Sunday, July 5, 2015

BACA QURAN baca Bibel semuanya haramkan Homo Lesbi



 
 Catatan M.Rakib, Ciptakarya Panam Pekanbaru Riau Indonesia 2015
cKejadian 19:30-38
Lot dan kedua anaknya perempuan
19:30 Pergilah Lot dari Zoar l  dan ia menetap bersama-sama dengan kedua anaknya perempuan di pegunungan, m  sebab ia tidak berani tinggal di Zoar, maka diamlah ia dalam suatu gua beserta kedua anaknya. 19:31 Kata kakaknya kepada adiknya: "Ayah kita telah tua, dan tidak ada laki-laki di negeri ini yang dapat menghampiri kita, seperti kebiasaan

Femininitas dan maskulinitas dalam Qur’an
 Seperti contohnya terjemahan surat al falaq ayat 4 yang artinya “dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembuskan pada buhul-buhul” Mengapa dalam bahasa Indonesia kemudian kita harus mengartikannya “wanita”? Padahal tata bahasa arab mengenal gender berbeda dengan kita.
Kata naffaatsati bermakna menghembuskan atau meniup yang memiliki gender feminine dan tidak ada kata nissa yang artinya wanita di ayat tersebut.


            Subhi Al-Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah.” Al-Qur’an memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi.  Dari sumber inilah asalnya seluruh syariat Islam. Karena itu untuk menetapkan sanksi harus berdasarkan ketetapan Al-Qur’an, agar tidak termasuk orang yang ingkar. Allah SWT berfirman:
(ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة: 44)……

“…Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.[1]
             Fakhr ar- Razi,  menyatakan ada dua hal utama dalam memahami ayat ini: Pertama, yang dimaksud firman Allah di atas adalah ancaman terhadap orang Yahudi atas keberanian mereka mengingkari hukum Allah yang telah dinashkan dalam Taurat, mereka berkata: Itu tidak wajib. Karena itulah mereka menjadi kafir secara mutlak. Kaum Khawarij berpendapat bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah, maka ia kafir, sedangkan Jumhur ulama berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan ancaman bagi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bisa disebut kafir. Di dalam ayat 46,Surat Al-Maidah dikatakan bahwa orang tidak berhukum kepada hukum Allah, disebut zalim. Asy-Sya'bi, menyatakan bahwa julukan kafir itu bagi orang Islam, julukan zalim bagi orang Yahudi, dan fasik bagi orang Nasrani, jika mereka tidak mengikuti hukum Allah. Tapi Al-Zamakhsyari menyatakan, tiga sifat itu, dinisbatkan kepada orang kafir (Ahli Kitab) menunjukkan penghinaan terhadap mereka karena  melampaui batas.
            Dalam Al-Quran terdapat  200 ayat yang khusus membicarakan dan menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan masalah “zalim” atau “kezaliman”,[2] suatu perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Dia sangat benci kepada orang-orang yang zalim.” Sebagaimana  dalam Q.S.Ali ‘Imraan: 57. Secara umum makna kata “zalim” yang dikenal adalah segala tindak kekerasan ataupun berbuat aniaya; baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Dalam syariat (Agama Islam) yang sesuai dengan Al-Baqarah ayat  229 bahwa orang yang melanggar hukum-hukum Allah, itulah  yang zalim”; makna “zalim” yang didefinisikan oleh para ulama,“segala  tindakan yang  melampaui batas, tidak  lagi  sesuai  dengan  ketentuan   Allah SWT, baik dengan cara menambah  ataupun  mengurangi hal-hal yang berkaitan dengan waktu; tempat atau letak maupun sifat dari perbuatan-perbuatan yang melampaui batas tersebut. Dan itu berlaku untuk  masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah (hablun-minallah), maupun hubungan kemanusiaan dan alam semesta, baik itu dalam skala kecil maupun besar, tampak ataupun tersembunyi.”[3]
    Kewajiban berhukum kepada al-Qur’an termasuk masalah pokok, karena menjadi dasar bagi seorang Muslim untuk berpegang teguh terhadap hukum-hukum amaliahnya yang akan dipertanggungjawabkan. Apabila landasan suatu hukum sudah salah, seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya menjadi salah pula. Karena itu menetapkan sumber syariat Islam tidak dapat dilakukan berdasarkan persangkaan ataupun dengan dugaan belaka, tapi berdasarkan kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia, di samping merupakan amal ibadah bagi yang membacanya.
          Al-Qur’an diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak semenjak dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya secara berjamaah. Apa yang diriwayatkan oleh orang perorang tidak dapat dikatakan sebagai Al-Qur’an. Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan. Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan Muhammad SAW., ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an tetap menjadi mu’jizat sekaligus sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam, sebagai sumber segala sumber hukum :
            a)KehujjahanAl-Qur’an
             Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia,[4] serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun. Allah SWT berfirman:
17:88.[5]
                        Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan manusia mereka apabila berkumpul untuk membuat suatu kitab yang serupa dengan Al-Qur’an ini. Pastilah   mereka tidak akan dapat membuat tandingan yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sekalian yang lain.[6]
2:23
                   Dan apabila kamu tetap merasa dalam keraguan tentang kebenaran  Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) sebagai tandingan yang semisal Al-Qur’an, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang benar.[7]

          
 Membuat satu surat menyamai Al-Qur’an,memang tidak mjungkin, seperti pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang Quraisy di masa Rasulullah SAW, seorang ahli syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh Nabi pada awalnya berkata: Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an itu terdapat sesuatu yang lezat, lagi pula keindahannya, apabila di bawah, menyuburkan, dan apabila di atas, menghasilkan buah. Dan manusia tidak mungkin mampu berucap seperti Al-Qur’an.”[8] Selain dari bahasanya, isi Al-Qur’an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman, juga tentang prediksi akan menangnya pasukan Romawi atas Parsi (QS. Ar-Ruum).[9]
            Selain isi Al-Qur’an menunjukkan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan fakta, ada pula sebagian berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi(Iptek), misalnya tentang penyerbukan oleh lebah, bahkan tentang  reproduksi, buah-buahan oleh bantuan angin. Pada akhirnya terbuktilah kebenaran al-Qur’an. Semua itu menunjukkan bahwa Al-Qur’an memang bukan datang dari manusia melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan bagi umat Islam untuk menjadikannya sebagai landasan kehidupan dan landasan hukum:.
          b) Keseimbangan kata dalam al-Qur’an

          M.Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”,menerangkan tentang keseimbangan penggunaan kata dalam Al-Qur’an yang begitu kuat mengundang rasa ingin tahu, antara lain:
       1) Keseimbangan kata yang bertolak belakang
     (a) Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing disebut 145 kali
           (b) Al-naf(manfaat) dan al-madharrah (mudarat) masing-masing disebut 50   kali
           (c)  Al-har (panas) dan al-bard masing-masing disebut 4 kali
Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi’at (keburukan) masing-masing disebut 167 kali.
(d) Al- tuma’ninah (kelapangan / ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan / kekesalan), masing-masing disebut 13 kali
(e) Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin) masing-masing disebut 8 kali.[10]
       2) Keseimbangan jumlah kata dengan sinonimnya (yang artinya sama)
(a) AL-harts dan al-Zira’ah (membajak/bertani) masing2x disebut 14 kali
(b) Al-uhbdan al-dhurur (membanggakan diri/ angkuh) masing2x disebut 27 kali
(c)  Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya) masing2x disebut 49 kali
(d) Al-jahr dan al-alaniyah(nyata), masing2x disebut 16 kali
(e) Zakat disebut 32 kali dan barokah juga disebut 32 kali.[11]
        3) Keseimbangan antara jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya
(a) Al-infak(infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing disebut 73 kali.
(b) Al-bukl(kekifiran) dengan al-hasanah (penyesalan) masing-masing  disebut 12 kali.
(c) Al-kafirun (orang2x kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/pembayaran) masing2x disebut 154 kali
(d) Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan) masing-masing disebut 32 kali
            (e) Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadb (murka), disebut 26 kali.[12]

            Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.,secara  bertahap dalam kurun waktu 22 tahun, 2 bulan, 22 hari. Di antara ayat-ayat itu diturunkan untuk memberikan jawaban dalam berbagai peristiwa yang terjadi saat itu.
 
            c) Tafsir Al-Qur’an
            Tafsir al-Qur’an, menerangkan maksud pada lafadz-nya, dijelaskan dengan lafadz lain ,sehingga tidak ada keraguan lagi. Tafsir Al-Qur’an merupakan penjelasan makna kata demi kata, serta makna susunan kalimat, sebagaimana adanya. Terkadang suatu ayat dijelaskan oleh ayat lainnya (tafsir ayat bil ayat atau bil hadits)Rasulullah SAW.,(tafsir bis Sunnah), atau penjelasan shahabat dan ahli ilmu pengetahuan.     Adapun tentang penyempurnaan pembukuan Al-Qur’an, terjadi pada waktu khalifah ‘UtsmanQur’an ‘Usmani. Karena selama ekspedisi melawan Azerbaijan, timbul berbagai perbedaan di antara pasukan, mengenai cara bacaan Al-Qur’an, karena pasukan itu sebagian diambil dari Suriah dan Irak, sehingga Jendral Huzaifah membawa masalahnya kepada Khalifah ‘Usman bin Affan(644-656 M.)
           Penjelasan kata-kata dan susunannya ayat, terbatas hanya dalam bahasa Arab, sama sekali tidak boleh ditafsirkan dalam bahasa lain. Selain menurut kenyataannya Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab yang paling baik dan murni, tidak ada jalan lain dalam memahami Al-Qur’an, perlu juga melalui bahasa yang lain.
Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’an itu sendiri yaitu bahasa Arab.
Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT,[13] maka tidak ada alternatif lain, melainkan berusaha semakimal mungkin memahami Al-Qur’an, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri:
13:37
“(Dan) Demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qur’an itu sebagai    peraturan yang benar, dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.[14]
          Ayat ini, menunjukkan usaha memahami hukum dalam Al-Qur’an harus dimulai dengan memahami bahasa Arab.[15] Lemahanya penguasaan bahasa Arab, sebahagian umat Islam, dalam mengkaji dan menghayati isi kandungan Al-Qur’an menyebabkan ketidakakraban dengan Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa sebagian umat sedang berada di luar ketentuan Allah SWT. Pentingnya bahasa Arab untuk melakukan kajian terhadap isi kandungan Al-Qur’an menuntut persyaratan-persyaratan tertentu. Di samping menuntut keikhlasan dan kesucian niat juga membutuhkan penguasaan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemahaman Al-Qur’an.   Apabila persyaratan itu tidak terpenuhi,  dapat menimbulkan pemahaman yang keliru dan merugikan. Walaupun begitu, terpenuhinya persyaratan ini pun tidaklah mutlak menjamin kebenaran hasil suatu kajian, namun begitu haruslah berusaha semaksimal mungkin, untuk mendekati kebenaran yang dimaksud Al-Qur’an.
          
Kajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya merupakan ‘jembatan’ untuk memahami dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang   dilakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’an hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan.

2. Al-Hadits

        a)Pengertian al-Hadits
       Al-Hadits adalah suatu perkataan, atau ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan/persetujuan/diamnya) Rasulullah SAW.,terhadap sesuatu perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya.[16] Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan Al-Qur’an karena sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu. Firman Allah SWT:
   وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
                Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan hawa    nafsunya. Ucapan itu hanyalah firman yang diwahyukan (kepadanya).[17]

            Makna ayat di atas
ialah, apa yang disampaikan Rasulullah SAW. (Al-Qur’an dan As-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya.[18] Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah SAW. melakukan suatu tindakan  hanya berdasarkan wahyu dari Allah SWT, kemudian diperintahkan manusia mengikuti apa yang disampaikannya. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa Rasulullah SAW juga menerima wahyu yang lain, yaitu Al-Hikmah[19] yang pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna As-Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 164, QS. Al-Jumu’ah: 3, dan QS. Al-Ahzab: 34.[20]Kemudian kehujjahan Al-Sunnah adaalah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti (qath’i) kebenarannya, seperti Al-Qur’an itu sendiri.
          b)Fungsi al-Hadits terhadap Al-Qur’an:
    (1)  Menguraikan Kemujmalan  Al-Qur’an.

            Istilah  mujmal, maksudnya adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah/ penunjukannya)  yang belum jelas maksud dan rinciannya. Tentang perintah shalat, membayar zakat dan menunaikan haji. Al-Qur’an hanya menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci menerangkan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain. Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama Andalusia pada masa Abbasiyah menjelaskan: Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat ungkapan yang seandainya tidak ada penjelasan lain, tidak mungkin orang melaksanakannya. Dalam hal ini rujukannya hanya kepada Sunnah Nabi SAW. Jika dibandingkan dengan ijma’, maka Ijma’ hanya terdapat dalam kasus-kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib kembali kepada Sunnah.”
             (2) Mengkhususkan Keumuman Al-Qur’an.

                Lafadz umum (‘Aam) ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu makna yang menerangkan  dengan satu ucapan saja. Misalnya ‘Al Muslimun’ (orang-orang Islam), ‘Ar rijaalu’ (orang-orang laki-laki). Di dalam Al-Qur’an itu terdapat banyak lafadz yang bermakna umum kemudian Sunnah mengkhususkannya.

…يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ …
“...Allah mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak laki-laki adalah dua bagian dari anak perempuan...” [21]
Ayat ini dijelaskan oleh hadits Ibnu Abbas:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا ، فَمَا بَقِىَ فَهْوَ لأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
"Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang terdekat." [22]
            Kasus yang terjadi sebelum turunnya Surat An-Nisa’:11 ialah  dari kisah Umrah ,[23] yaitu Umrah binti Hazm, istri Sa’d ibn al-Rabi, menghadap kepada Rasulullah SAW lalu berkata seraya menunjuk kepada dua anak kecil di sisinya, “Wahai Rasulullah, ini adalah dua putri Sa’d ibn Al-Rabi. Ayah mereka gugur di medan perang Uhud sehingga mereka kini yatim. Derita semakin berat karena paman mereka mengambil harta mereka tanpa menyisakan sedikit pun. Tentu saja kedua anak ini tidak akan bisa menikah tanpa  harta.” Rasulullah kemudian terbayang sosok dan kewiraan Sa’d ibn Al-Rabi ketika berperang melindungi beliau. Selain itu Rasul juga iba pada kedua anak itu. Namun beliau belum bisa menetapkan keputusan yang akan berkaitan dengan hak waris dari ayah mereka. Akhirnya Rasul bersabda, “Allah akan menurunkan ketetapan mengenainya.”
            Allah menurunkan ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah yaitu Surat An-Nisa ayat 11 bahwa Allah mensyari’atkan tentang pembagian pusaka untuk. yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
           Menurut ayat tersebut di atas, setiap anak secara umum berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Jadi setiap anak adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang mengkhususkannya. Sabda Rasulullah SAW: “Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.” [24] “Seorang pembunuh tidak mendapat warisan.”[25] Menurut hadits di atas Nabi tidak meninggalkan warisan bagi anak-anaknya serta melarang seorang anak yang membunuh ayahnya untuk mendapatkan warisan.
(3)   Mengqayyidkan Ayat Yang Mutlaq.
Mengqayyidkan artinya memberikan persyaratan.Misalnya setiap pencuri harus dipotong tangannya, padahal ada syarat-syaratnya,Taqyid (Pensyaratan)[26] terhadap ayat Al-Qur’an yang mutlak
yaitu lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya:“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan (keduanya).” [27]
             Ketentuan tambahan (penyempurnaan) yang dilakukan Rasulullah SAW. Maka sikap seorang Muslim terhadap hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
24:51
                   Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya supaya Dia memberikan ketentuan hukum di antara mereka, tidak lain hanya mengatakan: Kami mendengar dan Kami mematuhinya. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia.” [28]

           Penggunaan nash As-Sunnah untuk masalah
hukum dan aqidah haruslah nash yang bersifat qath’i,[29] karena tidak boleh adanya keraguan sedikitpun dalam masalah aqidah/i’tiqadiyah. Sedangkan untuk masalah hukum/Syari’ah masih dapat digunakan nash As-Sunnah yang mencapai derajat dzanni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal ini karena dalam masalah Syari’ah tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah i’tiqadiyah).

