“ZUHUD ADALAH OBAT PENYAKIT PERSAINGAN TIDAK SEHAT
DI KANTOR-KANTOR
Jangan cemas,ada persaingan di
kanor-kantor, karena banyak yang mengambil muka, lari saja kepada “ZUHUD”,
bagian dari amalan tasawuf. Insya Allah sakit jiwa akan hilang. Tapingat ada
satu aliran baru yang tidak setuju
dengan Zuhud ini, aliran itu bernama Salafi Waahabi. Nah jika Firqah Wahabi adalah orang-orang
hasil pengajaran para ulama yang dipaksakan oleh kerajaan dinasti Saudi untuk
mengikuti ajaran atau pemahaman ulama Najed yakni Muhammad bin Abdul Wahhab
sebagaimana informasi dari situs resmi mereka seperti pada http://www.saudiembassy.net/about/country-information/Islam/saudi_arabia_Islam_heartland.aspx
berikut kutipannya
“In the 18th century, a religious scholar
of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin
Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of
Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Ulama Najed mengingatkan kita kepada
penduduk Najed yang mempunyai keunikan tersendiri karena mereka disebutkan
dalam beberapa hadits untuk kita ambil hikmah atau pelajaran sebagaimana yang
telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/29/mengenal-najed/
Penamaan firqah Wahabi dinisbatkan
kepada nama ayahnya Muhammad bin Abdul Wahhab adalah sekedar untuk membedakan
antara ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola
pemahaman Ibnu Taimiyyah dengan ajaran Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Contoh penisbatan bukan pada nama
sendiri lainnya adalah seperti pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, kita
sepakati dinamakan sebagai mazhab Hambali karena hal itu adalah hasil ijtihad
dan istinbat beliau dalam perkara fiqih berdasarkan sumber ijtihad yang
dimilikinya seperti hafalan hadits yang melebihi jumlah hadits yang telah
dibukukan pada zaman kini dan kompetensinya dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah
yang diakui oleh jumhur ulama sebagai salah satu Imam Mujtahid Mutlak.
Ulama mereka sendiri Abdul Aziz bin
Abdillah bin Bazz ketika mentashhihkan kitab biografi Ulama Muhammad ibnu Abdil
Wahhab karya Syaikh Ahmad ibn Hajar al- Butami juga menyampaikan bahwa Wahhabi
adalah pengikut ulama Muhammad bin Abdul Wahhab
- Di halaman 59 disebutkan :
ﻓﻘﺎﻣﺖ ﺍﻟﺜﻮﺭﺍﺕ ﻋﻠﻰ ﻳﺪ ﺩﻋﺎﺓ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﻴﻦ
“maka tegaklah revolusi di atas tangan para da’i Wahhabi”
ﻓﻘﺎﻣﺖ ﺍﻟﺜﻮﺭﺍﺕ ﻋﻠﻰ ﻳﺪ ﺩﻋﺎﺓ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﻴﻦ
“maka tegaklah revolusi di atas tangan para da’i Wahhabi”
- Di halaman 60 disebutkan :
ﻋﻠﻰ ﺃﺳﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﺔ ﻓﻲ ﻣﻜﺔ
“ atas dasar dari dakwah agama wahhabi di Mekkah”
, ﻳﺪﻳﻨﻮﻥ ﺑﺎﻹﺳﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻲ ,
“mereka beragama dengan Islam atas Mazhab Wahhabi”
ﻋﻠﻰ ﺃﺳﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﺔ ﻓﻲ ﻣﻜﺔ
“ atas dasar dari dakwah agama wahhabi di Mekkah”
, ﻳﺪﻳﻨﻮﻥ ﺑﺎﻹﺳﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻲ ,
“mereka beragama dengan Islam atas Mazhab Wahhabi”
Firqah Wahabi pada kenyataannya
telah menjadi perpanjangan tangan kaum yahudi atau yang kita kenal sekarang
dengan Zionis Yahudi untuk dibenturkan kepada mayoritas kaum muslim (as-sawadul
a’zham) yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat
Kaum yang diciptakan mempunyai rasa
permusuhan terhadap kaum muslim adalah kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang
dengan Zionis Yahudi
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“orang-orang yang paling keras
permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang
musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Jadi kalau ada kaum muslim yang
memusuhi muslim lainnya maka kemungkinannya adalah korban hasutan atau korban
ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi.
Sejak zaman Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam kaum Yahudi berupaya untuk menimbulkan perselisihan di antara
kaum muslim sebagaimana contoh apa yang terjadi pada kisah suku Aus dan
Khajraj.
Pada masa Jahiliyah kedua suku
tersebut saling bermusuhan dan berperang selama 120 tahun. Setelah mereka
memeluk Islam Allah menyatukan hati mereka sehingga mereka menjadi bersaudara
dan saling menyayangi.
Ketika orang-orang Aus dan Khajraj
sedang berkumpul dalam satu majlis, kemudian ada seorang Yahudi yang melalui
mereka, lalu ia mengungkit-ungkit permusuhan dan peperangan mereka pada bani
Bu’ats. Maka permusuhan diantara kedua suku tersebut mulai memanas kembali,
kemarahan mulai timbul, sebagian mencerca sebagian lain dan keduanya saling
mengangkat senjata, lalu ketegangan tersebut disampaikan kepada Nabi
shallallahu alaihi wa salam. Kemudian Beliau mendatangi mereka untuk
menenangkan dan melunakkan hati mereka, seraya bersabda: “Apakah dengan
panggilan-panggilan jahiliyah, sedang aku masih berada di tengah-tengah
kalian?.” Lalu Beliau membacakan Ali Imran ayat 103 yang artinya, ‘Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan
janganlah kamu bercerai berai , dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua
ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu
maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka, maka
Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya
agar kamu mendapat petunjuk”. Setelah itu mereka menyesal atas apa yang telah
terjadi dan berdamai kembali seraya berpeluk-pelukan dan meletakan senjata
masing-masing.
Salah dalam memahami Al Qur’an dan
As Sunnah karena bukan ahli istidlal akan menimbulkan perselisihan seperti
permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan sehingga
timbullah firqah dalam Islam.
Perhatikanlah tulisan-tulisan mereka
contohnya pada http://tukpencarialhaq.com/
maka akan dapat kita temukan bertebaran nama-nama firqah yang masing-masing
merasa paling benar seperti salafi jihadi, salafi haraki, salafi Turotsi,
salafi Yamani atau salafi Muqbil, salafi Rodja atau salafi Halabi, salafi
Sururi, salafi Quthbi atau salafi Ikhwani dan firqah-firqah yang lain dengan
nama pemimpinnya.
Contohnya pengikut Ali Hasan Al
Halabi dinamakan oleh salafi yang lain sebagai Halabiyun sebagaimana contoh
publikasi mereka pada http://tukpencarialhaq.com/2013/11/17/demi-halabiyun-rodja-asatidzah-ahlussunnah-pun-dibidiknya/
berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Kita lanjutkan sedikit pemaparan bukti dari kisah Haris, Jafar Salih dkk.
Cileungsi termasuk daerah terpapar virus Halabiyun Rodja pada ring pertama.
Tak heran jika kepedulian asatidzah begitu besar terhadap front terdepan (disamping daerah Jakarta tentunya).
Daurah-daurah begitu intensif dilaksanakan, jazahumullahu khaira. Kemarahan mereka telah kita saksikan bersama dan faktanya, amarah/ketidaksukaan ini juga mengalir deras pada sebagian dai yang menisbahkan diri dan dakwahnya sebarisan dengan kita.
Kita lanjutkan sedikit pemaparan bukti dari kisah Haris, Jafar Salih dkk.
Cileungsi termasuk daerah terpapar virus Halabiyun Rodja pada ring pertama.
Tak heran jika kepedulian asatidzah begitu besar terhadap front terdepan (disamping daerah Jakarta tentunya).
