PERINGATAN
NUZUL QUR’AN
M.RAKIB PANAM
PEKANBARU RIAU INDONESIA 2015
Penulis memberikan peringatan Nuzul Quran, di Masjid Al-Muhajirin, JL.
Merak Raya, Perumnas Sidomuliyo, di Marpuyan Pekanbaru Riau Indonesia. 2015.
Penulis menerangkan tentang tulisan M.Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan
Al-Qur’an”,menerangkan tentang keseimbangan penggunaan kata dalam Al-Qur’an
yang begitu kuat mengundang rasa ingin tahu, antara lain:
1) Keseimbangan kata yang bertolak belakang
(a) Al-hayah (hidup)
dan al-mawt (mati), masing-masing disebut 145 kali
(b) Al-naf(manfaat)
dan al-madharrah (mudarat) masing-masing disebut 50 kali
(c) Al-har (panas)
dan al-bard masing-masing disebut 4 kali
Al-shalihat
(kebajikan) dan al-sayyi’at (keburukan) masing-masing disebut 167 kali.
(d) Al- tuma’ninah
(kelapangan / ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan / kekesalan), masing-masing
disebut 13 kali
(e) Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah
(harap/ingin) masing-masing disebut 8 kali.[1]
2) Keseimbangan jumlah kata
dengan sinonimnya (yang artinya sama)
(a) AL-harts dan al-Zira’ah
(membajak/bertani) masing2x disebut 14 kali
(b) Al-uhbdan al-dhurur
(membanggakan diri/ angkuh) masing2x disebut 27 kali
(c) Al-aql dan al-nur
(akal dan cahaya) masing2x disebut 49 kali
(d) Al-jahr dan al-alaniyah(nyata),
masing2x disebut 16 kali
(e) Zakat disebut 32 kali dan barokah
juga disebut 32 kali.[2]
3) Keseimbangan antara
jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya
(a) Al-infak(infak) dengan al-ridha
(kerelaan), masing-masing disebut 73 kali.
(b) Al-bukl(kekifiran) dengan al-hasanah
(penyesalan) masing-masing disebut 12
kali.
(c) Al-kafirun (orang2x kafir) dengan al-nar/al-ahraq
(neraka/pembayaran) masing2x disebut 154 kali
(d) Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat
(kebajikan) masing-masing disebut 32 kali
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW.,secara
bertahap dalam kurun waktu 22 tahun, 2 bulan, 22 hari. Di antara ayat-ayat
itu diturunkan untuk memberikan jawaban dalam berbagai peristiwa yang
terjadi saat itu.
c) Tafsir Al-Qur’an
Tafsir al-Qur’an, menerangkan maksud pada lafadz-nya, dijelaskan
dengan lafadz lain ,sehingga tidak
ada keraguan lagi. Tafsir
Al-Qur’an merupakan penjelasan makna kata demi kata, serta
makna susunan kalimat, sebagaimana adanya. Terkadang suatu
ayat dijelaskan oleh ayat lainnya (tafsir ayat bil ayat atau bil hadits)Rasulullah
SAW.,(tafsir bis Sunnah), atau
penjelasan shahabat dan ahli ilmu pengetahuan. Adapun tentang penyempurnaan
pembukuan Al-Qur’an, terjadi
pada waktu khalifah ‘Utsman “Qur’an ‘Usmani.”
Karena selama ekspedisi melawan Azerbaijan,
timbul berbagai perbedaan di antara
pasukan, mengenai cara bacaan
Al-Qur’an, karena pasukan itu
sebagian diambil dari Suriah dan Irak, sehingga
Jendral Huzaifah membawa masalahnya kepada Khalifah ‘Usman bin Affan(644-656 M.)
Penjelasan kata-kata dan susunannya ayat,
terbatas hanya dalam bahasa Arab, sama sekali tidak boleh ditafsirkan dalam
bahasa lain. Selain menurut kenyataannya Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa
Arab yang paling baik dan murni, tidak ada jalan lain dalam memahami Al-Qur’an, perlu juga melalui bahasa yang lain.
Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’an itu sendiri yaitu bahasa Arab. Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT,[4] maka tidak ada alternatif lain, melainkan berusaha semakimal mungkin memahami Al-Qur’an, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri:
Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’an itu sendiri yaitu bahasa Arab. Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT,[4] maka tidak ada alternatif lain, melainkan berusaha semakimal mungkin memahami Al-Qur’an, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri:
“(Dan) Demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qur’an itu sebagai peraturan yang benar, dalam bahasa
Arab. Dan seandainya
kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka
sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.”[5]
Ayat ini, menunjukkan
usaha memahami hukum dalam Al-Qur’an harus dimulai dengan memahami bahasa Arab.[6] Lemahanya penguasaan bahasa Arab, sebahagian umat Islam, dalam
mengkaji dan menghayati isi kandungan Al-Qur’an menyebabkan ketidakakraban
dengan Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa sebagian umat
sedang berada di luar ketentuan Allah SWT. Pentingnya
bahasa Arab untuk melakukan kajian terhadap isi
kandungan Al-Qur’an menuntut persyaratan-persyaratan tertentu. Di samping menuntut keikhlasan dan kesucian
niat juga membutuhkan penguasaan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemahaman
Al-Qur’an. Apabila persyaratan itu tidak
terpenuhi, dapat menimbulkan pemahaman
yang keliru dan merugikan. Walaupun begitu, terpenuhinya persyaratan ini pun
tidaklah mutlak menjamin kebenaran hasil suatu kajian, namun begitu haruslah
berusaha semaksimal mungkin, untuk mendekati
kebenaran yang dimaksud Al-Qur’an.
Kajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya merupakan ‘jembatan’ untuk memahami dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang dilakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’an hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan.
Kajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya merupakan ‘jembatan’ untuk memahami dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang dilakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’an hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan.
2. Al-Hadits
a)Pengertian al-Hadits
Al-Hadits adalah suatu perkataan, atau ucapan, perbuatan dan taqrir
(ketetapan/persetujuan/diamnya) Rasulullah SAW.,terhadap
sesuatu perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya.[7]
Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan
Al-Qur’an karena sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu. Firman Allah SWT:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى
|
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ
يُوحَى
|
Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu hanyalah firman yang
diwahyukan (kepadanya).[8]
Makna ayat di atas ialah, apa yang disampaikan Rasulullah SAW. (Al-Qur’an dan As-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya.[9] Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah SAW. melakukan suatu tindakan hanya berdasarkan wahyu dari Allah SWT, kemudian diperintahkan manusia mengikuti apa yang disampaikannya. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa Rasulullah SAW juga menerima wahyu yang lain, yaitu Al-Hikmah[10] yang pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna As-Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 164, QS. Al-Jumu’ah: 3, dan QS. Al-Ahzab: 34.[11]Kemudian kehujjahan Al-Sunnah adaalah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti (qath’i) kebenarannya, seperti Al-Qur’an itu sendiri.
b)Fungsi al-Hadits terhadap Al-Qur’an:
(1) Menguraikan Kemujmalan
Al-Qur’an.
Istilah mujmal, maksudnya adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah/ penunjukannya) yang belum jelas maksud dan rinciannya. Tentang perintah shalat, membayar zakat dan menunaikan haji. Al-Qur’an hanya menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci menerangkan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain. Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama Andalusia pada masa Abbasiyah menjelaskan: “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat ungkapan yang seandainya tidak ada penjelasan lain, tidak mungkin orang melaksanakannya. Dalam hal ini rujukannya hanya kepada Sunnah Nabi SAW. Jika dibandingkan dengan ijma’, maka Ijma’ hanya terdapat dalam kasus-kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib kembali kepada Sunnah.”
(2) Mengkhususkan Keumuman Al-Qur’an.
Lafadz umum (‘Aam) ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu makna yang menerangkan dengan satu ucapan saja. Misalnya ‘Al Muslimun’ (orang-orang Islam), ‘Ar rijaalu’ (orang-orang laki-laki). Di dalam Al-Qur’an itu terdapat banyak lafadz yang bermakna umum kemudian Sunnah mengkhususkannya.
…يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ …
“...Allah
mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak laki-laki adalah dua
bagian dari anak perempuan...” [12]
Ayat ini dijelaskan
oleh hadits Ibnu Abbas:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا ، فَمَا بَقِىَ فَهْوَ لأَوْلَى
رَجُلٍ ذَكَرٍ
"Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang
terdekat." [13]
Kasus yang terjadi sebelum
turunnya Surat An-Nisa’:11 ialah dari kisah
Umrah ,[14] yaitu Umrah binti Hazm, istri Sa’d ibn al-Rabi, menghadap kepada Rasulullah
SAW lalu berkata seraya menunjuk kepada dua anak kecil di sisinya, “Wahai
Rasulullah, ini adalah dua putri Sa’d ibn Al-Rabi. Ayah mereka gugur di medan
perang Uhud sehingga mereka kini yatim. Derita semakin berat karena paman
mereka mengambil harta mereka tanpa menyisakan sedikit pun. Tentu saja kedua
anak ini tidak akan bisa menikah tanpa harta.” Rasulullah kemudian
terbayang sosok dan kewiraan Sa’d ibn Al-Rabi ketika berperang melindungi
beliau. Selain itu Rasul juga iba pada kedua anak itu. Namun beliau belum bisa
menetapkan keputusan yang akan berkaitan dengan hak waris dari ayah mereka.