      
      Alasan Ijma’ Shahabat dijadikan sumber hukum Islam.[30]Dari segi mungkin tidaknya ‘seluruh orang yang berijma’ berkumpul, saling mengetahui ijma’ dan dapat mengkoreksi bila diketahui kesalahannya, maka hal ini hanya mungkin terjadi pada masa shahabat, tidak pada masa selain mereka. Sebagai contoh, ijma’ ulama. Maka untuk terwujudnya ijma’ ulama, haruslah diperjelas ‘siapa saja ulama’ itu; apakah ulama yang sudah sering digunakan untuk ‘membuat hukum pesanan’ juga termasuk di dalamnya? Akan pasti benarkah ijma’ mereka tersebut?
              Benarkah semua ‘ulama’ mengetahui dan menyetujui ijma’ tersebut? Tidak adakah yang selanjutnya menarik kembali atau membatalkan ijma’nya sampai ia meninggal? Dan mungkinkah para ulama (seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia) mampu berkumpul bersama membahas suatu masalah baru? Masih banyak yang tidak bisa terjawab selain oleh para shahabat, padahal semua hal tadi merupakan syarat sahnya sebuah ijma’ oleh suatu kelompok. Karena ketidakmungkinan itu pula yang pada akhirnya muncul istilah ‘jumhur ulama’; artinya kebanyakan ulama berijtihad dengan hasil serupa ter-hadap suatu masalah. Jumhur berbeda dengan ijma’.Banyaknya pujian kepada para Shahabat secara jama’ah, baik tercantum dalam Al-Qur’an maupun hadits (keduanya dalil yang qath’i kebenarannya). Firman Allah.[31] Bahwa Nabi Muhammad SAW, bersikap tegas terhadap orang kafir dan lemah lembut terhadap sesama kaum muslimin.
QS. At-Taubah: 100
9:100

                   Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.[32]

              Ayat ini, adalah petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat menunjukkan suatu kepastian tentang kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jama’ah, bukan secara pribadi-pribadi). Apabila mereka bersepakat terhadap suatu masalah, tentulah hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji para shahabat tersebut bersifat qath’i sehingga   dapat  ditentukan bahwa ijma’ shahabat dapat digunakan sebagai dalil syara’.

                Para shahabat Nabi Muhammad SAW., merupakan generasi yang mengumpulkan, menghafalkan dan menyampaikan Al-Qur’an beserta Sunnah pada generasi berikutnya. Di samping itu para shahabat merupakan orang-orang yang hidup semasa Rasulullah SAW, hidup bersama, mengalami sulit dan senang secara bersama. Merekalah yang mengetahui kapan, di
mana, dan berkaitan dengan peristiwa apa suatu ayat Al-Qur’an diturunkan. Merekalah yang mengetahui Sunnah Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri kehidupan kaum Muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah masih hidup. Lalu adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan manusia di muka bumi ini selain mereka (para shahabat)? Ijma’ siapa lagi selain ijma’ mereka yang lebih baik dan lebih kuat?[33]
           Memang tidak mustahil para shahabat pun melakukan kesalahan, sebab mereka pun tetap manusia yang tidak ma’shum. Akan tetapi secara syar’i mereka mustahil bersepakat atau berijma’ atas suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam ijma’ mereka tentang suatu persoalan maka tentu akan terdapat kesalahan dalam Islam, dalam Al-Qur’an dan Hadits sebab merekalah yang menyampaikan Al-Qur’an dan menuturkan Hadits Rasulullah saw pada generasi berikutnya. Bahkan sebenarnya mereka pulalah yang memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya kesalahan dalam ijma’ shahabat adalah mustahil terjadi secara syar’i.

       3. Ijma’

           Ijma’ adalah kesepakatan  mujtahid dari  umat  Muhammad SAW  dalam suatu masa   terhadap hukum syara’ setelah beliau wafat. Akan tetapi ada juga Ijma’sahabat yaitu kesepakatan para sahabat Nabi SAW.Salah satu ijma’ shahabat terpenting adalah pengumpulan Al-Qur’an menjadi mushaf. Al-Qur’an dalam bentuk sekarang ini merupakan hasil kesepakatan (ijma’)[34] para shahabat. Bersamaan dengan ini Allah SWT berfirman:
15:9
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.[35]

41:42
Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya diturunkan dari yang Mahabijaksana, lagi Mahaterpuji.[36]

                Dari kedua ayat tersebut, Allah memastikan bahwa mushaf Al-Qur’an yang ada kini --yang merupakan ijma’ para shahabat-- dijamin kebenarannya. Dengan kata lain melalui tangan-tangan para shahabatlah, Allah menjaga kebenaran Al-Qur’an. Jika ada kemungkinan salah dalam ijma’ shahabat, berarti ada kemungkinan salah dalam Al-Qur’an sekarang. Padahal hal ini adalah mustahil terjadi. Dengan demikian secara syar’i mustahil terjadi kesalahan dalam ijma’ shahabat. Inilah dalil yang pasti bahwa ijma’ shahabat merupakan dalil syar’i. Contoh lain yang mashur tentang ijma’ shahabat adalah keharusan adanya seorang khalifah yang akan memimpin dan mengurus seluruh kebutuhan kaum muslimin, melindungi, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana yang dilakukan para shahabat tatkala Rasulullah saw wafat.
           4.Qiyas
              Qiyas artinya menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nashnya dengan suatu kejadian yang sudah ada nash/hukumnya, karena disebabkan adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat (sebab) hukumnya, menurut ushul al-fiqhi. [37] Alasan qiyas dijadikan sumber hukum, karena adanya nash-nash syar’i yang memiliki kesamaan illat. Sebagaimana keberadaan hukum adalah illatnya, maka apabila ada kesamaan illat antara suatu masalah baru dengan masalah yang sudah ada hukumnya, maka hukum masalah yang baru tersebut menjadi sama.

              Ketika illat yang sama terkandung dalam Al-Qur’an berarti dalil qiyas dalam hal tersebut adalah Al-Qur’an. Demikian pula apabila illat yang sama terkandung dalam Sunnah dan Ijma’ Shahabat yang menjadi dalil qiyas adalah kedua hal tersebut. Di samping itu ada beberapa hadits Rasulullah yang mengisyaratkan penggunaan qiyas sebagai dalil syara’. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Seorang wanita datang kepada Rasulullah dan berkata: ‘Ya Rasulullah, Ibuku telah meninggal, sedang ia belum menunaikan puasa nadzar, apakah aku harus menggantinya?’ Kemudian Rasulullah bersabda:
‘Bagaimana jika ibumu mempunyai hutang, sedang ia belum membayarnya, apakah kamu akan membayar hutangnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka bersabda Rasulullah SAW: ‘Maka puasalah untuk (memenuhi) nadzar ibumu’.”[38] Dan Imam Daruquthny meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa bapaknya meninggal, sedangkan ia berkewajiban menunaikan ibadah haji. Dia bertanya: ‘Apakah aku harus menghajikan bapakku?’ Maka Rasulullah berkata: ‘Bagaimana jika bapakmu punya hutang, apakah kamu harus membayarnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka Rasulullah berkata ‘Berhajilah untuknya’.” Dalam dua hadits tersebut Rasulullah mengumpamakan atau mensejajarkan persoalan nadzar, haji, dengan hutang, yang sama-sama harus dipenuhi.

            a) Ruang lingkup pembahasan qiyas

            Sebagai contoh, mengadakan transaksi jual beli tatkala adzan shalat Jum’at merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dalam nash, yaitu haram, berdasarkan ayat:
62:9
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual beli.”[39]

          
    Adapun  Illat pada ayat di atas adalah karena hal tersebut melalaikan shalat. Karena itu sewa menyewa, transaksi perdagangan maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan illat, yaitu melalaikan shalat, maka perbuatan tersebut hukumnya diqiyaskan dengan perbuatan jual beli di atas, yaitu haram.Berdasarkan kaidah syara: Sesungguhnya hukum-hukum tentang ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq tidak dapat direka-rekayasa.
       b) Batasan penggunaan qiyas
          Batasan penggunaan qiyas ialah pada semua ketentuannya wajib sesuai dengan nash/ketentuan syara’ semata”. Jadi ruang lingkup dari penggunaan qiyas hanya pada hal-hal (masalah) yang memiliki kesamaaan illat di dalamnya. Sedangkan di dalam masalah pakaian, makanan, minuman, ibadah dan akhlak di dalamnya tidak mempunyai illat, karena masalah ini sudah jelas nash syara’nya sehingga tidak bisa diqiyaskan. Setiap qiyas harus mempunyai empat rukun:

               (1) Asal (pokok).

              Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Asal disebut “maqish ‘alaih” (yang menjadi tempat mengqiyaskan), atau “mahmul ‘alaih” (tempat membandingkannya), atau “musyabbah bih” (tempat menyerupakannya)[40]

             (2) Far’u (cabang).
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, dan peristiwa itulah yang hendak disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia juga disebut ‘maqish’ (yang diqiyaskan) dan ‘musyabbah’ (yang diserupakan).
            ( 3) Hukum asal.
Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash atau dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.

             (4) ‘Illat.

               Rukun qiyas yang keempat adalah yang terpenting untuk dibahas, karena illat qiyas merupakan asasnya. Di antara hadits Nabi yang menunjukkan  membenarkan hukum secara qiyas, ialah riwayat dari shahabat Mu'adz ketika diutus oleh Nabi SAW ke negeri Yaman, yang di kala itu Mu'adz menjawab pertanyaan-pertanyaan Nabi SAW tentang cara menetapkan  hukum apabila tidak terdapat keterangannya di dalam Al-Qur'an dan di dalam Sunnah Rasul : "Saya berijtihad dengan fikiran saya". Jawaban demikian dibenarkan oleh Nabi SAW.[41]
B. Karakteristik hukum Islam
    1. Universal
        Universalnya Hukum Islam, bahwa seluruh hukum yang terdapat dalam syariat Islam bersifat natural serta relevan dengan fitrah kemanusiaan. Petunjuk untuk segenap umat manusia tanpa memandang perspektif rasial, etnis, suku bangsa, warna kulit dan sosiokulturalnya. Dalam pandangan syariat Islam manusia itu sama, sebagaimana yag dijelaskan di dalam Qs Al Anbiya : 107, bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh dunia. Kemudian di dalam Qs Saba : 38 bahwa Muhammad SAW diutus untuk seluruh manusia.Walaupun kebanyakan orang akan menolaknya.[42]
    2. Istiqamah
           Hukum Islam itu lurus, lempang dan tidak berbelok-belok. Umar bin Khathab menjelaskan bahwa : Istiqamah itu tetap mengikuti perintah dan ( menjauhi ) larangan serta tidak menyimpang dari padanya. Tidak melenceng dan tidak bengkok, kokoh dan lurus. Dalam Al-Qur’an, hal itu diistilahkan dengan al-Shirath  al-mustaqim,jalan yang lurus. Para ulama mengatakan bahwa jalan yang lurus adalah jalan yang selalu menjaga jarak dari terlalu minggir ke salah satu sisi. Jalan lurus bisa dikatakan sebagai jalan yang berada di tengah-tengah.[43] Tidak mengambil sikap ekstrem, yang direpresentasikan dengan sikap al-maghdhubu ‘alaihim orang-orang Yahudi, dan sikap “adh-dhalin” orang-orang Nasrani. Dalam banyak hal, terjadi hubungan ekstrem antara Yahudi dan Nasrani. Misalnya, orang Yahudi membunuh para nabi; sedangkan orang Nasrani menuhankan para nabi. Orang Yahudi terlalu banyak mengharamkan, sedangkan orang Nasrani terlalu banyak menghalalkan. Orang Yahudi materialistis, sedangkan orang Nasrani spiritualistis. Adapun umat Islam adalah jalan tengah di antara dua sikap ekstremistis tersebut.
       3. Terbaik
          Menurut Tahir Azhary, bukti terbaiknya Hukum Islam itu ada tiga, yang pertama yaitu bidimensional, artinya mengandung segi kemanusiaan dan ketuhanan(illahi). Di samping itu sifat bidimensional yang dimiliki Hukum Islam juga berhubungan dengan sikap atau sifat yang luas. Hukum Islam tidak hanya memuat satu aspek, bahkan mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Sifat dimensional merupakan sifat pertama yang melekat pada hukum Islam dan merupakan fitrah (sifat asli) Hukum Islam. Kedua adalah adil, ia mempunyai hubungan yang erat sekali dengan sifat dimensional. Dalam Hukum Islam keadilan bukan saja merupakan tujuan, tetapi sifat yang melekat sejak kaidah-kaidah dalam syariat ditetapkan. Keadilan merupakan suatu yang didambakan oleh setiap manusia sebagai individu maupun masyarakat.        
            Hukum Islam terbaik  dalam artian sempurna, artinya sesuai dengan segala situasi dan kondisi manusia, di manapun dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini didasarkan bahwa syari’at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya garis besar permasalahannya saja, sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun zaman dan tempat selalu berubah.penetapan hokum yang bersifat global oleh al-Qur’an tersebut dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu menurut Ibnu KatsirKairul umuri Ausathuha” (hal yang terbaik adalah yang paling  mudah dan praktis dan ekonomis). “Kebaikan adalah sikap tengah antara dua buah keburukan,” karena itu, disimpulkan dengan istilah “ummatan wasathan” setara maknanya adalah khaira ummatin umat terbaik.
         4. Aman
        Hukum Islam membuat orang merasa damai, tidak akan gelisah, menyejukkan  hati. Misalnya dalam berpakaian. Pakaian yang aman itu, tidak ada gangguan, karena tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, sehingga aman.[44] Kalau terlalu tebal, dan ternyata hari sangat panas, akan merasa kepanasan. Sedangkan kalau terlalu tipis, dan ternyata hari sangat dingin  akan merasa kedinginan. Contoh yang lain,  keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Perkawinan akan langgeng dan tenteram sesuai dengan harapan dan pandangan hidup antar suami dan istri, tidak ada  perbedaan  agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang  mengakibatkan kegagalan perkawinan. Hukum Islam membimbing kearah suasana yang aman. dalam sistem kehidupan.[45]
         5. Kuat
            Hukum Islam memberikan kaidah dan patokan dasar yang kuat, umum dan global. Perinciannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan manusia, dan dapat berlaku dan diterima oleh seluruh manusia. Dengan ini pula, dapat dilihat bahwa hukum Islam mempunyai daya gerak dan hidup yang dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan, melalui suatu proses yang disebut ijtihad. Dalam ijtihad yang menjadi hak bagi setiap muslim untuk melakukannya merupakan prinsip gerak dalam Islam yang akan mengarahkan Islam kepada suatu perkembangan yang bersifat aktif, produktif serta konstruktif.Hukum Islam berada pada posisi tengah adalah pusat kekuatan. Dalam perjalanan umur, masa yang paling kuat juga  masa pertengahan. Terlalu muda adalah masa yang masih lemah, sedangkan terlalu tua adalah masa yang sudah lemah dan kehilangan kekuatan. Matahari terasa paling panas adalah ketika di tengah hari; bukan di awal hari, dan bukan juga di sore hari.[46]
          6. Komprehensif
          Hukum Islam bersifat komprehensif, maksudnya Syariat Islam mampu menjawab tantangan dinamika jaman dan transformasi kultural, khususnya dalam mu’amalah, perundang-undangan, hukum ekonomi dan hubungan internasional. Titik pertemuan, dari pinggir, pojok dan ujung berjumlah sangat banyak dan sangat sulit bertemu dengan yang lain. Sedangkan persatuan tengah hanya berjumlah satu, bahkan semua unsur pinggir, pojok dan ujung bisa bertemu di tengah. Hal ini tidak hanya mungkin terjadi pada sebuah lingkaran, tapi bisa juga berlaku untuk pemikiran, sikap, dan sebagainya. Sisi-sisi Kemoderatan Islam,meliputi semua bagian dalam Islam; akidah, ibadah, akhlak, dan hukum. Akidah Islam adalah tengah-tengah; tidak seperti akidah khurafat yang meyakini semua hal walaupun tidak berdalil, tidak pula seperti akidah kaum materialis yang hanya meyakini apa yang mereka lihat dan rasakan. Islam mengajarkan akidah, tapi harus berdasarkan dalil yang kuat dan yakin. Akidah Islam adalah tengah-tengah; tidak seperti kaum atheis yang sama sekali tidak mengakui adanya tuhan, tidak pula seperti  kaum musyrikin yang menjadikan banyak hal sebagai tuhan, bahkan sapi, kera, dan sebagainya. Islam mengajarkan iman kepada Allah.[47]
           Hukum Islam tidak bisa dilepaskan dari akidah Islam yang juga bersifat berdiri di tengah-tengah, tidak seperti qadariah yang mengatakan bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, tidak pula seperti jabariyah yang mengatakan bahwa manusia tak lain bagaikan bulu yang diombang-ambingkan angin kesana-kemari. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk mulia, yang diberi kewajiban dan tanggung jawab. Akidah Islam adalah tengah-tengah; tidak seperti orang Yahudi yang mencela para nabi, tidak pula seperti Nasrani yang menuhankan mereka. Islam mengajarkan bahwa para nabi adalah manusia biasa yang dipilih Allah swt. untuk membawa risalah-Nya.[48]
            Hukum Islam tidak bisa dipisahkan dengan ibadah, yang sifatnya juga  mnengah, tidak seperti Budha yang hanya mengajarkan akhlak dan tidak mengajarkan ibadah, tidak pula seperti Nasrani yang mengajarkan rahbaniyah, mereka yang tidak boleh menikah, menafikan sisi kemanusiaan. Islam mengajarkan hukum,akhlaq dan  ibadah, diatur sedemikian sempurna. Ibadah dianggap tidak diterima jika mengurangi atau melebihi aturan. Sebagai sebuah agama penyempurna, Islam datang dengan membawa aturan dan hukum untuk umat manusia. Hukum yang ada di dalam Islam adalah berdasarkan ketetapan Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Oleh karena itu, terdapat berbagai perbedaan antara hukum Islam dengan hukum-hukum lain buatan manusia. Hukum Islam memiliki keistimewaan dan karakteristik khusus, antara lain sebagai berikut:
           a)Didasarkan pada wahyu Ilahi

