KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA
TIDAK MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN
M.RAKIB SH., M.Ag Pekanbaru Riau Indonesia. 2015
Kurikulum
pendidikan agama, harus mampu menjawab tantangan zaman. Kemudian masalah yang
muncul dari masa ke masa, harus pula dijawab status hukumnya menurut syari’ah. Dengan sangat jelas dalam Al-Quran dinyatakan bahwa Al-Qur’an itu sebagai obat, untuk
mengatasi segala persoalan. Itulah
sebabnya syari’at Islam yang bersumber dari Al Quran dan Al- Sunnah selalu up to date, tidak pernah ketinggalan
zaman, mampu menjawab tantangan..Untuk menjawab tantangan zaman itu, para ulama melakukan istinbath (menggali) hukum-hukum syar’iy dari nash-nash syariah, yakni Al-Quran dan Al-Sunnah, untuk menjawab masalah baru, apapun bentuknya, baik berupa tindakan, perbuatan maupun yang
berkaitan dengan politik bahkan tentang
harta benda.
Melalui kekuatan kata-kata dan gaya bahasa al- Quran dan Al- Sunnah,
mengikat dan memberi arah terhadap perkara apa saja yang mungkin muncul hingga hari kiamat. Apabila
ditanyakan, dalil syari’ah tentang kebolehan menggunakan ilmu rekayasa dan kecanggihan teknologi, paara ulama dan
fuqaha’ akan meneliti dalil-dalil syari’ah untuk mengetahui hukumnya, mereka
akan menemukannya dalilnya.
Sebagai agama sempurna, Islam
telah mengatur seluruh perikehidupan manusia tanpa kecuali. Mulai dari masalah
teologi, moral, etika, sampai kepada masalah hak asasi manusia, sampai kepada
masalah perlindungan wanita dan anak-anak. Tidak ada satupun persoalan hidup
yang terjadi pada manusia, yang tidak dijelaskan tata aturannya. Seperti yang
diisyaratkan dalam Al-Quran Surat
Al-Maidah ayat 3 bahwa ajaran Islam telah disempurnakan dan Islam telah
ditetapkan sebagai suatu agama. Kemudian di dalan QS Al- Nahl : 89
dinyatakan pula bahwa al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu.Kemudian di dalam QS Al Baqarah : 208 ada perintah
agar manusia masuk ke dalam Islam secara totalitas. Tidak boleh menerima
sebahagian ayat Al-Quran tapi mengingkari ayat yang lain.
Hukum Islam[1]sebagai
manifestasi kehendak Syari’ dalam menjawab apapun problema
yang dihadapi manusia, terjadinya dialektika antara teks dan realitas. Para fuqaha’ berusaha menemukan inovasi dan progresifitas, untuk mewujudkan
kemashlahatan universal. Di antara tantangan yang harus dijawab ialah fenomena
kekerasan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, berupa hukuman fisik oleh
orang tua dan guru, terhadap anak-anak, terus saja terjadi
Sebahagian
dari kekerasan terhadap anak hari ini, dan terus berlangsung dengan berbagai tindakan yang bervariasi di bergagai tempat. Hal ini sangat mendesak untuk dijawab dan dicarikan
solusi. Bagaimanapun juga, setiap kekerasan akhirnya berurusan dengan hukum,
baik hukum Islam maupun hukum negara. Hukum Islam tidak saja ma’qûl sekaligus
ma’mûl.[2] Sebagai upaya menjadikannya inovatif
progresif. Berbagai langkah ditempuh agar tidak menjadi asing pada
lingkungan yang mengitarinya.[3]Tidak
hanya eksis pada ranah normatif
(law in book) juga riil (law in action) historis kritis, memperjuangkan nasib anak-anak dan emansipasi terhadap wanita, dengan melepaskan tradisi hukuman
fisik perbudakan dalam budaya Arab, bahkan ada sanksi memerdekakan budak.Tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan hidup masyarakatnya. Hukum
Islam dituntut untuk berdialektika, sesuai dengan lingkungan
sosial, budaya.
Hukum apapun tidak
dapat dipisahakan dengan politik,[4] secara
simultant dan continue. Kemandekan pada salah satu sisinya akan menjadikan pincang dan
problematik dalam segala sisi kehidupan sosial maupun kebangsaan.[5] Berdasarkan
kajian segala segi Hukum Islam, sudah banyak dilakukan oleh para ulama, dapat menjadi bahan
kajian yang dinamis. Dalam kehidupan manusia,
tidak ada ide hukum yang bersifat final, maka kesinambungan kajian tentang pemikiran yang berkembang, menjadi suatu keniscayaan dan sebagai bagian
dari sunnatullah
di alam ini. Formulasi pemikiran yang sistematis dan
benar tentunya sangat membutuhkan akan artikulasi dan kontribusi yang dialogis.
Dengan demikian prospek dan perspektif hukum Islam yang akomodatif-transformatif akan bisa terwujud secara sistematis, jelas dan komprehensif. [6]
Indonesia sebagai negara hukum, memiliki hukum nasional
sendiri yang dimaksudkan
sebagai pedoman untuk melaksanakan pemerintahan. Dalam membentuk hukum nasional, bangsa Indonesia mengambil
dari tiga sistem hukum,yaitu Hukum Islam dan hukum eks-Barat dan Hukum adat. Masyarakat Indonesia yang
mayoritas Islam, tentu saja
ada keharusan melaksanakan
Hukum Islam, lebih-lebih lagi dengan
adanya falsafah Pancasila, dapat pula mengakomodir
seluruh kepentingan komponen bangsa,
di antaranya kepentingan umat Islam.[7]
Suatu
masalah yang sangat menarik dan menjadi
pemikiran penulis saat ini ialah fenomena hukuman fisik terhadap anak yang
tidak salat atau tidak disiplin di madrasah, yang dituduh atau dikategorikan sebagai tindak “kekerasan.”misalnya memukul
dengan rotan terhadap anak yang tidak salat. Hukuman fisik seperti ini,
mendapat sorotan di seluruh dunia. Ada indikasi yang menunujukkan penentangan
terhadap sebahagian ketentuan Hukum Islam, yang dituduh memiliki hukuman kekerasan
terhadap anak-anak, khususnya hukuman ta’zir,[8] yang masih terus berlangsung di madrasah dan pesantren,
bahkan dalam rumah tangga, yang tujuannya untuk mencegah kenakalan anak-anak. Lebih-lebih lagi Al-Quran secara filosofis,[9]
menyatakan bahwa di antara anak dan isteri, yang tidak terdidik, ada kemungkinan menjadi musuh bagi kepala keluarga karena itu harus hati-hati terhadap mereka. Masalah memukul anak secara ringan, selama
ini, setiap orang tua dan guru merasa berhak melakukannya, karena niatnya untuk mendidik. Tapi
kini, tindakan ini, sudah dikategorikan sebagai tindak kriminal.
Bagi orang tua dan guru hal ini menjadi sangat dilematis. Mereka mencari jawaban, apakah tindakan memukul anak, benar-benar bertentangan dengan ketentuan hukum nasional dan
hukum Islam.
Jika anak tidak
didisiplinkan, dikhawatirkan mereka akan melanggar hukum dan akan durhaka
kepada guru dan orang tuanya. Tidak sedikit pula anak-anak yang berani terang-terangan melawan orang tuanya, yang berusaha mendisiplinkan dirinya. Kalau dibiarkan terus menerus, ia
akan menjadi musuh bagi orang tuanya. Firman Allah sudah mengingatkan sejak 15 abad yang lalu, melalui al-Quran sebagai
berikut:
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara
isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak
memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.[10]
Menurut Quraish Shihab, ayat ini memberikan
peringatan kepada Umat Islam, agar hati-hati dalam mendisiplinkan anak, antara
lain jika menggunakan hukuman fisik, misalnya memukul anak, merotan, menjewer, demi menegakkan disiplin,
karena tindakan seperti itu, untuk saat ini sudah dianggap
melanggar hak asasi anak.
Terjadilah prokontra tentang
penggunaan kekerasan berupa hukuman fisik.[11]Bagi
anak yang nakal, hukuman itu bisa saja tidak
berguna. Menggunakan hukuman omelan
berlebihan akan melukai harga diri anak, membuat jurang antara anak dan
orang tua. Akhirnya seperti kata pepatah, bagaikan memakan buah semalakama.[12]
Penjelasan yang
gamblang tentang hukuman yang diberikan,
menurut para ahli, sebaiknya orang tua atau guru memberikan penjelasan mengapa
mereka dihukum dan dilarang melakukan sesuatu, sehingga hasilnya akan lebih
baik, selain mendidik anak untuk mengatasi masalah.[13]Ironisnya,
beberapa tindak kekerasan, disangkal oleh
pihak sekolah yang menyatakan tindakan itu, bukan bermaksud
melakukan penganiayaan.[14] Hal
ini kemudian dipengaruhi oleh penggunaan
hukuman fisik dalam pemembinaan disiplin.
Berbeda dengan pendidikan kemiliteran. Jika cara-cara
pendidikan kemiliteran diadopsi oleh dunia pendidikan sipil, maka cara
kekerasan merfeka juga ikut diambil alih. Berbagai tindakan
kekerasan oleh guru seakan menjadi cara-cara biasa dalam membina kedisiplinan
anak didik, khususnya di bidang pelajaran yang melatih fisik, bagian dari olahraga. Tidak semua guru olahraga selalu memberikan hukuman fisik, tetapi sejarahnya sering kali
mengidentikkan guru olahraga dengan guru yang suka menghukum push up atau lari keliling
lapangan dan pernah menampar, memukul murid
yang dianggap bandel.[15]
Ada
pandangan tentang kekerasan ini, masih dianggap sebagai sebuah kewajaran
ketika siswa melakukan kesalahan. Lain halnya
dalam pandangan
yang dikemukakan konvensi PBB, tentang
kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswanya, akan terekam dalam alam bawah
sadarnya yang sesekali bisa muncul dengan tindakan destruktif yang jauh lebih hebat dari yang dialaminya di sekolah. Membaca berita tentang tindakan guru orang
tua merasa khawatir, karena tindakan
menampar siswa memberikan dampak psikologis yang tidak baik,[16] berujung pada traumatik.
Permasalahan
pokok yang paling urgen dibahas dalam
disertasi ini, ialah masalah konsep kekerasan dalam Hukum
Perlindungan Anak di dalam undang-undang perlindungan anak dan Hukum Islam. Untuk
melihat essensi hukuman fisik, bagi anak-anak Indonesia, tidak hanya memakai
aturan hukum dari undang-undang, bahkan
diadakan perbandingan.adalah paradigma literalistik dengan
arti begitu dominannya pembahasan tentang teks (dalam hal ini teks berbahasa
Arab) baik dari segi grammar maupun sintaksisnya dan cenderung mengabaikan
pembahasan tentang maksud dasardari wahyu yang ada dibalik teks literal
tersebut.
Paradigma
lama hukuman fisik terhadap anak yang
menggunakan kaedah ushul fiqih,dengan merujuk kepada pemikiran para ulama ushul al-fiqhi yang dituangkan dalam magnum opusnya The Structure of Scientific Revolutions,[17]namun
dalam konsepsi yang berbeda. Hal ini disebabkan karena
terjadinya perubahan zaman (paradigma
shift) yang dipengaruhi pula oleh
ilmu-ilmu di luar hukum, ditambah pula oleh ilmu ushul fikih masuk dalam
kategori ilmu-ilmu sosial humanities. Ada paradigma
dipadukan dengan kerangka berfikir epistemologi
Islami[18]
maka bisa dikatakan bahwa paradigma hukum Islam klasik[19]
Secara sederhana paradigma yang dianut bertumpu pada teks baik secara langsung
maupun tidak langsung (paradigma bayani).[20]Sepanjang
pemantauan yang penulis lakukan di berbagai perpustakaan dan internet, belum
ditemukan judul disertasi yang benar-benar sama dengan judul yang penulis
ajukan, adalah:“Analisis Tentang Konsep Kekerasan Pada Hukuman
Fisik Terhadap Anak ”(Perbandingan Antara Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Dan Hukum Islam)
Di dalam
sejarah nabi-nabi, yang terdapat di dalam Taurat dan
Injil, mereka memperkenalkan hukuman fisik,
berupa pukulan dengan rotan,[21] bagi
anak-anak.Beberapa negara di dunia, mengutip dari
kitab Taurat dan Injil, tantang prinsip hukuman fisik sebagai berikut:Hukuman
bagi prilaku anak yang salah dan bukan menghukum orangnya. Sewaktu menghukum
anak, tidak melihat pribadinya, supaya tidak merusak hubungan dengan mereka. Apabila mereka gagal dalam
belajar, harus dibantu, bukan menganggap
mereka anak yang bodoh. Allah menciptakan satu bagian tubuh yang banyak
dagingnya yang terhindar dari luka-luka karena pukulan yaitu pantatdan betis“.Padanya
terdapat hikmat, tetapi pentung tersedia bagi punggung orang yang tidak berakal
budi”.[22]
Kasus
kekerasan pada anak adalah kasus
yang sangat pelik, kasusnya yang beragam, interprestasi mengenai
kekerasan pun masih penuh dengan perdebatan. Sebagian orang menganggap bahwa
kasus kekerasan digunakan sebagai hak otonominya,[23] dan
bersifat pribadi, dan orang lain tidak boleh mengetahuinya karena termasuk aib
yang harus ditutupi. Dengan alasan ini, sehingga banyak kasus-kasus kekerasan
tidak bisa diungkap.[24]
Menurut Seto
Mulyadi: Kekerasan[25] pada
anak juga dipengaruhi oleh tayangan televisi, namun semua itu harus disikapi
bijaksana oleh para orangtua, seperti mengingatkan agar anak tidak banyak
menonton sinetron televisi yang menayangkan kekerasan,
berupa disiksa diperlakukan secara fisik, bahkan seksual dan juga terlibat atau ambil bagian dalam tawuran. Melihat perkelahian antar pelajar mendatangkan berbagai pengaruh
negatif.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar
belakang penelitian ini, penulis merumuskan masalahnya, sebagai berikut:
1. Bagaimana
konsep kekerasan pada hukuman fisik terhadap anak menurut Hukum
Islam?
2. Bagaimana konsep kekerasan kekerasan di dalam hukum perlidungan anak(UU No.23 Tahun 2003)
tentang hukuman fisik bagi anak-anak?
3. Bagaimana
perbandingan konsep penghukuman terhadap anak menurut fiqih, apakah sejalan dengan konsep anti kekerasan fisik terhadap anak-anak dalam Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun
2002.
Penulis membatasi
penelitian terhadap
anak di dunia pendidikan,[26]sehingga
penulis mudah membuat spesifikasi masalahnya,
dalam ruang lingkup konsep dan paradigma pelarangan hukuman fisik menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan anak yang berlaku di Indonesia. Hal yang harus
ditemukan adalah konsep kekerasan yang dikategorikan
sebagai pelanggaran
hak asasi. Kemudian berusaha memberikan
solusi masalah
hukuman fisik, agar tidak lagi menjadi sesuatu
yang dilematis.[27]
Penulis juga ingin menggali nilai-nilai sosiologis dan psikologis dan maqashid al-syari’ untuk mrmpertajam tulisan ini..
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana lazimnya
suatu penelitian agar terarah dan mudah dipahami tentu mempunyai tujuan, maka
tujuan penelitian ini ialah:
1.
Menemukan pengetahuan tentang konsep kekerasan menurut Hukum Islam
2. Menggali dan mengembangkan pengetahuan tentang konsep dan filosofi yang terkandung dalam Hukum Perlindungan Anak (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
3. Menguji kebenaran konsep penghukuman terhadap anak menurut fiqih dan kemungkinan sejalan dengan konsep anti kekerasan dalam Hukum Perlindungan Anak (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).
2. Menggali dan mengembangkan pengetahuan tentang konsep dan filosofi yang terkandung dalam Hukum Perlindungan Anak (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
3. Menguji kebenaran konsep penghukuman terhadap anak menurut fiqih dan kemungkinan sejalan dengan konsep anti kekerasan dalam Hukum Perlindungan Anak (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).
Kebtuhan
terhadap penelitian ini dirasakan sangat mendesak dan sangat diperlukan, karena
sampai hari ini, kekerasan terus saja berlangsung dan jatuh korban di pihak
orang tua, guru dan anak-anak.
Diharapkan mungkin
akan ditemukan solusi,[28]dari malapeka yang ditimbulkannya, baik di lingkungan madrasah dan pesntren, maupun di sekolah umum. Akibat langsung
yang dirasakan oleh para ustadz ialah mereka dilaporkan kepada polisi dan dimasukkan ke penjara, sesuai dengan UU No.23 Tahun 2002, ditambah dengan aturan yang lain.[29] Tidak dapat dihindari penting bagi pelajar Islam selain dari apa yang
bisa disebut “hukum Islam”.[30] Hal ini karena hukum Islam
merupakan salah satu ruang ekspresi pengalaman agama yang amat penting dalam
kehidupan orang Muslim. Suatu norma hukum tidak bisa lepas dari
konteks dan pengetahuan masyarakat
setempat (local knowledge).[31] Di
Indonesia, pernyataan ini telah dibuktikan oleh sejarah dimana hukum Islam
telah sejak lama menjadi salah satu sistem yang mengatur kehidupan masyarakat
Muslim.[32]
Penelitian ini, berkaitan dengan usaha penerapan
hukum Islam,[33] berkaitan erat dengan karakter hukum Islam sendiri yang diyakini sebagai hukum
yang memiliki watak ketuhanan (divinely ordained law).Mengaktualisasikan
hukum Islam,
sehingga dapat memudahkannya menjadi hukum nasional.Hukum,[34]
aturan-aturan normatif yang mengatur pola prilaku manusia. Hukum yang tidak muncul di ruang
vakum, melainkan tumbuh dari kesadaran masyarakat yang membutuhkan adanya suatu
aturan bersama. Oleh karena itu, hukum
berkembang dan dapat mengadopsi nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat, termasuk nilai adat, tradisi, dan agama.
Syari’ah diartikan dengan “totalitas
perintah-perintah Allah”.[35] Dalam
pengertian ini, syari’ah dapat diidentikkan dengan agama itu
sendiri yang semua ajaran, baik teologi, etika, maupun hukum tercover di dalamnya. Sedangkan secara sempit diartikan sebagai “aturan-aturan
(di luar teologi dan etika) yang ditetapkan oleh Allah untuk dipedomani manusia
dalam berhubungan dengan-Nya dan semua makhluk lainnya.” [36] Di
sisi lain, fiqh pada mulanya berarti “pemahaman dalam pengertiannya yang luas.”
Kemudian fiqih, dibatasi hanya pada pemahaman yang berkaitan
dengan hukum,[37] karenanya, fikih diartikan sebagai “himpunan hukum-hukum
yang bersifat praktis yang dipahami dari dalil-dalil spesifik.[38]Berdasarkan pengertian ini, dapat dipahami bahwa syari’ah adalah aturan Allah yang bersifat
absolut, kekal-abadi, suci dan sakral, karena
wahyu Allah.
Hukum Islam mencakup semua sistem
tatanan yang mengatur kehidupan, individu maupun kelompok, dahulu maupun
sekarang, atau mungkin yang akan datang, maka ia tidak diragukan lagi adalah fiqh. Semua
karakteristik fiqh cocok dengan kenyataan sebagai “hukum Islam”. Berbagai kajian
menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh), dalam rentangsejarahnya, menghargai faktor sosial
maupun kultural yang melingkupinya.[39]
Tantangan bagi umat Islam, bahwa tentang eksistensi Hukum Islam di Indonesia, tertera pada salah satu rumusan arah kebijakan pembangunan hukum di dalam GBHN 1999, antara lain bahwa menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial yang diskriminatif, termasuk ketidak adilan gender dan tidak sesuai dengan tuntutan reformasi, melalui program legislasi(Bab IVA. 2).Dari arah kebijakan tersebut dapat dicatat beberapa hal:
- Sumber hukum nasional tidak tunggal. Menurut Qadry Azizy, sumber hukum nasional ada tiga: Agama, Hukum Adat dan eks Hukum Barat.[40]
- Masih ada, bahkan banyak hukum nasional yang merupakan warisan kolonial, sehingga tidak relevan lagi dengan era reformasi sekarang ini. Diantara warisan kolonial tersebut adalah KUH Piana dan KUH Perdata.
- Pembaharuan hukum dilakukan melalui legislasi, yaitu suatu proses untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan yang ditempuh secara prosedural dan demokratis.
Peluang suatu ajaran agama untuk
menjadi sumber hukum nasional tergantung pada dua hal. Pertama,
secara internal, sejauh mana suatu
agama memiliki ajaran yang bisa diadopsi untuk menjadi
hukum nasional. Jika sebuah agama memang tidak memiliki sistem hukum yang dapat
diadopsi, ia maksimal hanya akan menjadi kekuatan moral, tidak dapat
menyumbangkan formula hukum untuk diadopsi menjadi hukum nasional. Kedua , sejauh mana agama itu dianut oleh
masyarakat. Jika ia dianut oleh mayoritas masyarakat, secara politis, ia akan
menjadi kekuatan perekat.[41]
Dalam Al-Qur’an, menurut al-Suyuti terdapat tidak kurang dari 500 ayat
yang mengandung perintah hukum.[42]Materi hukum Islam di
Indonesia dapat dikatakan belum mendapat tempat yang signifikan dalam tata
hukum nasional. Hal ini dikarenakan beberapa hal. Faktor pertama,
Indonesia dijajah oleh bangsa Asing selama berabad-abad. Implikasinya sangat
telak bagi perjalanan bangsa selanjutnya, termasuk perjalan hukumnya.
Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia,
hukum Islam hampir tidak diberi kesempatan untuk hidup. Teori resepsi yang menyatakan bahwa hukum Islam baru berlaku apabila diterima dan
telah menjadi hukum adat, pengaruhnya sangat besar terhadap pemerintah kolonial
Belanda dan sarjana hukum Islam Indonesia yang belajar ke sana.[43] Pengaruh dari kebijakan pada masa kolonial masih berlangsung sampai
sekarang. Terbukti hanya sebagian hukum keluarga saja yang diangkat menjadi
hukum positif, sedangkan dalam hal hukum publik masih lebih banyak berkiblat ke
Barat. Faktor kedua,
adanya sikap Islamophobia, yaitu kekhawatiran yang berlebihan terhadap Islam.
Hukum Islam terutama pidananya (jinayah) dianggap kejam, tidak sesuai dengan konsep HAM.[44] Ketiga, banyak ahli hukum Islam yang tidak memahami dengan baik hukum Barat,
sebaliknya banyak pula ahli hukum Barat yang tidak memahami hukum Islam secara
proporsional. Keadaan ini dapat menghambat komunikasi antara keduanya.
Ada dua sistem hukum yang
seolah-olah berbeda sama sekali, yaitu
hukum Islam dan hukum umum. Padahal seharusnya tidak demikian. Hukum
Barat maupun hukum Islam sama-sama hukum. Lebih-lebih lagi hukum Islam juga diakui sebagai
salah satu sistem hukum di dunia di samping Roman Law dan Anglo Saxon.[45] Ada ketentuan yang
menyatakan bahwa agama yang ajaran hukumnya dapat dijadikan hukum[46]nasional, jika dianut oleh mayoritas masyarakat. Berarti secara formal telah dipenuhi oleh Islam. Pernyatan demikian ini, selain penting secara
politis sebagai daya perekat, juga secara sosiologis, agama dapat dipandang
sebagai hukum yang hidup (living law). [47]
Konsepsi mengenai hukum yang hidup (living law) kali pertama dikemukakan
oleh mazhab Sociological Jurisprudence,[48] yang
dimotori oleh Roscoe Pound dan Eigen Ehrlich. Menurut mazhab ini,[49] secara
umum, hukum dapat dilihat baik sebagai law in books maupun sebagai law
in action. Law in books (hukum tertulis) merupakan suatu
fenomena normatif otonom yang berupa kumpulan norma-norma yang mengatur
hubungan-hubungan dalam masyarakat, dan law in actionatau living
law diartikan sebagai suatu gejala sosiologis yang berupa interaksi antara
norma-norma otonom tersebut dengan faktor-faktor sosial dalam masyarakat.
Dengan kata lain, law in actionadalah hukum yang berlaku
dalam masyarakat yang sifatnya konkrit dijelmakan dalam tingkah laku para
anggotanya.[50]
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoretis
Hasil penelitian yang diperoleh, dapat bermanfaat
secara teoretis maupun praktis di lapangan:
1.1. Menambah lieratur di bidang hukum yang berkaitan
dengan konsep kekerasan terhadap anak, agar adanya verifikasi terhadap tindakan
orang tua atau guru yang memberikan hukuman fisik untuk mendisiplinkan anak
didiknya.
1.2. Dapat dijadikan bahan perbandingan bagi peneliti
lain, sehingga menambah wawasan tentang aturan yang berkaitan dengan kekerasan
yang dapat dikatakan melanggar HAM .
1.3. Menjadi
bahan analisis terhadap berbagai konsep
hukuman terhadap anak menurut fiqih dan semangat anti kekerasan yang ada di
dalamnya.
2. Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan membawa manfaat sebagai
berikut:
- Bagi aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa, hakim dan pengacara, sebagai bahan masukan yang berharga. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bagian dari bahan pertimbnangan dalam pengambilan keputusan.
- Bagi peneliti lainnya, dijadikan bahan penelitian lebih lanjut dan diharapkan menjadi bahan rujukan dalam memecahkan masalah sanksi hukuman fisik terhadap anak di semua lembaga pendidikan.
- Bagi UIN Suska sebagai almamater, penelitian ini diharapkan menambah referensi dan dipergunakan bagi yang membutuhkan informasi yang memberi arahan dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan tata tertib atau sanksi disiplin terhadap anak.
E.Tinjauan Pustaka
Ada peneliti-peneliti
lain yang karyanya penting dan langsung terkait dalam permasalahan yang penulis hadapi yang
mungkin dapat dijadikan nara sumber untuk ditelusuri
karya –karya merekat:
1. Review
Literatur.
Penulis memilih dan meninjau(review)
beberapa hasil penelitian terdahulu.[51]Nisa Islami, disertasinya, 2006, judul: Hukuman Dalam Pendidikan Islam,[52]menyatakan
hukuman itu penting, tapi harus diawasi, terutama yang berkaitan dengan (collateral). ini penulis temukan dalam tinjauan
pustaka[53],bahwa yang menjadi problem ialah hukuman fisik yang berlebihan
Dikisahkan pada saat Nabi Muhammad
SAW., shalat
dan sedang sujud datanglah cucunya
Hasan dan Husein naik ke atas punggung
beliau laksana mengendarai tunggangan. Nabi
memperlama sujudnya. Bagi
sebagian besar masyarakat Indonesia, anak bukan hanya sekadar pelengkap
kebahagiaan, tetapi hal itu memaknai banyak simbol yang terkadang tidak
terkatakan.
.[54]Dalam hal ini sang korban tidak mampu membela
atau mempertahankan dirinya sendiri karena lemah secara fisik atau mental.[55]
Hal yang penting disini bukan sekedar
tindakan yang dilakukan, tetapi apa dampak tindakan tersebut terhadap
korbannya. Misalnya, seorang siswa mendorong bahu temannya dengan kasar; bila
yang didorong merasa terintimidasi, apalagi bila tindakan tersebut dilakukan
berulang-ulang, maka perilaku bullying telah terjadi. Bila siswa yang didorong tak merasa takut atau
terintimidasi, maka tindakan tersebut belum dapat dikatakan bullying.
2.Penelitian terdahulu.
