KRTIK TENTANG KONSEP KEKERASAN
DI SWEDIA
BY M.RAKIB S.H.,M.Ag.....jL.Ciptakarya Panam, Pekanbaru Riau Indonesia. 2015
Teori Baru
Seharusnya sepasang
suami-istri asal Malaysia itu tidak dihukum,karena mereka bukan penjahat, hanya penegak disiplin agamanya, walaupun memukul anaknya. Sebelum
sampai ke masalah hukum, seharusnya, pihak sekolah mendamaikan menimbang-nimbang
dulu secara sosial. Kalau tidak bisa diubah melalui komunikasi positif barulah
dibawa ke jalur hukum. Hukum Swedia harus dikritik, masa’ ibu dikatakan berbuat
krimunal, yang dituduh memukuli anak-anaknya dengan tongkat dan penggantung
pakaian divonis hukuman penjara karena dianggap terbukti melakukan kekerasan
terhadap anak.
Shalwati Nurshal, si ibu, divonis 14 bulan penjara
oleh pengadilan distrik di Solna, Stockholm, hari Jumat (28/3/2014). Sedangkan
si ayah, Azizul Raheem Awalludin, diganjar kurungan 10 bulan.
Shalwati didakwa melakukan kekerasan kepada anak
perempuannya, anak laki-laki tertua dan dua anak laki-laki lainnya yang lebih
kecil.
Azizul didakwa melakukan kekerasan terhadap anak
laki-laki tertua, anak perempuan dan dua anak laki-laki lainnya. Namun dakwaan
menyiksa anak laki-laki terkecil kemudian dihentikan pengadilan.
Pasangan itu menyangkal dakwaan-dakwaan tersebut.
Ketika pasangan itu diserahkan ke polisi pada
Desember 2013, dilaporkan oleh media Malaysia bahwa pasangan Muslim itu memukul
putra mereka yang berusia 12 tahun di tangan karena menolak melaksanakan
shalat.
Dalam sidang pengadilan terungkap, sebagian besar
kekerasan dilakukan oleh kedua orangtua itu dengan menggunakan tangan mereka.
Kadang-kadang, keduanya juga memukul anak-anaknya dengan tongkat rotan atau
gantungan baju.
Dalam keputusannya, pengadilan mewajibkan kedua
orangtua itu membayar ganti rugi kepada anak-anak mereka.
Berbeda dengan Malaysia di mana memukul anak di
dalam kelas masih diperbolehkan, di Swedia seluruh bentuk hukuman fisik
terhadap anak-anak dianggap melanggar hukum sejak tahun 1979.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan pengadilan
distrik Solna, keluarga itu menetap di Swedia sejak tahun 2010, ketika si ayah
mulai bekerja untuk pemerintah Malaysia di Stockholm.
Dakwaan terhadap pasangan Malaysia itu, kata
pengadilan, semata-mata merujuk pada kejahatan yang dilakukan di wilayah
Swedia. Keempat anak mereka memberikan kesaksian dan mengatakan bahwa kekerasan
terjadi berulang kali di rumah mereka.
Empat anak tersebut, berusia antara 7 tahun hingga
14 tahun, kemudian dipulangkan ke Malaysia.
Pengadilan menganggap kesaksian anak-anak itu bisa
dipertanggungjawabkan.
Kasus ini menarik
perhatian besar di Malaysia dan diamati oleh sejumlah pejabat di kedutaan
Malaysia. Pada bulan Februari lalu, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak
mengatakan akan membantu pasangan itu menghadapi kasusnya.
Sedangkan sebuah laman
di Facebook yang diberi nama “Bring Shal and Family Home” (bawa pulang
Shal dan keluarganya) menarik dukungan lebih dari 20.000 pengguna media sosial
tersebut. Dan salah seorang kolumnis Malaysia menyebut proses hukum di Swdia
itu sebagai “parodi keadilan universal,” lansir The Local Swedia.*
Jurgen Habermas menambahkan konsep komunikasi di
dalam Teori Kritis tersebut.[4]
Menurut Jurgen Habermas, komunikasi dapat menyelesaikan kemacetan Teori kritis yang ditawarkan oleh
pendahulunya.[4]
Jurgen Habermas membedakan antara pekerjaan dan komunikasi (interaksi).[4]
[5]
Pekerjaan merupakan tindakan instrumental, jadi sebuah tindakan yang bertujuan
untuk mencapai sesuatu.[4]
Sedangkan komunikasi adalah tindakan saling pengertian.[4]
Dalam tradisi Mazhab Frankfurt, teori dan praksis tidak dapat dipisahkan.[5][4]
Praksis dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam
kegiatan-kegiatan yang berkerja melulu, melainkan interaksi dengan orang lain
menggunakan bahasa sehari-hari.[4]
[5]
Selain itu juga, para pendahulunya memandang rasionalitas sebagai penaklukan,
kekuasaan. [4]
[4]
Kedua
hal itulah yang membuat kemacetan dalam Teori Kritis menurut Jurgen Habermas.[4]
Pandangan ini telah membuat sudut pandang masyarakat tentang krtik dengan
penaklukan itu sama dan praksis dengan penaklukan itu sama.[4]
Jurgen Habermas berpendirian kritik hanya dapat maju dengan rasio komunikatif yang dimengerti
sebagai praksis komunikatif atau tindakan komunikatif.[4]
Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui
revolusi atau kekersan, tetapi melalui argumentasi.[4]
Kemudian Habermas membedakan dua macam argumentasi, yaitu: perbincangan atau
diskursus dan kritik.[4]
Demokrasi Deliberatif
Kata
“deliberasi” berasal dari bahasa Latin deliberatio yang kemudian dalam bahasa
Inggris menjadi deliberation.[6]
Istilah ini memiliki arti “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau dalam istilah
politik adalah “musyawarah”.[6]
Pemakian istilah demokrasi memberikan makna tersendiri bagi konsep demokrasi.[6]
Istilah demokrasi deliberatif memiliki makna yang tersirat yaitu diskursus
praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai
prosedur.[6]
Teori
demokrasi deliberatif tidak memfokuskan pandangannya dengan aturan-aturan
tertentu yang mengatur warga, tetapi sebuah prosedur yang menghasilkan
aturan-aturan itu.[6]Teori
ini membantu untuk bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam
kondisi bagaimanakah aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga
warganegara mematuhi peraturan-peraturan tersebut.[6]
Dengan kata lain, demokrasi deliberatif meminati kesahihan keputusn-keputusan
kolektif itu.[6]
Secara tidak langsung, opini-opini publik di sini dapat mengklaim
keputusan-keputusan yang membuat warga mematuhinya. [6]
Di
dalam demokrasi deliberatif, kedaulatan rakyat dapat mengkontrol
keputusan-keputusan mayoritas.[6]
Kita sebagai rakyat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh
orang-orang yang memegang mandat.[6]
Jika kita berani mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, maka secara tidak langsung kita sudah menjadi masyarakta rasional,
bukan lagi masyarakat irasional.[6]
Opini publik atau aspirasi memiliki fungsi untuk mengendalikan politik formal
atau kebijakan-kebijakan politik.[6]
Jika kita berani mengkritik kebijakan-kebijakan yang legal itu, secara tidak
langsung kita sudah tunduk terhadap sistem.[6]
Ruang Publik
Bagi
Habermas, ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses
berdemokrasi.[6]
Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang
mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan
kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.[6]
Ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi.[7]
Ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan
politis warga.[7]
Selain itu, ruang publik merupakan wadah yang mana warganegara dengan bebas
dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah.[6]
[7]
Ruang publik bukan hanya sekedar fisik, maksudnya sebuah institusi atau
organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi warga itu sendiri. Ruang
publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi
pemerintah atau otonom di dalamnya. Ruang publik itu harus mudah diakses semua
orang.[7]
Dari ruang publik ini dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat warga
untuk melawan mesin-mesin pasar/kapitalis dan mesin-mesin politik.[6]
Istilah kekerasan, artinya kezaliman. Dalam
Al-Quran terdapat 200 ayat yang khusus membicarakan
dan menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan masalah “zalim” atau
“kezaliman”,[1]
suatu perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Dia sangat benci kepada
orang-orang yang zalim.” Sebagaimana
dalam Q.S.Ali ‘Imraan: 57. Secara umum makna kata “zalim” yang dikenal
adalah segala tindak kekerasan ataupun berbuat aniaya; baik kepada orang lain
maupun kepada diri sendiri.
Dalam syari’at (Agama Islam) yang sesuai
dengan Al-Baqarah ayat 229 bahwa orang
yang melanggar hukum-hukum Allah, itulah
yang zalim”; makna “zalim” yang didefinisikan oleh para ulama,“segala tindakan yang
melampaui batas, tidak lagi sesuai
dengan ketentuan Allah
SWT, baik dengan cara menambah
ataupun mengurangi hal-hal yang
berkaitan dengan waktu; tempat atau letak maupun sifat dari perbuatan-perbuatan
yang melampaui batas tersebut. Dan itu berlaku untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah
(hablun-minallah), maupun hubungan
kemanusiaan dan alam semesta, baik itu dalam skala kecil maupun besar, tampak
ataupun tersembunyi.”[2]
Kewajiban berhukum kepada al-Qur’an
termasuk masalah pokok, karena menjadi dasar bagi seorang Muslim untuk berpegang
teguh terhadap hukum-hukum amaliahnya yang akan dipertanggungjawabkan. Apabila
landasan suatu hukum sudah salah, seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya
menjadi salah pula. Karena itu menetapkan sumber syariat Islam tidak dapat
dilakukan berdasarkan persangkaan ataupun dengan dugaan belaka, tapi
berdasarkan kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril
kepada Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar
dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan
agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia, di samping
merupakan amal ibadah bagi yang membacanya.
Al-Qur’an diriwayatkan dengan cara tawatur
(mutawatir) yang artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak
semenjak dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya secara berjamaah. Apa
yang diriwayatkan oleh orang perorang tidak dapat dikatakan sebagai Al-Qur’an.
Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah berkali-kali
mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan
pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan.
Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan
Muhammad SAW., ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an tetap
menjadi mu’jizat sekaligus sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah
Islam, sebagai sumber segala sumber hukum
:
a)KehujjahanAl-Qur’an
Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia,[3] serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun. Allah SWT berfirman:
a)KehujjahanAl-Qur’an
Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia,[3] serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun. Allah SWT berfirman:
.[4]
Katakanlah:
Sesungguhnya apabila jin dan manusia mereka apabila berkumpul untuk membuat suatu
kitab yang serupa dengan Al-Qur’an ini. Pastilah mereka
tidak akan dapat membuat tandingan yang serupa dengannya, sekalipun sebagian
mereka menjadi pembantu bagi sekalian yang lain.[5]
Dan apabila kamu tetap merasa dalam keraguan tentang kebenaran Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami
(Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) sebagai tandingan yang semisal
Al-Qur’an, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang
benar.”[6]
Membuat satu surat menyamai Al-Qur’an,memang tidak mjungkin, seperti pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang Quraisy di masa Rasulullah SAW, seorang ahli syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh Nabi pada awalnya berkata: “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an itu terdapat sesuatu yang lezat, lagi pula keindahannya, apabila di bawah, menyuburkan, dan apabila di atas, menghasilkan buah. Dan manusia tidak mungkin mampu berucap seperti Al-Qur’an.”[7] Selain dari bahasanya, isi Al-Qur’an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman, juga tentang prediksi akan menangnya pasukan Romawi atas Parsi (QS. Ar-Ruum).[8]
Selain
isi Al-Qur’an menunjukkan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan
fakta, ada pula sebagian berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi(Iptek),
misalnya tentang penyerbukan oleh lebah, bahkan tentang reproduksi, buah-buahan oleh bantuan angin. Pada
akhirnya terbuktilah kebenaran al-Qur’an. Semua itu menunjukkan bahwa Al-Qur’an
memang bukan datang dari manusia melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan
Pengatur Alam Semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan bahkan
keharusan bagi umat Islam untuk menjadikannya sebagai landasan kehidupan dan landasan
hukum:.
b) Keseimbangan kata dalam al-Qur’an
M.Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”,menerangkan tentang keseimbangan penggunaan kata dalam Al-Qur’an yang begitu kuat mengundang rasa ingin tahu, antara lain:
1)
Keseimbangan kata yang bertolak belakang
(a)
Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati),
masing-masing disebut 145 kali
(b) Al-naf(manfaat) dan al-madharrah
(mudarat) masing-masing disebut 50 kali
(c) Al-har (panas)
dan al-bard masing-masing disebut 4 kali
Al-shalihat
(kebajikan) dan al-sayyi’at (keburukan) masing-masing disebut 167 kali.
(d) Al- tuma’ninah (kelapangan / ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan /
kekesalan), masing-masing disebut 13 kali
(e) Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin) masing-masing
disebut 8 kali.[9]
2) Keseimbangan jumlah kata dengan
sinonimnya (yang artinya sama)
(a) AL-harts dan al-Zira’ah
(membajak/bertani) masing2x disebut 14 kali
(b) Al-uhbdan al-dhurur (membanggakan diri/ angkuh) masing2x
disebut 27 kali
(c) Al-aql
dan al-nur (akal dan cahaya) masing2x disebut 49 kali
(d) Al-jahr dan al-alaniyah(nyata), masing2x disebut 16 kali
(e) Zakat disebut 32 kali dan barokah juga disebut 32 kali.[10]
3) Keseimbangan antara jumlah kata yang
menunjuk kepada akibatnya
(a) Al-infak(infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing
disebut 73 kali.
(b) Al-bukl(kekifiran) dengan al-hasanah (penyesalan) masing-masing
disebut 12 kali.
(c) Al-kafirun (orang2x kafir) dengan al-nar/al-ahraq
(neraka/pembayaran) masing2x disebut 154 kali
(d) Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan)
masing-masing disebut 32 kali
(e) Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadb (murka), disebut 26 kali.[11]
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.,secara bertahap dalam kurun waktu 22 tahun, 2 bulan,
22 hari. Di antara ayat-ayat itu diturunkan untuk memberikan jawaban dalam
berbagai peristiwa yang terjadi saat itu.
c) Tafsir Al-Qur’an
Tafsir al-Qur’an, menerangkan
maksud pada lafadz-nya, dijelaskan
dengan lafadz lain ,sehingga tidak ada keraguan lagi. Tafsir Al-Qur’an
merupakan penjelasan makna kata demi kata, serta makna susunan kalimat,
sebagaimana adanya. Terkadang suatu ayat dijelaskan oleh ayat lainnya (tafsir
ayat bil ayat atau bil hadits)Rasulullah
SAW.,(tafsir bis Sunnah), atau penjelasan shahabat dan ahli ilmu pengetahuan.
Adapun tentang penyempurnaan pembukuan Al-Qur’an,
terjadi pada waktu khalifah ‘Utsman “Qur’an ‘Usmani.” Karena selama ekspedisi
melawan Azerbaijan, timbul berbagai perbedaan di antara pasukan, mengenai cara bacaan
Al-Qur’an, karena pasukan itu sebagian diambil dari Suriah dan Irak, sehingga
Jendral Huzaifah membawa masalahnya kepada Khalifah ‘Usman bin Affan(644-656 M.)
Penjelasan kata-kata dan susunannya ayat,
terbatas hanya dalam bahasa Arab, sama sekali tidak boleh ditafsirkan dalam
bahasa lain. Selain menurut kenyataannya Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa
Arab yang paling baik dan murni, tidak ada jalan lain dalam memahami Al-Qur’an,
perlu juga melalui bahasa yang lain.
Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’an itu sendiri yaitu bahasa Arab. Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT,[12] maka tidak ada alternatif lain, melainkan berusaha semakimal mungkin memahami Al-Qur’an, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri:
Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’an itu sendiri yaitu bahasa Arab. Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT,[12] maka tidak ada alternatif lain, melainkan berusaha semakimal mungkin memahami Al-Qur’an, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri:
“(Dan) Demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qur’an itu sebagai peraturan yang benar, dalam bahasa Arab.
Dan seandainya
kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka
sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.”[13]
Ayat ini, menunjukkan usaha memahami
hukum dalam Al-Qur’an harus dimulai dengan memahami bahasa Arab.[14] Lemahanya
penguasaan bahasa Arab, sebahagian umat Islam, dalam mengkaji dan menghayati
isi kandungan Al-Qur’an menyebabkan ketidakakraban dengan Al-Qur’an. Ini
menunjukkan bahwa sebagian umat sedang berada di luar ketentuan Allah SWT.
Pentingnya bahasa Arab untuk melakukan kajian terhadap isi kandungan Al-Qur’an
menuntut persyaratan-persyaratan tertentu. Di samping menuntut keikhlasan dan
kesucian niat juga membutuhkan penguasaan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
pemahaman Al-Qur’an. Apabila persyaratan itu tidak terpenuhi, dapat menimbulkan pemahaman yang keliru dan
merugikan. Walaupun begitu, terpenuhinya persyaratan ini pun tidaklah mutlak
menjamin kebenaran hasil suatu kajian, namun begitu haruslah berusaha
semaksimal mungkin, untuk mendekati kebenaran yang dimaksud Al-Qur’an.
Kajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya merupakan ‘jembatan’ untuk memahami dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang dilakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’an hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan.
Kajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya merupakan ‘jembatan’ untuk memahami dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang dilakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’an hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan.
2. Al-Hadits
a)Pengertian
al-Hadits
Al-Hadits adalah suatu perkataan, atau
ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan/persetujuan/diamnya)
Rasulullah SAW.,terhadap sesuatu perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya.[15]
Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan
Al-Qur’an karena sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu. Firman Allah SWT:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ
الْهَوَى
|
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
|
Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu hanyalah firman yang
diwahyukan (kepadanya).[16]
Makna ayat di atas ialah, apa yang disampaikan Rasulullah SAW. (Al-Qur’an dan As-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya.[17] Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah SAW. melakukan suatu tindakan hanya berdasarkan wahyu dari Allah SWT, kemudian diperintahkan manusia mengikuti apa yang disampaikannya. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa Rasulullah SAW juga menerima wahyu yang lain, yaitu Al-Hikmah[18] yang pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna As-Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 164, QS. Al-Jumu’ah: 3, dan QS. Al-Ahzab: 34.[19]Kemudian kehujjahan Al-Sunnah adaalah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti (qath’i) kebenarannya, seperti Al-Qur’an itu sendiri.
b)Fungsi al-Hadits terhadap Al-Qur’an:
(1) Menguraikan Kemujmalan
Al-Qur’an.
Istilah mujmal, maksudnya adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah/ penunjukannya) yang belum jelas maksud dan rinciannya. Tentang perintah shalat, membayar zakat dan menunaikan haji. Al-Qur’an hanya menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci menerangkan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain. Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama Andalusia pada masa Abbasiyah menjelaskan: “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat ungkapan yang seandainya tidak ada penjelasan lain, tidak mungkin orang melaksanakannya. Dalam hal ini rujukannya hanya kepada Sunnah Nabi SAW. Jika dibandingkan dengan ijma’, maka Ijma’ hanya terdapat dalam kasus-kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib kembali kepada Sunnah.”
(2) Mengkhususkan Keumuman Al-Qur’an.
Lafadz umum (‘Aam) ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu makna yang menerangkan dengan satu ucapan saja. Misalnya ‘Al Muslimun’ (orang-orang Islam), ‘Ar rijaalu’ (orang-orang laki-laki). Di dalam Al-Qur’an itu terdapat banyak lafadz yang bermakna umum kemudian Sunnah mengkhususkannya.
…يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الأنْثَيَيْنِ …
“...Allah
mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak laki-laki adalah dua
bagian dari anak perempuan...” [20]
Ayat ini dijelaskan oleh hadits Ibnu Abbas:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا ، فَمَا
بَقِىَ فَهْوَ لأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
"Berikanlah
bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang terdekat." [21]
Kasus yang terjadi sebelum turunnya Surat
An-Nisa’:11 ialah dari kisah Umrah ,[22]
yaitu Umrah binti Hazm, istri Sa’d ibn al-Rabi, menghadap kepada Rasulullah SAW
lalu berkata seraya menunjuk kepada dua anak kecil di sisinya, “Wahai
Rasulullah, ini adalah dua putri Sa’d ibn Al-Rabi. Ayah mereka gugur di medan
perang Uhud sehingga mereka kini yatim. Derita semakin berat karena paman
mereka mengambil harta mereka tanpa menyisakan sedikit pun. Tentu saja kedua
anak ini tidak akan bisa menikah tanpa harta.” Rasulullah kemudian
terbayang sosok dan kewiraan Sa’d ibn Al-Rabi ketika berperang melindungi
beliau. Selain itu Rasul juga iba pada kedua anak itu. Namun beliau belum bisa
menetapkan keputusan yang akan berkaitan dengan hak waris dari ayah mereka.
Akhirnya Rasul bersabda, “Allah akan menurunkan ketetapan mengenainya.”
Apakah itu yang dimaksud dengan
analisis kritis?. Nah itulah Critical Legal
Studies, membedah konsep hukum, merupakan sebuah gerakan yang
muncul pada tahun tujuh puluhan di Amerika Serikat. Gerakan ini merupakan
kelanjutan dari aliran hukum realisme Amerika yang
menginginkan suatu pendekatan yang berbeda dalam memahami hukum, tidak hanya seperti pemahaman selama ini yang
bersifat Socratis. Beberapa nama yang menjadi penggerak GSHK adalah Roberto
Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Peter Gabel, Mark Tushnet, Kelman, David
trubeck, Horowitz, dan yang lainnya. Critical Legal Studies oleh Ifdhal Kasim
diterjemahkan dengan istilah bahasa Indonesia Gerakan Studi Hukum Kritis (GSHK)
. Istilah yang akan digunakan dalam tulisan ini selanjutnya adalah Gerakan
Studi Hukum Kritis disingkat GSHK.
Perbedaan utama antara GSHK dengan pemikiran hukum lain yang tradisional adalah bahwa GSHK menolak pemisahan antara rasionalitas hukum dan perdebatan politik. Tidak ada pembedaan model logika hukum; hukum adalah politik denga baju yang berbeda. Hukum hanya ada dalam suatu ideologi. GSHK menempatkan fungsi pengadilan dalam memahami hukum sebagai perhatian utama . Walaupun menolak dikatakan sebagai tipe pemikiran Marxis yang membedakan antara suprastruktur dan infrastruktur serta hukum sebagai alat dominasi kaum kapitalis, GSHK mendeklarasikan peran untuk membongkar struktur sosial yang hierarkhis. Struktur sosial merupakan wujud ketidakadilan, dominasi, dan penindasan.
Tugas kalangan
hukum adalah membawa perubahan cara berpikir hukum dan perubahan masyarakat.
Pemikiran ini terinspirasi pemikiran filsafat kritis dari Jurgen Habermas ,
Emil Durkheim , Karl Mannheim, Herbert Marcuse , Antonio Gramsci , dan
lain-lain. Jurgen Habermas, Karl Mannheim, Herbert Marcuse, dan Antonio Gramsci
adalah tokoh-tokoh utama mahzab kritis. Filasafat kritis adalah salah satu
aliran filasat yang berkembang dengan menggunakan pendekatan kritis terhadap
realitas sosial. Aliran ini diilhami oleh pemikiran Hegel dan Karl Marx.
Aliran ini berkembang mulai dari Mahzab
Frankfurt sampai dengan Post Modernisme. Pendukung GSHK memahami dan
menggunakan pemikiran hukum dan teori-teori sosial secara lebih intensif
dibanding kaum realis. Mereka telah banyak menghancurkan segala hal yang
berlaku dalam hukum . Namun banyak juga yang mengkritik bahwa hanya sedikit
dari pemikir GSHK yang menawarkan model yang konstruktif.
Tulisan ini bertujuan untuk mengenal secara singkat pemikiran-pemikiran dalam GSHK dari berbagai ahli hukum, kelebihan dan kekurangannya, serta konteksnya dengan perkembangan hukum di Indonesia. Sebagai pijakan awal pada bagian pertama, akan diuraikan pemikiran GSHK yang dijelaskan dalam buku Modern Jurisprudence tulisan Hari Chand, disertai dengan beberapa kritikan yang ada dalam buku tersebut. Dikatakan sebagai pijakan awal, karena pada bagian ini juga akan diberikan beberapa penambahan baik secara langsung maupun dalam catatan kaki hal-hal yang terkait dengan pembahasan GSHK dari sumber lain.
Pada bagian kedua akan diuraikan beberapa pemikiran lain dari GSHK yang tidak dibahas dalam buku Modern Jurisprudence. Bagian ketiga, setelah mengetahui pemikiran GSHK, merupakan analisis terhadap keseluruhan Pemikiran GSHK dengan tujuan untuk menemukan kekuatan dan kelemahan dari GSHK, baik pada tataran teoritis maupun dalam pelaksanaannya.
Bagian tersebut akan dirangkaikan dengan penerapan pemikiran GSHK untuk menganalisis hukum di Indonesia . Bagian akhir adalah penutup dari seluruh tulisan ini yang lebih merupakan catatan akhir bagaimana menyikapi GSHK dari pada sebuah kesimpulan sebagaimana lazimnya sebuah tulisan.
A. Gerakan Studi Hukum Kritis Dalam Buku Modern Jurisprudence
Seperti praktek pemikiran hukum sebelumnya, American Legal Realist, GSHK melanjutkan tradisi pengkajian empiris terhadap hukum. Tetapi pendekatan yang digunakan adalah paradigma-paradigma ilmu sosial "kiri" seperti aliran Marxisme, teori kritis mazhab Frankfurt, neo-Marxis, Strukturalisme, dan lain-lain . Hal ini tidak berarti GSHK merupakan pewaris pandangan-pandangan tersebut, namun memanfaatkannya secara ekletis . Secara radikal GSHK menggugat teori, doktrin atau asas-asas seperti netralitas hukum (neutrality of law), otonomi hukum (autonomy of law), dan pemisahan hukum dengan politik (law politics distinction) .
Gerakan Studi Hukum Kritis dan Pemikiran Hukum Amerika
Sampai tahun 1850, pendapat umum menyatakan bahwa hakim memutus perkara dengan menggunakan pertimbangan kebijakan (instrumental view). Mulai pada tahun 1890, pandangan yang dianut kemudian adalah bahwa hakim memutuskan perkara dengan penerapan suatu peraturan tersendiri yang tepat . Setelah tahun 1937, paham hukum realis berpendapat bahwa pencarian obyektivitas, dan sistem pemikiran hukum yang tidak memihak adalah ilusi semata. Gerakan kaum realis menciptakan ketidakpercayaan terhadap peradilan dan menambah kekuasaan pakar dan aparat negara. Menurut kaum realis, hukum dan moralitas itu terpisah. Sementara paham kontemporer menyatakan bahwa antara hukum dan moralitas memiliki hubungan yang erat. Hukum adalah suatu ilmu moral dan hakim memutus sebagai seorang aparat moral. Ronald Dworkin dan Posner menemukan moralitas yang berada dalam hukum kebiasaan.
Kritik terhadap Liberalisme Unger mengkritik liberalisme yang menurutnya menghasilkan perubahan moral individu dan politik masyarakat modern yang berbahaya. Lisberalisme membengkokan moral, intelektual, dan sisi spiritual seseorang. Maka dia melontarkan suatu kritik yang menyeluruh. Dia menemukan "struktur mendalam" dari liberalisme yang terdiri dari enam prinsip; (1) rasionalitas dan hawa nafsu, (2) keinginan yang sewenang-wenang, (3) Analisis, (4) Aturan-aturan dan nilai-nilai, (5) nilai subyektif, dan (6) individualisme. Dia menunjukan antinomi yang ada antara rasionalitas dan hawa nafsu, antara aturan dan nilai. Untuk menyelesaikan antinomi tersebut, ada dua jalan, yaitu; pertama, suatu penyelesaian politis untuk mewujudkan transformasi kondisi kehidupan sosial di mana dominasi harus dihilangkan karena menimbulkan nilai yang kebetulan dan berubah-ubah. Kedua, suatu revolusi teroritis dibutuhkan untuk menciptakan suatu sistem berpikir yang berdasar pada kebaikan umat manusia. Alan Hunt menyatakan bahwa kritik liberalisme ini tidak sesuai dengan ilmu hukum modern kontemporer yang paling banyak berpengaruh.
Dominasi dan Hierarkhi GSHK menyatakan bahwa masyarakat liberal dipenuhi dengan dominasi dan hierarkhi. Kelas atas membentuk struktur yang berlaku bagi lainnya untuk memperlancar kehidupannya. Negara hukum yang ideal adalah yang dapat menandai kontradiksi dan hierarkhi dalam masyarakat liberal. Jika dikatakan bahwa hukum tidak bertugas untuk menemukan kebenaran, tetapi menemukan kompleksitas yang telah ada, maka teori hukum tidak akan bermakna tanpa teori sosial. Kebenaran pernyataan tentang kehidupan sosial sesungguhnya telah dikondisikan oleh seluruh sistem sosial yang berlaku . Kebenaran bersifat relatif menurut masyarakat tertentu atau kelompok sejarah tertentu .