                   Keistimewaan hukum Islam dibanding undang-undang buatan manusia adalah bahwa hukum Islam bersumber pada wahyu Allah yang tersurat dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi. Maka setiap mujtahid dalam melakukan  istinbath (penggalian) hukum-hukum syara' selalu merujuk pada dua sumber tersebut, baik secara langsung maupun melalui yang tersirat darinya, yaitu dengan memahamiruh syari'at, tujuan-tujuannya secara umum, kaidah-kaidah dan prinsip-prinsipumum. Jadi pada dasarnya, setiap hukum Islam pasti didasarkan pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah meskipun hanya dengan mengambil yang tersirat dari keduanya.Sebagai contoh, digunakannya urf, mashlahah mursalah, istihsan, dan lain lain dalam pengambilan hukum syara' oleh seorang mujtahid, bukan berarti bahwamujtahid tersebut meninggalkan Al-Qur'an dan Al-Sunnah, namun hal itu dilakukan setelah terlebih dahulu memahami ruh syari'at yang tersirat pada nashAl Qur'an dan As Sunnah, berupa tujuan, kaidah dan prinsip-prinsip umumnya.[49]
               Tujuan Syari' dalam pembentukan hukumnya yaitu merealisir kemaslahatan  manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dloruriyah) dan memenuhi kebutuhan sekunder  (hajiyah) serta melengkapi kebutuhan pelengkap (tahsiniyah) mereka. Jadi setiap hukum syara' tidak ada tujuan kecuali salah satu dari tiga. Syariat Islam, Pergumulan teks dan tealitas. Unsur- unsur tersebut, dimana dari tiga unsur tersebut dapat terbukti,kemaslahatan manusia.[50]
        b)Komprehensif 
        Hukum Islam bersifat komprehensif, yakni mencakup seluruh tuntutankehidupan manusia. Disini akan sangat tampak kelebihan hukum Islam dibandingdengan undang-undang yang lain, karena hukum Islam mencakup tiga aspek hubungan, yaitu manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan masyarakatnya.Oleh karena itu, hukum Islam yang terkait dengan perbuatan seorangmukallaf selalu mencakup dua aspek, yaitu hukum-hukum ibadah dan hukum-hukum mu'amalah. Hukum ibadah meliputi segala hal yang terkait denganhukum-hukum yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara manusiadengan Tuhannya. Sedangkan hukum-hukum mu'amalah meliputi segala hal yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan sesama manusia, baik bersifat pribadi maupun kelompok.

                 c)Terkait Langsung Dengan Masalah Akhlak/Moral.

              Hukum Islam terkait langsung dengan tatanan moral, bahkan ditegaskan oleh Nabi Muhammmad SAW., bahwa kedatangannya untuk menyempurnakan akhlak/ moral manusia. Hal ini sangat berbeda dengan hukum positif buatan manusia yang hanya mengacu pada aspek manfaat, yaitu menjaga sistem dan stabilitas masyarakat meskipun kadang-kadang menghancurkan sebagian prinsip moral. Sedangkan Hukum Islam bertujuan menjaga keutamaan, idealitas dan tegaknya  moralitas.
            Hukum Islam langsung terkait dengan moralitas, seperti diharamkannya riba misalnya, dimaksudkan untuk menyebarkan semangat tolong-menolong (ruh ta'awun) kasih sayang di antara manusia dan melindungi orang-orang miskin dari keserakahan para pemilik  harta.[51] Begitu pula diharamkannya minuman keras yang dimaksudkan untuk menjaga akal yang fungsinya,  sebagai tolak ukur baik dan buruk.