Daurah-daurah begitu intensif dilaksanakan, jazahumullahu khaira. Kemarahan mereka telah kita saksikan bersama dan faktanya, amarah/ketidaksukaan ini juga mengalir deras pada sebagian dai yang menisbahkan diri dan dakwahnya sebarisan dengan kita.
Berdusta (atas nama Asy Syaikh
Muqbil rahimahullah-pun) dilakukan, menjuluki sebagai Ashhabul Manhaj
sebagaimana yang dilontarkan dengan penuh semangat oleh Muhammad Barmim,
berupaya mengebiri pembicaraan terkait kelompok-kelompok menyimpang sampaipun
Sofyan Ruray mengumumkan melalui akun facebooknya keputusan seperempat jam
saja!!
****** akhir kutipan ******
****** akhir kutipan ******
Asy-Syathibi mengatakan bahwa
orang-orang yang berbeda pendapat atau pemahaman sehingga menimbulkan
perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus
hubungan. maka mereka menjadi firqah-firqah dalam Islam sebagaimana yang Beliau
sampaikan dalam kitabnya, al-I’tisham yang kami arsip pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/27/ciri-aliran-sesat/
****** awal kutipan *****
Salah satu tanda aliran atau firqoh sesat adalah terjadinya perpecahan di antara mereka. Hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Salah satu tanda aliran atau firqoh sesat adalah terjadinya perpecahan di antara mereka. Hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang
jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105).
“Dan Kami telah timbulkan permusuhan
dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64).
Dalam hadits shahih, melalui Abu
Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah ridha pada kamu tiga perkara dan membenci tiga perkara.
Allah ridha kamu menyembah-Nya dan janganlah kamu mempersekutukannya, kamu
berpegang dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai…”
Kemudian Asy-Syathibi mengutip
pernyataan sebagian ulama, bahwa para sahabat banyak yang berbeda pendapat
sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wasallam, tetapi mereka tidak bercerai
berai. Karena perbedaan mereka berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam
konteks ijtihad dan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang
tidak mereka temukan nash-nya.
Jadi, setiap persoalan yang timbul
dalam Islam, lalu orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan
perbedaan itu tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami
meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam.
Sedangkan setiap persoalan yang timbul
dalam Islam, lalu menyebabkan permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan
memutus hubungan, maka hal itu kami yakini bukan termasuk urusan agama.
Persoalan tersebut berarti termasuk
yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menafsirkan
ayat berikut ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada
‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, siapa yang dimaksud dalam ayat, “Sesungguhnya
orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak
ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”, (QS. 6 : 159)?” ‘Aisyah
menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda: “Mereka adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu, ahli
bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.”
******* akhir kutipan *******
******* akhir kutipan *******
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah
al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab
salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum
dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih
tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena
mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan
meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah
seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui.
Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan
pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha
meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit
menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam)
Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.”
Perlu kita ingat bahwa nama para
Sahabat tercantum pada hadits pada umumnya sebagai perawi bukanlah menyampaikan
pemahaman atau hasil ijtihad atau istinbat mereka melainkan para Sahabat
sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku
pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah
mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia
menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya-
kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa
ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan
terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits
ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu
Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham
memang ada perawi (para Sahabat) yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja
tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya.
Jadi pendapat atau pemahaman para Sahabat
tidak bisa didapatkan dari membaca hadits.
Hal yang perlu kita ingat selalu
bahwa ketika orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri
bukan pendapat atau permahaman para Sahabat
Mereka yang mengaku-aku mengikuti
pemahaman para Sahabat berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits yang
mereka baca. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya
adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut
tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui
dan sampaikan adalah pemahaman para Sahabat.
Tidak ada yang dapat menjamin hasil
upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal
berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar
atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat. Jika hasil ijtihad mereka
salah, inilah yang namanya fitnah terhadap para Sahabat.
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan
pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm
mengatakan
***** awal kutipan ****
Sementara kita memperbincangkan bahwa salaf itu bukan nama sebuah sistem, sebenarnya justru keempat mazhab yang kita kenal itu hidupnya malah di masa salaf, alias di masa lalu.
Sementara kita memperbincangkan bahwa salaf itu bukan nama sebuah sistem, sebenarnya justru keempat mazhab yang kita kenal itu hidupnya malah di masa salaf, alias di masa lalu.
Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir
hanya terpaut 70 tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat.
Apalah seorang Abu Hanifah bukan orang salaf? Al-Imam Malik lahir tahun 93
hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi’i lahir tahun 150 hijriyah dan Al-Imam Ahmad bin
Hanbal lahir tahun 164 hijriyah. Apakah mereka bukan orang salaf?
Maka kalau ada yang bilang bahwa
mazhab fiqih itu bukan salaf, barangkali dia perlu belajar sejarah Islam
terlebih dahulu. Sebab mazhab yang dibuangnya itu ternyata lahirnya di
masa salaf. Justru keempat mazhab fiqih itulah the real salaf.
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul
Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan
orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani,
mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang
hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul
Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka
yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem
dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah
menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada
kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer,
mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem
operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya
cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan
metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode
mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode
istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah.
Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara
Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan metode
istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah,
istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka
tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus
dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam
mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada
dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak
bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat
keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya
shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih
dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal.
Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa
hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh
bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja
sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena
belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya
ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu
belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath
hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua
orang salah, yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
***** akhir kutipan *****
Permasalahan yang ditimbulkan oleh
mereka diaikibatkan mereka “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” dengan cara
memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab)
secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri.
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah
pengikut yang tidak pernah bertemu muka yakni mengikuti pola pemahaman Ibnu
Taimiyyah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi)
dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun
lebih.
Seberapapun panjangnya rantai sanad
guru (sanad ilmu ) atau daftar (jumlah) guru dari seorang ulama seperti
Muhammad bin Abdul Wahhab namun tidak berarti apa-apa kalau pada akhirnya
Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah yakni
memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama salaf (terdahulu)
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal
pikirannya sendiri.
Berikut contoh informasi dari
kalangan mereka sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam
seperti pada http://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Begitupula dari biografi Ibnu
Taimiyyah pun kita mengetahui bahwa beliau termasuk kalangan otodidak (shahafi)
seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Begitupula dengan Al Albani
yang sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca
hadits di balik perpustakaan sebagaimana contoh informasi pada http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nashiruddin_Al-Albani
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin
mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku
yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi
laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya
keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari
rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
***** akhir kutipan *****
Ada dari mereka mencela muslim
lainnya tentang bid’ah hasanah dengan pendapat sebagai berikut
“Alangkah lebih indahnya jika bid’ah
hasanah bacaan sayyidina dalam sholawat juga digunakan ketika mengumandangkan
azan. Sungguh, para mu’azin di seluruh dunia ini telah bertindak tidak sopan
dan aniaya kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam dengan hanya
menyebut namanya saja”.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku
larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya
adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Orang yang fasik adalah orang yang
secara sadar melanggar larangan Rasulullah atau larangan agama
sebagaimana firmanNya yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang melanggar
perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang
diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat
kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al Baqarah
[2]:27)
Bagi orang-orang yang fasik, tempat
mereka adalah neraka jahannam
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam” (QS
Sajdah [32]:20)
Seseorang ketika mengatakan bahwa
sebuah amalan atau perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan maka orang
tersebut telah termasuk menetapkan hukum perkara atau telah beristinbat atau
telah berfatwa yakni menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah maupun
perkataan ulama salaf (terdahulu)
Hal yang perlu kita ingat selalu
bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bahasa Arab yang
fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung
hukum yang harus diterima. Sehingga dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah yang
perlu diketahui dan dikuasai bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang
bersangkutan dengan bahasa arab itu seperti ilimu tata bahasa Arab atau ilmu
alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
Selain itu perlu mengetahui dan
menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum
secara baik dan benar dari al-Qur’an dan as-Sunnah padahal tidak menguasai
sifat lafad-lafad dalam al-Qur’an dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang
masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada
lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz
muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad,
ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan
mansukh dan lain sebagainya.
Tidak sempurna pula jika hanya
mengetahui dan menguasai ilmu nahwu dan sharaf tanpa mengetahui dan menguasai
ilmu balaghah atau ilmu sastra Arab sebagaimana yang telah disampaikan dalam
tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/07/penyebab-ketidakseimbangan/
atau pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/10/ilmu-sastra-arab/
Fungsi sastra adalah fungsi
rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan religius yang semua itu berhubungan
dengan hati sehingga dapat membuka mata hati yang berujung dapat menyaksikan
Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Kalau dalam berijtihad dan
beristinbat atau menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah tanpa ilmu maka
akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami
Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam
bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah
tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah
mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa
ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh,
ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan
(HR Bukhari 98)
Dalam perkara azan, boleh atau tidak
boleh menambahkan membaca sayyidina sama hukumnya dengan bolehkah sholat subuh
3 raka’at atau bolehkah azan dalam sholat ied
Tidak boleh sholat subuh tiga rakaat
walaupun (rasional) menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari
595, 6705).
Tidak boleh azan dalam sholat ied
walaupun (rasional) menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul fiqih
اَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ
يُفِيْدُ الْحَصْرَ
“Diam dalam perkara yang telah ada
keterangannya menunjukkan pembatasan.”
Artinya bahwa diamnya Nabi atas
suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum itu terbatas pada
apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.
Maksud dari berbeda hukumnya adalah:
bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan
pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan maka
yang didiamkan menunjukkan pembolehan.
Sedangkan membaca “sayyidina” dalam
sholawat ketika duduk dalam shalat (tahiyyat) adalah pada bagian yang memang
boleh berbeda dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah karena Rasulullah
bersabda “Setelah itu ia boleh memilih do’a yang ia kehendaki.” (HR Bukhari
5762)
Hadits selengkapnya
Telah menceritakan kepada kami Umar
bin Hafsh telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami
Al A’masy dia berkata; telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Abdullah dia
berkata; Ketika kami membaca shalawat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, maka kami mengucapkan: ASSALAAMU ‘ALALLAHI QABLA ‘IBAADIHI, ASSALAAMU
‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN
(Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Allah, semoga keselamatan terlimpah
kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan). Ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam selesai melaksanakan shalat, beliau menghadapkan wajahnya
kepada kami dan bersabda: Sesungguhnya Allah adalah As salam, apabila salah
seorang dari kalian duduk dalam shalat (tahiyyat), hendaknya mengucapkan;
AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHALAWAATU WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA
AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA
‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN, (penghormatan, rahmat dan kebaikan hanya milik
Allah. Semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai
Nabi. Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih).
Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh
hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, lalu melanjutkan;
ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH
(Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya). Setelah itu ia boleh memilih do’a yang ia
kehendaki. (HR Bukhari 5762)
Dari Ali Ra, ia berkata, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam apabila sholat beliau membaca doa terakhir di
antara tasyahhud dan salam adalah: “Allahummagh firli ma qaddamtu …..
Dari Abdullah bin Amr, “Bahwa Abu
Bakar ra berkata kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, “Ajarkanlah aku
sebuah doa yang selalu bisa aku baca dalam sholatku!”. Rasulullah bersabda,
“Bacalah Allahumma inni dzalamtu nafsi…..
Dari Aisyah Radhiyallahu anha, ia
berkata “Bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam membaca doa dalam sholat:
“Allahumma inni a’udzubika….
Walaupun pada haikikatnya Rasulullah
membolehkan kita bersholawat sebagaimana yang kita inginkan namun pada umumnya
mempergunakan sholawat Ibrahimiyyah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasuullah
ditambah membaca sayyidina
Contohnya penjelasan pada https://www.facebook.com/photo.php?fbid=199459130098722&set=a.199459010098734.50141.100001039095629
Betikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Boleh hukumnya menambahkan lafadz “SAYYIDINA” dalam pembacaan shalawat, baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Keterangan dalam kitab “Sa’adatud Darain (سعادة الدارين) halaman 11 sebagai berikut:
Boleh hukumnya menambahkan lafadz “SAYYIDINA” dalam pembacaan shalawat, baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Keterangan dalam kitab “Sa’adatud Darain (سعادة الدارين) halaman 11 sebagai berikut:
و قال الشيخ محمد الفاسى فى شرح دلائل
الخيرات : الصحيح جواز الاتيان بلفظ السيد و المولى و نحوهما مما يقتضى التشريف و
التوقير و التعظيم فى الصلاة على سيدنا محمد صلى الله عليه و سلم
Artinya: ” Dan telah berkata Syeikh
Muhammad Al-Fasi di dalam kitab Syarah Dala’ilul Khairat (شرح دلائل الخيرات) :
Menurut pendapat yang shahih adalah boleh hukumnya menggunakan lafadz ‘SAYYIDINA”
atau “MAULANA” atau sejenisnya dari sesuatu yang menunjukkan kemulyaan,
penghormatan, dan pengagungan dalam pembacaan shalawat kepada junjungan kita
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam”. Lihat pula keterangan dalam kitab
“Nihayatul Muhtaj” jilid 1 halaman 530 karya Syeikh Syamsuddin Ar-Ramli cetakan
Dar el-Fikr !!
Bahkan di dalam kitab dan halaman yg
sama (Sa’adatud Darain) diterangkan sebagai berikut:
Artinya: “Dan telah berkata
pengarang kitab Miftah aL-Falah: Dan takutlah kalian meninggalkan (tidak
menggunakan) lafadz junjungan (maksudnya Sayyidina dalam pembacaan shalawat)
!!. Karena, di dalam lafadz tersebut terkandung rahasia (asrar) bagi orang yang
merutinitaskan atau mengistiqamahkan ibadah.
Dan Imam Suyuthy ditanya tentang
hadits yang berbunyi: لا تسيدوا نى فى الصلاة (Janganlah kalian menggunakan
lafadz sayyidina kepadaku di dalam pembacaan shalawat !!). Kemudian, beliau
(Imam Suyuthy) menjawab: Sesungguhnya hadits tersebut tidak berlaku, beliau pun
berkata: Dan sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak mengucapkan
lafadz Sayyidina ketika beliau mengajarkan kepada umat beliau tentang tata cara
pembacaan shalawat kepada beliau. Karena, beliau tidak suka membanggakan diri.
Selanjutnya, beliau berkata: أنا سيد ولد أدم و لا فخر
Artinya: Aku adalah junjungan anak Adam dan tidak ada kebanggaan sedikitpun pada diriku.
Artinya: Aku adalah junjungan anak Adam dan tidak ada kebanggaan sedikitpun pada diriku.
TAMBAHAN
=======
=======
Bahkan di dalam kitab “Nihayatul
Muhtaj” karya Imam Syamsuddin Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu
Syihabuddin ar-Ramli (1004 H / 1596 M), jilid 1 halaman 530, cetakan “Darul
Fikr”, Beirut – Libanon, paling utama menggunakan lafazh “Sayyidina”.
****** akhir kutipan ******
****** akhir kutipan ******
Dalam penjelasan di atas , Imam
Suyuthy mengatakan bahwa “Dan sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam
tidak mengucapkan lafadz Sayyidina ketika beliau mengajarkan kepada umat beliau
tentang tata cara pembacaan shalawat kepada beliau. Karena, beliau tidak suka
membanggakan diri. Selanjutnya, beliau berkata: أنا سيد ولد أدم و لا فخر
Artinya: Aku adalah junjungan anak Adam dan tidak ada kebanggaan sedikitpun pada diriku.
Artinya: Aku adalah junjungan anak Adam dan tidak ada kebanggaan sedikitpun pada diriku.
Boleh jadi Rasulullah terdiam ketika
beliau akan mencontohkan sholawat karena “diminta” mencontohkan ungkapan cinta
atau pujian untuk dirinya sendiri
Telah menceritakan kepada kami Yahya
bin Yahya at-Tamimi dia berkata, saya membaca di hadapan Malik dari Nu’aim bin
Abdullah al-Mujmir bahwa Muhammad bin Abdullah bin Zaid al-Anshari dan Abdullah
bin Zaid yang dia adalah orang yang diberi petunjuk dalam hal panggilan untuk
shalat (adzan), dia telah menceritakannya dari Abu Mas’ud al-Anshari dia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kami sedangkan kami
berada dalam majlis Sa’d bin Ubadah, maka Basyir bin Sa’ad berkata kepadanya,
‘Allah memerintahkan kami untuk mengucapkan shalawat atasmu wahai Rasulullah,
lalu bagaimana cara bershalawat atasmu? ‘ Perawi berkata, Lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam diam hingga kami berangan-angan bahwa dia tidak
menanyakannya kepada beliau. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, Katakanlah, ‘ALLOOHUMMA SHOLLI ‘ALAA MUHAMMAD WA’ALAA AALI MUHAMMAD,
KAMAA SHOLLAITA ‘ALAA AALI IBROOHIIMA WABAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA’ALAA AALI
MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALAA AALI IBROOHIIMA FIL’AALAMIINA INNAKA HAMIIDUN
MAJIID. Ya Allah, berilah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad
sebagaimana Engkau memberi shalawat atas keluarga Ibrahim, dan berilah berkah
atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberi berkah kepada
keluarga Ibrahim di dunia. Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.’ Dan salam
sebagaimana yang telah kamu ketahui. (HR Muslim 613)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor
16830
Ditulis dalam Islam,
Umum
| Leave
a Comment »
21 Maret 2014 oleh mutiarazuhud
Ada dari para pengikut ajaran atau
pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu
Taimiyyah mengatakan bahwa mengapa mereka mengharamkan Maulid Nabi sedangkan
pekan memorial (mengenang) Muhammad bin Abdul Wahhab dibolehkan karena Maulid
Nabi dilaksanakan sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
sedangkan pekan memorial (mengenang) Muhammad bin Abdul Wahhab tidak
dianggap sebagai suatu bentuk taqarrub kepada Allah.
Sumber: Majmu’ Fatawa Al Aqidah Li Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah. (Lihat kutipan pada gambar)
Sumber: Majmu’ Fatawa Al Aqidah Li Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah. (Lihat kutipan pada gambar)
Kesimpulannya kalau pekan
memorial (mengenang) Muhammad bin Abdul Wahhab adalah perbuatan bukan suatu
bentuk taqarrub kepada Allah artinya perbuatan menjauhkan diri dari Allah Azza
wa Jalla
Sedangkan dalam sebuah hadits qudsi
, Allah Azza wa Jalla telah berfirman bahwa hamba Allah tidak bisa mendekatkan
diri dengan apa yang telah diwajibkanNya melainkan dengan amalan-amalan nawafil
(amalan kebaikan) yang dilakukan atas kesadaran (kemauan) sendiri. Segala
perkara yang telah diwajibkanNya adalah suatu keharusan.
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ
أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِبِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ
عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ
عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan
diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku
wajibkan, jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan
nawafil (amalan kebaikan), maka Aku mencintai dia (HR Bukhari 6021)
Sedangkan amalan kebaikan sangat luas
sekali
Dalam riwayat Ibnu Hibban,
disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu,
duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada
seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya
(al-Ihsan:474, 529)
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Setiap ruas tulang manusia
harus disedekahi setiap hari selama matahari masih terbit. Engkau mendamaikan
dua orang (yang berselisih) adalah sedekah,menolong seseorang dengan
membantunya menaiki kendaraan atau mengangkatkan barangnya ke atas kendaraan
adalah sedekah,kata-kata yang baik adalah sedekah,setiap langkah kaki yang kau
ayunkan untuk shalat adalah sedekah,dan engkau menyingkirkan aral dari jalan
adalah juga sedekah. “(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim)
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami
Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari
Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar
bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya
kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang
lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan
bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah
telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap
kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap
kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar
ma’ruf nahi munkar adalah sedekah, bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun
terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah seorang
diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala?
beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya pada sesuatu yang
haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila kalian
meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala.(HR
Muslim 1674)
Perkara muamalah, kebiasaan atau
adat yang tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an
dan As Sunnah termasuk amalan kebaikan.
Perkara muamalah, kebiasaan atau
adat yang tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an
dan As Sunnah termasuk ibadah ghairu mahdhah
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta,
KH Ali Mustafa Yakub sebagaimana yang telah disampaikan pada http://www.muslimedianews.com/2014/01/imam-besar-masjid-istiqlal-curigai-ada.html
mencurigai ada pihak yang ingin memecah belah umat Islam, khususnya di
Indonesia, dengan penetapan Maulid Nabi sebagai perkara bid’ah yang terlarang.
Menurut Kiai Ali Mustafa, peringatan Maulid Nabi masuk wilayah muamalah.
“Selama tidak melakukan hal-hal yang mengharamkan, ya boleh-boleh saja.
Kebiasaan adalah suatu sikap atau
perbuatan yang sering dilakukan
Muamalah adalah secara bahasa sama
dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling
mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling
berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan,
perdata dsb)
Sedangkan adat adalah suatu
kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu
dikenal dengan Urf
Firman Allah ta’ala yang artinya
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang
yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut,
dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami
sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan
itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang
telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi
kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf
al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi
dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash
(kebiasaan yang bersifat khusus).
Dari segi keabsahannya dari
pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang
dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa
‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan
yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan
dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Jadi perkara baru (bid’ah) dalam
perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau
adat diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syara’ atau selama tidak
menyalahi laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As
Sunnah.
Sebaliknya perkara baru (bid’ah)
dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan
atau adat pun, jika bertentangan atau jika menyalahi laranganNya atau jika
bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah
alias bid’ah dholalah.
Imam Syafi’i berkata bahwa perkara
baru (bid’ah atau muhdats) atau perkara yang tidak terdapat pada masa Rasulullah
yang tidak menyalahi atau yang tidak bertentangan dengan syara’ atau yang
tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah bid’ah yang terpuji
(bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah)
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ
أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ
يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة
313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala
hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi
(bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan
Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan
segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa
Rasulullah) dan tidak menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut
maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah),
bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Dari penjelasan di atas maka ketika
kita menghadapi dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara
muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah maka
kita menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi
yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni
wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Contoh bid’ah wajib adalah
menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah
(ma’ani, bayan dan badi’) untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun
perkataan ulama salaf (terdahulu) sebagaimana yang dicontohkan oleh Syeikh Al
Islam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab beliau Qawaid Al Ahkam (2/337-339)
dan dapat dibaca kutipannya pada http://syeikhnawawial-bantani.blogspot.com/2011/12/pembagian-bidah-menurut-imam-izzuddin.html
Kita sepakat bahwa menuntut ilmu
termasuk ibadah ghairu mahdhah.
Sedangkan menguasai ilmu tata bahasa
Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’)
untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah adalah termasuk bid’ah hasanah dan
hukumnya wajib.
Bid’ah tersebut hukumnya wajib,
karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at
terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih:
“Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang
tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.
Contoh bid’ah mubah adalah
bersalaman setelah sholat.
Dalam Qawaid Al Ahkam (2/339),
dengan cukup gamblang Imam Izzuddin menyatakan bahwa bersalaman setelah ashar
dan shubuh merupakan bid’ah mubah. Ketika Imam Izzudin menjelaskan pembagian
bid’ah sesaui dengan hukum lima bersama contohnya, beliau menjelaskan bid’ah
mubah, ”Dan bagi bid’ah-bid’ah mubah, contoh-contohnya bersalaman setelah
shubuh dan ashar.”
Hal ini juga dinukil juga oleh Imam
An Nawawi dalam Tahdzib Al Asma wa Al Lughat (3/22), serta Al Adzkar dalam Al
Futuhat Ar Rabaniyah (5/398) dengan makna yang sama.
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al
Majmu’ (3/459),”Adapun bersalaman yang dibiasakan setelah shalat shubuh dan
ashar saja telah menyebut As Syeikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam
rahimahullah Ta’ala,’Sesungguhnya hal itu bagian dari bid’ah-bid’ah mubah,
tidak bisa disifati dengan makruh dan tidak juga istihbab (sunnah).’ Dan yang
beliau katakan ini baik.”
Ba Alawi mufti As Syafi’iyah Yaman,
dalam kumpulan fatwa beliau Bughyah Al Mustrasyidin (hal. 50) juga menyebutkan
pula bahwa Imam Izzuddin memandang masalah ini sebagai bid’ah mubah sebagaimana
pemahaman Imam An Nawawi,”Berjabat tangan yang biasa dilakukan setelah shalat
shubuh dan ashar tidak memiliki asal baginya dan telah menyebut Ibnu Abdissalam
bahwa hal itu merupakan bid’ah-bid’ah mubah.”
Contoh bid’ah haram, Syeikh Al Islam
Izzuddin bin Abdissalam mencontohkan di antaranya: Golongan Qadariyah,
Jabariyah, Murji’ah, dan Mujassimah (musyabbihah). Menolak terhadap mereka
termasuk bid’ah yang wajib.
Contoh orang-orang yang pada awalnya
bermazhab Hambali namun kemudian menjadi imam atau guru besar kaum
musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk) karena memahami Al Qur’an dan
As Sunnah selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) dan
mengingkari makna majaz (makna kiasan/metaforis) seperti,
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid
bin Ali al-Baghdadial-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali.
Beliau ini pengarangbuku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana
diuraikan banyak tentang tasybihm yaitu keserupaan Tuhan dengan manusia.
2. Muhammad bin al Husain bin
Muhammad bin Khalaf bin Ahmadal-Baghdadi al-Hanbali, dikenal dengan sebutan Abu
Ya’la al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang
kitab Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan
bahwa “Aib yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air
sebanyak air laut sekalipun”. Tampaknya cacat pahamnya terlalu besar.
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin
Nashr az-Zaghunial-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang sebuah buku dalam
usuluddin yangberjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan
tajsim.
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam
al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi
al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi secara khusus membuat
kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahannya
pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
untuk menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama yang semula Hanabila yang merupakan
guru guru besar kaum Musyabbihah atau Mujassimah.
Ibn al Jawzi berkata bahwa
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادمعلى صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata,mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki.
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادمعلى صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata,mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki.
Sementara tentang kepala mereka
berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”,
Mereka juga mengatakan bahwa Allah
dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada
Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah)
bernafas”. Lalu–dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang
awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal
pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan
sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal). Tatacara mereka
dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara
yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil
untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghiraukan
teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh
dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau
melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di
sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” saja bagi Allah
hingga mereka mengatakan“Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
****** akhir kutipan *****
Jika memahami apa yang telah
Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya dan apa yang telah disampaikan
oleh lisan RasulNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya
selalu dengan makna dzahir maka menyerupai (bertasyabuh) kepada kaum Yahudi
Contohnya pertanyaan kaum Yahudi
dalam riwayat berikut
Telah menceritakan kepada kami Musa
telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari
Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada
Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit
diatas satu jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari,
pohon dan sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari,
kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya
yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar
keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa
“Tertawanya Rasulullah dalam hadits diatas sebagai bukti pengingkaran beliau
terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum
yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman
Allah: “وما قدروا الله حق قدره ” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah
dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya
bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Jikalau beri’tiqod (beraqidah)
selalu dengan makna dzahir (selalu berpegang pada nash secara dzahir) maka
“jari Allah” juga berada disetiap hati manusa
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash
berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari
sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan
memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya. (HR Muslim 4798)
Ibn Al Jawzi berkata , “Hadits ini
menunjukan bahwa hati setiap manusia di bawah kekuasaan Allah. Ketika
diungkapkan “بين أصبعين ”,artinya bahwa Allah sepenuhnya menguasai hati
tersebut dan Allah maha berkehendak untuk “membolak-balik” hati setiap manusia.
Dari Syahru bin Hausyab berkata;
saya telah mendengar Ummu Salamah meceritakan bahwa Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam memperbanyak dalam do’anya: ALLAHUMMAA MUQALLIBAL
QULUB TSABIT QALBI ‘ALA DINIK (Ya Allah,yang membolak balikkan hati,
tetapkanlah hatiku di atas agamamu). Ia berkata;saya berkata; “Wahai Rasululah!
Apakah hati itu berbolak balik?” beliau menjawab: “Ya, tidaklah ciptaan Allah
dari manusia anak keturunan Adam kecuali hatinya berada di antara dua jari dari
jari-jari Allah. Bila Allah Azza wa Kalla berkehendak, Ia akan meluruskannya,
dan jika Allah berkehendak,Ia akan menyesatkannya. Maka kami memohon kepada
Allah; ‘Wahai Tuhan kami,janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah kami
diberi petunjuk.’ Dan kami memohon kepada-Nya supaya memberikan kepada kita
rahmat dari sisinya, sesungguhnya dia adalah Maha Pemberi’.” (HR Ahmad No
25364)
Pada kenyataannya pada masa kini
dapat kita termukan orang-orang yang mengikuti ketiga imam atau guru
besar kaum musyabbihah karena mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa
Ta’ala sifatkan untuk diriNya dan apa yang telah disampaikan oleh lisan
RasulNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu
dengan makna dzahir yakni para pengikut ajaran atau pemahaman Muhammad bin
Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam
tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm
mengatakan bahwa ciri khas mereka adalah pemahamannya selalu berpegang pada
nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir dari sudut arti
bahasa
Berikut kutipannya,
***** awal kutipan ****
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul
Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka
yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem
dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah
menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada
kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer,
mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem
operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya
cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan
metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode
mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode
istimbath yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab dzhahiriyah.
Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara
dzhahirnya saja.
***** akhir kutipan *****
***** akhir kutipan *****
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam
kitab Al-Fatawa Al-Hadithiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn ‘Uyainah, beliau
berkata: “Hadits itu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam
kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan itu:
“Sesungguhnya hadits-hadits
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut bahwa
keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya,
bahkan ada juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal
dengannya. Bahkan dalam hadits juga mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya
membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… yang mana tidak
diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’. Berbeda dengan mereka yang
sekedar mengetahui apa yang dzahir daripada hadits-hadits (khususnya
mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits
mutasyabihat dengan makna dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada
sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti Ibnu Taimiyyah dan para
pengikutnya.” (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 202)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
memyampaikan bahwa Ibnu Taimiyah bukanlah fuqaha namun termasuk ahli hadits
dalam arti ahli membaca hadits bukan ahli hadits menerima hadits dari ahli
hadits sebelumnya. Beliau menjelaskan tentang kesalahpahaman Ibnu Taimiyyah dan
para pengikutnya dalam memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala
sifatkan untuk diriNya dan apa yang telah disampaikan oleh lisan RasulNya
karena selalu berpegang pada nash secara dzahir sehingga membawa kepada
tasybih.
Oleh karena Ibnu Taimiyyah dalam
memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya
dan apa yang telah disampaikan oleh lisan RasulNya selalu berpegang pada nash
secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir sehingga terjerumus
kekufuran dalam i’tiqod yang mengakibatkan beliau diadili oleh para qodhi dan
para ulama ahli fiqih dari empat mazhab dan diputuskan hukuman penjara agar
ulama Ibnu Taimiyyah tidak menyebarluaskan kesalahapahamannya sehingga beliau
wafat di penjara sebagaimanayang dapat diketahui dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia
atau pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/arsy-tidak-kosong/
Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy berkata
dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi
kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam
itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia
telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Swt bukan dengan perbuatan Allah
secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu.
Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Swt, arah dan
perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih
besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini
serta kekufuran yang nyata “. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 116)
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy)
berkata ” Maka berhati-hatilahkamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh
Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari
orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah
telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjadikan
penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas
orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)
Para ulama ahlus sunnah terdahulu
juga telah membantah pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah yang telah banyak
menyelisihi pendapat para ulama terdahulu yang mengikuti Imam Mazhab yang empat
sebagaimana contohnya termuat pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
atau pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/kontrofersi-paham-taimiyah/
Bahkan para ahli fuqaha atau para
mufti telah mulai melarang ajaran Wahabi atau ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab
yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah
Contohnya mufti Negeri Perak,
Malaysia telah mengeluarkan fatwa terhadap ajaran Wahabi sebagaimana yang
termuat pada http://mufti.perak.gov.my/perkhidmatan/e-book/372-fatwa-penegahan-menyebarkan-aliran-dan-dakyah-wahabiah.html
Taklimat tentang Fahaman Wahhabiy
anjuran Jabatan Mufti Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz Abdullah Jalil
dari USIM dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=d3ep3LODV5E
Pesanan Mufti Haji Said, Sungguhpun
umat Islam di negara ini sejak dahulu lagi menganut fahaman dan `aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama`ah, tetapi kini mereka telah banyak diresapi oleh fahaman
`aqidah-`aqidah yang berlawanan dan bertentangan dengan fahaman dan `aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama`ah, sehingga ada yang sudah dipengaruhi oleh fahaman dan
`aqidah Syiah dan Mu’tazilah, bahkan ada pula yang telah terpengaruh dan
mengikut fahaman dan `aqidah Ibnu Taimiyyah dan lain – lainnya.
Fatwa Mufti Pehin Haji Ismail,
Adalah mazhab as-Salafiyah yang dihidupkan oleh al-Allamah Ibnu Taimiyah dan
yang dipakai serta diamalkan oleh al-Wahhabiyah itu bukan mazhab Ahli Sunnah
Wal Jamaah dan ia keluar dari mazhab yang empat. Mazhab as-Salafiyah
berdasarkan Allah berjisim dan menyerupai
Contoh orang orang yang mengikuti
ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman
Ibnu Taimiyyah yang memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan
untuk diriNya dan apa yang telah disampaikan oleh lisan RasulNya selalu
berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir
dapat dibaca dalam arsip tulisan pada
http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf
http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/03/kedua-tangan-kanan.pdf
http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/03/kedua-tangan-kanan.pdf
Dari kedua tulisan mereka yang
memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya dan
apa yang telah disampaikan oleh lisan RasulNya selalu berpegang pada nash secara
dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir, mereka berkesimpulan
sebagai berikut:
1] Allah Ta’ala memiliki tempat
kediaman (‘Arsy);
2] Allah Ta’ala itu berada di tempat yang paling tinggi (‘Arsy), dan seseorang yang berada di dataran tinggi lebih dekat jaraknya dengan Allah Ta’ala ketimbang orang yang berada di dataran rendah;
3] Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘arsy mirip seperti bulan; Bulan itu bertempat di langit, namun dia bersama kita, walaupun kita berjalan ke perkotaan; ke perkampungan; ke puncak gunung; ke puncak bukit; ke tengah lautan luas; ataupun ke pemukiman penduduk, namun bulan selalu bersama-sama dengan kita semua. Begitu juga dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bertempat di atas ‘arsy-Nya, namun Dia selalu bersama kita dimana pun kita berada.
4] Allah Ta’ala mempunyai bentuk;
5] Wujud Nabi Adam As (wujud manusia) tercipta sebagaimana wujud Allah;
6] Allah Ta’ala juga mempunyai ruh;
7] Allah Ta’ala memiliki pembatas;
8] Allah Ta’ala memiliki wajah;
9] Allah Ta’ala memiliki pantat;
10] Allah Ta’ala mempunyai pinggang;
11] Allah Ta’ala memiliki tangan kiri dan tangan kanan atau yang lain berkesimpulan kedua tangannya adalah kanan
12] Allah Ta’ala terikat arah kiri dan kanan;
13] Allah Ta’ala mempunyai lima jari;
14] Allah Ta’ala mempunyai mata dan telinga;
15] Allah Ta’ala memiliki kaki;
16] Allah Ta’ala memiliki betis;
17] Allah Ta’ala memiliki fisik sebagaimana manusia;
18] Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk berduaan dengan Allah Ta’ala;
19] Allah Ta’ala turun ke langit dunia setiap tengah malam;
20] Allah Ta’ala turun ke langit dunia serupa dengan seseorang yang baru turun satu tingkat dari atas mimbar;
21] Kalo Allah Ta’ala berkehendak, niscaya Dia akan bersemayam di atas punggung nyamuk;
22] Allah Ta’ala akan cemburu jikalau Dirinya tidak disembah;
23] Allah Ta’ala juga bisa tertawa
2] Allah Ta’ala itu berada di tempat yang paling tinggi (‘Arsy), dan seseorang yang berada di dataran tinggi lebih dekat jaraknya dengan Allah Ta’ala ketimbang orang yang berada di dataran rendah;
3] Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘arsy mirip seperti bulan; Bulan itu bertempat di langit, namun dia bersama kita, walaupun kita berjalan ke perkotaan; ke perkampungan; ke puncak gunung; ke puncak bukit; ke tengah lautan luas; ataupun ke pemukiman penduduk, namun bulan selalu bersama-sama dengan kita semua. Begitu juga dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bertempat di atas ‘arsy-Nya, namun Dia selalu bersama kita dimana pun kita berada.
4] Allah Ta’ala mempunyai bentuk;
5] Wujud Nabi Adam As (wujud manusia) tercipta sebagaimana wujud Allah;
6] Allah Ta’ala juga mempunyai ruh;
7] Allah Ta’ala memiliki pembatas;
8] Allah Ta’ala memiliki wajah;
9] Allah Ta’ala memiliki pantat;
10] Allah Ta’ala mempunyai pinggang;
11] Allah Ta’ala memiliki tangan kiri dan tangan kanan atau yang lain berkesimpulan kedua tangannya adalah kanan
12] Allah Ta’ala terikat arah kiri dan kanan;
13] Allah Ta’ala mempunyai lima jari;
14] Allah Ta’ala mempunyai mata dan telinga;
15] Allah Ta’ala memiliki kaki;
16] Allah Ta’ala memiliki betis;
17] Allah Ta’ala memiliki fisik sebagaimana manusia;
18] Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk berduaan dengan Allah Ta’ala;
19] Allah Ta’ala turun ke langit dunia setiap tengah malam;
20] Allah Ta’ala turun ke langit dunia serupa dengan seseorang yang baru turun satu tingkat dari atas mimbar;
21] Kalo Allah Ta’ala berkehendak, niscaya Dia akan bersemayam di atas punggung nyamuk;
22] Allah Ta’ala akan cemburu jikalau Dirinya tidak disembah;
23] Allah Ta’ala juga bisa tertawa
Jadi permasalahan terbesar yang
dapat menjerumuskan kekufuran dalam i’tiqod dan tidak bermakrifat atau tidak
mengenal Tuhan yang wajib disembah yang akan berakibat tidak sah ibadahnya
adalah cara mereka menetapkan sifat Allah yang selalu berpegang pada nash
secara dzahir atau penetapan sifat Allah selalu berdasarkan makna dzahir
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa
“sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (makna
dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks
tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182
M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi
Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil
Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis
mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir,
Jalaluddin As-Suyuthidalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan
“Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan
makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad
, ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah,
tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul
“Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita
ketahui bahwa
- Barangsiapa mengi’tiqadkan
(meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jism (contohnya tangan)
sebagaimana jisim-jisim lainnya (sebagaimana tangan lainnya), maka orang
tersebut hukumnya Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
- Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan)
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (contohnya tangan) namun tidak
serupa dengan jisim-jisim lainnya (tidak serupa dengan tangan makhlukNya), maka
orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad
yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah
seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada
yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra
berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan
kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya
kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena
membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra
menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod) karena pengingkaran.
Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya
dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim
Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Ibn al Jawzi menjelaskan contoh
kesalahpahaman lainnya dari ketiga imam atau guru besar kaum musyabbihah karena
mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya
dan apa yang telah disampaikan oleh lisan RasulNya selalu berpegang pada nash
secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir sebagai berikut
**** awal kutipan *****
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang seringkali disalahpahami oleh kaum mujassimah adalah firman Allah
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang seringkali disalahpahami oleh kaum mujassimah adalah firman Allah
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
aamintum man fiis samaa-i (QS Al
Mulk [67]:16)
Argumen kuat dan nyata telah
menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna dzahirnya karena
dasar kata fis sama dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu
yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”;
padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun.
Pemahaman ayat di atas tidak sesuai
jika dipahami dalam makna indrawi (makna dzahir) seperti ini, karena bila
demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit. Pemahaman yang benar adalah
bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
***** akhir kutipan ******
***** akhir kutipan ******
Terhadap firmanNya pada (QS Al Mulk
[67]:16) para mufassir (ahli tafsir) menafsirkannya menjadi “Apakah
kamu merasa aman dengan yang (berkuasa) di langit”
Ibn al Jawzi menjelaskan contoh
kesalahpahaman mereka lainnya sebagai berikut
***** awal kutipan *****
Sebagian mereka; dalam menetapkan keyakinan rusak bahwa Allah bertempat di arsy mengambil dalil –dengan dasar pemahaman yang keliru– dari firman Allah:
Sebagian mereka; dalam menetapkan keyakinan rusak bahwa Allah bertempat di arsy mengambil dalil –dengan dasar pemahaman yang keliru– dari firman Allah:
إلَيْه يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطّيّبُ
وَالعَمَلُ الصّالِحُ يَرْفَعُه
Kepada-Nya-lah naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. (QS Al Faathir
[35]:10)
Juga –dengan pemahaman yang keliru-
dari firman Allah:
وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقِ عِبَادِهِ
Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi di atas semua hamba-Nya (QS Al An’am [6]:61)
Dari firman Allah QS. Fathir: 10 dan
QS. al-An’am: 61 ini mereka menyimpulkan bahwa secara indrawi Allah berada di
arah atas. Mereka lupa bahwa pengertian “fawq”, “فوق” dalam makna indrawi
(makna dzahir) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja.
Mereka meninggalkan makna “fawq”
dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “علوّ المرتبة ”; “derajat yang tinggi”,
padahal dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “فلان فوق فلان”; artinya;
“Derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan
bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B).
***** akhir kutipan *****
***** akhir kutipan *****
Jadi “di atas” seperti ungkapan
“serahkan sama yang di atas” bukan dalam pengertian tempat atau arah ataupun
jarak namun maksudnya adalah “Uluww al-Martabah”, “علوّ المرتبة”; “derajat yang
tinggi” untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
Tentang
istawa Imam Abu Hanifah mengatakan “Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman
‘Ala al-‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an- dengan menyakini
bahwa Allah tidak membutuhkan kepada ‘‘arsy tersebut dan tidak bertempat atau
bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara ‘‘arsy dan lainnya tanpa
membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhkan kepada sesuatu maka
Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia
seperti seluruh makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk dan
bertempat, lantas sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di manakah
Dia? Allah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat
al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad
Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam
Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).
Dalam salah satu kitab al-Fiqh
al-Akbar [selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah
Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar] Imam Asy Syafi’i
~rahimahullah ketika ditanya terkait firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala
al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata “Dia tidak diliputi oleh tempat (ruang), tidak
berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala
penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha
suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami
pernah ditanya tentang aqidah mereka yang semula para pengikut Mazhab Hambali,
apakah aqidah Imam Ahmad bin Hambal seperti aqidah mereka?
Beliau
menjawab: Aqidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah
meridhoinya dan menjadikannya meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai
tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal
menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh orang-orang
zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah),
mengatakan bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan
dari segala macam sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah. Adapun
ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku
sebagai pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan
bahwa Allah itu bertempat dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan
yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau. Semoga Allah melaknat orang yang
melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh beliau dengan tuduhan
yang Allah telah membersihkan beliau darinya itu. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah :
116)
Prof DR Ali Jum’ah dalam buku
berjudul Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ yang diterbitkan oleh penerbit
Khatulistiwa Press pada halaman 22 berkata
***** awal kutipan *****
Allah ta’ala mustahil berada di sebuah arah dan tempat. Dan itu merupakan keyakinan kaum muslimin yang benar. Maksudnya, Allah ta’ala itu qadim (yang paling awal dan wujudnya tanpa sebab), bahwa mereka menetapkan sifat qidam (yang dahulu, awal) kepada Allah secara Dzatiyah. Dalam artian dzat Allah tidak diawali dengan wujud yang lain atau tidak ada yang lebih awal dari wujud Allah, sebagaimana terkandung dalam firmanNya yang artinya “Dialah yang awal” (QS Al Hadiid [57]:3)
Allah ta’ala mustahil berada di sebuah arah dan tempat. Dan itu merupakan keyakinan kaum muslimin yang benar. Maksudnya, Allah ta’ala itu qadim (yang paling awal dan wujudnya tanpa sebab), bahwa mereka menetapkan sifat qidam (yang dahulu, awal) kepada Allah secara Dzatiyah. Dalam artian dzat Allah tidak diawali dengan wujud yang lain atau tidak ada yang lebih awal dari wujud Allah, sebagaimana terkandung dalam firmanNya yang artinya “Dialah yang awal” (QS Al Hadiid [57]:3)
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam juga bersabda “Engkaulah Dzat yang Awal maka tiada sesuatupun sebelum
Engkau” (HR Muslim)
Sifat Qidam berarti menafikan adanya
wujud lain yang mendahului wujud Allah atau wujud lain yang bersamaan dengan
wujud Allah. Oleh karena itu, sifat Qidam menghilangkan substansi pendahuluan
bagi makhluk sebelum Allah. Begitupula dengan sifat-sifat Allah, semuanya
qadiimah, tidak berubah dengan penciptaan makhluk yang sifatnya hadits (baru).
Menetapkan arah dan tempat kepada
Allah mengandung pengertian bahwa sesungguhnya Allah tidaklah bersifat fauqiyah
(di atas) kecuali setelah Allah menciptakan alam semesta. Maka, sebelum
penciptaan itu, Allah ta’ala tidak berada di arah ‘atas’ karena belum adanya
sesuatu yang berada di arah ‘bawah’. Dengan demikian, keberadaan di tempat
‘atas’ merupakan sifat baru yang dihasilkan dengan adanya sesuatu yang baru.
Oleh karena itu, sifat yang seperti ini tidak layak disematkan bagi Allah.
Kaum muslimin juga meyakini bahwa
Allah ta’ala berbeda dengan segala sesuatu yang bersifat baru, maksudnya dalam
konteks hakikatnya. Maka dari itu, sifat jirmiyah (zat), aradhiyah (sifat),
kulliyah (keumuman), juz’iyyah (kekhususan), dan juga hal-hal yang melekat pada
keempat sifat itu tidak dapat dialamatkan kepada Allah. Hal yang melekat pada
jirmiyah membutuhkan arah dan tempat, sementara aradhiyah butuh kepada zat lain
agar bisa terwujud. Adapun kulliyah merupakan hal yang besar dan bisa dibagi ,
sedangkan yang melekat pada juz’iyyah adalah kecil, dan lain sebagainya.
Berangkat dari itu, jika setan
datang membisikan hati seseorang, “Andaikan Allah itu tidak jirim, aradh,
kulli, atau juz’i, lantas apa hakikat Allah sebenarnya?” Maka jawablah godaan
itu dengan, “Tidak ada yang tahu hakikat Allah kecuali hanya Allah semata”
Perbedaan sifat Allah dengan
makhlukNya itu tertuang dalam firmanNya yang artinya “Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat” (QS Asy
Syuura [42] : 11)
Dan juga diambil dari sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab
ra, “Sesungguhnya kaum musyrikin pernah berkata, “Wahai Muhammad, jelaskan
kepada kami hakikat Tuhanmu” Lalu Allah ta’ala menurunkan ayat yang berbunyi
“Katakanlah: “Dia lah Allah, Yang
Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. (QS Al
Ikhlas 1-2)
“Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia (QS Al Ikhlas
3-4)
Untuk ayat ketiga Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam menjelaskan, “Karena sesungguhnya tidak ada satupun
yang dilahirkan kecuali ia akan mati. Dan tidak ada sesuatu yang mati itu kecuali
ia akan diwarisi. Sedangkan Allah itu adalah Zat yang tidak mati, dan juga
tidak diwarisi”
Sedangkan untuk ayat keempat
dijelaskan oleh beliau, “Tidak ada satupun yang bisa menyamai dan menandingi
Allah. Dan tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya”
Dari dalil di atas, Allah ta’ala
mensifati diriNya dengan menghilangkan sifat sepadan dan sifat-sifat lain yang
tidak pantas dimiliki oleh-Nya. Begitupula yang dijelaskan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam. Dari sini kaum muslimin dapat memahami bahwa pada
hakekatnya Allah ta’ala berbeda dengan segala sifat yang dimiliki semua
makhluk.
Dengan demikian, tidak boleh
hukumnya mensifati Allah dengan sifat-sifat yang baru, termasuk juga bertanya
dengan beberapa pertanyaan yang bisa mengarah ke sana. Tidaklah boleh bertanya
tentang Allah dengan pertanyaan seperti, “Di manakah Allah?” dengan tujuan
untuk mengetahui arah dan tempat di mana Zat Allah ta’ala berada. Akan tetapi,
boleh menanyakan hal itu dengan bertujuan untuk mengetahui kekuasaan Allah
ta’ala atau malaikat yang bertugas untuk-Nya
***** akhir kutipan *****
***** akhir kutipan *****
Imam Sayyidina Ali ra juga
mengatakan yang maknanya:“Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak
boleh dikatakan bagi-Nya dimana (pertanyaan tentang tempat), dan yang
menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya
bagaimana“
Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W.
620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan : “Allah ada sebelum ciptaan, tidak
ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan
belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya
?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.
Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu
al Bâri-nya,1/221:“Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia
ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan
kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh
juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-Nya: Di mana?.”
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia
Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?”
atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerihpayah, dan kreasi-kreasi yang mampu
menggambari-Nya,atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib.
Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat.
Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan
Kuasa“.
Imam
Abu Hanifah mengatakan “Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di
manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada
sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat,
sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta
segala sesuatu” (Lihat al-Fiqhul Absath karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan
risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Begitupula
Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25)
maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan
ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan
tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa
digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan untuk menanyakan
kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada
Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan
(derajat Allah sangat tinggi).
Imam
Syafi’i ~rahimahullah tentang hadits Jariyah berkata : “Dan telah terjadi
khilaf pada sanad dan matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Hadits
tersebut, maka adalah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada
hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia (hamba) dan kawan-
kawannya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di
bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanannya,maka Nabi bertanya : “Dimana Allah
?” sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan
Islam, maka manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia
terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu
Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah
kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”.
Ibn Al Jawzi berkata “Aku (Ibnul
Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah menetapkan bahwa
Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh segala
arah. Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di
arah langit adalah untuk tujuan mengagungkan
Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad
Nawawiy Asy-Syafi’iy Al-Bantaniy Al-Jawiy dalam kitabnya ” Nur Adh-Dhalam”
syarah ‘Aqidatul ‘Awam halaman 42 baris 3-6 mengatakan: Allah Ta’ala
tidak berada di suatu tempat maupun arah , Maha suci Allah dari yang demikian
(bertempat atau berarah) , tempat hanya dinisbatkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wasallam. Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wasallam bersabda
: Janganlah kamu menganggap aku lebih utama daipada Nabi Yunus bin Matta ,
maksudnya : Janganlah kamu berprasangka bahwa aku lebih dekat kepada Allah
daripada Nabi Yunus hanya karena Allah mengangkat aku ke atas langit yang tujuh
sedangkan Nabi Yunus berada didasar lautan didalam ikan , masing-masing dari
kami berdua nisbat kedekatan dari Allah ada pada batasan yang sama
Imam ath Thahawi dalam kitabnya
Aqiidah ath Thaahawiyah berkata, “Barangsiapa yang enggan (tidak mau) menafikan
sifat makhluk kepada Allah atau menyamakan-Nya dengan sifat makhluk, maka ia
telah sesat dan tidak melakukan tanzih (mensucikan Allah dari sifat-sifat
makhluk). Karena sesungguhnya Tuhan kami yang Maha Agung dan Maha Mulia itu
disifati dengan sifat-sifat wahdaniyyah (tunggal) dan fardaniyyah
(kesendirian). Hal ini artinya, tidak ada satupun makhluk yang menyamaiNya.
Maha Suci Allah dari segala macam batasan, tujuan, pilar, anggota dan aneka
benda. Allah ta’ala tidak butuh enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan,
belakang) seperti halnya makhluk ( Abu Ja’far Ahmad bin Salamah Ath Thahawi ,
Aqidah Ath Thahaawiyyah halaman 26)
Al
Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506,
mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil
dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam: “Ya Allah,
Engkaulah Tuhan Yang Awal, maka tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu, Ya
Allah, Engkaulah Tuhan Yang Akhir, maka tidak ada sesuatu setelah-Mu. Ya Allah,
Engkaulah Yang Zhahir, maka tidak ada sesuatu di atasMu. Ya Allah, Engkaulah
Tuhan Yang Bathin, maka tidak ada sesuatu di bawahMu”. (HR Muslim 4888)
Berkata
Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturidi: “Adapun mengangkat tangan ke langit
adalah ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan
mengarahkan mereka kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan
seseorang bahwa mengangkat pandangan ke langit karena Allah di arah itu,
sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan seseorang bahwa Allah di dasar bumi
karena ia meletakkan muka nya di bumi ketika Shalat dan lain nya, dan juga sama
seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/barat karena ia menghadap ke
arah tersebut ketika Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke
Mekkah” [Kitab At-Tauhid - 75]
Berkata
Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu
menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah,
dan tidaklah demikian itu karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh
Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena sesungguhnya langit itu qiblat orang
berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” [Syarah Shahih
Muslim jilid :5 hal :22]
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani
berkata: “Ibnu Batthal berkata: sesungguhnya langit itu qiblat doa, sebagaimana
Ka’bah itu qiblat Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi
berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika berdoa, karena
sesungguhnya langit itu qiblat doa” [Ittihaf, jilid 2, hal 170]. kemudian Imam
Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi juga berkata: “Jika dipertanyakan, ketika adalah
kebenaran itu maha suci Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud
mengangkat tangan dalam doa ke arah langit ? maka jawaban nya dua macam yang
telah disebutkan oleh At-Thurthusyi :
Pertama:
sesungguhnya angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap
Ka’bah dalam Shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan
Allah dari tempat Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.
Kedua:
manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat
dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah
tumbuhan, dan juga langit adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan
perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepada Malaikat, dan Malaikat-lah
yang memberikan kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang diangkat nya
segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan
langit ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu
tempat bagi perkara-perkara mulia tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan
Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit, dan orang-orang berdoa
pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5, hal 244]
Wassalam
No comments:
Post a Comment