Kekerasan
Simbol (symbolic violence).
M.RAKIB PEKANBARU RIAU INDONESIA 2015
DISIPLINKU,
DEMI KUALITASMU
MAHASISWA
DI DEPANNYA, DIANGGAP DUNGU
HANYA
SANG PROFESOR YANG BERILMU
PADAHAL
TINDAKANNYA SANGAT KELIRU
Kekerasan
Simbol (symbolic
violence). Kekerasan simbol (symbolic violence) adalah adalah
sebuah kekerasan halus dan tak tampak yang dilakukan seseorang, kelompok atau
institusi (seperti pendidikan tinggi), dengan menggunakan otoritas kekuasaannya
melakukan aneka “pemaksaan” simbolis (bahasa, konsep, kebijakan, program,
sistem, prinsip dan makna), yang meski salah, masyarakat dikondisikan untuk
mengakui dan menerima yang salah itu sebagai benar dan dibenarkan. Kebenaran
tidak lagi tetap dan mengikat. Ia masih ditawar tergantung siapa yang memiliki
kuasa, otoritas, wewenang dan hegemoni. Dan kata ‘wajib’ adalah bahasa
pemaksaan simbolis yang tersirat.
KEKERASAN SANG PENINDAS
MENGATASNAMAKAN, KUALITAS
SANG PROFESOR, TIDA MAU MELEPAS
MERASA DIRINYA YANG PALING PAS
Menindas Dan Tidak Berpihak Pada ‘Isi Dompet’ (ekonomi) orangtua
mahasiswa. Penindasan dan kekerasan atas nama kebijakan ‘wajib’ telah berjalan
beriringan. Sifat kekerasan seperti ini sangat halus. Hampir tidak tampak dan
tak pernah disadari. Penindasan itu dilakukan oleh orang atau lembaga yang
dengan otoritas kekuasaannya mampu membuat kebijakan yang salah. Namun meski
salah mahasiswa dikondisikan untuk mengakui dan menerimanya sebagai yang benar
dan legitimate.
Sosiolog
Prancis, Pierre Bourdieu, sebagaimana dikutip Nanang Martono (2012),
membenarkan adanya kekerasan seperti itu sebagai kekerasan simbol (symbolic
violence). Kekerasan simbol (symbolic violence) adalah adalah
sebuah kekerasan halus dan tak tampak yang dilakukan seseorang, kelompok atau
institusi (seperti pendidikan tinggi), dengan menggunakan otoritas kekuasaannya
melakukan aneka “pemaksaan” simbolis (bahasa, konsep, kebijakan, program,
sistem, prinsip dan makna), yang meski salah, masyarakat dikondisikan untuk
mengakui dan menerima yang salah itu sebagai benar dan dibenarkan. Kebenaran
tidak lagi tetap dan mengikat. Ia masih ditawar tergantung siapa yang memiliki
kuasa, otoritas, wewenang dan hegemoni. Dan kata ‘wajib’ adalah bahasa
pemaksaan simbolis yang tersirat.
Paling
tidak, protes keempat wakil mahasiswa di atas adalah salah satu contoh cara
untuk keluar dari kekerasan simbol yang sudah akut. Berani melawan otoritas dan
hegemoni itu. Mereka memberontak terhadap sistem yang tidak lagi berjalan
lurus. Atas nama mahasiswa lainnya mereka terpaksa memberontak terhadap
kebijakan yang tidak pro mahasiswa. Pastinya, mahasiswa merasa dirugikan selama
ini. Dan pemberontakan adalah jalan benar untuk menentang kebijakan itu.
Perasaan ditindas telah mengalahkan hukum ‘wajib’ dan ‘harus’. Kekerasan simbol
mesti dilunasi dengan sistem yang bersih dan transaparan. Andai tidak, cepat
atau lambat, wajah pendidikan tinggi kita akan terdampar pada pojok
‘ratap tangis dan kertak gigi’.
Tidak
ada pilihan lain untuk keluar dari kebijakan yang salah. Hegemoni institusi
mesti ditanggalkan. Keangkuhan wewenang sejenak ditinggalkan. Dominasi mesti
menghapus catatan hitam. Aroma tak sedap dari balik gerbang kampus harus
dibasmi. Saatnya membangun sistem dan kebijakan perubahan yang jujur dan
transparan. Sebab daya ledak gerakan melawan kekerasan simbol jauh lebih
dahsyat daripada daya ledak bom yang pernah meluluhlantakkan kota Hiroshima dan
Nagasaki. Perasaan ‘dirampas’ memiliki jadwal ledak yang segera. Tanpa kompromi
ruang dan waktu.
Akhirnya,
semoga tidak terjadi pada institusi perguruan tinggi kita andai segera menata
diri.
Bak petir di siang bolong.
Sontak kaget dan sedikit naik pitam. Profesionalitas pun sejenak tercabik.
Begitu seorang sahabat menuturkan perasaannya ketika berkunjung ke sebuah
keluarga malam itu. Seperti lumrahnya sebagai tamu yang baru sekali datang,
seorang sahabat itu menjabarkan sederetan identitasnya secara lengkap. Tak
ketinggalan tentang profesinya sebagai seorang pendidik pada sebuah kampus di
kota Ende. Tanpa basa – basi sang tuan rumah langsung menodong dengan
sebuah pertanyaan, “jual diktat juga?”.
Hampir senada cerita seorang sahabat di atas,
Blasius A Rinda, Yohanes Don Bosco Lewa, On Jago dari Program Studi Bahasa dan
Sastra Indonesia dan Serloanus Siar dari Program Studi Matematika, menyatakan
mahasiswa kecewa terhadap beberapa kebijakan yang dikeluarkan dekan FKIP dan
program studi karena tidak transparan dan merugikan mahasiswa (FP,23/02/2013).
Keempat wakil mahasiswa tersebut memprotes
kebijakan yang dikeluarkan Program Studi (Prodi) Matematika dan PBSI, yakni
mahasiswa wajib menjilid skripsinya di kampus dengan harga Rp30.000. Padahal,
jika dijilid di luar kampus, harganya hanya berkisar Rp12.000 – Rp15.000.
Selain itu, ada beberapa kebijakan lain yang cukup menguras isi dompet
mahasiswa. Antara lain membeli kalender kampus dengan harga yang berubah –
ubah, sumbangan untuk program studi serta keluhan tentang dosen yang kurang
serius membimbing mahasiswa dalam proses penulisan skripsi.
Terhadap
dua cerita buram di atas, hemat penulis, bukan pemandangan baru dalam sketsa
wajah pendidikan tinggi di Tanah Air ini. Berawal dari pendaftaran masuk, masa
orientasi mahasiswa, proses perkuliahan, kegiatan KKN dan berakhir dengan
bimbingan dan sidang skripsi selalu ada catatan hitam. Catatan hitam itu
mengeluarkan bau. Bau bagai bangkai yang berhembus dari lembah kelaliman
bernama perguruan tinggi. Bagaimana tidak, uang pendaftaran masuk dan
registrasi yang ‘mencekik leher’ orang tua mahasiswa.
Pekan
orientasi mahaiswa bukan lagi sebagai pengenalan kampus tetapi lebih sebagai
acara ‘minta tandatangan’ dan ‘pendewaan’ kepada senior. Proses perkuliaahan
hampir tidak jelas inti materi sebab dosen lebih banyak bicara soal bisnis ayam
pedagingnya dan berapa mahasiswa yang belum membayar uang diktatnya. Kegiatan
KKN semakin kehilangan visi sebab mahasiswa lebih banyak disuruh memetik kopi
kepala desa, disulap menjadi pelayan hajatan anak ketua RT dan sekedar membuat
tembok pembatas desa. Demikian pula dengan bimbingan skripsi, ‘sibuk’ adalah
alasan paling tepat untuk menjawab sebuah pertanyaan profesionalitas dan
dedikasi. Selebihnya, ‘tidak ada waktu’ hanya untuk membela kemalasan. Muaranya
jelas, mahasiswa terpaksa menundah sidang. Uang terkuras lagi. Registrasi mesti
berjalan terus. Terpaksa, jadilah mahasiswa abadi. Orangtua pun terpaksa tetap
terus merogoh kocek sebab takut anaknya ‘terputus’ di tengah jalan.
Lebih lajut, kampus dan perkuliahan telah berubah
fungsi tidak saja sebagai tempat terjadinya transaksi ilmu tetapi juga tempat
transaksi jual beli diktat.
No comments:
Post a Comment