          d)Adanya orientasi kolektivitas
             Dalam hukum Islam itu selalu dijaga kemaslahatan individu dan sosial secara bersama-sama, tanpa harus melanggar hak orang lain. Karena itu, kemaslahatan yang bersifat umum atau sosial harus didahulukan dibanding dengan kemaslahatan yang bersifat individual terutama ketika terjadi peretentangan antara keduanya. Keutamaan  lain yang membedakan hukum Islam dengan hukum-hukum lain buatan manusia adalah bahwa hukum Islam memberikan sanksi hukuman bagi yang melanggar pada dua hal, yaitu hukuman dunia, baik berupa hukuman hudud  yang sudah ditentukan maupun ta'zir  yang tidak ditentukan, dan hukuman  akhirat. Sifat-sifat khusus hukum Islam lainnya ialah:
            (1) Rabbaniyyah
            Rabbaniyah artinya sumber syariat/hukum dari Allah, maksudnya musyarri (pembuat syariat) adalah Allah bukan manusia. Jika manusia pembuat syariat, maka akan terbawah dengan rasa sabyektif, kelompoisme, dan keinginan-keinginan duniawi. Hukum syariat dalam bentuk wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram adalah milik ketentuan Allah dan rasul-Nya. Fungsi faqih/ahli hukum hanya menemukan hukum dengan cara ijtihad.[52]
(2) Insaniyyah
               Insaniyah artinya Hukum Islam menghargai eksistensi manusia, pada posisi yang sama, tidak ada perbedaan dalam strata sosial, hukum, politik, ekonomi, sosial-kemasyarakatan. Yang membedakan satu dengan yang lain adalah taqwa. Hasbi Ashshiddiqie menyatakan bahwa, hukum Islam adalah hukum yang memberikan perhatian penuh kepada manusia dan kemanusiaan, memelihara hal-hal yang bertautan dengan manusia, baik mengenai diri, ruh, akal, hati, fitrah, usaha . Solidaritas kemanusiaan dalam hukum Islam adalah dalam bentuk zakat, infak, sadaqah, waqaf, dan taawun ala al-birri wa al-taqwa. Hanya faktanya konstruk sosial dalam masyarakat tertentu yang membuat manusia menjadi berkelas-kelas, berkasta-kasta. Sedangkan kenyataannya  karakater hukum Islam ialah:
(3)   Syumuliyah
             Bahwa hukum Islam shalih li kulli zaman wa makan,[53] dan Hukum Islam meliputi seluruh aspek hidup manusia, mulai dari manusia tidur sampai  bangun lagi, baik sebagai abdullah/ individu maupun khalifatullah/kolektif. Bahwa hukum Islam mengatur HAM, musawaa/egaliter, al-adalah/keadilan, al-hurriyah/kebesan, al-Ikhwan/persaudaraan.  (ukhawah islamiyah, wathaniyah, insaniyah)
(4)   Wasathiyyah
             Wasathiyah artinya al-tawazun/keseimbangan. Qardhawi menyatakan yang dimaksud dengan keseimbangan yaitu, hukum Islam tidak mengabaikan aspek ruhiyah (spritual) dan maddiyah (materi), fardiyah dan jamaiyah, waqiiyah (kontekstual) dan mitsaliyah (idealisme), tsabat (tetap) dan taghayyur (perubahan). Hukum Islam bukan ekstrim kanan ataupun kiri. Seperti idiologi liberal-kapitalis yang terlalu memperhatikan individu mana hakku. Hukum Islam bukan pula idiologi maxis-sosialis yang terlalu memberikan peran sosial-kemasyarakatan yang manafikan peran individu. Hukum Islam memberikan jalan tengah pada dua idiologi tersebut, dengan mengakui hak dan kewajiban. Kemudian cara menghadapi tantangan zaman Hukum Islam memiliki khazanah:
(a)   Waqiiyyah
                   Tidak mengabaikan konteks sebagai sebuah sunnatullah sepanjang tidak  bertentangan dengan jiwa dan ruh syariat Allah. Idialnya dalam menikah dapat dipertahankan sampai mati, akan tetapi dalam konteksnya dapat cerai. Pada dasarnya sholat harus pada waktunya, akan tetapi konteksnya musafir bisa di dijamak.[54]
(b)   Tatawwur
                  Tatawwur  artinya selalu dinamis[55] dan berdialog dengan perkembangan   zaman dan teknologi, akan tetapi hukum Islam selalu konsisten pada nilai-nilai syariat.
(c)    Tsabat
                       Tsabat artinya permanen,  konsisten dalam menjaga nilai-nilai Ilahiyah dalam kondisi dan suasana yang musykil sekalipun, karena memiliki dua warna: yaitu ta’abuddi bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah (وما خلقت الجنّ و الإنس إلاّ ليعبد و ن). Bentuk ibadah seperti ini sudah given, taken from granted, makna yang terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar, irrasional, seperti jumlah rakaat shalat. Sedangkan yang ta’aqulli adalah bersifat duniawi yang maknanya dapat difahami oleh nalar manusia dan rasional.
(d)   Wadhu
       Wadhhu artinya jelas. Karena sumber hukumnya  jelas, maka falsafah nadzariyah ( kajian teoritis/ushul/qaidah fiqhiyah jelas) dan falsafah tasyri’. Kerangka operasionalnya jelas.Tujuannya juga  jelas yaitu, (1) pengabdian hanya kepada Allah semata. (2) menciptakan tatanan min al-zdulamat ilaa al-nuur dalam berbagai bidang. (3) salaman fi al-dun-ya wa-alakhirat. Manhaj/metodologis.[56]Artinya secara teoritis nilai-nilai hukum ilahiyah sampai dengan tataran implementasi hukumnya selalu jelas dan konsisten, jelas tentang yang haramnya untuk ditinggalakan, jelas pula mana yang halal untuk dilakukan.
C. Sanksi Hukuman Dalam Hukum Islam
    1. Pengertian Sanksi Hukuman

          Sanksi  dalam Islam Hukum Islam disebut al-Uqubaah yang berkaitan dengan hukuman jika ada hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.
[57] Beberapa ulama berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di belakangnya.[58]

       2. Tujuan Sanksi Hukuman


           a) Pencegahan

Pengertian pencegahan adalah menahan  ( الرّدْعُ وَالزّجْرُ )  orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.Menurut Ibn Hammam dalam fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif).
[59]

          
     b) Perbaikan dan Pendidikan

Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik ( الاِصْلاحُ والتّهْذِ يْبُ )   pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT.
[60]
                            
       
      c)  Kemaslahatan Masyarakat

Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya.
[61]
3. Macam-Macam Sanksi Dalam Hukum Islam
             Ada beberapa macam sanksi, yakni hudûd, jinâyât, ta’zîr, dan mukhâlafât.
a)      Hudud adalah sanksi-sanksi kemaksiyatan yang telah ditetapkan kadarnya dalam rangka hak Allah. Dinamakan hudud karena  mencegah orang yang berbuat maksiyat untuk (tidak) kembali kepada kemaksiyatan yang telah ditetapkan hadnya.

          Kata had dan hudud dengan makna sanksi-sanksi kemaksiyatan yang di dalamnya terdapat hak Allah SWT., dan tidak disebutkan pada selainnya. Dalam hudud tidak ada pemaafan, baik dari hâkim maupun terdakwa, sebab hudud adalah haq Allah, tak seorang manusia pun yang memiliki hak untuk menggugurkannya pada kondisi apapun.
b)     Qishash

Qishash adalah balasan setimpal atau diyat (denda) akibat penganiayaan yang mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Maksud dari jinayat di sini adalah sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan tersebut. Dalam sanksi-sanksi ‘uqubat terdapat haq seorang hamba. Dan selama berkaitan dengan haq hamba, maka bagi pemilik haq (shâhibul haq) boleh memberikan ampunan, dan menggugurkan haqnya.[62]

                              Hâkim harus memberikan pemaafan bagi pelaku penganiayaan dengan pemaafan yang sempurna karena adanya pemaafan dari shâhibul haq. Tidak bisa dikatakan bahwa di dalam jinayat tersebut terdapat haq kolektif rakyat, yaitu keamanan. Tidak bisa dikatakan demikian, karena keberadaan haq kolektif bagi rakyat di dalam jinayat membutuhkan suatu dalil yang menunjukkan hal itu, padahal tidak ada dalil atas yang demikian itu. Sebab, apa yang dilakukan di masa para shahabat ra, bahwa jika pelaku penganiayaan dimaafkan oleh shâhibul haq, maka mereka menggugurkan sanksi bagi pelaku penganiayaan tersebut. Ini menunjukkan bahwa pemberian maaf bagi pelaku penganiayaan dari shahibul haq   mengugurkan sanksi (jinâyât) tersebut.
c)      Ta’zîr
Ta’zir  adalah sanksi bagi kemaksiyatan yang di dalamnya tidak ada had dan kifârat. Melakukan perbuatan maksiyat perlu dilihat dahulu, apabila Allah SWT. telah menetapkan sanksi tertentu bagi kemaksiyatan tersebut, maka ia termasuk ke dalam hudud. Maka pelanggarnya akan dikenai sanksi had yang telah disyari’atkan oleh Allâh SWT., bukan ta’zîr. Demikian pula bila di dalamnya telah ditetapkan kifârat tertentu, maka pelanggarnya dipaksa untuk membayar kifârat-kifâratnya.
              Adapaun jenis-jenis hukuman ta’zir adalah:


             (1) Hukuman mati.
             (2) Hukuman jilid.
             (3) Hukuman tahanan / kawalan.
             (4) Hukuman pengasingan (At-Taghrib wa Al-Ib’ad).
             (5) Hukuman salib.
             (6) Hukuman pengucilan (Al-Hajr).
             (7) Hukuman ancaman (Tahdid), teguran (Tanbih), dan peringatan.
             (8) Hukuman denda (Al-Gharamah).[63]
        