Akhirnya Rasul bersabda, “Allah akan menurunkan ketetapan mengenainya.”
Allah menurunkan
ayat Al-Qur’an
kepada Rasulullah yaitu Surat An-Nisa ayat 11 bahwa
Allah mensyari’atkan tentang pembagian pusaka untuk. yaitu bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Menurut ayat tersebut di atas,
setiap anak secara umum berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Jadi setiap
anak adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang mengkhususkannya.
Sabda Rasulullah SAW: “Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan
adalah sedekah.”
[15] “Seorang
pembunuh tidak mendapat warisan.”[16] Menurut hadits di atas Nabi tidak
meninggalkan warisan bagi anak-anaknya serta melarang seorang anak yang
membunuh ayahnya untuk mendapatkan warisan.
(3)
Mengqayyidkan Ayat Yang Mutlaq.
Mengqayyidkan artinya memberikan
persyaratan.Misalnya setiap pencuri harus dipotong tangannya, padahal ada
syarat-syaratnya,Taqyid (Pensyaratan)[17]
terhadap ayat Al-Qur’an yang mutlak
yaitu lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya:“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan (keduanya).” [18]
yaitu lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya:“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan (keduanya).” [18]
Ketentuan
tambahan (penyempurnaan) yang dilakukan Rasulullah SAW. Maka sikap seorang
Muslim terhadap hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak
kepada Allah dan Rasul-Nya supaya Dia memberikan ketentuan hukum di antara mereka, tidak lain hanya mengatakan: Kami mendengar dan Kami
mematuhinya. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia.” [19]
Penggunaan nash As-Sunnah untuk masalah hukum dan aqidah haruslah nash yang bersifat qath’i,[20] karena tidak boleh adanya keraguan sedikitpun dalam masalah aqidah/i’tiqadiyah. Sedangkan untuk masalah hukum/Syari’ah masih dapat digunakan nash As-Sunnah yang mencapai derajat dzanni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal ini karena dalam masalah Syari’ah tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah i’tiqadiyah).
Alasan Ijma’ Shahabat dijadikan sumber hukum Islam.[21]Dari segi mungkin tidaknya ‘seluruh orang yang berijma’ berkumpul, saling mengetahui ijma’ dan dapat mengkoreksi bila diketahui kesalahannya, maka hal ini hanya mungkin terjadi pada masa shahabat, tidak pada masa selain mereka. Sebagai contoh, ijma’ ulama. Maka untuk terwujudnya ijma’ ulama, haruslah diperjelas ‘siapa saja ulama’ itu; apakah ulama yang sudah sering digunakan untuk ‘membuat hukum pesanan’ juga termasuk di dalamnya? Akan pasti benarkah ijma’ mereka tersebut?
Benarkah semua ‘ulama’ mengetahui dan
menyetujui ijma’ tersebut? Tidak adakah yang selanjutnya menarik kembali
atau membatalkan ijma’nya sampai ia meninggal? Dan mungkinkah para ulama
(seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia) mampu berkumpul bersama membahas suatu
masalah baru? Masih banyak yang tidak bisa terjawab selain oleh para shahabat,
padahal semua hal tadi merupakan syarat sahnya sebuah ijma’ oleh suatu
kelompok. Karena ketidakmungkinan itu pula yang pada akhirnya muncul istilah
‘jumhur ulama’; artinya kebanyakan ulama berijtihad dengan hasil serupa ter-hadap
suatu masalah. Jumhur berbeda dengan ijma’.Banyaknya pujian kepada para Shahabat
secara jama’ah, baik tercantum dalam Al-Qur’an maupun hadits (keduanya
dalil yang qath’i kebenarannya). Firman Allah.[22] Bahwa Nabi Muhammad SAW, bersikap tegas terhadap orang
kafir dan lemah lembut terhadap sesama kaum muslimin.
QS. At-Taubah: 100
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.[23]
Ayat ini, adalah petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat menunjukkan suatu kepastian tentang kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jama’ah, bukan secara pribadi-pribadi). Apabila mereka bersepakat terhadap suatu masalah, tentulah hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji para shahabat tersebut bersifat qath’i sehingga dapat ditentukan bahwa ijma’ shahabat dapat digunakan sebagai dalil syara’.
Para shahabat Nabi Muhammad SAW., merupakan generasi yang mengumpulkan, menghafalkan dan menyampaikan Al-Qur’an beserta Sunnah pada generasi berikutnya. Di samping itu para shahabat merupakan orang-orang yang hidup semasa Rasulullah SAW, hidup bersama, mengalami sulit dan senang secara bersama. Merekalah yang mengetahui kapan, di mana, dan berkaitan dengan peristiwa apa suatu ayat Al-Qur’an diturunkan. Merekalah yang mengetahui Sunnah Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri kehidupan kaum Muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah masih hidup. Lalu adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan manusia di muka bumi ini selain mereka (para shahabat)? Ijma’ siapa lagi selain ijma’ mereka yang lebih baik dan lebih kuat?[24]
Memang tidak mustahil para shahabat pun melakukan kesalahan, sebab mereka pun tetap manusia yang tidak ma’shum. Akan tetapi secara syar’i mereka mustahil bersepakat atau berijma’ atas suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam ijma’ mereka tentang suatu persoalan maka tentu akan terdapat kesalahan dalam Islam, dalam Al-Qur’an dan Hadits sebab merekalah yang menyampaikan Al-Qur’an dan menuturkan Hadits Rasulullah saw pada generasi berikutnya. Bahkan sebenarnya mereka pulalah yang memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya kesalahan dalam ijma’ shahabat adalah mustahil terjadi secara syar’i.
3. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid dari
umat Muhammad SAW dalam
suatu masa terhadap hukum syara’ setelah beliau wafat. Akan
tetapi ada juga Ijma’sahabat yaitu kesepakatan para sahabat Nabi SAW.Salah
satu ijma’ shahabat terpenting adalah pengumpulan Al-Qur’an menjadi mushaf.
Al-Qur’an dalam bentuk sekarang ini merupakan hasil kesepakatan (ijma’)[25] para
shahabat. Bersamaan dengan ini Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar akan
menjaganya.[26]
Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan, baik dari depan
maupun dari belakangnya diturunkan dari yang
Mahabijaksana, lagi Mahaterpuji.[27]
[7]al-Hadith secara
resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani
Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah.Kemudian istilah Al-Sunnah,
dalam tinjauan hukum dan penafsiran.. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran,
As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini
disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai
penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah
firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.
Indonesia (Studiatas Pemikiran M.
Syuhudi Ismail).” (Disertasi S3 Pasca Sarjana IAIN Jakarta, 1999), 50
[14] Begitulah Al Quran
memutuskan bagian untuk dua anak perempuan itu. Kemudian Rasul mengutus seseorang
untuk menemui paman mereka dan berkata kepadanya,”Berikanlah dua pertiga harta
pusaka Sa’d kepada dua putrinya dan sisanya menjadi milikmu.” Istri Sa’d
dan kedua putrinya menjadi perantara bagi turunnya ketetapan Al Quran mengenai
hukum waris, suatu ketetapan yang berlaku hingga kini.Referensi :-Al Quran- karya Fathi Fawzi ‘Abd Al Mu’thi, Asbabun Nuzul untuk Zaman Kita.
[20] Al-Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi
turunnya berkualitas
qath’i
(pasti benar). Akan tetapi hukum-hukum yang
dikandung al-Qur’an
ada kalanya bersifat qath’i (pasti benar) dan ada kalanya bersifat zhanni (Relatif benar). Lihat Jamal al-Banna, Tafsir al-Qur'an
al-Karim: Baina al-Qudama wa al-Muhaddiin (Kairo: Dar-Syuruq, 2008), hlm.
246
[21]Lafadz Ijma’ menurut bahasa bisa
berarti tekad yang konsisten tehadap sesuatu atau kesepakatan suatu kelompok
terhadap suatu perkara. Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh, Ijma’
adalah kesepakatan terhadap suatu hukum bahwa hal itu merupakan hukum syara’.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul Halli wal Aqdi, ijma’ Shahabat atau sebagainya. Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah SAW.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul Halli wal Aqdi, ijma’ Shahabat atau sebagainya. Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah SAW.
[24] Sobhi Masmassani, Filsafat
Hukum Dalam Islam, terj.Ahmad Sudjono, cet.
ke-1(Bandung, Al-Ma’arif, 1976), hlm. 135. Lihat
juga Ibn
Ḥazm, Al-Iḥkăm fi al-Uşŭl al-Aḥkăm,
(Beirut, Dăr al-Kutub al-‘Ilmiah, 2004), jilid.I, hlm. 16.
[25]Ijma' umat terbagi menjadi dua: 1. Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma'
di mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang
menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. 2. Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di
mana para ulama' diam, tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap
menyetujui. Menurut Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang
sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut
ijma' yang sebenarnya. Selain ijma' umat
tersebut masih ada macam-macam ijma' yang lain, yaitu: Ijma' sahabat Ijma'
Khalifah yang empat, Ijma' Abu Bakar dan
Umar, Ijma' ulama Madinah, Ijma' ulama
Kufah dan Basrah,Ijma' itrah (golongan Syiah)
No comments:
Post a Comment