Catatan M.Rakib, Ciptakarya Panam Pekanbaru Riau Indonesia 2015
cKejadian 19:30-38
Lot dan kedua anaknya perempuan
19:30 Pergilah Lot dari Zoar l dan ia menetap bersama-sama dengan
kedua anaknya perempuan di pegunungan, m sebab ia tidak berani tinggal di
Zoar, maka diamlah ia dalam suatu gua beserta kedua anaknya. 19:31 Kata
kakaknya kepada adiknya: "Ayah kita telah tua, dan tidak ada laki-laki di
negeri ini yang dapat menghampiri kita, seperti kebiasaan
Femininitas dan maskulinitas dalam Qur’an
Seperti contohnya
terjemahan surat al falaq ayat 4 yang artinya “dan dari kejahatan wanita-wanita
tukang sihir yang menghembuskan pada buhul-buhul” Mengapa dalam bahasa
Indonesia kemudian kita harus mengartikannya “wanita”? Padahal tata bahasa arab
mengenal gender berbeda dengan kita.
Kata naffaatsati bermakna
menghembuskan atau meniup yang memiliki gender feminine dan tidak ada kata
nissa yang artinya wanita di ayat tersebut.
Subhi
Al-Salih
mendefinisikan Al-Qur'an sebagai
berikut:“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan
dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah.” Al-Qur’an memperoleh kelayakannya di setiap
waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Dari sumber inilah asalnya seluruh syari’at Islam. Karena itu untuk menetapkan sanksi harus berdasarkan
ketetapan Al-Qur’an, agar tidak termasuk orang yang ingkar. Allah SWT
berfirman:
(ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
(المائدة: 44)……
“…Barang siapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir.”[1]
Fakhr ar- Razi, menyatakan ada dua hal utama dalam memahami
ayat ini: Pertama, yang dimaksud firman
Allah di atas adalah ancaman terhadap orang Yahudi atas keberanian mereka
mengingkari hukum Allah yang telah dinashkan dalam Taurat, mereka berkata: Itu
tidak wajib. Karena itulah mereka menjadi kafir secara mutlak. Kaum Khawarij
berpendapat bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah, maka ia kafir, sedangkan Jumhur ulama berpendapat bahwa ayat tersebut
merupakan ancaman bagi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bisa disebut kafir. Di
dalam ayat 46,Surat Al-Maidah dikatakan bahwa
orang tidak berhukum kepada hukum Allah, disebut zalim. Asy-Sya'bi, menyatakan
bahwa julukan
kafir itu bagi orang Islam, julukan zalim bagi orang Yahudi, dan fasik bagi orang Nasrani, jika
mereka tidak mengikuti hukum Allah. Tapi Al-Zamakhsyari menyatakan, tiga sifat itu, dinisbatkan kepada orang kafir (Ahli
Kitab) menunjukkan penghinaan terhadap mereka karena melampaui batas.
Dalam Al-Quran terdapat 200 ayat yang khusus membicarakan dan
menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan masalah “zalim” atau “kezaliman”,[2] suatu
perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Dia sangat benci kepada
orang-orang yang zalim.” Sebagaimana
dalam Q.S.Ali ‘Imraan: 57. Secara umum makna kata “zalim” yang dikenal
adalah segala tindak kekerasan
ataupun berbuat aniaya; baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Dalam syari’at (Agama Islam) yang sesuai dengan Al-Baqarah
ayat 229 bahwa orang yang melanggar hukum-hukum Allah,
itulah yang zalim”; makna “zalim” yang
didefinisikan oleh para ulama,“segala tindakan yang
melampaui batas, tidak lagi sesuai
dengan ketentuan Allah
SWT, baik dengan cara menambah
ataupun mengurangi hal-hal yang
berkaitan dengan waktu; tempat atau letak maupun sifat dari perbuatan-perbuatan
yang melampaui batas tersebut. Dan itu berlaku untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah
(hablun-minallah),
maupun hubungan kemanusiaan dan alam semesta, baik itu dalam skala kecil maupun
besar, tampak ataupun tersembunyi.”[3]
Kewajiban
berhukum kepada al-Qur’an termasuk masalah
pokok, karena menjadi dasar bagi
seorang Muslim untuk berpegang teguh
terhadap hukum-hukum amaliahnya yang akan dipertanggungjawabkan. Apabila
landasan suatu hukum sudah salah, seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya
menjadi salah pula. Karena itu menetapkan sumber syariat Islam tidak dapat
dilakukan berdasarkan persangkaan ataupun dengan dugaan belaka, tapi
berdasarkan kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril
kepada Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar
dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan
agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia, di samping
merupakan amal ibadah bagi yang membacanya.
Al-Qur’an
diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya
diriwayatkan oleh orang sangat banyak semenjak dari generasi shahabat ke
generasinya selanjutnya secara berjamaah. Apa
yang diriwayatkan oleh orang perorang tidak dapat dikatakan sebagai Al-Qur’an.
Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah berkali-kali
mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan
pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan.
Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan
Muhammad SAW.,
ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an tetap menjadi mu’jizat
sekaligus sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam, sebagai sumber segala
sumber hukum :
a)KehujjahanAl-Qur’an
Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia,[4] serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun. Allah SWT berfirman:
a)KehujjahanAl-Qur’an
Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia,[4] serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun. Allah SWT berfirman:
.[5]
Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan manusia mereka apabila
berkumpul untuk membuat suatu kitab yang serupa dengan Al-Qur’an ini. Pastilah mereka tidak
akan dapat membuat tandingan yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka
menjadi pembantu bagi sekalian yang lain.[6]
Dan apabila kamu tetap merasa
dalam keraguan tentang kebenaran Al-Qur’an yang kami wahyukan
kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) sebagai tandingan yang semisal Al-Qur’an, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah,
jika kamu orang-orang benar.”[7]
Membuat satu surat menyamai Al-Qur’an,memang tidak mjungkin, seperti pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang Quraisy di masa Rasulullah SAW, seorang ahli syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh Nabi pada awalnya berkata: “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an itu terdapat sesuatu yang lezat, lagi pula keindahannya, apabila di bawah, menyuburkan, dan apabila di atas, menghasilkan buah. Dan manusia tidak mungkin mampu berucap seperti Al-Qur’an.”[8] Selain dari bahasanya, isi Al-Qur’an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman, juga tentang prediksi akan menangnya pasukan Romawi atas Parsi (QS. Ar-Ruum).[9]
Selain
isi Al-Qur’an menunjukkan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan
fakta, ada pula sebagian berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi(Iptek), misalnya tentang penyerbukan
oleh lebah, bahkan tentang reproduksi, buah-buahan oleh
bantuan angin. Pada
akhirnya terbuktilah kebenaran al-Qur’an. Semua itu menunjukkan
bahwa Al-Qur’an memang bukan datang dari manusia melainkan dari Allah SWT; Sang
Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan
bahkan keharusan bagi umat Islam untuk
menjadikannya sebagai landasan kehidupan
dan landasan hukum:.
b) Keseimbangan kata dalam al-Qur’an
M.Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”,menerangkan tentang keseimbangan penggunaan kata dalam Al-Qur’an yang begitu kuat mengundang rasa ingin tahu, antara lain:
1) Keseimbangan kata yang bertolak belakang
(a) Al-hayah (hidup)
dan al-mawt (mati), masing-masing disebut 145 kali
(b) Al-naf(manfaat)
dan al-madharrah (mudarat) masing-masing disebut 50 kali
(c) Al-har (panas)
dan al-bard masing-masing disebut 4 kali
Al-shalihat
(kebajikan) dan al-sayyi’at (keburukan) masing-masing disebut 167 kali.
(d) Al- tuma’ninah
(kelapangan / ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan / kekesalan), masing-masing
disebut 13 kali
(e) Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah
(harap/ingin) masing-masing disebut 8 kali.[10]
2) Keseimbangan jumlah kata
dengan sinonimnya (yang artinya sama)
(a) AL-harts dan al-Zira’ah
(membajak/bertani) masing2x disebut 14 kali
(b) Al-uhbdan al-dhurur
(membanggakan diri/ angkuh) masing2x disebut 27 kali
(c) Al-aql dan al-nur
(akal dan cahaya) masing2x disebut 49 kali
(d) Al-jahr dan al-alaniyah(nyata),
masing2x disebut 16 kali
(e) Zakat disebut 32 kali dan barokah
juga disebut 32 kali.[11]
3) Keseimbangan antara
jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya
(a) Al-infak(infak) dengan al-ridha
(kerelaan), masing-masing disebut 73 kali.
(b) Al-bukl(kekifiran) dengan al-hasanah
(penyesalan) masing-masing disebut 12
kali.
(c) Al-kafirun (orang2x kafir) dengan al-nar/al-ahraq
(neraka/pembayaran) masing2x disebut 154 kali
(d) Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat
(kebajikan) masing-masing disebut 32 kali
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.,secara bertahap dalam kurun waktu 22 tahun, 2 bulan,
22 hari. Di antara ayat-ayat itu diturunkan untuk
memberikan jawaban dalam berbagai peristiwa yang terjadi saat itu.
c) Tafsir Al-Qur’an
Tafsir
al-Qur’an, menerangkan maksud pada
lafadz-nya,
dijelaskan dengan lafadz lain ,sehingga tidak ada keraguan lagi. Tafsir Al-Qur’an
merupakan penjelasan makna kata demi kata,
serta
makna susunan kalimat,
sebagaimana adanya. Terkadang suatu ayat dijelaskan oleh ayat lainnya (tafsir
ayat bil ayat atau
bil
hadits)Rasulullah
SAW.,(tafsir bis Sunnah),
atau penjelasan shahabat dan ahli ilmu pengetahuan. Adapun
tentang penyempurnaan pembukuan Al-Qur’an, terjadi pada waktu
khalifah ‘Utsman “Qur’an
‘Usmani.” Karena selama ekspedisi melawan Azerbaijan,
timbul berbagai perbedaan
di antara
pasukan, mengenai cara bacaan Al-Qur’an, karena pasukan itu sebagian diambil dari Suriah dan Irak, sehingga Jendral
Huzaifah membawa masalahnya kepada Khalifah ‘Usman bin Affan(644-656 M.)
Penjelasan kata-kata dan susunannya ayat, terbatas hanya dalam
bahasa Arab, sama sekali tidak boleh ditafsirkan dalam bahasa lain. Selain
menurut kenyataannya Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab yang paling
baik dan murni, tidak ada jalan lain dalam memahami Al-Qur’an, perlu juga melalui bahasa
yang lain.
Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’an itu sendiri yaitu bahasa Arab. Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT,[13] maka tidak ada alternatif lain, melainkan berusaha semakimal mungkin memahami Al-Qur’an, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri:
Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’an itu sendiri yaitu bahasa Arab. Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT,[13] maka tidak ada alternatif lain, melainkan berusaha semakimal mungkin memahami Al-Qur’an, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri:
“(Dan) Demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qur’an
itu sebagai peraturan yang benar, dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu
mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka
sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.”[14]
Ayat
ini, menunjukkan usaha memahami hukum dalam Al-Qur’an harus dimulai dengan
memahami bahasa Arab.[15] Lemahanya
penguasaan bahasa Arab, sebahagian umat
Islam, dalam mengkaji dan
menghayati isi kandungan Al-Qur’an menyebabkan ketidakakraban dengan Al-Qur’an.
Ini menunjukkan bahwa sebagian umat
sedang berada di luar ketentuan Allah SWT.
Pentingnya bahasa Arab untuk melakukan kajian
terhadap isi
kandungan Al-Qur’an menuntut persyaratan-persyaratan tertentu. Di samping menuntut
keikhlasan dan kesucian niat juga membutuhkan penguasaan ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan pemahaman Al-Qur’an. Apabila persyaratan itu
tidak terpenuhi, dapat menimbulkan
pemahaman yang keliru dan merugikan. Walaupun begitu, terpenuhinya persyaratan
ini pun tidaklah mutlak menjamin kebenaran hasil suatu kajian, namun begitu haruslah
berusaha semaksimal mungkin,
untuk mendekati kebenaran yang dimaksud Al-Qur’an.
Kajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya merupakan ‘jembatan’ untuk memahami dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang dilakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’an hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan.
Kajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya merupakan ‘jembatan’ untuk memahami dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang dilakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’an hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan.
2. Al-Hadits
a)Pengertian al-Hadits
Al-Hadits adalah suatu perkataan, atau ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan/persetujuan/diamnya)
Rasulullah SAW.,terhadap
sesuatu perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya.[16]
Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan
Al-Qur’an karena sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu. Firman Allah SWT:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى
|
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ
يُوحَى
|
Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan
itu hanyalah firman yang diwahyukan (kepadanya).[17]
Makna ayat di atas ialah, apa yang disampaikan Rasulullah SAW. (Al-Qur’an dan As-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya.[18] Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah SAW. melakukan suatu tindakan hanya berdasarkan wahyu dari Allah SWT, kemudian diperintahkan manusia mengikuti apa yang disampaikannya. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa Rasulullah SAW juga menerima wahyu yang lain, yaitu Al-Hikmah[19] yang pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna As-Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 164, QS. Al-Jumu’ah: 3, dan QS. Al-Ahzab: 34.[20]Kemudian kehujjahan Al-Sunnah adaalah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti (qath’i) kebenarannya, seperti Al-Qur’an itu sendiri.
b)Fungsi al-Hadits terhadap Al-Qur’an:
(1) Menguraikan
Kemujmalan Al-Qur’an.
Istilah mujmal, maksudnya adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah/ penunjukannya) yang belum jelas maksud dan rinciannya. Tentang perintah shalat, membayar zakat dan menunaikan haji. Al-Qur’an hanya menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci menerangkan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain. Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama Andalusia pada masa Abbasiyah menjelaskan: “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat ungkapan yang seandainya tidak ada penjelasan lain, tidak mungkin orang melaksanakannya. Dalam hal ini rujukannya hanya kepada Sunnah Nabi SAW. Jika dibandingkan dengan ijma’, maka Ijma’ hanya terdapat dalam kasus-kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib kembali kepada Sunnah.”
(2) Mengkhususkan Keumuman Al-Qur’an.
Lafadz umum (‘Aam) ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu makna yang menerangkan dengan satu ucapan saja. Misalnya ‘Al Muslimun’ (orang-orang Islam), ‘Ar rijaalu’ (orang-orang laki-laki). Di dalam Al-Qur’an itu terdapat banyak lafadz yang bermakna umum kemudian Sunnah mengkhususkannya.
…يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ …
“...Allah mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak
laki-laki adalah dua bagian dari anak perempuan...” [21]
Ayat ini dijelaskan oleh hadits Ibnu Abbas:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا ، فَمَا بَقِىَ فَهْوَ لأَوْلَى
رَجُلٍ ذَكَرٍ
"Berikanlah bagian ashabul furudh,
sisanya untuk laki-laki yang terdekat." [22]
Kasus yang terjadi sebelum
turunnya Surat An-Nisa’:11 ialah dari kisah
Umrah ,[23] yaitu Umrah binti Hazm, istri Sa’d ibn al-Rabi, menghadap kepada Rasulullah
SAW lalu berkata seraya menunjuk kepada dua anak kecil di sisinya, “Wahai
Rasulullah, ini adalah dua putri Sa’d ibn Al-Rabi. Ayah mereka gugur di medan
perang Uhud sehingga mereka kini yatim. Derita semakin berat karena paman
mereka mengambil harta mereka tanpa menyisakan sedikit pun. Tentu saja kedua
anak ini tidak akan bisa menikah tanpa harta.” Rasulullah kemudian
terbayang sosok dan kewiraan Sa’d ibn Al-Rabi ketika berperang melindungi
beliau. Selain itu Rasul juga iba pada kedua anak itu. Namun beliau belum bisa
menetapkan keputusan yang akan berkaitan dengan hak waris dari ayah mereka.
Akhirnya Rasul bersabda, “Allah akan menurunkan ketetapan mengenainya.”
Allah
menurunkan ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah yaitu Surat An-Nisa ayat 11 bahwa Allah mensyari’atkan
tentang pembagian pusaka untuk. yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Menurut ayat tersebut di atas,
setiap anak secara umum berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Jadi setiap
anak adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang mengkhususkannya.
Sabda Rasulullah SAW: “Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan warisan, apa
yang kami tinggalkan adalah sedekah.” [24] “Seorang pembunuh tidak mendapat warisan.”[25] Menurut hadits
di atas Nabi tidak meninggalkan warisan bagi anak-anaknya serta melarang
seorang anak yang membunuh ayahnya untuk
mendapatkan warisan.
(3) Mengqayyidkan Ayat Yang Mutlaq.
Mengqayyidkan artinya memberikan
persyaratan.Misalnya setiap pencuri harus dipotong tangannya, padahal ada
syarat-syaratnya,Taqyid (Pensyaratan)[26]
terhadap ayat Al-Qur’an yang mutlak
yaitu lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya:“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan (keduanya).” [27]
yaitu lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya:“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan (keduanya).” [27]
Ketentuan
tambahan (penyempurnaan) yang dilakukan Rasulullah SAW. Maka sikap seorang
Muslim terhadap hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak
kepada Allah dan Rasul-Nya supaya Dia memberikan ketentuan hukum di antara mereka, tidak lain hanya mengatakan: Kami
mendengar dan Kami mematuhinya. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia.”
[28]
Penggunaan nash As-Sunnah untuk masalah hukum dan aqidah haruslah nash yang bersifat qath’i,[29] karena tidak boleh adanya keraguan sedikitpun dalam masalah aqidah/i’tiqadiyah. Sedangkan untuk masalah hukum/Syari’ah masih dapat digunakan nash As-Sunnah yang mencapai derajat dzanni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal ini karena dalam masalah Syari’ah tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah i’tiqadiyah).
Alasan Ijma’ Shahabat dijadikan sumber hukum Islam.[30]Dari segi mungkin tidaknya ‘seluruh orang yang berijma’ berkumpul, saling mengetahui ijma’ dan dapat mengkoreksi bila diketahui kesalahannya, maka hal ini hanya mungkin terjadi pada masa shahabat, tidak pada masa selain mereka. Sebagai contoh, ijma’ ulama. Maka untuk terwujudnya ijma’ ulama, haruslah diperjelas ‘siapa saja ulama’ itu; apakah ulama yang sudah sering digunakan untuk ‘membuat hukum pesanan’ juga termasuk di dalamnya? Akan pasti benarkah ijma’ mereka tersebut?
Benarkah semua ‘ulama’
mengetahui dan menyetujui ijma’ tersebut? Tidak adakah yang selanjutnya
menarik kembali atau membatalkan ijma’nya
sampai ia meninggal? Dan mungkinkah para ulama (seluruh kaum Muslimin di
seluruh dunia) mampu berkumpul bersama membahas suatu masalah baru? Masih
banyak yang tidak bisa terjawab selain oleh para shahabat, padahal semua hal
tadi merupakan syarat sahnya sebuah ijma’ oleh suatu kelompok. Karena
ketidakmungkinan itu pula yang pada akhirnya muncul istilah ‘jumhur ulama’;
artinya kebanyakan ulama berijtihad dengan hasil serupa ter-hadap suatu masalah.
Jumhur berbeda dengan ijma’.Banyaknya pujian kepada para Shahabat secara
jama’ah, baik tercantum dalam Al-Qur’an maupun hadits (keduanya dalil
yang qath’i kebenarannya). Firman
Allah.[31]
Bahwa Nabi
Muhammad SAW, bersikap tegas terhadap orang kafir dan lemah lembut terhadap
sesama kaum muslimin.
QS. At-Taubah:
100
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.[32]
Ayat ini, adalah petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat menunjukkan suatu kepastian tentang kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jama’ah, bukan secara pribadi-pribadi). Apabila mereka bersepakat terhadap suatu masalah, tentulah hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji para shahabat tersebut bersifat qath’i sehingga dapat ditentukan bahwa ijma’ shahabat dapat digunakan sebagai dalil syara’.
Para shahabat Nabi Muhammad SAW., merupakan generasi yang mengumpulkan, menghafalkan dan menyampaikan Al-Qur’an beserta Sunnah pada generasi berikutnya. Di samping itu para shahabat merupakan orang-orang yang hidup semasa Rasulullah SAW, hidup bersama, mengalami sulit dan senang secara bersama. Merekalah yang mengetahui kapan, di mana, dan berkaitan dengan peristiwa apa suatu ayat Al-Qur’an diturunkan. Merekalah yang mengetahui Sunnah Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri kehidupan kaum Muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah masih hidup. Lalu adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan manusia di muka bumi ini selain mereka (para shahabat)? Ijma’ siapa lagi selain ijma’ mereka yang lebih baik dan lebih kuat?[33]
Memang tidak mustahil para shahabat pun melakukan kesalahan, sebab mereka pun tetap manusia yang tidak ma’shum. Akan tetapi secara syar’i mereka mustahil bersepakat atau berijma’ atas suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam ijma’ mereka tentang suatu persoalan maka tentu akan terdapat kesalahan dalam Islam, dalam Al-Qur’an dan Hadits sebab merekalah yang menyampaikan Al-Qur’an dan menuturkan Hadits Rasulullah saw pada generasi berikutnya. Bahkan sebenarnya mereka pulalah yang memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya kesalahan dalam ijma’ shahabat adalah mustahil terjadi secara syar’i.
3. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid dari
umat Muhammad SAW dalam
suatu masa terhadap hukum syara’ setelah beliau wafat. Akan
tetapi ada juga Ijma’sahabat yaitu kesepakatan para sahabat Nabi SAW.Salah
satu ijma’ shahabat terpenting adalah pengumpulan Al-Qur’an menjadi mushaf.
Al-Qur’an dalam bentuk sekarang ini merupakan hasil kesepakatan (ijma’)[34] para
shahabat. Bersamaan dengan ini Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami
benar-benar akan menjaganya.[35]
Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan,
baik dari depan maupun dari belakangnya diturunkan dari yang Mahabijaksana, lagi
Mahaterpuji.[36]
Dari kedua ayat tersebut, Allah memastikan bahwa mushaf Al-Qur’an yang ada kini --yang merupakan ijma’ para shahabat-- dijamin kebenarannya. Dengan kata lain melalui tangan-tangan para shahabatlah, Allah menjaga kebenaran Al-Qur’an. Jika ada kemungkinan salah dalam ijma’ shahabat, berarti ada kemungkinan salah dalam Al-Qur’an sekarang. Padahal hal ini adalah mustahil terjadi. Dengan demikian secara syar’i mustahil terjadi kesalahan dalam ijma’ shahabat. Inilah dalil yang pasti bahwa ijma’ shahabat merupakan dalil syar’i. Contoh lain yang mashur tentang ijma’ shahabat adalah keharusan adanya seorang khalifah yang akan memimpin dan mengurus seluruh kebutuhan kaum muslimin, melindungi, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana yang dilakukan para shahabat tatkala Rasulullah saw wafat.
4.Qiyas
Qiyas artinya menyamakan suatu
kejadian yang tidak ada nashnya dengan suatu kejadian yang sudah ada nash/hukumnya,
karena disebabkan adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat (sebab)
hukumnya, menurut ushul al-fiqhi. [37] Alasan qiyas dijadikan sumber hukum, karena adanya nash-nash syar’i
yang memiliki kesamaan illat. Sebagaimana keberadaan hukum adalah illatnya,
maka apabila ada kesamaan illat antara suatu masalah baru dengan masalah
yang sudah ada hukumnya, maka hukum masalah yang baru tersebut menjadi sama.
Ketika illat yang sama terkandung dalam Al-Qur’an berarti dalil qiyas dalam hal tersebut adalah Al-Qur’an. Demikian pula apabila illat yang sama terkandung dalam Sunnah dan Ijma’ Shahabat yang menjadi dalil qiyas adalah kedua hal tersebut. Di samping itu ada beberapa hadits Rasulullah yang mengisyaratkan penggunaan qiyas sebagai dalil syara’. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Seorang wanita datang kepada Rasulullah dan berkata: ‘Ya Rasulullah, Ibuku telah meninggal, sedang ia belum menunaikan puasa nadzar, apakah aku harus menggantinya?’ Kemudian Rasulullah bersabda:
‘Bagaimana
jika ibumu mempunyai hutang, sedang ia belum membayarnya, apakah kamu akan
membayar hutangnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka bersabda Rasulullah SAW: ‘Maka
puasalah untuk (memenuhi) nadzar
ibumu’.”[38] Dan Imam Daruquthny
meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra: “Seorang
laki-laki datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa bapaknya meninggal,
sedangkan ia berkewajiban menunaikan ibadah haji. Dia bertanya: ‘Apakah aku
harus menghajikan bapakku?’ Maka Rasulullah berkata: ‘Bagaimana jika bapakmu
punya hutang, apakah kamu harus membayarnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka
Rasulullah berkata ‘Berhajilah untuknya’.” Dalam
dua hadits tersebut Rasulullah mengumpamakan atau mensejajarkan
persoalan nadzar, haji, dengan
hutang, yang sama-sama harus dipenuhi.
a) Ruang lingkup pembahasan qiyas
Sebagai
contoh, mengadakan transaksi jual beli tatkala adzan shalat Jum’at merupakan
peristiwa yang telah ditetapkan dalam nash, yaitu haram, berdasarkan
ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual beli.”[39]
Adapun Illat pada ayat di atas adalah karena hal tersebut melalaikan shalat. Karena itu sewa menyewa, transaksi perdagangan maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan illat, yaitu melalaikan shalat, maka perbuatan tersebut hukumnya diqiyaskan dengan perbuatan jual beli di atas, yaitu haram.Berdasarkan kaidah syara: ”Sesungguhnya hukum-hukum tentang ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq tidak dapat direka-rekayasa.
b)
Batasan penggunaan qiyas
Batasan penggunaan qiyas ialah pada semua ketentuannya wajib sesuai dengan
nash/ketentuan syara’ semata”. Jadi ruang lingkup
dari penggunaan qiyas hanya pada
hal-hal (masalah) yang memiliki kesamaaan illat di dalamnya. Sedangkan
di dalam masalah pakaian, makanan, minuman, ibadah dan akhlak di dalamnya tidak
mempunyai illat, karena masalah ini sudah jelas nash syara’nya
sehingga tidak bisa diqiyaskan. Setiap qiyas harus mempunyai empat rukun:
(1) Asal (pokok).
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Asal disebut “maqish ‘alaih” (yang menjadi tempat mengqiyaskan), atau “mahmul ‘alaih” (tempat membandingkannya), atau “musyabbah bih” (tempat menyerupakannya)[40]
(2) Far’u (cabang).
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, dan peristiwa itulah yang hendak disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia juga disebut ‘maqish’ (yang diqiyaskan) dan ‘musyabbah’ (yang diserupakan).
( 3) Hukum asal.
Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash atau dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
(4) ‘Illat.
Rukun qiyas yang keempat adalah yang terpenting untuk dibahas, karena illat qiyas merupakan asasnya. Di antara hadits Nabi yang menunjukkan membenarkan hukum secara qiyas, ialah riwayat dari shahabat Mu'adz ketika diutus oleh Nabi SAW ke negeri Yaman, yang di kala itu Mu'adz menjawab pertanyaan-pertanyaan Nabi SAW tentang cara menetapkan hukum apabila tidak terdapat keterangannya di dalam Al-Qur'an dan di dalam Sunnah Rasul : "Saya berijtihad dengan fikiran saya". Jawaban demikian dibenarkan oleh Nabi SAW.[41]
B.
Karakteristik
hukum Islam
1. Universal
Universalnya Hukum
Islam, bahwa
seluruh hukum yang terdapat dalam syariat Islam bersifat natural serta relevan
dengan fitrah kemanusiaan. Petunjuk untuk segenap umat manusia tanpa memandang
perspektif rasial, etnis, suku bangsa, warna kulit dan sosiokulturalnya. Dalam
pandangan syariat Islam manusia itu sama, sebagaimana yag dijelaskan di dalam Qs Al
Anbiya : 107, bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh
dunia. Kemudian di dalam Qs Saba : 38 bahwa Muhammad SAW diutus untuk seluruh manusia.Walaupun kebanyakan orang akan menolaknya.[42]
2. Istiqamah
Hukum
Islam itu lurus, lempang dan tidak berbelok-belok.
Umar bin Khathab menjelaskan bahwa : Istiqamah itu tetap mengikuti perintah dan
( menjauhi ) larangan serta tidak menyimpang dari padanya. Tidak melenceng dan tidak bengkok, kokoh dan
lurus. Dalam Al-Qur’an, hal itu diistilahkan dengan al-Shirath
al-mustaqim,jalan yang lurus. Para ulama mengatakan bahwa jalan yang lurus adalah
jalan yang selalu menjaga jarak dari terlalu minggir ke salah satu sisi. Jalan
lurus bisa dikatakan sebagai jalan yang berada di tengah-tengah.[43] Tidak mengambil sikap ekstrem, yang direpresentasikan dengan sikap al-maghdhubu ‘alaihim orang-orang
Yahudi, dan sikap “adh-dhalin”
orang-orang Nasrani. Dalam banyak hal, terjadi hubungan ekstrem antara Yahudi
dan Nasrani. Misalnya, orang Yahudi membunuh para nabi; sedangkan orang Nasrani
menuhankan para nabi. Orang Yahudi terlalu banyak mengharamkan, sedangkan orang
Nasrani terlalu banyak menghalalkan. Orang Yahudi materialistis, sedangkan
orang Nasrani spiritualistis. Adapun umat Islam adalah jalan tengah di antara
dua sikap ekstremistis tersebut.
3. Terbaik
Menurut Tahir
Azhary, bukti terbaiknya Hukum
Islam itu ada tiga, yang pertama yaitu bidimensional, artinya mengandung segi kemanusiaan dan
ketuhanan(illahi). Di samping itu sifat bidimensional
yang dimiliki Hukum Islam juga berhubungan dengan sikap atau sifat yang luas. Hukum Islam tidak hanya memuat
satu aspek, bahkan mengatur berbagai
aspek kehidupan manusia. Sifat dimensional merupakan sifat pertama yang melekat pada hukum Islam dan merupakan fitrah
(sifat asli) Hukum Islam. Kedua adalah adil, ia
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan sifat dimensional. Dalam Hukum Islam
keadilan bukan saja merupakan tujuan, tetapi sifat yang melekat sejak
kaidah-kaidah dalam syariat ditetapkan. Keadilan merupakan suatu yang
didambakan oleh setiap manusia sebagai individu maupun masyarakat.
Hukum Islam terbaik dalam artian sempurna, artinya sesuai dengan segala situasi dan
kondisi manusia, di manapun dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal
ini didasarkan bahwa syari’at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya
garis besar permasalahannya saja, sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap
meskipun zaman dan tempat selalu berubah.penetapan hokum yang bersifat global
oleh al-Qur’an tersebut dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada umat
manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan
waktu menurut Ibnu Katsir “Kairul umuri Ausathuha” (hal yang
terbaik adalah yang paling mudah dan
praktis dan ekonomis). “Kebaikan adalah sikap tengah
antara dua buah keburukan,” karena itu, disimpulkan dengan istilah “ummatan
wasathan” setara maknanya adalah khaira ummatin
umat terbaik.
4. Aman
Hukum Islam membuat orang
merasa damai, tidak akan gelisah, menyejukkan
hati. Misalnya dalam berpakaian. Pakaian yang aman itu, tidak ada
gangguan, karena tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis,
sehingga aman.[44]
Kalau terlalu tebal, dan ternyata hari sangat panas, akan merasa kepanasan. Sedangkan kalau terlalu tipis, dan ternyata hari
sangat dingin akan merasa kedinginan. Contoh
yang lain, keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Perkawinan
akan langgeng dan tenteram sesuai dengan harapan dan pandangan hidup antar
suami dan istri, tidak ada perbedaan
agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara
suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan
kegagalan perkawinan. Hukum Islam membimbing kearah suasana yang aman. dalam
sistem kehidupan.[45]
5. Kuat
Hukum Islam memberikan kaidah dan patokan
dasar yang kuat,
umum dan global. Perinciannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan manusia, dan
dapat berlaku dan diterima oleh seluruh manusia. Dengan ini pula, dapat dilihat
bahwa hukum Islam mempunyai daya gerak dan hidup yang dapat membentuk diri
sesuai dengan perkembangan dan kemajuan, melalui suatu proses yang disebut
ijtihad. Dalam ijtihad yang menjadi hak bagi setiap muslim untuk melakukannya
merupakan prinsip gerak dalam Islam yang akan mengarahkan Islam kepada suatu
perkembangan yang bersifat aktif, produktif serta konstruktif.Hukum Islam berada pada posisi tengah adalah pusat kekuatan. Dalam
perjalanan umur, masa yang paling kuat juga masa pertengahan. Terlalu muda
adalah masa yang masih lemah, sedangkan terlalu tua adalah masa yang sudah
lemah dan kehilangan kekuatan. Matahari terasa paling panas adalah ketika di
tengah hari; bukan di awal hari, dan bukan juga di sore hari.[46]
6. Komprehensif
Hukum Islam bersifat komprehensif, maksudnya Syari’at Islam mampu menjawab tantangan
dinamika jaman dan transformasi kultural, khususnya dalam mu’amalah,
perundang-undangan, hukum ekonomi dan hubungan internasional. Titik pertemuan, dari pinggir,
pojok dan ujung berjumlah sangat banyak dan
sangat sulit bertemu dengan yang lain. Sedangkan persatuan
tengah hanya berjumlah satu, bahkan semua unsur pinggir, pojok dan ujung
bisa bertemu di tengah. Hal ini tidak hanya mungkin terjadi pada sebuah
lingkaran, tapi bisa juga berlaku untuk pemikiran, sikap, dan sebagainya. Sisi-sisi Kemoderatan Islam,meliputi
semua bagian dalam Islam; akidah, ibadah, akhlak, dan hukum. Akidah Islam
adalah tengah-tengah; tidak seperti akidah khurafat yang meyakini semua hal
walaupun tidak berdalil, tidak pula seperti akidah kaum materialis yang hanya
meyakini apa yang mereka lihat dan rasakan. Islam mengajarkan akidah, tapi
harus berdasarkan dalil yang kuat dan yakin. Akidah Islam adalah tengah-tengah;
tidak seperti kaum atheis yang sama sekali tidak mengakui adanya tuhan, tidak
pula seperti kaum musyrikin yang menjadikan banyak hal sebagai tuhan,
bahkan sapi, kera, dan sebagainya. Islam mengajarkan iman kepada Allah.[47]
Hukum Islam tidak bisa dilepaskan
dari akidah Islam yang juga bersifat berdiri di tengah-tengah, tidak seperti qadariah yang mengatakan bahwa manusia
menciptakan perbuatannya sendiri, tidak pula seperti jabariyah yang mengatakan
bahwa manusia tak lain bagaikan bulu yang diombang-ambingkan angin
kesana-kemari. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk mulia, yang diberi
kewajiban dan tanggung jawab. Akidah Islam adalah tengah-tengah; tidak seperti
orang Yahudi yang mencela para nabi, tidak pula seperti Nasrani yang menuhankan
mereka. Islam mengajarkan bahwa para nabi adalah manusia biasa yang dipilih
Allah swt. untuk membawa risalah-Nya.[48]
Hukum Islam tidak bisa dipisahkan
dengan ibadah, yang sifatnya juga mnengah,
tidak seperti Budha yang hanya mengajarkan akhlak dan tidak mengajarkan ibadah,
tidak pula seperti Nasrani yang mengajarkan rahbaniyah,
mereka yang tidak boleh menikah, menafikan sisi kemanusiaan. Islam mengajarkan
hukum,akhlaq dan ibadah, diatur
sedemikian sempurna. Ibadah dianggap tidak diterima jika mengurangi atau
melebihi aturan. Sebagai
sebuah agama penyempurna, Islam datang dengan membawa aturan dan hukum untuk umat
manusia. Hukum yang ada di dalam Islam adalah berdasarkan ketetapan Allah
yang disampaikan melalui Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Oleh karena itu, terdapat
berbagai perbedaan antara hukum Islam dengan hukum-hukum lain buatan
manusia. Hukum Islam memiliki keistimewaan dan karakteristik khusus, antara
lain sebagai berikut:
a)Didasarkan
pada wahyu Ilahi
Keistimewaan
hukum Islam dibanding undang-undang buatan manusia adalah bahwa hukum Islam bersumber
pada wahyu Allah yang tersurat dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi. Maka setiap
mujtahid dalam melakukan istinbath (penggalian) hukum-hukum syara' selalu merujuk pada dua
sumber tersebut, baik secara langsung maupun
melalui yang tersirat darinya, yaitu dengan memahamiruh syari'at,
tujuan-tujuannya secara umum, kaidah-kaidah dan prinsip-prinsipumum. Jadi
pada dasarnya, setiap hukum Islam pasti didasarkan pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah meskipun hanya dengan
mengambil yang tersirat dari keduanya.Sebagai contoh, digunakannya urf, mashlahah mursalah, istihsan, dan
lain lain dalam pengambilan hukum
syara' oleh seorang mujtahid, bukan berarti bahwamujtahid tersebut meninggalkan
Al-Qur'an dan Al-Sunnah, namun hal itu dilakukan setelah
terlebih dahulu memahami ruh syari'at yang tersirat pada nashAl Qur'an dan As Sunnah, berupa
tujuan, kaidah dan prinsip-prinsip umumnya.[49]
Tujuan
Syari' dalam pembentukan
hukumnya yaitu merealisir kemaslahatan
manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dloruriyah) dan memenuhi kebutuhan
sekunder (hajiyah) serta melengkapi kebutuhan pelengkap (tahsiniyah) mereka. Jadi setiap hukum
syara' tidak ada tujuan kecuali salah satu dari tiga. Syariat Islam, Pergumulan
teks dan tealitas. Unsur- unsur tersebut, dimana dari tiga unsur tersebut dapat
terbukti,kemaslahatan manusia.[50]
b)Komprehensif
Hukum Islam bersifat
komprehensif, yakni mencakup seluruh tuntutankehidupan manusia. Disini akan
sangat tampak kelebihan hukum Islam dibandingdengan undang-undang yang lain,
karena hukum Islam mencakup tiga aspek hubungan, yaitu manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan
masyarakatnya.Oleh karena itu, hukum Islam yang terkait dengan perbuatan
seorangmukallaf selalu mencakup dua aspek, yaitu hukum-hukum ibadah dan
hukum-hukum mu'amalah. Hukum ibadah meliputi
segala hal yang terkait denganhukum-hukum yang dimaksudkan untuk mengatur
hubungan antara manusiadengan
Tuhannya. Sedangkan hukum-hukum mu'amalah meliputi segala hal yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan sesama
manusia, baik bersifat pribadi maupun kelompok.
c)Terkait Langsung Dengan Masalah Akhlak/Moral.
Hukum Islam terkait langsung dengan
tatanan moral, bahkan ditegaskan oleh Nabi Muhammmad
SAW., bahwa
kedatangannya untuk menyempurnakan akhlak/ moral manusia. Hal ini sangat
berbeda dengan hukum positif buatan manusia yang hanya mengacu pada aspek
manfaat, yaitu menjaga sistem dan stabilitas masyarakat meskipun kadang-kadang
menghancurkan sebagian prinsip moral. Sedangkan Hukum Islam bertujuan menjaga
keutamaan, idealitas dan tegaknya
moralitas.
Hukum Islam langsung terkait dengan moralitas, seperti diharamkannya riba misalnya, dimaksudkan
untuk menyebarkan semangat tolong-menolong (ruh
ta'awun) kasih sayang di antara manusia dan melindungi orang-orang
miskin dari keserakahan para pemilik harta.[51] Begitu pula diharamkannya minuman
keras yang dimaksudkan untuk menjaga akal yang fungsinya, sebagai tolak ukur baik dan buruk.
d)Adanya
orientasi kolektivitas
Dalam
hukum Islam itu selalu dijaga kemaslahatan individu dan sosial secara bersama-sama, tanpa
harus melanggar hak orang lain. Karena itu, kemaslahatan
yang bersifat umum atau sosial harus didahulukan dibanding dengan
kemaslahatan yang bersifat individual terutama ketika terjadi peretentangan antara keduanya.
Keutamaan lain yang membedakan hukum
Islam dengan hukum-hukum lain buatan
manusia adalah bahwa hukum Islam memberikan sanksi hukuman bagi yang melanggar pada dua hal, yaitu
hukuman dunia, baik berupa hukuman hudud
yang sudah ditentukan maupun ta'zir yang tidak ditentukan, dan hukuman akhirat. Sifat-sifat khusus hukum Islam lainnya ialah:
(1) Rabbaniyyah
Rabbaniyah
artinya sumber
syari’at/hukum dari Allah, maksudnya musyarri’ (pembuat syariat) adalah Allah
bukan manusia. Jika manusia pembuat syari’at, maka akan terbawah dengan rasa
sabyektif, kelompoisme, dan keinginan-keinginan duniawi. Hukum syariat dalam bentuk wajib,
sunnah, makruh, mubah, dan haram adalah milik ketentuan Allah dan rasul-Nya.
Fungsi faqih/ahli hukum hanya menemukan hukum dengan cara ijtihad.[52]
(2) Insaniyyah
Insaniyah
artinya Hukum
Islam menghargai eksistensi manusia, pada posisi yang sama, tidak ada
perbedaan dalam strata sosial, hukum, politik, ekonomi, sosial-kemasyarakatan.
Yang membedakan satu dengan yang lain adalah taqwa. Hasbi Ashshiddiqie menyatakan bahwa,
hukum Islam adalah hukum yang memberikan perhatian penuh kepada manusia dan
kemanusiaan, memelihara hal-hal yang bertautan dengan manusia, baik mengenai
diri, ruh, akal, hati, fitrah, usaha . Solidaritas kemanusiaan dalam hukum
Islam adalah dalam bentuk zakat, infak, sadaqah, waqaf, dan taawun ala al-birri wa al-taqwa. Hanya
faktanya konstruk sosial dalam masyarakat tertentu yang membuat manusia menjadi
berkelas-kelas, berkasta-kasta. Sedangkan
kenyataannya karakater hukum Islam
ialah:
(3)
Syumuliyah
Bahwa hukum Islam shalih li kulli
zaman wa makan,[53] dan Hukum Islam meliputi seluruh
aspek hidup manusia, mulai dari manusia tidur sampai bangun lagi, baik sebagai abdullah/ individu maupun khalifatullah/kolektif.
Bahwa hukum Islam mengatur HAM, musawaa/egaliter,
al-adalah/keadilan, al-hurriyah/kebesan, al-Ikhwan/persaudaraan. (ukhawah
islamiyah, wathaniyah, insaniyah)
(4)
Wasathiyyah
Wasathiyah
artinya al-tawazun/keseimbangan. Qardhawi menyatakan yang dimaksud dengan
keseimbangan yaitu, hukum Islam tidak mengabaikan aspek ruhiyah (spritual) dan maddiyah
(materi), fardiyah dan jama’iyah, waqi’iyah (kontekstual) dan mitsaliyah (idealisme), tsabat (tetap)
dan taghayyur (perubahan). Hukum Islam bukan ekstrim kanan
ataupun kiri. Seperti idiologi liberal-kapitalis yang terlalu memperhatikan
individu mana hakku. Hukum Islam bukan pula idiologi maxis-sosialis yang
terlalu memberikan peran sosial-kemasyarakatan yang manafikan peran individu.
Hukum Islam memberikan jalan tengah pada dua idiologi tersebut, dengan mengakui
hak dan kewajiban. Kemudian cara menghadapi tantangan zaman Hukum Islam
memiliki khazanah:
(a)
Waqi’iyyah
Tidak mengabaikan konteks sebagai sebuah sunnatullah sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ruh syariat Allah. Idialnya
dalam menikah dapat dipertahankan sampai mati, akan tetapi dalam konteksnya
dapat cerai. Pada dasarnya sholat harus pada waktunya, akan tetapi konteksnya
musafir bisa di dijamak.[54]
(b)
Tatawwur
Tatawwur
artinya selalu
dinamis[55]
dan berdialog dengan perkembangan zaman dan teknologi, akan tetapi hukum Islam selalu
konsisten pada nilai-nilai syariat.
(c)
Tsabat
Tsabat
artinya permanen, konsisten dalam menjaga nilai-nilai Ilahiyah
dalam kondisi dan suasana yang musykil sekalipun, karena memiliki dua warna: yaitu ta’abuddi bentuk
ibadah yang fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah (وما خلقت
الجنّ و الإنس إلاّ ليعبد و ن). Bentuk
ibadah seperti ini sudah given, taken from granted, makna yang
terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar, irrasional, seperti jumlah
rakaat shalat. Sedangkan yang ta’aqulli adalah bersifat duniawi yang
maknanya dapat difahami oleh nalar manusia dan rasional.
(d)
Wadhu
Wadhhu artinya
jelas. Karena sumber hukumnya jelas, maka falsafah nadzariyah ( kajian
teoritis/ushul/qaidah fiqhiyah jelas) dan falsafah tasyri’. Kerangka operasionalnya
jelas.Tujuannya juga jelas yaitu, (1) pengabdian hanya kepada Allah
semata. (2) menciptakan tatanan min
al-zdulamat ilaa al-nuur dalam berbagai bidang. (3) salaman fi al-dun-ya wa-alakhirat. Manhaj/metodologis.[56]Artinya secara teoritis nilai-nilai
hukum ilahiyah sampai dengan tataran implementasi hukumnya selalu jelas dan konsisten, jelas
tentang yang haramnya untuk ditinggalakan, jelas pula mana yang halal untuk
dilakukan.
C. Sanksi Hukuman Dalam
Hukum Islam1. Pengertian Sanksi Hukuman
Sanksi dalam Islam Hukum Islam disebut al-‘Uqubaah yang berkaitan dengan hukuman jika ada hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.[57] Beberapa ulama berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di belakangnya.[58]
2. Tujuan Sanksi Hukuman
a) Pencegahan
Pengertian pencegahan adalah menahan ( الرّدْعُ وَالزّجْرُ ) orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.Menurut Ibn Hammam dalam fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif).[59]
b) Perbaikan dan Pendidikan
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik ( الاِصْلاحُ والتّهْذِ يْبُ ) pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT.[60]
c) Kemaslahatan Masyarakat
Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya.[61]
3.
Macam-Macam Sanksi Dalam Hukum Islam
Ada beberapa macam sanksi, yakni hudûd, jinâyât, ta’zîr, dan mukhâlafât.
a) Hudud adalah
sanksi-sanksi kemaksiyatan yang telah ditetapkan kadarnya dalam rangka hak
Allah. Dinamakan hudud karena mencegah orang yang berbuat maksiyat untuk
(tidak) kembali kepada kemaksiyatan yang telah ditetapkan hadnya.
Kata had dan hudud dengan
makna sanksi-sanksi kemaksiyatan yang di dalamnya terdapat hak Allah SWT., dan
tidak disebutkan pada selainnya. Dalam hudud
tidak ada pemaafan, baik dari hâkim maupun terdakwa, sebab hudud adalah haq
Allah, tak seorang manusia pun yang memiliki hak untuk menggugurkannya pada
kondisi apapun.
b)
Qishash
Qishash adalah balasan setimpal atau
diyat (denda) akibat penganiayaan yang mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan
anggota tubuh. Maksud dari jinayat di sini adalah sanksi-sanksi yang dijatuhkan
atas penganiayaan tersebut. Dalam sanksi-sanksi ‘uqubat terdapat haq seorang hamba. Dan selama berkaitan dengan haq
hamba, maka bagi pemilik haq (shâhibul haq) boleh memberikan ampunan, dan
menggugurkan haqnya.[62]
Hâkim harus
memberikan pemaafan bagi pelaku penganiayaan dengan pemaafan yang sempurna
karena adanya pemaafan dari shâhibul haq.
Tidak bisa dikatakan bahwa di dalam jinayat tersebut terdapat haq kolektif
rakyat, yaitu keamanan. Tidak bisa dikatakan demikian, karena keberadaan haq
kolektif bagi rakyat di dalam jinayat membutuhkan suatu dalil yang menunjukkan
hal itu, padahal tidak ada dalil atas yang demikian itu. Sebab, apa yang
dilakukan di masa para shahabat ra, bahwa jika pelaku penganiayaan dimaafkan oleh
shâhibul haq, maka mereka
menggugurkan sanksi bagi pelaku penganiayaan tersebut. Ini menunjukkan bahwa pemberian
maaf bagi pelaku penganiayaan dari shahibul
haq mengugurkan sanksi (jinâyât) tersebut.
c) Ta’zîr
Ta’zir
adalah sanksi
bagi kemaksiyatan yang di dalamnya tidak ada had dan kifârat. Melakukan
perbuatan maksiyat perlu dilihat dahulu, apabila Allah SWT. telah menetapkan
sanksi tertentu bagi kemaksiyatan tersebut, maka ia termasuk ke dalam hudud.
Maka pelanggarnya akan dikenai sanksi had yang telah disyari’atkan oleh Allâh
SWT., bukan ta’zîr. Demikian pula bila di dalamnya telah ditetapkan kifârat
tertentu, maka pelanggarnya dipaksa untuk membayar kifârat-kifâratnya.
Adapaun jenis-jenis hukuman ta’zir adalah:
(1) Hukuman mati.
(2) Hukuman jilid.
(3) Hukuman tahanan / kawalan.
(4) Hukuman pengasingan (At-Taghrib wa Al-Ib’ad).
(5) Hukuman salib.
(6) Hukuman pengucilan (Al-Hajr).
(7) Hukuman ancaman (Tahdid), teguran (Tanbih), dan peringatan.
(8) Hukuman denda (Al-Gharamah).[63]
Apabila tidak terkategori ke dalam hudûd dan syâri’ tidak menetapkan
kifâratnya, maka hal ini masuk ke dalam sanksi ta’zîr. Sedangkan mengenai
penganiayaan terhadáp badan tidak dita’zîr, sebab sanksinya telah dijelaskan
oleh Syâri’.Ta’zîr berbeda dengan
hudûd dan jinâyât. Hudûd dan jinâyât sanksi-sanksinya telah ditetapkan oleh syâri’ secara spesifik. Dengan demikian
sanksi-sanksi ini mengikat dan tidak boleh diganti, ditambah, dan dikurangi.
Sedangkan ta’zîr adalah sanksi yang
bentuknya tidak ditetapkan secara spesifik oleh Syâri’,
dan bentuk sanksinya tidak mengikat. Ta’zîr menerima pemaafan dan pengguguran
sanksi tersebut. Rasulullah SAW. tidak menta’zîr seseorang yang berkata kepada
beliau: “Sumpah ini tidak untuk mengharap ridlo Allah, dan baliau
memaafkannya.” Padahal orang yang mengucapkan ini telah terjatuh dalam
kemaksiyatan yang ia berhak untuk dikenai sanksi. Hudûd dan jinâyât tidak
berbeda karena perbedaan manusia, semua manusia di dalam hudûd dan jinâyât
adalah sama berdasarkan keumuman dalil. Berbeda dengan ta’zîr, ia boleh berbeda dikarenakan perbedaan manusia, maka di
dalam ta’zîr diperhatikan apakah pelaku belum pernah melakukan pelanggaran
sebelumnya, atau orang yang memiliki perilaku baik.
Kadar
sanksi ta’zîr boleh berbeda
dikarenakan perbedaan kondisi dan tabi’at manusia. Seseorang bisa dikenai
sanksi penjara atas suatu kemaksiyatan, dan orang lain bisa dikenai teguran,
kecaman, atau dimarahi pada kemaksiyatan yang sama.
d) Mukhâlafât
Mukhlafat adalah ‘uqûbât yang
dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa; baik
khalîfah, atau selain khalîfah seperti para mu’awin, para wali (gubernur),
‘ummal-‘ummal (bupati/wali kota) dan lain-lain, dari orang-orang yang
aktivitasnya adalah aktivitas kekuasaan, di mana mereka memiliki kewenangan
untuk memberi perintah-perintah. Sanksi atas penentangan perintah disebut ‘uqûbât mukhâlafat.[64]
Mukhâlafat sendiri disebutkan pula
untuk tindakan yang menentang perintah penguasa. Sebagian fuqahâ’ memasukkan mukhâlafat ke dalam bab ta’zîr, sebab mukhâlafat adalah sanksi atas kemaksiyatan yang belum ditetapkan
kadarnya oleh Syâri’.[65]
[1]Hasbi Ash-Shiddieqy (Editor), Al-Quran Dan Terjemahannya, Depatemen
Agama RI (Toha Putra ,Semarang: 2001), QS Al-Maidah : 44.Lihat juga Hasan Muarif, Ambary, Suplemen
Ensiklopedi Islam, (PT. Ictiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 2001), hlm 111-112
[2]Al-Baidhawi,
Anwâr at-Tanzîl.,(Terj) vol. 1 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 267; Ibnu Juzyi al-Kalbi, Ibid., vol. 1,
238; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 144.
[3]Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Umat Islam, alih bahasa Imam Saefudin
(Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 164. Lihat jugaWahbah Al Zuhaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuh, (Dār al-
Fikr : Beirut 2008), V: 523
Lihat juga Tafsir Al-Qasimy, juz 6, hal 2000
-2001
[16]al-Hadith secara
resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani
Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah.Kemudian istilah Al-Sunnah,
dalam tinjauan hukum dan penafsiran.. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran,
As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini
disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai
penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah
firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.
Indonesia (Studiatas Pemikiran M.
Syuhudi Ismail).” (Disertasi S3 Pasca Sarjana IAIN Jakarta, 1999), 50
[23] Begitulah Al Quran
memutuskan bagian untuk dua anak perempuan itu. Kemudian Rasul mengutus seseorang
untuk menemui paman mereka dan berkata kepadanya,”Berikanlah dua pertiga harta
pusaka Sa’d kepada dua putrinya dan sisanya menjadi milikmu.” Istri Sa’d
dan kedua putrinya menjadi perantara bagi turunnya ketetapan Al Quran mengenai
hukum waris, suatu ketetapan yang berlaku hingga kini.Referensi :-Al Quran- karya Fathi Fawzi ‘Abd Al Mu’thi, Asbabun Nuzul untuk Zaman Kita.
[29] Al-Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi
turunnya berkualitas
qath’i
(pasti benar). Akan tetapi hukum-hukum yang
dikandung al-Qur’an
ada kalanya bersifat qath’i (pasti benar) dan ada kalanya bersifat zhanni (Relatif benar). Lihat Jamal al-Banna, Tafsir al-Qur'an
al-Karim: Baina al-Qudama wa al-Muhaddiin (Kairo: Dar-Syuruq, 2008), hlm.
246
[30]Lafadz Ijma’ menurut bahasa bisa
berarti tekad yang konsisten tehadap sesuatu atau kesepakatan suatu kelompok
terhadap suatu perkara. Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh, Ijma’
adalah kesepakatan terhadap suatu hukum bahwa hal itu merupakan hukum syara’.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul Halli wal Aqdi, ijma’ Shahabat atau sebagainya. Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah SAW.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul Halli wal Aqdi, ijma’ Shahabat atau sebagainya. Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah SAW.
[33] Sobhi Masmassani, Filsafat
Hukum Dalam Islam, terj.Ahmad Sudjono, cet.
ke-1(Bandung, Al-Ma’arif, 1976), hlm. 135. Lihat
juga Ibn
Ḥazm, Al-Iḥkăm fi al-Uşŭl al-Aḥkăm,
(Beirut, Dăr al-Kutub al-‘Ilmiah, 2004), jilid.I, hlm. 16.
[34]Ijma' umat terbagi menjadi dua: 1. Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma'
di mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang
menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. 2. Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di
mana para ulama' diam, tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap
menyetujui. Menurut Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang
sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut
ijma' yang sebenarnya. Selain ijma' umat
tersebut masih ada macam-macam ijma' yang lain, yaitu: Ijma' sahabat Ijma'
Khalifah yang empat, Ijma' Abu Bakar dan
Umar, Ijma' ulama Madinah, Ijma' ulama
Kufah dan Basrah,Ijma' itrah (golongan Syiah)
[37]Lihat Abbul Rahman Dahlan, Ushul Fiqhi, (Penerbit Amazah, Jakarta:
2001),hlm 3, bahwa Ushul Fiqih merupakan sebuah ilmu dalam memahami dalil-dalil
fikih secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum
serta kondisi (prasyarat) seorang mujtahid. Ilmu ini merupakan ilmu metodologi
dalam proses pengambilan hukum. Sejatinya, ilmu ini mencakup tiga hal penting,
yaitu : sumber pengambilan hukum, metodenya, dan syarat-syarat mujtahid .Sementara itu, objek kajian Ushul Fiqih adalah
dalil-dalil global. Ali Jum’ah, Mufti Mesir, menekankan untuk tetap
mengedepankan objek pembahasan dalam proses pembaharuan, baik itu bagi Ushul
Fiqih itu sendiri, maupun dalam ilmu-ilmu yang lainnya. Selain objek
pembahasan, tujuan dan manfaat ilmu ini juga patut dijadikan patokan, agar
tidak melenceng dari pembahasan, lebih-lebih lagi tidak menghasilkan sebuah
baru. Hal ini tentunya bisa diterima dan sesuai dengan maksud dari pembaharuan
itu sendiri dimana fungsinya untuk merekonstruksi, bukan memproduksi ‘barang’
baru.
[42] Nurkholis
Madjid, Islam Dan Hak Asasi Manusia,
PT. Garamadia Pustaka Utama (Jakarta: 2011),hlm 113. Dengan
sikap moderatnya, maka Islam adalah agama tengah-tengah di antara ke-ekstreman
agama-agama yang lain. Setiap muslim diwajibkan untuk menjaga hal tersebut, hal
itu dapat dipahami dengan perintah untuk berdoa “tunjukilah kami jalan yang
lurus” dalam shalat mereka.
[44] As-Sayis, Muhammad Ali, Tafsîr
Ayât al-Ahkâm, (Mesir: Matba’ah Muhammad ‘Ali Sabih wâ Aulâduh, 1953), hlm
231
[48]Baidan, Nasrudin, Tafsîr Maudhû’i; Solusi Qur’ani atas Masalah Kontemporer,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001),hlm 122
[53] Khalid Bin Ali
Al-Musyaiqih, Fiqih Kontemporer, Inas
Media, (Jakarata : 2008), 95. Islam
adalah risalah manusia seutuhnya, yaitu dipandang dan sudut manusia itu
keseluruhannya. Ia bukanlah risalah bagi akal tanpa ruh, bukan bagi ruhani
tanpa jasmani, bukan bagi fikiran tanpa perasaan, danbukan sebaliknya. Ia
adalah risalah insan seutuhnya iaitu ruhnya, akalnya, jasmaninya, hail
nuraninya,kemahuannya dan perasaannya.Sesungguhnya Islam tidak membahagi
manusia kepada dua bahagian sebagaimana yang dilakukan olehagama-agama lain.
Pertama bahagian ruhani yang dikendalikan oleh agama dan diarahkannya ke tempat
ibadat.Bahagian ini menjadi hak istemewa golongan agama dan tempat permainan
bagi para paderi dan pendeta bagimengarahkan manusia dan celah-celahnya.
Manakala bahagian kedua terdiri daripada benda, yang tidak adakekuasaan bagi
agama dan golongan agama ke atasnya, malah tidak ada lapangan bagi Allah s.w.t.
padanya.Bahagian ini menjadi lapangan bagi kehidupan, dunia, politik,
masyarakat dan negara. Dan inilah bahagian yang terbesar dan kehidupan manusia.
[55] Op.Cit. hlm 154. Zaman dan tempat tidak menentukan
rupa bentuk Islam, tetapi Islam mempengaruhi perubahan manusia, tempat dan
zaman. Inilah yang disebut oleh ulama’ usuliyyin: Taghayir al-hukmi bi taghayir
al-Amkinah wa al-Azminah yaitu
berubahnya fatwa disebabkan berubahnya tempat dan zaman. Umpamanya di dalam
hadith-hadith yang sahih termasuk yang diriwayatkan oleh al-Bukhari Rasulullah
s.a.w. melarang menyimpan daging korban lebih daripada tiga hari. Pada tahun
berikut para sahabat bertanya Nabi s.a.w.apakah mereka seperti tahun lalu? Kata
Nabi s.a.w.: Makan dan simpanlah kerana pada tahun lepas orang ramai dalam
keadaan susah dan aku mahu kamu menolong mereka”. Dalam riwayat yang lain
disebutkan disebabkan daffah yaitu orang yang datang dari luar Madinah. Jelas
sekali bahwa adanya larangan Nabi s.a.w. disebabkan oleh keadaan tertentu atau
punca tertentu yang sebut dalam usul al-Fiqh sebagai illat al-Hukum. Apabila
penyebab dikeluarkan sesuatu hukum maka hukum pun dipadamkan. Dengan itu,
al-Imam as-Syaf`ii sebagai tokoh awal menulis dalam Usul al-Fiqh memasuk bab al-`Ilal fi al-Ahadith (`ilat-ilat di
dalam hadith-hadith) dalam kitabnya al-Risalah. Banyak lagi contoh-contoh yang lain di dalam hadith ,
jika disebutkan, yang menunjukkan perubahan zaman mengubah fatwa. Inilah juga
keputusan para sahabah yang menghukum beberapa hal tidak sama seperti hukuman
pada zaman Nabi s.a.w. disebabkan perubahan yang berlaku, umpamanya Saidina
Umar tidak memberi zakat kepada golongan al-muallaf qulubhum (yang cuba
didekatkan kepada Islam) pada zamannya sekalipun hak mereka disebut di dalam
al-Quran dan mereka diberikan zakat oleh Rasulullah s.a.w.. Ini disebabkan
perubahan keadaan dan suasana dengan kata Umar : Allah telah memuliakan Islam
dan tidak memerlukan mereka!” Sesiapa yang ingin pendetilan dia boleh menyemak
tuisan para ulama termasuk tulisan Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Zakah.
[62] Abdur Rahman. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam.(
Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992 ), hlm 27.Ada beberapa perbedaan antara hudud dan ta’zir.
1.Diserahkan kepada manusa mafawadh,2.Tidak
dapat dicegah dengan subhat.3.Berlaku untuk yang di bawah umur, 4.Boleh untuk
kafir zimmi. 5. Selain hakim, boleh melakukan ta’zir.
No comments:
Post a Comment