Seseorang secara keseluruhan struktur sosial adalah produk sejarah, bukan alam. Sejarah dipenuhi dengan pertentangan-pertentangan, dan aturan sosial merupakan garis pemisah yang menggambarkan posisi masing-masing. Kekuatan menjadi hak, kepatuhan menjadi tugas, dan untuk sementara pembagian hierarkhi sosial menjadi kabur. GSHK mencoba untuk mempengaruhi realitas sosial. Struktur yang ada merupakan penggunaan kepercayaan dan asumsi yang menciptakan suatu masyarakat dalam realitas hubungan antar manusia. Struktur kepercayaan atau ideologi tersebut memiliki potensi terselubung dalam tendensinya untuk mempertahankan dinamikanya sendiri untuk menciptakan doktrin hukum yang menyalahkan kondisi dan alam . Bagi GSHK, kesadaran hukum adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan. Hal ini merupakan cara untuk menyembunyikan atau menghindari kebenaran fundamental bahwa segala sesuatu itu dalam proses perubahan dan kehadiran.
Penekanan pada pengaruh eksternal
Para ahli hukum banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti sosial, ekonomi, politik dan psikologi, tetapi kaum GSHK lebih menekankan pada konteks sosial dan politik. Interpretasi banyak dipengaruhi oleh kondisi historis, maka prinsip-prinsip dan rasionalitas hukum tidak kebal dari pengaruh-pengaruh sosial dan politik. Mereka menegaskan bahwa pemikiran hukum mempengaruhi perubahan hukum dan melegitimasi tatanan sosial yang telah ada dengan cara yang berlaku tanpa terasa .
Kritik terhadap Teori Hukum
Alirah Hukum kritis merupakan kritik dari teori hukum yang menuntut bahwa pendekatan doktrinal itu cacat, dengan prinsip-prinsip abstrak seperti kemerdekaan, kebebasan berkontrak dan hak milik dapat menimbulkan kontradiksi dalam berbagai hal . Mereka menggunakan teknik-teknik sosiologis, antropologis, dan ideologis dalam tatanan hukum. Mereka mencoba melukiskan penekanan antara ide normatif dan struktur sosial. GSHK menunjukan bagaimana hukum memberikan konstribusi terhadap stabilitas dan mengabadikan tatanan sosial yang ada. Duncan Kenedy dalam The Structure of Blackstone’s Commentaries merupakan salah satu contoh bagus dari metode ini yang menggambarkan analisis mendalam tentang bagaimana komentar-komentar tersebut melegitimasikan praktek-praktek sosial yang telah ada di Inggris waktu itu. Dengan jalan ini Kennedy dapat menunjukan bahwa keseluruhan pemikiran hukum modern memberikan sumbangan terhadap stabilitas suatu tatanan sosial.
Sedangkan Unger melihat mainstream aliran hukum dan ekonomi sebagai salah satu aliran utama yang melayani hak politik, aliran hak dan prinsip yang melayani sentralisme . Instrumen utama aliran hukum dan ekonomi adalah penggunaan yang samar-samar atas konsepsi pasar.
SYAIR PENGERTIAN TEORI DAN KONSEP
M.RAKIB PEKANBARU RIAU INDONESIA 2015
TEORI
ITU, SUATU PERNYATAAN
SEBAB
AKIBAT, SALING BERHUBUNGAN
SUATU
GEJALA, DAPAT DIJELASKAN
DIPEROLEH
DARI, SUATU PENGALAMAN
KONSEP
ITU ADALAH SUATU KESIMPULAN
DARI
MASALAH YANG CIRINYA BERSAMAAN
KONSTRUKSI
LOGIS, TERBENTUK DARI KESAN
BERSIFAT
KOMLEKS DARI, PENGALAMAN
Konsep adalah suatu pengertian yang
disimpulkan dari sekumpulan data yang memiliki ciri-ciri yang sama.
Schwab (1969: 12-14) menyatakan bahwa konsep merupakan abstraksi, yaitu suatu
konstruksi logis yang terbentuk dari kesan, tanggapan, dan
pengalaman-pengalaman kompleks. Hal ini sejalan dengan pendapat Banks
(1977:85) bahwa “a concept is an abstract word or phrase that is useful for
classifying or categorizing a group of things, ideas, or events”, yang
berarti bahwa konsep itu merupakan suatu kata atau frase abstrak yang
bermanfaat untuk mengklasifikasikan atau menggolongkan sejumlah hal, gagasan,
atau peristiwa. Dengan demikian, pengertian konsep menunjuk pada suatu
abstraksi, penggambaran dari sesuatu yang konkret maupun abstrak (tampak maupun
tidak tampak) dapat berbentuk pengertian atau definisi ataupun gambaran mental,
atribut esensial dari suatu kategori yang memiliki ciri-ciri esensial relatif
sama.
Bruner
(1966) menyatakan setiap konsep memiliki tiga unsur yaitu: (1) examples,
(2) attributes dan (3) attributes value. Adapun Joyce dan
Weil (2000: 125) menyatakan bahwa setiap konsep memiliki 6 aspek, yang
meliputi:
- Nama yaitu istilah atau etiket yang diberikan kepada satu kategori fakta yang mempunyai ciri-ciri yang sama.
- Essential attributes atau criteria attributes, yaitu ciri-ciri yang menempatkan contoh-contoh konsep yang berlainan dalam kategori yang sama.
- Non essential attributes, adalah ciri-ciri yang tidak ikut menentukan apakah contoh termasuk ke dalam suatu kategori.
