PANTUN
CARA MEMUKUL MURID TANPA
MELANGGAR HAM
Oleh M.Rakib
S.H.,M.Ag. Pekanbaru Riau Indonesia
Dara
mencangkul, tanah hitam
Di kaki bukit, tiga belas
Cara memukul, sesuai HAM
Jangan sakit, jangan
berbekas
JATUH KE
PARIT, SEBATANG LILIN
JATUH
TERKULAI, DARI TAS
MEMUKUL MURID,
TEGAKKAN DISIPLIN
JANGAN SAMPAI,
MELAMPAUI BATAS
Kenakalan otak lah yang membuat kemacetan dalam Teori Kritis menurut
Jurgen Habermas.[4]
Pandangan ini telah membuat sudut pandang masyarakat tentang krtik dengan
penaklukan itu sama dan praksis dengan penaklukan itu sama.[4]
Jurgen Habermas berpendirian kritik hanya dapat maju dengan rasio komunikatif yang
dimengerti sebagai praksis komunikatif atau tindakan komunikatif.[4]
Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui
revolusi atau kekersan, tetapi melalui argumentasi.[4]
Kemudian Habermas membedakan dua macam argumentasi, yaitu: perbincangan atau
diskursus dan kritik.[4]
Demokrasi Deliberatif
Kata “deliberasi” berasal dari bahasa
Latin deliberatio yang kemudian dalam bahasa Inggris menjadi deliberation.[6]
Istilah ini memiliki arti “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau dalam istilah
politik adalah “musyawarah”.[6]
Pemakian istilah demokrasi memberikan makna tersendiri bagi konsep demokrasi.[6]
Istilah demokrasi deliberatif memiliki makna yang tersirat yaitu diskursus
praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai
prosedur.[6]
Teori demokrasi deliberatif tidak
memfokuskan pandangannya dengan aturan-aturan tertentu yang mengatur warga,
tetapi sebuah prosedur yang menghasilkan aturan-aturan itu.[6]Teori
ini membantu untuk bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam
kondisi bagaimanakah aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga
warganegara mematuhi peraturan-peraturan tersebut.[6]
Dengan kata lain, demokrasi deliberatif meminati kesahihan keputusn-keputusan
kolektif itu.[6]
Secara tidak langsung, opini-opini publik di sini dapat mengklaim
keputusan-keputusan yang membuat warga mematuhinya. [6]
Di dalam demokrasi deliberatif,
kedaulatan rakyat dapat mengkontrol keputusan-keputusan mayoritas.[6]
Kita sebagai rakyat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh
orang-orang yang memegang mandat.[6]
Jika kita berani mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, maka secara tidak langsung kita sudah menjadi masyarakta rasional,
bukan lagi masyarakat irasional.[6]
Opini publik atau aspirasi memiliki fungsi untuk mengendalikan politik formal
atau kebijakan-kebijakan politik.[6]
Jika kita berani mengkritik kebijakan-kebijakan yang legal itu, secara tidak
langsung kita sudah tunduk terhadap sistem.[6]
Ruang Publik
Bagi Habermas, ruang publik memiliki
peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi.[6]
Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang
mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan
kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.[6]
Ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi.[7]
Ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan
politis warga.[7]
Selain itu, ruang publik merupakan wadah yang mana warganegara dengan bebas
dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah.[6]
[7]
Ruang publik bukan hanya sekedar fisik, maksudnya sebuah institusi atau
organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi warga itu sendiri. Ruang
publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi
pemerintah atau otonom di dalamnya. Ruang publik itu harus mudah diakses semua
orang.[7]
Dari ruang publik ini dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat warga
untuk melawan mesin-mesin pasar/kapitalis dan mesin-mesin politik.[6]
Istilah kekerasan, artinya kezaliman.
Dalam Al-Quran terdapat 200 ayat yang
khusus membicarakan dan menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan masalah
“zalim” atau “kezaliman”,[1][1] suatu perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Dia
sangat benci kepada orang-orang yang zalim.” Sebagaimana dalam Q.S.Ali ‘Imraan: 57. Secara umum makna
kata “zalim” yang dikenal adalah segala tindak kekerasan ataupun berbuat
aniaya; baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri.
Dalam syari’at (Agama Islam) yang
sesuai dengan Al-Baqarah ayat 229 bahwa
orang yang melanggar hukum-hukum Allah, itulah
yang zalim”; makna “zalim” yang didefinisikan oleh para ulama,“segala tindakan yang
melampaui batas, tidak lagi sesuai
dengan ketentuan Allah SWT, baik dengan cara menambah ataupun
mengurangi hal-hal yang berkaitan dengan waktu; tempat atau letak maupun
sifat dari perbuatan-perbuatan yang melampaui batas tersebut. Dan itu berlaku
untuk masalah-masalah yang berkaitan
dengan ibadah (hablun-minallah),
maupun hubungan kemanusiaan dan alam semesta, baik itu dalam skala kecil maupun
besar, tampak ataupun tersembunyi.”[2][2]
Kewajiban berhukum kepada al-Qur’an
termasuk masalah pokok, karena menjadi dasar bagi seorang Muslim untuk berpegang
teguh terhadap hukum-hukum amaliahnya yang akan dipertanggungjawabkan. Apabila
landasan suatu hukum sudah salah, seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya
menjadi salah pula. Karena itu menetapkan sumber syariat Islam tidak dapat
dilakukan berdasarkan persangkaan ataupun dengan dugaan belaka, tapi
berdasarkan kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril
kepada Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar
dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan
agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia, di samping
merupakan amal ibadah bagi yang membacanya.
Al-Qur’an diriwayatkan dengan cara tawatur
(mutawatir) yang artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak semenjak
dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya secara berjamaah. Apa yang
diriwayatkan oleh orang perorang tidak dapat dikatakan sebagai Al-Qur’an.
Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah berkali-kali
mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan
pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan.
Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan
Muhammad SAW., ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an tetap
menjadi mu’jizat sekaligus sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah
Islam, sebagai sumber segala sumber hukum
:
a)KehujjahanAl-Qur’an
a)KehujjahanAl-Qur’an
Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia,[3][3] serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun.
No comments:
Post a Comment