena hukumankadang-kadang tidak memecahkan masalah, tapi justru
sebaliknya menumbuhkan kebencian dan rasa sakit hati murid.Itu membuktikan
kepada kita bahwa anak tidak hanya memiliki guru yang tunggal di kelas, tapi
guru bagi anak-anak kita sekarang banyak dan beragam, mulai dari mall, ‘play station’, televisi, dan lingkungan
sekitar,” ujarnya. Karena itu,
seharusnya bentuk-bentuk hukuman di sekolah sudah tidak relevan lagi, karena
hanya akan memunculkan kebencian dan kekerasan baru, sementara di luar
bentuk-bentuk kekerasan telah sedemikian nyata dilihat siswa. Pendidikan yang
paling berpengaruh adalah pendidikan emosi, di mana guru harus bisa
mengendalikan emosi saat berada di dalam kelas. Emosi itu sebetulnya tidak ada yang
negatif dan positif, tapi yang harus diingat bahwa emosi itu harus
dikendalikan,” katanya. Melalui pengendalian emosi itulah, katanya, akan
tercipta emosi positif, dan akan menghasilkan hati yang senang dan situasi otak
cemerlang.
Belajar itu memang perlu kerja
keras, tapi jika kerja keras itu dilakukan dengan berbagai kegiatan yang
menyenangkan, maka hasilnya juga akan menyenangkan, dan menjadi pendidik yang
menyenangkan pula. Menurut dari data – data yang saya lihat yakni bangkitnya
minat siswa terhadap pelajaran yang diberikan, adanya keterlibatan siswa,
terciptanya makna, munculnya semangat untuk menguasai materi pelajaran, dan
munculnya atau didapatkannya nilai kebahagiaan.[14]Tindak
kekerasan guru terhadap siswa kembali marak di media massa. Sebuah rekaman
video singkat yang berdurasi 1 menit 7 detik yang terjadi di salah satu SMK
Negeri Gorontalo merupakan salah satu contoh tindak kekerasan guru terhadap
siswa yang semestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak dapat
mengendalikan diri. Video ini direkam oleh salah seorang siswa tanpa
sepengetahuan guru yang bersangkutan.
Pada dasarnya orang tua dan guru
menginginkan anak-anak berperilaku baik dan sopan bukan karena takut akan
hukuman. Guru yang melakukan hukuman dengan tindak kekerasan fisik, mempunyai
tujuan semata-mata untuk mendisiplinkan siswanya. Hanya saja, cara yang
dilakukan guru dan penerapan tersebut
perlu dikoreksi kembali. Demikian pula dengan pihak sekolah. Dalam
menyikapi kasus tersebut pihak sekolah perlu mengambil langkah yang tepat untuk
mendisiplinkan siswa. Akan
tetapi, anak-anak penting untuk dilindungi.[15]
Perlakuan kasar kepada anak dapat menyebabkan cedera bagi anak. Penganiayaan fisik ini berkaitan dengan hukuman fisik yang berlebihan. Akibatnya dapat menyebabkan anak cacat bahkan kematian, di samping itu akan mengganggu sikap emosional anak. Risikonya anak menjadi depresi, cemas, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan di sekolah.Di sekolah-sekolah yang tata tertibnya tidak konsisten biasanya akan terjadi berbagai macam masalah yang sangat menghambat proses belajar mengajar. Selain itu, tidak terlaksananya peraturan atau tata tertib secara konsisten akan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan siswa, baik di dalam maupun di luar sekolah.Walaupun setiap sekolah telah mempunyai peraturan tersendiri bukanlah berarti sekolah tersebut tidak menemukan berbagai bentuk pelanggaran. Pelanggaran terhadap peraturan sekolah kerap dilakukan oleh parasiswa.[16]
Disiplin di sini diartikan
ketaatan pada peraturan. Dari sini semuanya bermula, sebelum disiplin
diterapkan perlu dibuat peraturan atau tata tertib yang benar-benar realistik
menuju suatu titik, yaitu kualitas . Lalu mengapa banyak sekolah yang mutunya
rendah baik ditinjau dari nilai-nilai siswa, kinerja personal sekolah. Jawabanya
mungkin disebabkan masih belum jelasnya peraturan sehingga tidak mudah
diaplikasikan, atau buruknya pengawalan penerapan peraturan itu. Dalam hal ini
kekurangkonsistenan semua pihak. Bahkan kadang gurupun tidak tahu apa yang
harus dilakukan dalam kelas, sehingga ia hanya mengajar apa adanya terkesan
menghabiskan waktu mengajar saja.
Banyak hal yang harus ditangani
dalam ranah pendidikan di sekolah, tapi jika itu terlalu berat mungkin bisa
saja sedikit dikurangi hanya untuk hal belajar dan mengajar saja. Selama ini
yang terjadi di beberapa sekolah adalah seringnya kelas kosong saat jam
belajar. Ini dikarenakan guru tidak masuk kelas dan tanpa ada tugas yang harus
dikerjakan siswa. Ketidakmasukan guru itu bisa saja karena kepentingan dinas atau
yang lain. Ketidaktepatan dalam hal guru masuk
kelas sehingga jeda waktu pergantian jam bisa dimanfaatkan siswa untuk
melakukan tindakan indisipliner. Komitmen guru dalam hal ini kadang sering
menjadi penyebabnya. Dalam manajemen sekolah, biasanya pengawasan banyak yang
tidak bisa berjalan dengan baik, lebih-lebih jika komitmen guru dan siswa
rendah maka sekolah-pun akhirnya sulit majunya.[17]
Tapi ternyata peraturan sekolah itu ada gunanya juga… di antaranya ialah :
1.Agar sekolah menjadi tertib
2.Agar dapat mengikuti proses KBM
(kegiatan belajar mengajar) dengan nyaman dan tenang.
3.Melatih murid untuk tepat waktu
4.Melatih murid disiplin
5.Melatih murid untuk mandiri
6.Melatih murid menaati peraturan di masyarakat kelak, dan melatih respon mereka
dalam menyikapi sebuah peraturan.[18]
[1] Pengertian dari ruang lingkup adalah batasan. Ruang lingkup
juga dapat dikemukakan pada bagian variabel-variabel yang diteliti, populasi
atau subjek penelitian, dan lokasi penelitian. Penggambaran Ruang lingkup Dapat
Kita Nilai Dari data karakteristik responden perlu dilakukan untuk memperoleh
gambaran yang komprehensif tentang bagaimana keadaan responden penelitian kita,
yang boleh jadi diperlukan untuk melihat data hasil pengukuran
variabel-variabel yang diteliti.
[2] Jean Soto menulis, "Semua
penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman-hukuman
dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka.
Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat
manusia ini bisa sirna." Tetapi
argumentasi beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim
dan belum tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita
terima pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari
hukuman-hukuman keras yang diterima dari orangtuanya, maka akarnya adalah
terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman itu. Hukuman ekstrim itulah
yang menjadi sumber penderitaan umat manusia. Lihat juga Khalid Bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit.,121
[3] Joan Durant yang merupakan kepala peneliti
dan rekannya Ron Ensom dari Children's Hospital of Eastern Ontario di Ottawa,
mengatakan bahwa hukuman fisik akan membuat anak menjadi agresif dan anti
sosial, selain itu juga menyebabkan gangguan kognitif dan gangguan pertumbuhan.
Penelitian terbaru juga memperlihatkan bahwa hukuman fisik akan mengurangi
materi abu-abu pada otak, yang berkaitan dengan intelijen atau IQ. "Hukuman fisik pada anak tidak hanya akan
mengakibatkan sikap agresif pada anak, hal ini juga bisa membuat anak mengalami
banyak kesulitan, misalnya saja depresi dan penggunaan narkoba," ujar
Durant. "Tidak ada penelitian yang menunjukkan hasil positif jangka
panjang dari hukuman fisik," tambahnya. Hukuman fisik sudah tidak boleh diterapkan di 32 negara,
tetapi masih banyak orang tua yang mempertahankan hukuman ini. Harapan Joan
Durant dari penelitian ini, para orang tua tidak hanya melihat hukuman fisik
sebagai hal mereka, tetapi melihat efek buruk dari perspektif medis yang akan
diderita anak dalam waktu yang sangat lama. http://www .vemale.com /relationship/keluarga/12225-bahaya-hukuman-fisik-untuk-anak.html.
[5] Para Ahli
yang pro dengan hukuman fisk dalam pendidikan, sebagian pakar menerima hukuman
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak.
Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat
tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua masih bisa menangani
anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, maka
tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu boleh diberikan setelah
nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya.
Dalam kaitan ini, Russel menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin
mengatakan bahwa hukuman dalam proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan
mungkin hanya masuk sebagai alternatif kedua."John Locke menulis,
"Benar bahwa hukuman fisik kadang-kadang diperlukan. Lihat juga TM.Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Islam Dan Hak Asasi
Manusia, , (Semarang, Pustaka Rizki
Putra : 1997), 12
[6] Tidak seorangpun menginginkan terjadinya tindak
kekerasan, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah
secara damai dan edukatif. Namun kenyataannya masih banyak, bahkan hampir semua
sekolah/madrasah belum dapat memberikan hak anak, bahkan melakukan kekerasan
terhadap anak. Tanpa disadari hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap
Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dan Deklarasi PBB tentang hak-hak anak. Hukuman
secara fisik dan emosional dari guru terhadap murid merupakan hal yang lumrah
terjadi di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak guru biasa mencubit,
memukul anak-anak bahkan menghina mereka, baik di sekolah-sekolah negeri maupun
sekolah yang berbasis keagamaan. Kadang guru tidak menyadari bahwa hal ini
sebetulnya terlarang dalam hukum Indonesia. Undang-undang Perlindungan Anak No.
23, bab 54 secara tegas menyatakan bahwa guru dan siapapun lainnya di sekolah
dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Terlebih lagi
Indonesia merupakan salah satu penanda tanganan dari konversi PBB untuk Hak-hak
Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tak
seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan
tidak manusiawi ataupun perlakuan yang merendahkan atau hukuman”. Meski
demikian, tampaknya undang-undang tersebut belum dipahami oleh kebanyakan
pelaku pendidikan, hal ini sebagaimana laporan penelitian Nur Hidayati, dari penelitian lapangan
terhadap 8 Madrasah Ibtidaiyah di propinsi Riau ditemukan bahwa hukuman jasmani
lumrah terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan kisaran antara 50% - 80%,
anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami hal ini dari guru-guru
mereka secara rutin.
[8] Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan
rasa prihatin masih banyaknya kasus-kasus kekerasan
di sekolah, termasuk kekerasan Mauro Billy Fiesandy (9), siswa SDN Kepatihan,
Banyuwangi. Kekerasan di sekolah selama ini
menduduki peringkat kedua setelah kekerasan di rumah yakni sekitar 25% dari
semua kasus kekerasan yg dilaporkan ke KPAI selama tahun
2008 dan 2009. "Kekerasan terhadap anak di
sekolah terjadi karena beberapa sebab. Selain minimnya pengetahuan guru tentang
hak-hak anak, juga karena guru kurang
profesional, miskin metode kreatif sehingga selalu mengambil metode hukuman
kekrasan untuk mendisiplinkan murid," kata Ketua KPAI, Hadi Supeno dalam
rilis yang
diterima detikcom, Senin (2/8/2010)..Padahal,
kata dia, banyak metode untuk mendisiplinkan anak. Pihaknya selama ini
sering menerima keluhan guru yang merasa terhambat tugasnya gara-gara UU
Perlindungan Anak. Ini fenomena aneh karena menginginkan guru dikecualikan
dalam UU PA. "Pendidikan
tak hanya mensosialisasikan UU Sisdiknas, tetapi juga UU Perlindungan Anak,
agar para guru dan birokrasi pendidikan tahu akan hak-hak anak,"
tambahnya. Padahal, pasal 54 UU PA
menyebutkan sekolah wajib melindungi anak dari segala bentuk kekerasan yg
dilakukan oleh guru, siswa, maupun penyelenggara pendidikan. Bagi yg melanggar,
bisa dikenai pasal 80 UU PA dengan ancaman hukuman 3,6 tahun penjara dan atau
denda uang Rp 7,2 juta untuk kekerasan ringan dan 5 tahun penjara dan atau
denda 100 juta untuk kekerasan berat. Lihat UU.RI Nomor 23 Tahun 2002, ( Jakarta, , Sinar
Grafika : 2008) ,28
[9] Ada 10
Kesalahan Orang Tua Yang TIdak Disadari 1. Menyatakan
“Saya tidak salah, orang lain yang salah” .Setiap ia mengalami
suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah
adalah orang lain, benda lain & situasi tertentu, dan dirinya selalu
benar. Yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang
lain yang . Akibatnya ketika dewasa.Sulit
mengakui kesalahan diri sendiri ( sulit untuk intropeksi diri ) Selalu
menyalahkan pihak lain atau situasi tertentu. Susah diberi masukan 2. “Mengajari Anak untuk Membalas Ketika anak memukul atau dipukul, sebagian
orang tua biasanya tidak sabar melihat anaknya disakiti dan memprovokasi anak
kita unutuk membalasnya. Secara tidak langsung mengajari anak balas dendam. Akibatnya ketika dewasa.Sering
membalas, melawan balik atau membalikkan apa yang orang lain sampaikan
kepadanya. 3.
Televisi sebagai agen Pendidikan Anak..Banyak orang tua yang tidak mau pusing dan tidak mau repot untuk mendidik
karakter anak sejak dini dan suk-kontrakan tanggung jawab mendidik ini kepada
televisi, pembantu di rumah atau guru di sekolah. Anak dibiarkan berjam-jam
menonton TV supaya orang tua bisa melakukan aktivitas lain. Akibatnya ketika
dewasa: Banyak pola pikir salah yang menetapkan dalam pikirannya ,
Kekerasan , Materialisme, Balas dendam,Sifat kurang kreatif dan produktif .
Romantisme
yang salah 4. Mudah terpancing
emosi ketika keinginan anak tidak terpenuhi, si anak sering kali rewel
atau merengek, menangis, berguling dsb, dengan tujuan memancing emosi orang tua
yang pada akhirnya ortu marah atau malah mengalah. Jika terpancing, anak akan
merasa menang, dan merasa bisa mengendalikan orang tuanya. Akibatnya ketika
dewasa: Mudah manipulasi orang lain dengan pura2 sakit, minta dikasihani
Suka menuntut keinginannya dipenuhi à bila tidak : malas – marah - balas
dendam 5. “Berbohong Kecil – Tidak tepati janji Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari
sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat
yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si
kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi?Akibatnya ketika
dewasa: Mudah janji pada orang lain, tetapi tidak menepati ( integritas )
Suka berbohong 6. “Banyak Mengancam”“Adik,
jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan nggak ada yang mau menolong!””Ini
salah.....itu tidak benar...., nanti dihukum Bu Guru loh” “….nanti
Mama/Papa marah!”Akibatnya ketika dewasa: Tidak percaya diri – takut
salah Kurang kreatif 7. Memberi julukan yang buruk Kebiasaan
memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri,
tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Akibatnya
ketika dewasa: Minder 8. Mengejek
/ Menggoda ( yang tidak disukai anak ) Orang tua yang biasa
menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat anak menjadi
kesal. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang sering
terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Akibatnya ketika dewasa: Kurang hargai orang tua Minder 9.
Menghukum Anak Saat Kita Marah
Jangan pernah memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi
kita sedang memuncak, karena seringkali yang keluar dari mulut kita, akan
cenderung menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Akibatnya ketika dewasa:
Kepahitan / terluka Tidak mudah mengampuni orang lain Emosional ( pemarah , mudah tersinggung )
Sulit bekerja sama dalam team 10.
Menekankan pada sesuat yang Salah Banyak orang tua yang sering bicara /
berkomentar ketika anak2nya tidak akur, suka bertengkar, malas, nakal, ulangan
jelek, dsb. Namun pada saat mereka bermain dengan akur, nilai bagus, rajin
belajar, kita seringkali menganggapnya tidak perlu memberi komentar. http://www.freddway .com/detail. php?tip=article&id=122
[10] Apabila sanksi hukuman sama
sekali tidak diadakan niscaya perilaku siswa akan lebih
semrawut. Kita bisa menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa
yang melanggar masih banyak, apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah
ruwet. Jika hukuman itu diadakan menuntut konsekuensi bagi para pendidik itu
sendiri. Maksudnya, pendidik harus benar-benar bisa sebagai suri tauladan bagi
anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi
tidak diikuti kedisiplinan pendidik, bagaikan halilintar di waktu siang bolong,
banyak yang menyepelekan.
[11] Beberapa
definisi hukuman telah dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya: Pertama, hukuman adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara
sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu
anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk
tidak mengulanginya. (Amin Danien Indrakusuma,1973:14. Kedua ,menghukum adalah memberikan atau mengadakan
nestapa/penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan kita dengan
maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasainya untuk menuju kearah
perbaikan, ,Suwarno, 1981:115.
[12]Al Qawa’id al-Fiqhiyyah Syaikh ‘Abdurrahman
Ibn Nashir As Sa’diy rahimahullah .Sebaliknya, bila sejumlah mafsadat
berbenturan maka diutamakan yang paling ringan mafsadatnya. Mafasid (kerusakan) : bisa haram atau
makruh. Apabila seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang jelek, maka diambil
yang paling ringan kerusakannya. Apabila salah satunya haram dan yang lainnya
makruh, maka dikerjakan yang makruh. Maka memakan sesuatu yang masih diragukan
keharamannya lebih didahulukan daripada memakan sesuatu yang pasti haramnya.
Apabila keduanya haram atau keduanya makruh, maka yang dikerjakan adalah yang
paling ringan keharamannya atau kemakruhannya. Kondisi di atas semuanya hanya
dalam kondisi darurat !!
[13]English
to English,dictionarynoun:1. state of uncertainty or perplexity
especially as requiring a choice between equally unfavorable options 2. An argument which presents an antagonist
with two or more alternatives, but is equally conclusive against him, whichever
alternative he chooses.
[15] Kritik terhadap UU No.23 Th 2002, secara umum, bagaimanapun baik suatu peraturan perundang-undangan, namun kalau
substansinya tidak dapat diterapkan, maka undang-undang itu merupakan
huruf-huruf mati. Oleh karena itu, hendaknya kalau membuat peraturan hendaknya
memperhatikan 4 (empat) hal penting yaitu: (1) Undang-undang yang dibuat harus
jauh berlaku ke depan (predictability), (tidak mudah merubah karena
alasan-alasan tertentu); (2) Dapat diimplementasikan (applicable); (3)
Mengandung netralitas/keadilan (fairners); dan (4) tercermin di dalamnya
kepastian hukum (certainty). Kemudian tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adat yang positif yang hidup
dalam masyarakat.
No comments:
Post a Comment