- Positive examples
- Negative attributes, ini tidak mewakili konsep
- Rule, adalah pernyataan yang mencakup semua criteria attributes.
Kesalahan konsep bisa terjadi manakala adanya penghilangan atau penambahan dari hal-hal yang esensial, sehingga terjadi kekeliruan. Dengan demikian dalam pembelajaran jenis konsep dikembangkan oleh pengetahuan yang berhubungan dengan fakta mencakup semua data khususnya yang terdiri dari kejadian, objek, orang atau gejala yang dapat dirasakan. Fakta adalah tingkat yang paling rendah dari suatu abstraksi, suatu fakta merupakan keadaan faktual dan dapat diterima sebagaimana adanya. Konsep merupakan suatu pernyataan atau frase yang berguna dalam mengklasifikasikan fakta, kejadian, atau ide berdasarkan karakteristik yang umum.
Dengan
demikian, konsep adalah suatu pengertian yang disimpulkan dari sekumpulan data
yang memiliki ciri-ciri yang sama. Dapat dikatakan konsep merupakan abstrak
dari suatu kejadian atau hal-hal yang memiliki ciri-ciri yang sama atau ide
tentang sesuatu di dalam pikiran. Makin abstrak suatu konsep, makin besar
kemampuan mengumpulkan fakta yang lebih spesifik, dan makin tidak abstrak
yang berada di bawahnya. Bentuk geografi adalah merupakan konsep, yang berada
di bawahnya antara lain: sungai, danau, pegunungan, tebing, lautan dan lain
sebagainya. Ilmu Pengetahuan Sosial kaya akan konsep-konsep IPS, dalam memahami
konsep IPS tentu mengetahui terlebih dahulu konsep IPS itu sendiri . Menurut
Kamus Bahasa Indonesia kata “paham” mengandung makna pengertian;
pengetahuan banyak, sedangkan “pemahaman” adalah proses, perbuatan, cara
memahami atau memahamkan.
Fakta
yang ada di dalam masyarakat dan lingkungannya. Fakta-faktanya di lingkungan
masyarakat, salah satu contohnya konsep ilmu-ilmu sosial sebagai berikut: Ilmu
Ekonomi; kelangkaan sumber-sumber kebutuhan hidup, Politik; kekuasaan dan
kekuatan, Ekologi; interaksi kehidupan dan lingkungan, Sosiologi; masyarakat,
Antropologi; kebudayaan, Psikologi; kejiwaan, Sejarah; waktu dan Geografi;
ruang. Setiap cabang ilmu sosial mengembangkan konsep dasar serta
generalisasi masing-masing yang sesuai. Mempelajari konsep merupakan hal yang
sangat penting, akan memudahkan memahami proses terjadinya, karena diperoleh
melalui pemahaman yaitu mengerti lebih banyak pengetahuan, sehingga membuat
suatu peristiwa menjadi lebih jelas kaitannya antara satu sama lain.
Dari
uraian di atas, proses pembentukan konsep dan generalisasi berjalan secara
induktif melalui penyajian fakta menjadi konsep dan dari konsep menjadi
generalisasi. Kegagalan dalam memahami konsep akan mengakibatkan kesalahan
dalam membentuk generalisasi (Alma dan Harlasgunawan, 2003:155). Dengan
demikian dalam memilih konsep yang hendak diajarkan kepada mahasiswa
memperhatikan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: ketepatan, kegunaan,
kekayaan pengalamannya, kekayaan konsep yang telah dipahami, lingkungan hidup
peserta didik dan tingkat kematangan peserta didik.
[1]Al-Baidhawi,
Anwâr at-Tanzîl.,(Terj) vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1988), 267; Ibnu Juzyi al-Kalbi, Ibid., vol. 1, 238;
al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997), 144.
[2]Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi
Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan
Umat Islam, alih bahasa Imam Saefudin (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm.
164. Lihat jugaWahbah Al Zuhaily, al-Fiqh
al-Islāmy wa Adillatuh, (Dār al- Fikr : Beirut 2008), V: 523
Lihat juga Tafsir Al-Qasimy, juz 6,
hal 2000 -2001
[15]al-Hadith secara
resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani
Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah.Kemudian istilah Al-Sunnah,
dalam tinjauan hukum dan penafsiran.. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran,
As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini
disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai
penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah
firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.
Indonesia (Studiatas Pemikiran M.
Syuhudi Ismail).” (Disertasi S3 Pasca Sarjana IAIN Jakarta, 1999), 50
[22]
Begitulah Al Quran memutuskan bagian untuk dua
anak perempuan itu. Kemudian Rasul mengutus seseorang untuk menemui paman
mereka dan berkata kepadanya,”Berikanlah dua pertiga harta pusaka Sa’d kepada
dua putrinya dan sisanya menjadi milikmu.” Istri Sa’d dan kedua putrinya
menjadi perantara bagi turunnya ketetapan Al Quran mengenai hukum waris, suatu
ketetapan yang berlaku hingga kini.Referensi :-Al Quran- karya Fathi Fawzi ‘Abd Al Mu’thi, Asbabun Nuzul untuk Zaman Kita.
No comments:
Post a Comment