Berdasarkan
penelusuran sampai saat ini, penulis menemukan disertasi yang menulis tentang
hukum yang terkait dengan anak-anak:
2.1. Maimunah Nuh, tahun 2000,dengan disertasi yang berjudul, pendapat ulama
tentang perkewinan anak di bawah umur, dalam kajian UU No.1 tahun 1974.(Studi
Di Ponpes Salafiyah Bangil, Pasuruan. Ringkasan masalahnya, batas usia
anak-anak menurut perspektif ulama, terdapat perbedaan yang dapat
dikompromikan. Perbedaanya dengan penelitian penulis adalah tidak adanya
perbandingan antara hukum Islam dengan UU Nomor 23 Tahun 2002.
2.2.Teguh Budi Setia, tahun 2004, disertasi yang
berjudul, pernikahan dini.(Studi tentang pernikahan usia dini, dalam pendekatan
sejarah Hukum Islam). Ringkasan masalah, menurut telaah aspek historis
ditemukan batas usia yang berbeda pada setiap priode pemerintahan Islam masa
lalu. Perbedaanya dengan penelitian penulis, penelitian ini, tidak menyentu
tentang batas usia anak yang berkaitan dengan kebolehan menerima hukuman.[56]
2.3.Anisah, tahun 2007, judul disertasi, Pertimbangan hakim
dalam mengabulkan permohonan
dispensasi bagi anak-anak di bawah umur. Ringkasan masalahnya,
dikabulaknnya permohonan dispensasi terhadap anak-anak di bawah umur, dengan
alasan bahwa hukum Islam mentolerir hal itu.
2.4.M.Fazen Anshori, 2008, Anak di bawah umur
dalam perkara dispensasi pernikahan di
Peradilan Agama Kabupaten Malang. Perbedaannya dengan penelitian penulis ialah
dari segi pandangan arti kekerasan. M.Fazen memandangnya dari segi pemaksaan
keluarga terhadap anak untuk menikah, padahal umurnya belum sampai 16 tahun.
Sedangkan penulis membahas tentang kekerasan dari segi konsepnya saja, misalnya
hukuman ta’zir apakah termasuk kekerasan juga.
Dari
beberapa penelitian tersebut, nampaknya belum ada penelitian yang secara
spesifik membahas tentang hukuman fisik terhadap anak-anak, khususnya dalam
konteks perbandingan antara Hukum Islam dan Undang-Undang RI No.23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak. Pada umumnya penelitian
terdahulu, tidak berkaitan dengan
hukuman fisik. Namun penulis tetap melacak penelitian lain, yang mungkin tidak
persis sama dengan apa yang penulis cari.
- Pendidik memberikan hukuman, tidak terburu-buru.[57]
- Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah.
- Menghindari anggota badan yang peka dan sensitif, misalnya kepala, muka, dada dan perut.
Kekerasan yang disebut bullyng,
yang bisa dilakukan oleh guru, orang tua, dan teman dari anak-anak itu sendiri.
Tapi penelitinya tidak ada sama sekali mengaitkan dengan hukum Islam, seperti
yang penulisnya lakukan.[58]Istilah yang diterima secara luas adalah yang dibuat Olweus, yang menyatakan
bahwa siswa yang melakukan
kekerasan fisik, atau bullying adalah ketika siswa secara berulang-ulang dan setiap saat berperilaku
negatif terhadap seorang atau lebih. Tindakan negatif disini adalah ketika
seseorang secara sengaja melukai atau mencoba melukai, atau membuat seseorang
tidak nyaman. Intinya secara tidak langsung tersirat dalam definisi perilaku
agresif. Berdasarkan beberapa pengertian bullying di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku pemukulan atau bullying adalah suatu tindakan negatif yang dilakukan secara berulang-ulang
dimana tindakan tersebut sengaja dilakukan dengan tujuan untuk melukai dan
membuat seseorang merasa tidak nyaman.
3. Hukuman fisik dalam konteks Indonesia.
Di Indonesia sering
terjadi kekerasan bullying pada pendidikan formal, berupa penggunaan kekuasaan atau kekuatan
untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, dan
tidak berdaya.[59]Sedangkan hazing adalah
perilaku yang sama namun dilakukan oleh anggota yang lebih senior kepada
yuniornya. Penelitian oleh Djuwita juga menjelaskan kasus lain dari bullying yang berkenaan dengan kegiatan orientasi sekolah untuk siswa baru. Siswa
senior sering “membenarkan diri” memerintah adik-adik kelasnya yang baru
masuk.
Didapatkan informasi, “dipukuli dan
dibentak adalah makanan kami sehari-hari sejak umur lima tahun, bahkan sampai
remaja lima belas tahun." Begitu kata mereka. Matanya yang marah seketika
berubah menjadi berair mata saat dia mencoba menceritakan satu per satu kisah
hidupnya. Problem yang terungkap dari kisah itu ialah mengenai kekerasan
terhadap anak dan remaja yang masih terekam sempurna dalam memori seseorang
yang telah dewasa.
E. Metode Penelitian
1.Obyek
Penelitian
Obyek penelitian
ini adalah hukuman fisik
terhadap anak-anak, khususnya yang memberikan isyarat kepada
pelarangan “memukul” dan tindak kiekerasan lannya. Sebaliknya digali pula aturan yang melegalkan hukuman fisik, sebagai
objek kajian yang mempunyai banyak konsep atau definisi, karena
tidak ada konsep tunggal tentang hukum.Hukum merupakan realita sosial-budaya,
yang konstruksi konsepsionalnya akan tersusun berbeda-beda dari perspektif yang
satu ke perspektif yang lain. Seseorang yang meninjau hukum dari perspektif
filsafat atau moral, akan melihat hukum dalam manifestasinya yang lain daripada
kalau melihatnya dari perspektif politik
atau sosial. Adanya pluralitas konsep tentang hukum ini dapatlah dimengerti,
mengingat kenyataannya bahwa hukum itu sendiri sesungguhnya merupakan suatu
konsep yang sangat abstrak, sementara itu dalam realitanya, apa yang disebut
hukum itu amat beragam.
Menurut Wignojosoebroto, jika sesorang salah memilih cara penelitian atau pencariannya,
suatu kesalahan yang akan menyebabkan
kebenaran-kebenaran yang telah diperoleh melalui penelitian itu tidak laku lagi
(tidak sahih) untuk menjawab masalah yang diajukan. Peringatan tentang hal ini,
khususnya dalam penelitian sosial dan lebih khusus lagi dalam
penelitian-penelitian hukum, mengingat kenyataan bahwa dalam ilmu dan kajian
kedua bidang ini orang lebih banyak membicarakan objek-objek yang tidak berujud
materi yang empiris dan kasad mata, melainkan berupa fenomena-fenomena yang
eksistensinya berada di suatu alam abstrak yang dibangun lewat
konstruksi-konstruksi rasional.
2.Sumber
data
2.1.Data
Penelitian
ini tidak memakai data primer[60], hanya memakai data sekunder, yaitu kitab-kitab fiqih misalnya Fiqh
al-Islam wa adillatuhu, karya Wahbah al-Zuhaili, dan kitab fiqih, Yusuf Qaradhawi, serta khususnya tentang masalah “ta’zir”,dan kitab Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd al-Qurtuby al-Andalusy, juga
buku Undang-Undang RI
No. 23 Tahun 2002. Data primernya juga tafsir ayat-ayat ahkam dan asbabunnuzul-nya, kemudian kitab-kitab
hadits, juga jurnal tentang kriminologi sosiologi hukum dan kitab Udang-Undang Hukum
Pidana.
2.1.Data
Sekunder
Data
sekunder penelitian ini ialah jurnal-jurnal,[61] hasil
penelitian lainnya yang searah dan relevan dengan kajian yang sedang penulis lakukan.Telaah terhadap data awal, dilakukan,
misalnya buku-buku tentang analisis kekerasan terhadap anak-anak.Buku-buku
penunjang lainnya yang penulis pandang dapat memperjelas tentang nilai-nilai
filosofis pelarangan kekerasan pada anak-anak ialah buku patologi
sosial, oleh Kartini Kartono yang memberikan informasi tentang agama dan adat
istiadat yang sebenarnya mempunyai nilai pengontrol dan nilai sansional
terhadap tingkah laku masyarakatnya.Prosedur untuk menemukan kebenaran hukum yang
objektif, yaitu kegiatan terbuka dan
dapat diulangi menemukan kebenaran hukum tersebut. Dalam penemuan kebenaran
mungkin saja sebuah prosedur dirahasiakan, agar yang lain tidak dapat
mendapatkan kebenaran tertentu, namun jika prosedur yang dirahasiakan itu dapat
diterima oleh dunia ilmu (hukum) pada umumnya dan dapat diulangi serta
menghasilkan kebenaran yang sama, sifat objektivitas prosedur keilmuan tetap
terpenuhi.[62]
Di sisi lain, disertasi yang terdapat di perpustkaan, penulis gunakan pula untuk menemukan kerangka yang dapat menjelaskan prosedur penemuannya. Data tertier pada penelitian ini adalah kamus hukum, kamus agama dan
ensiklopedi yang menerangkan tentang pengertian hukuman fisik, serta
hukum-hukum yang terkait, atau istilah-istilah lain yang selama ini kurang
dikenal. Kemudian artikel-artikel yang terpilih dari surat kabar dan majalah
Tempo, Forum Keadilan, Gatra dan Sabili. Di samping media cetak itu, penulis
juga menggunakan media elektronik yaitu radio dan televisi, terutama internet.
3.Fokus
penelitian
Sesuai dengan
disiplin ilmu hukum, fokusnya adalah tentang hukuman fisik pada
pendidikan formal, yang berkaitan dengan dasar-dasar hukum di dalam
Al-Qur’an dan hadits serta pendapat ulama fiqih,[63]untuk
mendapatkan dalil yang tepat yang memberikan informasi
tentang hukuman fisik penulis terlebih dahulu menganalisis
dan membuat perbandingan, serta merancang beberapa hal, antara lain :
1. Pemahaman tujuan ayatnya
yang jelas.
2. Adanya keterkaitan masalah dengan pembahasan
3. Adanya metode pengambilan dalil ayat hukum dan kemudian dilakukan
komparatif
yang tepat.
Karena penelitian ini berupa studi kepustakaan, menelaah teks, dari hukum
yangnormatif, tidak
memakai populasi dan sampel. Yang diandalkan ialah ketersediaannya buku- buku
teks Tafsir ayat-ayat hukum, kitab hadits dan kitab fiqih.
Dalam
paradigma fiqih ini, akal dipandang tidak akan dapat
memberikan pengetahuan kecuali jika disandarkan
pada nash (teks).[64]Kecendrungan
ini berlaku pada tradisi setelah Ibn Rusyd terutama pada prakarsa al-Syatibi.
Berpegang pada maksud teks ini baru digunakan bila teks zahir ternyata tidak
mampu menjawab persoalan-persoalan yang relatif baru.[65]
Paradigma ini
berlangsung selama kurang lebih lima abad (dari abad ke-2 H sampai 7 H) dan
mengalami perbaikan dengan munculnya asy-Syatibi pada abad ke 8 yang menambahkan teori maqashid al-syari‘ah yang mengacu pada maksud Allah sehingga tidak
lagi terpaku pada literalisme teks.[66]
4.Analisis data
Pengumpulan, pengolahan dan
analisis data dalam penelitian ini,[67]
dilakukan terpadu, dari analisis
data diartikan sebagai upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga
karakteristik data, dapat dengan mudah dipahami dan
bermanfaat untuk menjawabmasalahberkaitan dengan kegiatan penelitian ini.Dengan
demikian, teknik analisisdata diartikan sebagai cara melaksanakan analisis, mengolahdata menjadi informasi, sehingga
karakteristik datanya mudah dipahami, untuk menjawab masalahyang berkaitan
dengankegiatan penelitian, baik berkaitan dengan deskripsi maupun untuk membuat induksi, ataumenarik kesimpulan
tentang karakteristik dan parameter berdasarkan data yang
diperoleh dari objek yang
diteliti sebagai berikut: 4.1.Pengumpulan data
1.Kunjungan ke perpustakaan
2.Mengelompokkan buku-buku yang relevan
3.Telaah dokumen
4.2. Keabsahan data
1.Perbandingan antara hukum Islam dan UU RI No.23
tentang
perlindungan anak
2.Melihat kembali hasil penelitian memiliki tema yang
sama
4.3.Analisis data
1.Reduksi data fenomenologis, dengan melakukan
penyederhanaan
terhadap data yang akan digunakan
2.Pemaparan data dengan melakukan penyusunan data
pembuatan
ringkasan di saat pengumpulan data.
3.Penarikan kesimpulan dengan melakukan penafsiran
terhadap
makna dari data yang diperoleh.
[1]Akh. Minhaji, Hukum Islam: Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif
Sejarah Sosial), Istilah hukum Islam terdiri dari dua kata: Hukum dan Islam, dan secara mendasar tidak terlalu salah jika
dikatakan bahwa kedua kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang kemudian
telah meng-Indonesia. Dalam bahasa Latin lainnya, hukum Islam itu dikenal
dengan Islamic law (Inggris), droitmusulman (Prancis), Islam-recht (Belanda), Lihat
Akh. Minhaji, Hukum Islam: Antara Sakralitas dan
Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial),Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran
Hukum Islam Pada Fakultas Shari’ah Tanggal 25 September (Yogyakarta: UIN, 2004) , 30.
[3] Yayan Sopyan, Tarkh Tasyari’,
Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Lihat juga Joseph Scacht, An Introduction to Islamic Law (London: Clarendon Press, 1996), 1. Pernyataan
senada, yang menunjukkan arti penting hukum bagi orang Muslim, juga dilontarkan
oleh Frederick M. Denny, “Islamic Theology in the New World, Some Issues and
Prospects,” dalamJournal of the American
Academy of Religion, Vol.
LXII, No. 4 (1994), 1069; Liebesny, The Law of the Near and Midle East,
Readings, Cases, and Materials (New York: State University of New York Press, 1975),
3; J.N.D. Anderson, Law Reform in the Muslim World (London: The Clarendone Press, 1976), 1; dan
H.R. Gibb, Mohammedanism (Oxford: Oxford University Press, 1967),
7.
[5]Untuk kajian tentang
masyarakat Madani (civil society), baca beberapa tulisan misalnya,
Nurcholis Madjid, “Menuju Masyarakat Madani,” dalam Ulumul Qur’an, No. 2/VII
(1996), 51-55; Muhammad AS Hikam, Demokrasi
dan Civil Society ((Jakarta:
LP3ES, 1999); Dawam Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah
Penjajakan Awal,”; Bahtiar Effendy, “Wawasan al-Qur’an tentang Masyarakat
Madani: Menuju Terbentuknya Negara-Bangsa yang Modern,” dan Muhammad AS Hikam,
“Wacana Intelektual tentang civil Society di Indonesia, “ dalam Jurnal Pemikiran Paramadina, Vol.1, No.2 (1999), 7-87; Ahmad
Syafi’i Ma’arif, Universalisme Nilai-Nilai Politik Islam Menuju Masyaakat
Madani,” dalam Profetika, Vol. 1, No.2 (1999), 165-176;
Ahmad Basho, Civil Society
Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam
Indonesia(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999),
[7]Hairul Sani, Peranan hukum Islam dalam pembinaan hukum
nasional, Undergraduate es Dissertation from LAPTIAIN / 2002-06-21 10:00:00IAIN
Raden Intan Bandar Lampung
2001-05-31, dengan 1 file. Internet. Lihat juga Muhammad Khubairi, Kecerdasan Fuqaha’dan Kecerdikan Khulafa’(terj), (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2007), 91.
2001-05-31, dengan 1 file. Internet. Lihat juga Muhammad Khubairi, Kecerdasan Fuqaha’dan Kecerdikan Khulafa’(terj), (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2007), 91.
[8] Sa’id Abdul ‘Adhim, Ta’zir boleh dilakukan terhadap
anak dan istrinya -dengan syarat mereka tidak melakukannya dengan
berlebih-lebihan. Dibolehkan menambah ta’zir
untuk mencapai maksud (dalam memberi pelajaran) atas suatu kesalahan.
Tetapi jika menambah ta’zir bukan
untuk tujuan mendidik, berarti dia telah melampaui batas dan
menimpakan hukuman yang menyebabkan binasanya seseorang.Lihat Sa’id Abdul
‘Adhim (penerjemah: Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi) Kafarah Penghapus Dosa, penerbit:,( Malang, Cahaya Tauhid Press : 2005),
hlm 73-76.
[9]Najiyah Muhaiminbin Subaidi, Kata filosofis atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani;
Φιλοσοφία philosophia.
Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta.) (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga
arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” .Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga
dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam
bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
[10]Departemen Agama RI,op.cit. QS.
al-Taghabun (64): 14. Yang terkait dengan ayat ini, dikisahkanSurat kabar Sijori, Batam, Selasa, 03 November 2009, yang menggambarkan tentang suatu
yang amat senjang.Seaharusnnya guru tidak boleh menghukum muridnya,m dengan
hukuman fisik. Hal ini jelas merukan suatu contoh dari hal yang bertentangan antara das sein dan das Sollen.Das Sein berarti
"kenyataan", "keadaan factual". Das Sollen berarti
"norma moral" atau "yang seharusnya dilakukan". Pasangan
kata Jerman ini sering dipakai dalam konteks bahwa das Sein bertolak
belakang dengan das Sollen. Sudah jelas apa yang harus dilakukan,
tetapi dalam kenyataan tidak dilakukan juga. Sebuah kesenjangan menganga antara
das Sein dan das Sollen.Kasus hukuman fisik terhadap
anak-anak , yang paling mengejutkan di Riau, yaitu kasus
oknum guru yang memaksa muridnya, minum
air liur. Air liur yang sengaja dikumpulkan gurunya di dalam gelas bekas air mineralitu, berasal dari air
liur teman sekelasnya dan air liur ibu guru. Akibat pemberian hukuman itu, oknum guru dipindahkan ke sekolah lain yang lebih jauh letaknya sebagai
hukumanpula baginya.[10]Kemudian
ada pula kasus pemukulan murid. Jika murid nakal, tidak dipukul, tingkahnya
semakin nakal. Jika dipukul, gurunya
bisa masuk penjara, karena melanggar UU Perlindungan Anak (UU.RINo.23 Tahun
2002).Inilah kasus yang sangat dilematis. Ada kesenjangan antara kepentingan
peserta didik dengankepentingan pendidik. Seharusnya tidak ada lagi kekerasan
di sekolah.Timbul masalah, hukuman ta’zir, yang
dijalankan kepada peserta didik sebagai kewajiban guru mempertahankan disiplin, bertentangan
dengan hakikatpendidikan dan hak azasi anak, tentulah
tidak sesuai dengan harapan...
[11]Pemerintah
RI, Undang-undang perlindungan anak
nomor 23 tahun 2002 ini,
tindakan yang bisa melukai secara fisik maupun psikis yang
berakibat lama, di mana
akan menyebabkan trauma pada anak atau kecacatan fisik akibat dari perlakuan itu.
Dengan mengacu pada defenisi, segala tindakan apapun yang seakan-akan harus
dibatasi, dan anak-anak harus dibiarkan berkembang sesuai dengan hak-hak yang
dimilikinya (Hak Asasi Anak), hak anak untuk menentukan nasib sendiri tanpa
intervensi dari orang lain. Lihat pasal 64 ayat (2), (Jakarta,Sinar Grafika :2008), 23
[12] Arini el-Ghaniy, Saat Anak Harus Dihukum, , (Jogjakarta,
Power Books Ihdina : 2009), 40, menyatakan , istilah bagai makan buah simalakama: gambaran suatu keadaan yang serba salah.
Biasanya digunakan untuk orang yang sedang menghadapi dua pilihan, dan
kedua-duanya akan menyebabkan orang tersebut mengalami hal yang buruk. Pengambil keputusan akan berada diantara dua
sisi mata uang yang sangat mustahil untuk di pilih tetapi ketika kita
menyadarinya bahwa keduanya perlahan - lahan membunuh kita secara
menyakitkan.Buah Simalakama ikhtisar dari kejadian Baginda Nabi Adam beserta
istri beliau Siti Hawa tatkala beliau memakan buah kuldi terlena dengan kalam -
kalam syaitanbuah ini terlalu indah untuk dilihat, terlalu nikmat untuk
dimakan, terlalu sempurna untuk dimiliki, ketika manusia telah menguasai buah
tersebut sesungguhnya secara perlahan-lahan buah ini telah menyiksanya hingga
tanpa sadar akan terasa menyedihkan di akhirnya.Lihat Arini el-Ghaniy, Saat Anak Harus Dihukum, , (Jogjakarta, Power Books Ihdina : 2009),
40
[15]Hakekat
pelanggaran hukum oleh siswa di sekolah, terbentuknya pertahanan diri apabila
diserang, dimana pertahanan itu berupa ,balas membentak apabila dimarahi,
melawan dengan fisik kalau disakiti, lari bila dia merasa tidak mempunyai
kemampuan membalas, atau melaporkan kepada orangtuanya di rumah atas peristiwa
yang dialaminya. Cara pendidikan dengan kekerasan, ibaratnya digambarkan
sebagai sebuah pilihan bagi seorang guru pendidik yang melihat kesalahan
seorang siswa, apakah dia akan menyalahkannya, menggunakan kekerasan untuk
memaksa siswa memperbaiki kesalahan itu atau sekedar menasehati siswa tanpa
kekerasan. Bandingkan dengan Anri Priyana, op.cit., 84.
[17] Thomas
Kuhn, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Dalam
menjelaskan idenya tentang revolusi ilmu pengetahuan (scientific revolution), Kuhn menggunakan beberapa istilah kunci
yang tidak pernah ia defenisikan secara ketat dalam karyanya tersebut. Beberapa
istilah kunci yang digunakan ialah, pertama scientific
revolution (revolusi Ilmiah) yaitu
perkembangan sains secara radikal dimana normal science (nature science)
yang lama digantikan oleh normal sains yang baru. Pergantian ini terjadi karena
paradigma lama yang menyangga old
normalscience sudah tidak mampu menjawab problem-problem ilmiah yang baru.
Pergantian semacam ini oleh Kuhn disebut dengan paradigm shif (pergeseran paradigm) yaitu pergantian secara radikal
paradigma lama dengan paradigma baru karena paradigma lama sudah tidak mampu
menjawab problem-problem ilmiah yang muncul kemudian. Kedua paradigm yaitu teori-teori, metode-metode, fakta-fakta,
eskperimen-eksperimen yang telah disepakati bersama dan menjadi pegangan bagi
aktifitas ilmiah para ilmuwan. Ketiga,
normal science yaitu ilmu yang telah mencapai consensus akan dasar-dasar
ilmu ini.Konsensus itu berupa kesepakatan yang akan dipakainya satu paradigma
sebagai penyangga ilmu yang bersangkutan, keempat,
anomaly yaitu problem-problem Ilmiah yang tidak bias dijawab oleh paradigma
lama. Problem-problem tersebut setelah menumpuk menimbulkan sebuah krisis, dan kelima, crisis yaitu suatu fase dimana
paradigma lama telah dianggap using
karena begitu banyaknya anomali-anomali yang muncul, sedangkan paradigma baru
belum terbentuk. Thomas Kuhn, The
Structure of Science Revolutions (London: The University of Chicago
Press.Ltd, 1970), 11-18 buku ini sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
Lihat Thomas Kuhn, Peran Paradigma Dalam
Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002),223.
[18]Muhyar
Fanani, membagi epistemologi Islam pada tiga ranah pemikiran yaitu bayani, irfani, dan burhani.
Epistemologi bayani adalah
epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu adalah teks (nas) atau penalaran dari teks.
Epistemologi irfani adalah
epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah ilham.
Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan yakni
metode kasf, sebuah metode yang unique karena selamanya tidak bisa
dirasionalkan, diverifikasi atau diperdebatkan. Epistemologi burhani adalah epistemologi yang
berpandangan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Biasanya epistemologi ini
disebut epistemologi falsafah karena merujuk pada tradisi intelektual Yunani.
Muhyar Fanani, “Menelusuri Epistemologi Ilmu Ushul Fiqh”, dalam Jurnal Mukaddimah, No. 9 Th.VI/2000, 27-28.
[19] Muhyar
Fanani, Istilah klasik sendiri dibatasi setelah tahun
300-an Hijrah. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan yaitu, pertama, pada
masa Nabi dan sahabat, hukum Islam cenderung empiris dan tidak literalis,
bahkan Joseph Schacht mengungkapkan bahwa hukum Islam pada masa awal tidak
menggunakan al-Qur'an sebagai sumber pengetahuan. Sekalipun ushul fikih baru
muncul pada awal abad III H, namun
sebagai teori istinbat sudah muncul
sejak era kenabian karena banyak sekali peristiwa pada masa kenabian yang
menunjukkan adanya aktifitas ijtihad baik oleh Nabi sendiri maupun sahabatnya.
Jika kemudian ijtihad Nabi salah, maka akan mendapat teguran dari Allah-melalui
wahyu. Rasulullah juga mengizinkan para sahabatnya untuk berijtihad bila solusi
hukum belum ditetapkan dalam al-Qur'an dan Sunnah. Eksplorasi ini
memperlihatkan, betapa hukum Islam pada masa awal begitu dinamis dan tidak
terpaku pada teks. Kedua, pada era 300-an Hijriah, telah terjadi pergolakan
politik yang merembet ke dalam wilayah hukum dan teologi.Lihat Muhyar Fanani,
“Menelusuri Epistemologi Ilmu Ushul Fiqh”, dalam Jurnal Mukaddimah, No. 9 Th.VI/2000), 235.
[20]A.Djazuli,
dalam ilmu
ushul fikih yang dimaksud dengan nas adalah al-Qur’an, Hadis dan Ijma’.
Sedangkan dalam bahasa Arab yang dimaksud dengan nas adalah perkataan orang
Arab. Kedua, epistemologi ini selalu menaruh perhatian secermat-cermatnya pada
proses transmisi naql (teks) dari
generasi ke generasi. Menurut epistemologi ini, apabila proses transmisi teks
itu benar, maka isi nas itu pasti benar, karena nas itu masih murni dari Allah
atau nabi. Tetapi jika teks tersebut proses transmisinya sudah tidak bisa
dipertanggung jawabkan, maka nas itupun tidak bisa dipertanggung jawabkan isinya.
Dengan kata lain epistemologi ini sesungguhnya senantiasa berpijak pada riwayah
(nagl). Sebagai bukti dari ciri kedua ini adalah begitu banyaknya pembahasan
yang dilakukan oleh para ulama tentang riwayah yang ingin menjaga orisinalitas khabar.
[21]e-Bina Anak 215-Mendisiplinkan dengan
pemberian hukuman, sebaiknya cara terakhir yang digunakan dalam mendisiplinkan
anak. Dewasa ini, hampir semua pendidik barat menentang pemberian hukuman
secara fisik sebab tindakan itu hanya menyelesaikan masalah sementara waktu saja
dan member akibat sampingan yang tidak baik. Tidak semua penggunaan hukuman
atau hukuman fisik itu tidak berfaedah. Tetapi bukan berarti bahwa orang tua
atau guru boleh dengan semena-mena menggunakan haknya untuk memukul anak.
[22]Hukuman di sekolah-sekolah
Eropa yang di bawah naungan gereja, berdasarkan teks ini: ”Bagi sipencemooh tersedia ''
pukulan'' bagi punggung orang
bebal” Kitab Amsal 19:29. “Cemeti adalah untuk kuda, kekang untuk keledai,
dan pentung untuk punggung orang bebal” Kitab Amsal 26:3. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai
“punggung”(Amsal 10:13).Lihat juga Listia Laode Arham,Lian Gorgali, Problematika Pendidikan Agama Di Sekolah.
Hasil Penelitian Agama Di Jogjakarta.(Jojakarta, Institut Dian Interfidei:
2007) 44
[23]Beberapa
tahun belakangan ini, banyak muncul kasus seputar “perseteruan” antara guru dan
orang tua siswa, berkaitan dengan pemberian hukuman (punishment) oleh guru kepada siswa yang melakukan tindakan yang
dianggap melanggar tata tertib sekolah. beberapa di atara orang tua siswa
merasa keberatan dengan hukuman tertentu yang dianggap tidak mendidik sehingga
orang tua siswa merasa perlu untuk melaporkan tindakan oknum guru tersebut
kepada pihak berwajib. Dan bahkan dalam beberapa kasus, guru kemudian harus mendekam
di balik jeruji besi. Berbagai alasan yang dikemukakan oleh (katakanlah
orang–orang yang justru tidak mengerti paedagogiek)
[24]Undang-Undang
Perlindungan Anak No 23 tahun 2002; Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak dalam kandungan. Defenisi undang-undang ini mencakup
janin, bayi, anak-anak sampai berumur 18 tahun. Undang-undang ini juga mengatur
tanggung jawab sosial anak dan tanggung jawab anak dimuka hukum.
[25] Abdi
Parmi, Kekerasan (Bullying) menurut Komisi Perlindungan Anak (KPAI) adalah kekerasan fisik
dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok
terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana
ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan,
trauma/depresi dan tidak berdaya.Kekerasan terhadap anak dibagi dalam 4 bagian utama,
yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan karena diabaikan dan
kekerasan emosi.Kekerasan fisik adalah apabila anak-anak disiksa secara fisik
dan terdapat cedera yang terlihat pada badan anak akibat adanya kekerasan
itu.Kekerasan ini dilakukan dengan sengaja terhadap badan anak.Bandingkan,
Nabil Kazim Muhammad, Mendidik Anak Tanpa Kekerasan, ( terj.Abdi Parmi),( Jakarta
Timur, Pustaka Al-Kautsar : 2008), 81
[26]Kompas, 3/1/2006, menyatakan bahwa solusi dari sebuah
malapetaka kekerasan, terhadap anak-anak. Peristiwa yang lebih baru dan yang
lebih menohok HAM dan peradaban adalah
adanya peristiwa pembunuhan anak yang dilakukan orang tuanya sendiri. Di
Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, gadis usia tujuh tahun yang sering dianiaya, dibunuh ibu
tirinya setelah diperkosa pamannya sendiri (Kompas, 3/1/2006).
[27]Kompas, Kamis (7/4/2009). Setelah mendengar vonis
majelis hakim di Pengadilan
Tinggi Takengon atas dakwaan terhadap rekannya Syaiful, terkait tuduhan
pelanggaran pidana pasal 80 ayat 1 Undang-undang nomor 23 tahun 2002, ribuan
guru mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah
dengan berjalan kaki dari kantor pengadilan dan sempat berorasi di lapangan
Musara Alun Takengen menunggu kedatagan ribuan guru dari kabupaten Bener
Meriah, mereka menuntut di-qanunkan perlindungan terhadap guru. Kamis (7/4/2009)
[29]G.H. Bousquet dan Joseph Schacht (eds.), Selected Works of C. Snouck Hurgronje (Leiden: E.J. Brill, 1957), 48. lihat juga
Charles J. Adams, “The Islamic Relegious Tradition,” dalam Religion and Man: An Introduction, ed. W. Richard Comstock (New York: Harper & Row
Publishers, 1971), 577.
[31]Jawahir Thontowi, Pesan Perdamaian Islam (Yogyakarta: Madyan Press, 2001), 133 Konskuensi
lebih jauh dari pandangan ini adalah bahwa kehendak hukum ideal menjadi tidak
mudah dikembangkan bila tidak disertai dengan institusi sosial di mana hukum
itu dapat direalisasikan. Dalam bahasa sehari-hari, suatu peraturan material
tidak akan dapat diterapkan bilamana tidak disertai dengan hukum formalnya.
Bagaimana suatu hukum dibuat dan diterapkan dan proses hukum mana pula akan
menjadi pilihan masyarakat dalam menyelesaikan perkara. Lihat Jawahir Thontowi, Pesan Perdamaian Islam (Yogyakarta: Madyan Press, 2001), 133.
[32] Nabil Kazhim Muhammad, Catatan sejarah tentang
pro-kontra yang mengiringi lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan atau UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama. Hal yang sama, barangkali akan terjadi pada rencana mengangkat hukum dan
sosial bangsa Indonesia keberadaan dan
pelaksanaan hukum Islam di Indonesia bukan sebatas
romantisme atau nostalgia belaka dari pelaksanaannya pada era Madinah, melainkan
telah menjadi living law jauh sebelum masuknya hokum Belanda. Hukum
Islam berikut pendidikannya mulai dibangun dan menjadi bagian kehidupan
masyarakat Indonesia sejak abad 14. Lihat Nabil Kazhim Muhammad, op.cit., 58
[34] H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd Edition, terj. (New York: Oxford University Press, 1994), Sampai saat ini, belum ada kesepakatan ahli hukum Barat, tentang definisi hukum, karena memang
kesepakatan mengenai definisi itu merupakan utopia. Para ahli mengemukakan beragam
definisi tentang hukum sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Keragaman
tersebut sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh perbedaan cara melihat hukum
itu sendiri dari pada perbedaan pandanagn tentang apa yang dimaksud hukum.
Seperti disinggung oleh Hart, orang yang bergerak dalam bidang hukum umumnya
mengetahui apa hukum tersebut, tetapi ia sering mendapat kesulitan untuk
menerangkannya kepada orang lain dalam bentuk sebuah definisi yang tegas. Lihat
H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd Edition, terj. (New York: Oxford University Press, 1994), 13-14.
[47]A. Syafi’i Ma’arif (ketua PP Muhammadiyah) dan
Hasyim Muzadi (ketua PBNU) jauh-jauh hari sebelum sidang tahunan MPR 2002
menegaskan, NU dan Muhammadiyah tidak mendukung pemberlakuan syari’at Islam di
Indonesia dalam arti formalisasi yang akan mengarah kepada pembentukan negara
Islam. lihat Zuly Qodir, Pemberlakuan Syari’at Islam: Belajar dari
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Kompas, 24-4, 2002.
[48] Inti pemikiran madzhab ini adalah bahwa “hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam
masyarakat”. Sesuai di sini berarti bahwa hukum itu mencerminkan
nilai yang hidup di dalam masyarakat. Lebih jauh baca W. Friedmann, Legal Theory,
4th Edition (London:
Stevens and Sons Limited, 1960), 194-204.
[49]Madzhab ini (sociological jurisprudence) hendaknya dibedakan dengan apa yang kita kenal
dengan “sosiologi hukum”. Perbedaan di antara ke duanya adalah kalau sociological jurisprudenceitu merupakan suatu madzhab dalam filsafat hukum yang
mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya
sedang sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh
masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat
itu dapat mempengaruhi hukum. Dengan kata lain, kalau sociological jurisprudencecara pendekatannya dari hukum ke masyarakat, sedang
sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum. Lihat Roscoe Pound, “Kata
Pengantar”, dalam Georges Gurvith, Sosiologi Hukum, terj. Sumantri Mertodipuro (Jakarta: Bhratara,
1988), x-xi.
[51] Leedy, Menghindari duplikasinya penelitian,1997, bahwa semakin
banyak seorang peneliti mengetahui, mengenal dan memahami tentang
penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya (yang berkaitan erat
dengan topik penelitiannya), semakin dapat dipertanggung jawabkan caranya
meneliti permasalahan yang dihadapi.Kegunaannya ini,
agar tidak terjadi duplikasi
penelitian, sangat jelas maksudnya. Masalahanya, tidak semua hasil penelitian
dilaporkan secara luas. Dengan demikian, publikasi atau seminar atau jaringan
informasi tentang hasil-hasil penelitian sangat penting. Dalam hal ini,
peneliti perlu mengetahui sumber-sumber informasi pustaka dan mempunyai
hubungan (access) dengan sumber-sumber tersebut. Tinjauan pustaka,
berkaitan dengan hal ini, berguna untuk membeberkan seluruh pengetahuan yang
ada sampai saat ini berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi (sehingga dapat
menyakinkan bahwa tidak terjadi duplikasi Kegunaan yang).Kegunaan lainnya,
menunjang perumusan permasalahankeenam dan taktis ini berkaitan dengan perumusan permasalahan. Kajian
pustaka yang meluas (tapi tajam), komprehe nsif dan bersistem, pada akhirnya
harus diakhiri dengan suatu kesimpulan yang memuat permasalahan apa yang
tersisa, yang memerlukan penelitian; yang membedakan penelitian yang diusulkan
dengan penelitianpenelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam kesimpulan
tersebut, rumusan permasalahan ditunjang kemantapannya (justified).
Pada beberapa formulir usulan penelitian (seperti misalnya pada formulir Usulan
Penelitian DPP FT UGM), bagian kesimpulan ini sengaja dipisahkan tersendiri
(agar lebih jelas menonjol) dan ditempatkan sesudah tinjauan pustaka serta
diberi judul “Keaslian Penelitian”.Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit.,80
[53]Suatu tinjauan pustaka
mempunyai kegunaan untuk : 1) Mengungkapkan penelitian-penelitian yang serupa
dengan penelitian yang (akan) kita lakukan; dalam hal ini, diperlihatkan pula
cara penelitian-penelitian tersebut menjawab permasalahan dan merancang metode
penelitiannya;2) Membantu memberi gambaran tentang metoda dan teknik yang
dipakai dalam penelitian yang mempunyai permasalahan serupa atau mirip
penelitian yang dihadapi; 3) Mengungkapkan sumber-sumber data (atau judul
-judul pustaka yang berkaitan) yang mungkin belum kita ketahui sebelumnya; 4)
Mengenal peneliti -peneliti yang karyanya penting dalam permasalahan yang
dihadapi (yang mungkin dapat dijadikan nara sumber atau dapat ditelusuri
karya-karya tulisnya yang lain yang mungkin terkait; 5) Memperlihatkan
kedudukan penelitian yang (akan) kita lakukan dalam sejarah perkembangan dan
konteks ilmu pengetahuan atau teori tempat penelitian ini berada; 6) Mengungkapkan ide-ide dan
pendekatan-pendekatan yang mungkin belum kita kenal sebelumya; 7) Membuktikan keaslian
penelitian (bahwa penelitian yang kita lakukan berbeda dengan penelitian
-penelitian sebelumnya);
[54]Nisa Islami, Loc.Cit,bahwa masih banyak kasus pemberian hukuman
yang berlebihan terhadap siswa, yang ironisnya dilakukan oleh guru mereka
sendiri. Niat guru ingin memberikan hukuman agar siswa tidak melakukan
kesalahan yang tidak sesuai dengan etika sebagai guru dan
pastinya sangat bertentangan dengan nilai-nilai kependidikan, khususnya
Al-Qur’an...Lihat juga Abdullah
Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam,terj.Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), 333
[55] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Kekerasan terhadap anak-anak diberitakan di media, dalam berbagai berita kekerasan terhadap anak dalam segala bentuk dan kualitasnya telah lama terjadi. Berita-berita tersebut makin marak karena semakin baiknya kinerja wartawan. Kalau dulu ada Arie Hanggara, sekarang muncul kasus-kasus yang sama. Bukan lagi dilakukan oleh bapak/ibu tiri saja tetapi justru dilakukan oleh orang tua kandung. Bentuk kekerasan bisa berupa korban kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, dan perlakuan tidak manusiawi.Lihat Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, RajaGrafindoPersada, (Jakarta, 1999), 85. Semua tindakan kekerasan kepada anak-anak direkam dalam bawah sadar mereka dan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Tindakan-tindakan di atas dapat dikategorikan sebagai child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak-anak. Child abuse itu sendiri berkisar sejak pengabaian anak sampai kepada perkosaan dan pembunuhan. Ada 4 macam child abuse, yaituemotional abuse, terjadi ketika orang tua setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Si ibu membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Si ibu boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Verbal abuse, terjadi ketika si ibu, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk “diam” atau “jangan menangis”. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, . Lihat Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Sinar Grafika, Jakarta : 2008),hlm 65
[56]Zainuddin Ali, Physical
abuse, terjadi ketika si ibu
memukul anak (ketika anak sebenarnya
membutuhkan perhatian). Memukul anak dengan tangan atau kayu, kulit atau logam akan diingat anak itu. Sexual abuse, biasanya
tidak terjadi selama delapan belas bulan
pertama dalam kehidupan anak. Walaupun
ada beberapa kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual
dalam usia enam bulan. Center for Tourism Research &
Development Universitas Gadjah Mada,
mengekspos penelitiam tentang child
abusen yang terjadi dari tahun 1992–2002 di 7 kota
besar yaitu, Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, UjungPandang dan
Kupang.Masih
menurut Zainuddin Ali, bahwa ditemukan
bahwa ada 3969 kasus, dengan rincian seksual abuse 65.8%, physical abuse 19.6%,
emotional abuse 6.3%, dan child neglect
8.3%. Berdasarkan kategori usia korban: 1. Kasus sexual abuse: persentase
tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%). 2. Kasus
physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia
13-15 tahun (16.2%). 3. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12
tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%). Tindakan Kekerasan pada
Anak dalam Keluarga..
[58]Arini El-Ghaniy, Saat AnakHarus Dihukum, Aspek kebaruan atau hal yang “baru” belum
ada yang meneliti lain, yaitu
perbandingan
UU Nomor 23 dan Hukum Islam. Kemudianadanya keterkaitan teori di luar hukum, dengan maqashid al-syari’ah, misalnya teori
yang mengatakan bahwa anak yang dipukul waktu kecil, akan lebih sukses dan
lebih kuat daya juangnya di masa depan. Teori itu disebut teori Gannoe, berasal dari ahli psikologi Inggris yang bernama Marjorie Gannoe, seorang
profesor psikolog Inggris. Kemudian penulis mengungkapkan sisi
kesamaan dan perbedaan antara UU Perlindungan anak dan Hukum Islam.Apa pula
hukumnya memberikan hukuman fisik terhadap anak-anak?.Hal ini sangat mendesak
untuk dijawab. Karena terjadi di seluruh wilayah nusantara, dengan berbagai
macam variasi.Inilah
arti pentingnya kehadiran disertasi
ini.Bandingkan
dengan Arini El-Ghaniy, Saat AnakHarus Dihukum, Penerbit Ihdina, (Jogjakarta,
2009), 123.
[59] Lihat Suryanto, Perbuatan
pemaksaan atau menyakiti ini terjadi di dalam sebuah kelompok, misalnya
kelompok siswa satu sekolah, itulah sebabnyadisebut sebagaipeervictimi-zation,Djuwita, 2007: 2. berupa
hukuman
fisik yang dikenal secara universal, disebut bullying, hazing dan mobbning. Ada pengertian yang baku saat ini. Bullying,[59] berasal dari bahasa
Inggris, yaitu dari kata bull yang berarti ”banteng” setelah dipukul
baru berjalan, senang menyeruduk kesana kemari menurut Sejiwa. Istilah ini akhirnya
diambil untuk menguraikan suatu tindakan yang destruktif.Berbeda dengan negara
lain, seperti di Norwegia, Finlandia, Denmark, dan Finlandia yang menyebutkan bullying
dengan istilah mobbing atau mobbning. Istilah aslinya berasal
dari Inggris, yaitu mob yang menekankan bahwa biasanya mob
adalah kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak dan terlibat kekerasan.Suryanto, 2007, hlm 2
[61]Ibid, bahan
primer, menakup : Abstrak, Index, Bibliografi, Penerbitan Pemerintah dan bahan
acuan lainnya.Data lainnya yang terkait dengan data primer
ini adalah buku-buku perbandingan mazhab yang sudah popular antara lain, buku
dari timur tengah terutama fiqih dan usul fiqih merupakan sumber utama untuk
mengolah tulisan ini. Misalnya Al-Mustasfa, oleh Al-Gazali. Al-Muwaqat, oleh
Al- Syathiby.Al-Ikhkam fi Al-Ushul Al-Ahkam oleh Al –Amidy, ditambah
dengan buku-buku tafsir Al-Qur’an dan tafsir hadits. Kebanyakan buku-buku ini
belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tentu saja menjadi tantangan
tersendiri bagi penulis dengan bermodalkan pengetahuan bahasa Arab yang pernah
didapati di pesantren dan IAIN sebelumnya.Lihat Amiruddin
dan Zainal Hakim, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta,Raja
Grafindo,2004) 97.Bandingkan dengan catatan Komnas Perlindungan Anak
Indonesia(KPAI) mencatat, terdapat 1.998 pengaduan sepanjang tahun 2009. Angka
ini meningkat dari tahun sebelumnya, 2008, yaitu 1.736 pengaduan. 62,7% di
antaranya adalah kasus kekerasan seksual berupa sodomi, perkosaan, pencabulan,
serta incest, selebihnya adalah kasus kekerasan fisik dan psikis.
[63] Masjfuk
Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, Tafsir ayat-ayat hukum
dalam Al-Qur’an yang berkaitan
dengan hukuman fisik bagi anak-anak. Secara etimologi, teks ayat ini, sebagai burhan yang menurut al-Jabiri,al-bayan memiliki beberapa arti diantaranya
al-zhuhur wa al-wudhuh (ketampakan
dan kejelasan), sedangkan secara terminologi albayan berarti pencarian kejelasan yang berporos pada al-ashl
(pokok) yakni teks (naql-nash) baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung berarti langsung menganggap teks sebagai pengetahuan jadi.
Secara tidak langsung berarti melakukan penalaran dengan berpijak pada teks
itu.Lihat Masjfuk Zuhdi, Masa’il
Fiqhiyah, Jakarta, PT.Toko Gunung Agung, (1987), 74.
[66]Abu Ishaq
asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul
al-Ahkam, Al-Syatibi sendiri
mengungkapkan bahwa ia memang berupaya menjadikan ushul fiqih sebagai ilmu burhani yang qat’i sehingga dapat mendatangkan dan menghasilkan pengetahuan
hukum Islam yang valid secara ilmiah. Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, edisi
Abdullah Darraz (Mesir: tnp., t.t), I, 29-34.
[67] Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, ( Jakarata,
PT.Raja Grafindo Persada : 2006),95 Peneliti
bertolak dari konsep-konsep dan landasan-landasan teori. Konsep-konseptersebut
diberi batasan-batasan operasional, termasuk memecahnya kedalam
variabel-variabel, jugadirumuskan hipotesis-hipotesis. Atas dasar hipotesis
(kesimpulan logis-deduktif) dan batasan konsep/variabel yang telah dirumuskan,
kemudian dikembangkan alat-alat ukur untuk mendapatkanukuran dalam kenyataan
empiris sekiranya hipotesis itu benar atau sekiranya hipotesis itu salah.Lihat Soerjono Soekanto, Penelitian
Hukum Normatif, ( Jakarata, PT.Raja Grafindo Persada : 2006),95
No comments:
Post a Comment