            Apabila tidak terkategori ke dalam hudûd dan syâri’ tidak menetapkan kifâratnya, maka hal ini masuk ke dalam sanksi ta’zîr. Sedangkan mengenai penganiayaan terhadáp badan tidak dita’zîr, sebab sanksinya telah dijelaskan oleh Syâri’.Ta’zîr berbeda dengan hudûd dan jinâyât. Hudûd dan jinâyât sanksi-sanksinya telah ditetapkan oleh syâri’ secara spesifik. Dengan demikian sanksi-sanksi ini mengikat dan tidak boleh diganti, ditambah, dan dikurangi. Sedangkan ta’zîr adalah sanksi yang bentuknya tidak ditetapkan secara spesifik oleh Syâri’, dan bentuk sanksinya tidak mengikat. Ta’zîr menerima pemaafan dan pengguguran sanksi tersebut. Rasulullah SAW. tidak menta’zîr seseorang yang berkata kepada beliau: “Sumpah ini tidak untuk mengharap ridlo Allah, dan baliau memaafkannya.” Padahal orang yang mengucapkan ini telah terjatuh dalam kemaksiyatan yang ia berhak untuk dikenai sanksi. Hudûd dan jinâyât tidak berbeda karena perbedaan manusia, semua manusia di dalam hudûd dan jinâyât adalah sama berdasarkan keumuman dalil. Berbeda dengan ta’zîr, ia boleh berbeda dikarenakan perbedaan manusia, maka di dalam ta’zîr diperhatikan apakah pelaku belum pernah melakukan pelanggaran sebelumnya, atau orang yang memiliki perilaku baik.
            Kadar sanksi ta’zîr boleh berbeda dikarenakan perbedaan kondisi dan tabi’at manusia. Seseorang bisa dikenai sanksi penjara atas suatu kemaksiyatan, dan orang lain bisa dikenai teguran, kecaman, atau dimarahi pada kemaksiyatan yang sama.
d)     Mukhâlafât

Mukhlafat adalah ‘uqûbât yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa; baik khalîfah, atau selain khalîfah seperti para mu’awin, para wali (gubernur), ‘ummal-‘ummal (bupati/wali kota) dan lain-lain, dari orang-orang yang aktivitasnya adalah aktivitas kekuasaan, di mana mereka memiliki kewenangan untuk memberi perintah-perintah. Sanksi atas penentangan perintah disebut ‘uqûbât mukhâlafat.[64]

          Mukhâlafat sendiri disebutkan pula untuk tindakan yang menentang perintah penguasa. Sebagian fuqahâ’ memasukkan mukhâlafat ke dalam bab ta’zîr, sebab mukhâlafat adalah sanksi atas kemaksiyatan yang belum ditetapkan kadarnya oleh Syâri’.[65]



              [1]Hasbi Ash-Shiddieqy (Editor), Al-Quran Dan Terjemahannya, Depatemen Agama RI (Toha Putra ,Semarang: 2001), QS Al-Maidah : 44.Lihat juga Hasan Muarif, Ambary, Suplemen Ensiklopedi Islam, (PT. Ictiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 2001), hlm 111-112

              [2]Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl.,(Terj) vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 267; Ibnu Juzyi al-Kalbi, Ibid., vol. 1, 238; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 144.

               [3]Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Umat Islam, alih bahasa Imam Saefudin (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 164. Lihat jugaWahbah Al Zuhaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuh, (Dār al- Fikr : Beirut 2008), V: 523

            [4] Tafsir al-Fakhr ar-Razy, juz 12, hal. 3 – 18. Lihat Tafsir Al-Maraghy, juz 6, hal 122-124
Lihat juga Tafsir Al-Qasimy, juz 6, hal 2000 -2001
               [5] Hasbi Ashiddieqy (Editor) op.cit. QS. Al-Isra (17) : 88
               [6] Ibid
               [7] Op.Cit.QS. Al-Baqarah (2) : 23
              [8] Muhammad Kamil Abdushshamad,. Mukjizat Ilmiah dalam Al-Quran. (Akbar Media  Eka Sarana. Jakarta: 2002), hal. 3-4 .Lihat juga Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, cet. I, 2004), hlm. 555-556
               [9] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 241
                [10] HM.Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Op.Cit, hlm 37
                [11] Ibid
             [12]Ibid
               [13] Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah, hlm. 76    Lihat juga Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, (Jakarta: Bulan Bintan: 1975), hlm. 148-149
              [14] Op.Cit.QS. Ar-Ra’du (13) : 37. Lihat juga Al-Qardhawi, al-Fiqhal-Islami Baynal-Asalahwaal-Tajdid (Kairo:MaktabatWahbah,1999), hlm7
              [15] M.Hasbi Ash Shidieqy,Syariat Islam MenjawabTantangan Zaman(Jakarta:Bulan Bintang,1966),03 Lihat pula, Mutawalli,Perspektif Muhammad Sa‘id al-Ashmaw: Historitas Shari‘ah,Ulumuna,Vol XIII, No.1 (Juni,2009),23-24
             [16]al-Hadith secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah.Kemudian istilah Al-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran.. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.
             [17] Op.Cit.QS. An-Najm (53) : 3-4
              [18] Arifudin Ahmad, Pembaharuan Pemikiran tentang Hadits Nabi Muhammad SAW. di
Indonesia (Studiatas Pemikiran M. Syuhudi Ismail).” (Disertasi S3 Pasca Sarjana IAIN Jakarta, 1999),   50
              [19]Nawir Yuslem, Metodologi Penelitian Hadits (Bandung:Citapustaka  Media Perintis, 2008), h. 4. Lihat juga M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Cet. I, Jakarta; Bulan Bintang 1992), h. 8.
               [20]Bustamin, dan M.Isa A. Salam, Metodologi Kritik Hadits (Jakarta; PT. Raja GrafindoPersada, 2004), h. 111.Lihat juga Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Cet. I; Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), h. 128
                  [21]  Op.Cit. QS. Al-Nisaa’(4) : 11.
                  [22] HR. Bukhari dan Muslim
             [23] Begitulah Al Quran memutuskan bagian untuk dua anak perempuan itu. Kemudian Rasul mengutus seseorang untuk menemui paman mereka dan berkata kepadanya,”Berikanlah dua pertiga harta pusaka Sa’d kepada dua putrinya dan sisanya menjadi milikmu.” Istri Sa’d dan kedua putrinya menjadi perantara bagi turunnya ketetapan Al Quran mengenai hukum waris, suatu ketetapan yang berlaku hingga kini.Referensi :-Al Quran- karya Fathi Fawzi ‘Abd Al Mu’thi, Asbabun Nuzul untuk Zaman Kita.

                [24] HR Imam Bukhari
              [25] HR Tirmidzi dan Ibnu Majah
              [26] Mutlaq (tanpa batasan) – Muqayyad (dengan batasan).Lihat  Abdul Mustaqim, “Metodologi Tafsir Perspektif Gender”, dalam Studi al-Qur’an Kontemporer, ed. Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm 65.
                [27] QS. Al-Maidah(5) : 38
                [28] QS. An-Nur (24) : 51
               [29] Al-Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath’i (pasti benar). Akan tetapi hukum-hukum yang dikandung al-Qur’an ada kalanya bersifat qath’i (pasti benar) dan ada kalanya bersifat zhanni (Relatif benar). Lihat Jamal al-Banna, Tafsir al-Qur'an al-Karim: Baina al-Qudama wa al-Muhaddiin (Kairo: Dar-Syuruq, 2008), hlm. 246
                [30]Lafadz Ijma’ menurut bahasa bisa berarti tekad yang konsisten tehadap sesuatu atau kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara. Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh, Ijma’ adalah kesepakatan terhadap suatu hukum bahwa hal itu merupakan hukum syara’.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul Halli wal Aqdi, ijma’ Shahabat atau sebagainya. Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah SAW.
               [31] Danial, Pelaksanaan Syari’at Islam dan kekerasan di Aceh, “Jurnal Kajian Aceh, vol. 3 (2007), hlm 60 .Lihat juga Op.Cit.QS. Al-Fath (48) : 29
               [32] Op.Cit. QS. At-Taubah: 100
                 [33] Sobhi Masmassani, Filsafat Hukum Dalam  Islam, terj.Ahmad Sudjono, cet. ke-1(Bandung,  Al-Ma’arif, 1976), hlm. 135. Lihat juga  Ibn  Ḥazm, Al-Iḥkăm fi al-Uşŭl al-Aḥkăm, (Beirut, Dăr al-Kutub al-‘Ilmiah, 2004), jilid.I, hlm. 16.


                 [34]Ijma' umat terbagi menjadi dua: 1. Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. 2. Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam, tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap menyetujui. Menurut Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut ijma' yang sebenarnya.  Selain ijma' umat tersebut masih ada macam-macam ijma' yang lain, yaitu: Ijma' sahabat Ijma' Khalifah yang empat,  Ijma' Abu Bakar dan Umar, Ijma' ulama Madinah,  Ijma' ulama Kufah dan Basrah,Ijma' itrah (golongan Syiah)
               [35]Op.Cit. QS. Al Hijr (15) : 9
               [36] Op.Cit. QS. Fushilat (41) : 42
           [37]Lihat Abbul Rahman Dahlan, Ushul Fiqhi, (Penerbit Amazah, Jakarta: 2001),hlm 3, bahwa Ushul Fiqih merupakan sebuah ilmu dalam memahami dalil-dalil fikih secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum serta kondisi (prasyarat) seorang mujtahid. Ilmu ini merupakan ilmu metodologi dalam proses pengambilan hukum. Sejatinya, ilmu ini mencakup tiga hal penting, yaitu : sumber  pengambilan hukum, metodenya, dan syarat-syarat mujtahid .Sementara itu, objek kajian Ushul Fiqih adalah dalil-dalil global. Ali Jum’ah, Mufti Mesir, menekankan untuk tetap mengedepankan objek pembahasan dalam proses pembaharuan, baik itu bagi Ushul Fiqih itu sendiri, maupun dalam ilmu-ilmu yang lainnya. Selain objek pembahasan, tujuan dan manfaat ilmu ini juga patut dijadikan patokan, agar tidak melenceng dari pembahasan, lebih-lebih lagi tidak menghasilkan sebuah baru. Hal ini tentunya bisa diterima dan sesuai dengan maksud dari pembaharuan itu sendiri dimana fungsinya untuk merekonstruksi, bukan memproduksi ‘barang’ baru.

               [38]Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (LPPM Unisba: Bandung, 1995) hal,69
                          
                [39]Op.Cit.QS. Al-Jumuah (62) : 9
              [40] Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Dalam Islam (Jakarta: Logo,1997.), hlm  39
                [41] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu), 1999, hal 82. Kajian mengenai maqashid al-syariah dikemukakan secara komprehensif oleh Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya: al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah. Lihat al-Syatibi, al-Muwafaqat, juz 2, hal 5-12.
               [42] Nurkholis Madjid, Islam Dan Hak Asasi Manusia, PT. Garamadia Pustaka Utama (Jakarta: 2011),hlm 113. Dengan sikap moderatnya, maka Islam adalah agama tengah-tengah di antara ke-ekstreman agama-agama yang lain. Setiap muslim diwajibkan untuk menjaga hal tersebut, hal itu dapat dipahami dengan perintah untuk berdoa “tunjukilah kami jalan yang lurus” dalam shalat mereka.

              [43] Imam al-Qurthubi,  Tafsir Ahkamul-Qur`ân, (Jilid 5), 367  Tafsir Ibnu Katsir, Jilid.1), 842.

               [44] As-Sayis, Muhammad Ali, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, (Mesir: Matba’ah Muhammad ‘Ali Sabih wâ Aulâduh, 1953), hlm 231

                [45] Wawan Gunawan , Studi Perbandingan Mazhab, Pokja Akademik( UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2006), hlm. 24
                 [46] As-Sayis, Muhammad Ali, loc.cit
              [47] Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir al-Mishbah; Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati., 2005), hlm 261
             [48]Baidan, Nasrudin, Tafsîr Maudhû’i; Solusi Qur’ani atas Masalah Kontemporer,(Yogyakarta:  Pustaka Pelajar. 2001),hlm  122

             [49] Ibid
             [50] Ibid
              [51] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Maktabah ad-Da'wah al-Islamiyyah, Mesir, 1956),.197
               [52]Amir Muallim-Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi. (Yogyakarta; Titian Ilahi Press. Cet. I, 1997) hlm 38.
              [53] Khalid Bin Ali Al-Musyaiqih, Fiqih Kontemporer, Inas Media, (Jakarata : 2008), 95. Islam adalah risalah manusia seutuhnya, yaitu dipandang dan sudut manusia itu keseluruhannya. Ia bukanlah risalah bagi akal tanpa ruh, bukan bagi ruhani tanpa jasmani, bukan bagi fikiran tanpa perasaan, danbukan sebaliknya. Ia adalah risalah insan seutuhnya iaitu ruhnya, akalnya, jasmaninya, hail nuraninya,kemahuannya dan perasaannya.Sesungguhnya Islam tidak membahagi manusia kepada dua bahagian sebagaimana yang dilakukan olehagama-agama lain. Pertama bahagian ruhani yang dikendalikan oleh agama dan diarahkannya ke tempat ibadat.Bahagian ini menjadi hak istemewa golongan agama dan tempat permainan bagi para paderi dan pendeta bagimengarahkan manusia dan celah-celahnya. Manakala bahagian kedua terdiri daripada benda, yang tidak adakekuasaan bagi agama dan golongan agama ke atasnya, malah tidak ada lapangan bagi Allah s.w.t. padanya.Bahagian ini menjadi lapangan bagi kehidupan, dunia, politik, masyarakat dan negara. Dan inilah bahagian yang terbesar dan kehidupan manusia.
              [54] Sabiq, Sayyid, , Fiqh as-Sunnah,II , (Beirut: Dâr Kitab al-`Arabi. 1973), hlm 311
           [55] Op.Cit. hlm 154. Zaman dan tempat tidak menentukan rupa bentuk Islam, tetapi Islam mempengaruhi perubahan manusia, tempat dan zaman. Inilah yang disebut oleh ulama’ usuliyyin: Taghayir al-hukmi bi taghayir al-Amkinah wa al-Azminah yaitu berubahnya fatwa disebabkan berubahnya tempat dan zaman. Umpamanya di dalam hadith-hadith yang sahih termasuk yang diriwayatkan oleh al-Bukhari Rasulullah s.a.w. melarang menyimpan daging korban lebih daripada tiga hari. Pada tahun berikut para sahabat bertanya Nabi s.a.w.apakah mereka seperti tahun lalu? Kata Nabi s.a.w.: Makan dan simpanlah kerana pada tahun lepas orang ramai dalam keadaan susah dan aku mahu kamu menolong mereka”. Dalam riwayat yang lain disebutkan disebabkan daffah yaitu orang yang datang dari luar Madinah. Jelas sekali bahwa adanya larangan Nabi s.a.w. disebabkan oleh keadaan tertentu atau punca tertentu yang sebut dalam usul al-Fiqh sebagai illat al-Hukum. Apabila penyebab dikeluarkan sesuatu hukum maka hukum pun dipadamkan. Dengan itu, al-Imam as-Syaf`ii sebagai tokoh awal menulis dalam Usul al-Fiqh memasuk bab al-`Ilal fi al-Ahadith (`ilat-ilat di dalam hadith-hadith) dalam kitabnya al-Risalah. Banyak lagi contoh-contoh yang lain di dalam hadith , jika disebutkan, yang menunjukkan perubahan zaman mengubah fatwa. Inilah juga keputusan para sahabah yang menghukum beberapa hal tidak sama seperti hukuman pada zaman Nabi s.a.w. disebabkan perubahan yang berlaku, umpamanya Saidina Umar tidak memberi zakat kepada golongan al-muallaf qulubhum (yang cuba didekatkan kepada Islam) pada zamannya sekalipun hak mereka disebut di dalam al-Quran dan mereka diberikan zakat oleh Rasulullah s.a.w.. Ini disebabkan perubahan keadaan dan suasana dengan kata Umar : Allah telah memuliakan Islam dan tidak memerlukan mereka!” Sesiapa yang ingin pendetilan dia boleh menyemak tuisan para ulama termasuk tulisan Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Zakah.
              [56] Zakiah Darajat,  op.cit, hlm 93
             [57] A. Rahman Ritonga dan Furqan, H. Arif, Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum.( Jakarta: Departemen Agama RI, 2002),hlm 224
             [58] Ibid, hlm 225
             [59] Ibid, hlm  230
                [60] Munajat, Makhrus,  . Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004),hlm 128
                [61] Ibid
              [62] Abdur Rahman. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam.( Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992 ), hlm 27.Ada beberapa perbedaan antara hudud dan ta’zir. 1.Diserahkan kepada manusa mafawadh,2.Tidak dapat dicegah dengan subhat.3.Berlaku untuk yang di bawah umur, 4.Boleh untuk kafir zimmi. 5. Selain hakim, boleh melakukan ta’zir.


              [63] Djazuli, H. A. Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm 244

               [64] Ibid
               [65] Ibid

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook