Saturday, July 4, 2015

(symbolic violence). M.RAKIB PEKANBARU RIAU INDONESIA 2015



Kekerasan Simbol (symbolic violence).
M.RAKIB PEKANBARU RIAU INDONESIA 2015


 

DISIPLINKU, DEMI KUALITASMU
MAHASISWA DI DEPANNYA, DIANGGAP DUNGU
HANYA SANG PROFESOR YANG BERILMU
PADAHAL TINDAKANNYA SANGAT KELIRU


       Kekerasan Simbol (symbolic violence). Kekerasan simbol (symbolic violence) adalah adalah sebuah kekerasan halus dan tak tampak yang dilakukan seseorang, kelompok atau institusi (seperti pendidikan tinggi), dengan menggunakan otoritas kekuasaannya melakukan aneka “pemaksaan” simbolis (bahasa, konsep, kebijakan, program, sistem, prinsip dan makna), yang meski salah, masyarakat dikondisikan untuk mengakui dan menerima yang salah itu sebagai benar dan dibenarkan. Kebenaran tidak lagi tetap dan mengikat. Ia masih ditawar tergantung siapa yang memiliki kuasa, otoritas, wewenang dan hegemoni. Dan kata ‘wajib’ adalah bahasa pemaksaan simbolis yang tersirat.
KEKERASAN SANG PENINDAS
MENGATASNAMAKAN, KUALITAS
SANG PROFESOR, TIDA MAU MELEPAS
MERASA DIRINYA YANG PALING PAS

         Menindas Dan Tidak Berpihak Pada ‘Isi Dompet’ (ekonomi) orangtua mahasiswa. Penindasan dan kekerasan atas nama kebijakan ‘wajib’ telah berjalan beriringan. Sifat kekerasan seperti ini sangat halus. Hampir tidak tampak dan tak pernah disadari. Penindasan itu dilakukan oleh orang atau lembaga yang dengan otoritas kekuasaannya mampu membuat kebijakan yang salah. Namun meski salah mahasiswa dikondisikan untuk mengakui dan menerimanya sebagai yang benar dan legitimate.
       Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, sebagaimana dikutip Nanang Martono (2012), membenarkan adanya kekerasan seperti itu sebagai kekerasan simbol (symbolic violence). Kekerasan simbol (symbolic violence) adalah adalah sebuah kekerasan halus dan tak tampak yang dilakukan seseorang, kelompok atau institusi (seperti pendidikan tinggi), dengan menggunakan otoritas kekuasaannya melakukan aneka “pemaksaan” simbolis (bahasa, konsep, kebijakan, program, sistem, prinsip dan makna), yang meski salah, masyarakat dikondisikan untuk mengakui dan menerima yang salah itu sebagai benar dan dibenarkan. Kebenaran tidak lagi tetap dan mengikat. Ia masih ditawar tergantung siapa yang memiliki kuasa, otoritas, wewenang dan hegemoni. Dan kata ‘wajib’ adalah bahasa pemaksaan simbolis yang tersirat.
         Paling tidak, protes keempat wakil mahasiswa di atas adalah salah satu contoh cara untuk keluar dari kekerasan simbol yang sudah akut. Berani melawan otoritas dan hegemoni itu. Mereka memberontak terhadap sistem yang tidak lagi berjalan lurus. Atas nama mahasiswa lainnya mereka terpaksa memberontak terhadap kebijakan yang tidak pro mahasiswa. Pastinya, mahasiswa merasa dirugikan selama ini. Dan pemberontakan adalah jalan benar untuk menentang kebijakan itu. Perasaan ditindas telah mengalahkan hukum ‘wajib’ dan ‘harus’. Kekerasan simbol mesti dilunasi dengan sistem yang bersih dan transaparan. Andai tidak, cepat atau lambat, wajah pendidikan tinggi kita akan terdampar pada  pojok ‘ratap tangis dan kertak gigi’.
         Tidak ada pilihan lain untuk keluar dari kebijakan yang salah. Hegemoni institusi mesti ditanggalkan. Keangkuhan wewenang sejenak ditinggalkan. Dominasi mesti menghapus catatan hitam. Aroma tak sedap dari balik gerbang kampus harus dibasmi. Saatnya membangun sistem dan kebijakan perubahan yang jujur dan transparan. Sebab daya ledak gerakan melawan kekerasan simbol jauh lebih dahsyat daripada daya ledak bom yang pernah meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki. Perasaan ‘dirampas’ memiliki jadwal ledak yang segera. Tanpa kompromi ruang dan waktu.
       Akhirnya, semoga tidak terjadi pada institusi perguruan tinggi kita andai segera menata diri.
Bak petir di siang bolong. Sontak kaget dan sedikit naik pitam. Profesionalitas pun sejenak tercabik. Begitu seorang sahabat menuturkan perasaannya ketika berkunjung ke sebuah keluarga malam itu. Seperti lumrahnya sebagai tamu yang baru sekali datang, seorang sahabat itu menjabarkan sederetan identitasnya secara lengkap. Tak ketinggalan tentang profesinya sebagai seorang pendidik pada sebuah kampus di kota Ende. Tanpa basa – basi sang tuan rumah langsung menodong dengan sebuah pertanyaan, “jual diktat juga?”.
Hampir senada cerita seorang sahabat di atas, Blasius A Rinda, Yohanes Don Bosco Lewa, On Jago dari Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Serloanus Siar dari Program Studi Matematika, menyatakan mahasiswa kecewa terhadap beberapa kebijakan yang dikeluarkan dekan FKIP dan program studi karena tidak transparan dan merugikan mahasiswa (FP,23/02/2013).
Keempat wakil mahasiswa tersebut memprotes kebijakan yang dikeluarkan Program Studi (Prodi) Matematika dan PBSI, yakni mahasiswa wajib menjilid skripsinya di kampus dengan harga Rp30.000. Padahal, jika dijilid di luar kampus, harganya hanya berkisar Rp12.000 – Rp15.000. Selain itu, ada beberapa kebijakan lain yang cukup menguras isi dompet mahasiswa. Antara lain membeli kalender kampus dengan harga yang berubah – ubah, sumbangan untuk program studi serta keluhan tentang dosen yang kurang serius membimbing mahasiswa dalam proses penulisan skripsi.
          Terhadap dua cerita buram di atas, hemat penulis, bukan pemandangan baru dalam sketsa wajah pendidikan tinggi di Tanah Air ini. Berawal dari pendaftaran masuk, masa orientasi mahasiswa, proses perkuliahan, kegiatan KKN dan berakhir dengan bimbingan dan sidang skripsi  selalu ada catatan hitam. Catatan hitam itu mengeluarkan bau. Bau bagai bangkai yang berhembus dari lembah kelaliman bernama perguruan tinggi. Bagaimana tidak, uang pendaftaran masuk dan registrasi yang ‘mencekik leher’ orang tua mahasiswa.
          Pekan orientasi mahaiswa bukan lagi sebagai pengenalan kampus tetapi lebih sebagai acara ‘minta tandatangan’ dan ‘pendewaan’ kepada senior. Proses perkuliaahan hampir tidak jelas inti materi sebab dosen lebih banyak bicara soal bisnis ayam pedagingnya dan berapa mahasiswa yang belum membayar uang diktatnya. Kegiatan KKN semakin kehilangan visi sebab mahasiswa lebih banyak disuruh memetik kopi kepala desa, disulap menjadi pelayan hajatan anak ketua RT dan sekedar membuat tembok pembatas desa. Demikian pula dengan bimbingan skripsi, ‘sibuk’ adalah alasan paling tepat untuk menjawab sebuah pertanyaan profesionalitas dan dedikasi. Selebihnya, ‘tidak ada waktu’ hanya untuk membela kemalasan. Muaranya jelas, mahasiswa terpaksa menundah sidang. Uang terkuras lagi. Registrasi mesti berjalan terus. Terpaksa, jadilah mahasiswa abadi. Orangtua pun terpaksa tetap terus merogoh kocek sebab takut anaknya ‘terputus’ di tengah jalan.
Lebih lajut, kampus dan perkuliahan telah berubah fungsi tidak saja sebagai tempat terjadinya transaksi ilmu tetapi juga tempat transaksi jual beli diktat.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook