SISTEM
PENDIDIKAN INDONESIA ADA YANG SALAH
Dalam Analisis Drs.M.Rakib
Ciptakarya Pekanbaru Indonesia. LPMP Riau.2014
KESALAHAN
PERTAMA, TARGETNYA LULUS UJIAN
KESALAHAN
KEDUA, MINUS KETERAMPILAN
KESALAHAN
KETIGA, TIDAK MENGATASI MKEMISKINAN
KESALAHAN
KEEMPAT, MINUS AKHLAK KESOPANAN
KESALAHAN
KELIMA, TIDAK SIAP DALAM PERSAINGAN
Berikut ini, simakalah beritanya:
Ketua KPK: Sistem Pendidikan
Indonesia Ada yang Salah
Terbit 27 November 2013 - 10:12 WIB
| Dibaca : 382 kali
Laporan: Redaksi
ilustrasi
ilustrasi
JAKARTA, (tubasmedia.com) — Sistem
pendidikan nasional kembali menuai kritik. Kali ini kritik datang bukan dari
tenaga pendidik atau aktivis pendidikan, melainkan dari Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad saat menjadi pembicara dalam sebuah
diskusi di Kampus Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, Selasa (26/11/2013).
Menurut Abraham, ada yang salah
dalam sistem pendidikan di Indonesia. Ia menilai pendidikan lebih
menitikberatkan kecerdasan kognitif dan melupakan kecerdasan emosional. Tolok
ukur kecerdasan terletak pada nilai hasil ujian, bukan pada proses siswa
mendapatkan nilai tersebut.
“Ada yang salah dengan dunia
pendidikan kita. Contohnya sistem UN (Ujian Nasional), pemerintah menerapkan
standardisasi, artinya, pendidikan kita berorientasi memacu anak-anak pintar
secara intelektual saja,” kata Abraham.
Sistem pendidikan seperti itu, kata
Abraham, hanya akan mendorong siswa fokus pada hasil akhir. Padahal, seharusnya
pemerintah dapat membuat sistem pendidikan yang membangun kecerdasan emosional
siswa agar dapat berperilaku jujur sejak bangku sekolah.
Sadar dengan kesalahan itu, KPK
kemudian membuat program antikorupsi. Tidak tanggung-tanggung, program tersebut
telah diterapkan sejak tingkat prasekolah (playgroup) hingga perguruan tinggi.
“Kenapa dari playgroup? Karena ini generasi mendatang, suatu hari bisa
menghasilkan karakter yang kokoh dan membuat kemajuan untuk Indonesia,”
pungkasnya. (red)
Berita: Edutainment
Topik: Pendidikan
PEMETAAN
KOMPETENSI PENDIDIKAN
MELALAUI
ANALISIS STEREO TYPE
Selama penulis menjadi widyaiswara
pendidikan, sejak tahun 2000, banyak sudah kurikulum silih berganti dan banyak
pemetaan pendidikan yang telah dibuat, sehingga penulis termotivasi untuk
menulis kajian tentang PEMETAAN KOMPETENSI PENDIDIKAN
MELALAUI ANALISIS STEREO TYPE
Drs.M.Rakib
Ciptakarya Pekanbaru Indonesia. LPMP Riau.2014
Stereotype adalah sebuah pandangan atau cara pandang terhadap suatu
kelompok sosial, dimana cara pandang tersebut lalu digunakan pada setiap
anggota kelompok tersebut. Kita memperoleh informasi biasanya dari pihak kedua atau
media, sehingga kita cenderung untuk menyesuaikan informasi tersebut agar
sesuai dengan pemikiran kita tanpa melakukan observasi yang lebih mendalam.
Oleh karena kurang melakukan observasi, maka cara pandang mereka cenderung
sangat sempit. Ini sudah merupakan pembentukan stereotype. Stereotype bisa
buruk, bisa juga baik.
Jika stereo type, orang “Melayu pemalas”, berarti tugas pendidikan
ialah membuat sebanyak-banyaknya SMK atau MAN semi SMK di Riau Palembang, Betawi
Kalimantan Sambas, serta tempat lainnya. Karakter Beberapa Suku Bangsa
di Indonesia
Bukan bermaksud menghakimi, apalagi menghina salah satu suku, tapi tulisan berikut ini hanyalah sebuah guyonan/candaan yang sudah cukup populer di daerah Saya (Riau), mungkin juga di daerah lain. Walaupun guyonan tapi, ada sinyal perbaikan pandangan hidup dan merubahn yang negative menjadi agak positif.
1. Jawa
Ketika kita bertanya "mau pergi kemana?" kepada seorang Jawa, maka biasanya jawaban mereka adalah "mau pergi kerja".
Ya, orang Jawa memang terkenal ulet, rajin, dan memiliki etos kerja yang tinggi.
2. Minang
Ketika kita bertanya "mau pergi kemana?" kepada seorang Minang, maka biasanya jawaban mereka adalah "mau pergi berdagang/cari duit".
Orang Minang memang terkenal hebat dalam berdagang. Mayoritas orang Minang adalah Pedagang, dan mayoritas Pedagang di Indonesia adalah orang Minang.
3. Batak
Ketika kita bertanya "mau pergi kemana?" kepada seorang Batak, maka biasanya jawaban mereka adalah "mau pergi cari makan".
Saat Saya ceritakan cerita ini kepada teman Saya yang Batak, mereka hanya tersenyum seolah-olah mengamini bahwa orang Batak memang memiliki nafsu makan yang besar. Namun Saya simpulkan maksudnya tidak sesederhana itu, proses agar bisa makan lewat bekerja atau mencari uang adalah makna sebenarnya dari jawaban orang Batak "mencari makan".
4. Melayu
Ketika kita bertanya "mau pergi kemana?" kepada seorang Melayu, maka biasanya jawaban mereka adalah "mau pergi cari angin/jalan-jalan".
Orang Melayu memang terkenal malas. Lebih memilih hidup bersahaja dari pada bersusahpayah meningkatkan kesejahteraan. Selain itu, orang Melayu memiliki harga diri yang tinggi, dan gemar memberikan makna tersirat dari setiap ucapannya. Biasanya mereka suka berbasa-basi. Ketika memang mau pergi bekerja pun mereka bisa saja menjawab "tak adelah" atau "cari angin", saat ada yang bertanya "mau pergi kemana?"
Sekilas Saya menilai lelucon ini bertujuan untuk menyentil dan memotivasi masyarakat asli Riau, yakni Melayu, yang memiliki kecenderungan pemalas. Saya pun yang asli Melayu (Selat Panjang/Meranti) menyadari bahwa tingkat kesejahteraan orang Melayu Riau masih di bawah suku-suku pendatang dikarenakan kalah motivasi untuk meningkatkan taraf hidup.
Bukan bermaksud menghakimi, apalagi menghina salah satu suku, tapi tulisan berikut ini hanyalah sebuah guyonan/candaan yang sudah cukup populer di daerah Saya (Riau), mungkin juga di daerah lain. Walaupun guyonan tapi, ada sinyal perbaikan pandangan hidup dan merubahn yang negative menjadi agak positif.
1. Jawa
Ketika kita bertanya "mau pergi kemana?" kepada seorang Jawa, maka biasanya jawaban mereka adalah "mau pergi kerja".
Ya, orang Jawa memang terkenal ulet, rajin, dan memiliki etos kerja yang tinggi.
2. Minang
Ketika kita bertanya "mau pergi kemana?" kepada seorang Minang, maka biasanya jawaban mereka adalah "mau pergi berdagang/cari duit".
Orang Minang memang terkenal hebat dalam berdagang. Mayoritas orang Minang adalah Pedagang, dan mayoritas Pedagang di Indonesia adalah orang Minang.
3. Batak
Ketika kita bertanya "mau pergi kemana?" kepada seorang Batak, maka biasanya jawaban mereka adalah "mau pergi cari makan".
Saat Saya ceritakan cerita ini kepada teman Saya yang Batak, mereka hanya tersenyum seolah-olah mengamini bahwa orang Batak memang memiliki nafsu makan yang besar. Namun Saya simpulkan maksudnya tidak sesederhana itu, proses agar bisa makan lewat bekerja atau mencari uang adalah makna sebenarnya dari jawaban orang Batak "mencari makan".
4. Melayu
Ketika kita bertanya "mau pergi kemana?" kepada seorang Melayu, maka biasanya jawaban mereka adalah "mau pergi cari angin/jalan-jalan".
Orang Melayu memang terkenal malas. Lebih memilih hidup bersahaja dari pada bersusahpayah meningkatkan kesejahteraan. Selain itu, orang Melayu memiliki harga diri yang tinggi, dan gemar memberikan makna tersirat dari setiap ucapannya. Biasanya mereka suka berbasa-basi. Ketika memang mau pergi bekerja pun mereka bisa saja menjawab "tak adelah" atau "cari angin", saat ada yang bertanya "mau pergi kemana?"
Sekilas Saya menilai lelucon ini bertujuan untuk menyentil dan memotivasi masyarakat asli Riau, yakni Melayu, yang memiliki kecenderungan pemalas. Saya pun yang asli Melayu (Selat Panjang/Meranti) menyadari bahwa tingkat kesejahteraan orang Melayu Riau masih di bawah suku-suku pendatang dikarenakan kalah motivasi untuk meningkatkan taraf hidup.
Naquib, seperti disinggung di atas, juga memberi perhatian
besar pada nilai-nilai Melayu. Pemikir ini berpendapat, jati diri Melayu tak
terpisahkan dengan Islam. Bahkan menurutnya, kemelayuan itu dibentuk oleh
Islam. Bukti-bukti yang diajukannya bukan berdasarkan peninggalan-peninggalan
fisik, tapi terutama berkaitan dengan pandangan dunia orang melayu.
Ia berpandangan, dakwah Islam datang ke wilayah Melayu sebagai "Islamisasi". Proses ini, ujarnya, berjalan dalam tiga periode dan tahap yang serupa dengan ketika Islam mempengaruhi Abad Pertengahn Eropa. Segenap apa yang dilakukan Naquib jelas menunjukkan komitmennya tentang upaya peradaban Islam tampil kembali ke permukaan dan mewarnai kancah pergaulan.
Hingga kini, Naquib masih terus menulis. Ia tergolong intelektual yang produktif. Puluhan buku telah ia tulis, antara lain: Rangkaian Ruba'iyat; Some Aspects of Shufism as Understood and Practised Among the Malays; Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh; The Origin of the Malay Sya'ir; Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago.
Selain itu, ia juga menulis Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu; Risalah untuk Kaum Muslimin; Islam, Paham Agama dan Asas Akhlak; Islam and Secularism; The Concept of Education in Islam; The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul; dan The Meaning and Experience of Happiness in Islam.
Sebagian dari karyanya tersebut telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, seperti Inggris, Arab, Persia, dan Indonesia. Di usianya yang uzur kini, pemikir yang banyak pengaruhnya dalam kancah intelektualisme kontemporer ini terus aktif merealisasikan gagasan dan pemikirannya melalui lembaga ISTAC. (republika.co.id)
Ia berpandangan, dakwah Islam datang ke wilayah Melayu sebagai "Islamisasi". Proses ini, ujarnya, berjalan dalam tiga periode dan tahap yang serupa dengan ketika Islam mempengaruhi Abad Pertengahn Eropa. Segenap apa yang dilakukan Naquib jelas menunjukkan komitmennya tentang upaya peradaban Islam tampil kembali ke permukaan dan mewarnai kancah pergaulan.
Hingga kini, Naquib masih terus menulis. Ia tergolong intelektual yang produktif. Puluhan buku telah ia tulis, antara lain: Rangkaian Ruba'iyat; Some Aspects of Shufism as Understood and Practised Among the Malays; Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh; The Origin of the Malay Sya'ir; Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago.
Selain itu, ia juga menulis Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu; Risalah untuk Kaum Muslimin; Islam, Paham Agama dan Asas Akhlak; Islam and Secularism; The Concept of Education in Islam; The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul; dan The Meaning and Experience of Happiness in Islam.
Sebagian dari karyanya tersebut telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, seperti Inggris, Arab, Persia, dan Indonesia. Di usianya yang uzur kini, pemikir yang banyak pengaruhnya dalam kancah intelektualisme kontemporer ini terus aktif merealisasikan gagasan dan pemikirannya melalui lembaga ISTAC. (republika.co.id)
Kita pasti pernah mendengar bahwa
orang Ambon itu jago nyanyi dan main musik. Ini sesungguhnya salah satu contoh
dari stereotype. Asal muasal stereotype ini pasti gara-gara melihat banyak
penyanyi-penyanyi jago dari Ambon yang muncul ke permukaan. Sebut saja Glenn
Fredly dan Andre Hehanusa. Sebelum mereka juga ada nama-nama besar lain seperti
Ade Manuhutu, Enteng Tanamal, Broery Marantika, Melly Goeslow, Harvey
Malaihollo, Lex’s Trio, dan masih banyak lagi. Melihat keadaan tersebut,
masyarakat langsung menggeneralisasikannya secara sempit dan picik, bahwa semua
orang Ambon itu jago nyanyi dan main musik. Padahal belum tentu begitu kondisi
sebenarnya.
Ini adalah contoh percakapan singkat
“Wah, elo orang Ambon murtad,” kata
si A (orang Jakarta), pada si B (orang Maluku, Ambon).
“Lho, kenapa?” si B bingung.
“Habis elo satu-satunya orang Ambon
yang nggak bisa nyanyi!” kata si A.
“Haaah?” kata si B yang merasa malu
dan tidak dihargai.
Ini
adalah contoh stereotype yang dibuat oleh orang-orang, bahwa orang Ambon jago
nyanyi dan main musik tanpa penelitian lebih mendalam. Memangnya orang Ambon
harus pandai menyanyi? Memangnya ada sangsi, baik sangsi adat maupun agama
apabila orang Ambon tidak bisa nyanyi?. Itulah stereotype .
Contoh
stereotype di atas adalah salah satu contoh stereotype buruk, tapi keadaan di
atas bisa berubah baik. Bagaimana caranya? Kalo si B (orang Maluku, Ambon)
ternyata kebetulan jago nyanyi dan main musik, maka orang-orang tetap akan
memberikan pandangan bahwa orang Ambon benar-benar jago nyanyi.
Menurut banyak sejarawan, akar utama perselisihan
antar etnis dan ketuanan Melayu adalah kurangnya hubungan antara kaum Melayu
dengan kaum non-Melayu. Karena banyak imigran yang didatangkan sebagai
"pekerja pendatang" oleh Britania, para imigran ini merasa tidak perlu
untuk berintegrasi dengan masyarakat Melayu dan bahkan tidak banyak yang mau
belajar bahasa Melayu. Pengecualian terdapat pada kaum Cina Peranakan yang
telah berasimilasi dengan baik selama 600 tahun. Menurut Ming Shi-lu, nenek moyang Cina
Peranakan adalah "hadiah" yang diberikan kepada Sultan Melaka sebagai
tanda pengakuan hubungan bilateral antara Dinasti
Ming dengan Kesultanan Melaka. Pada saat pemerintahan
Britania, kebanyakan Cina Peranakan adalah saudagar-saudagar yang kaya dan
dalam kesehariannya berbahasa Melayu, berbusana Melayu, dan berkuliner Melayu.
Kebijakan kependidikan Britania kemudian
mensegregasi kaum-kaum yang satu dengan yang lain. Britania memberikan
pendidikan yang minim bagi kaum Melayu, sedangkan kaum non-Melayu dibiarkan
sendiri. Kaum Melayu yang umumnya tinggal di pedesaan tidak dianjurkan
bersosialisasi dengan kaum non-Melayu perkotaan. Kondisi ekonomi Melayu yang
miskin dibandingkan dengan kaum Cina yang lebih baik juga membakar sentimen
rasial ini.
Faktor lain yang mencuatkan ketuanan Melayu
adalah pendudukan Jepang di Malaya semasa Perang Dunia II. Perang Dunia ini
"membangkitkan kesadaran politik di antara warga Malaya dengan
mengintensifkan komunalisme dan kebencian rasial". Kebijakan Jepang atas
"politisasi kaum petani Melayu" secara sengaja membakar nasionalisme
Melayu. Dua sejarahwan Melayu menulis bahwa "Perlakuan tidak ramah yang
diberikan Jepang kepada kaum Cina dan perlakuan sebaliknya yang diberikan
kepada kaum Melayu membantu kaum Cina merasakan identitasnya yang terkucil
secara lebih tajam..." Salah satu komentator asing juga menyatakan
"Semasa periode pendudukan ... sentimen nasional Melayu telah menjadi
kenyataan; sentimen ini sangatlah anti-Cina dan dalam unjuk rasa diserukan
'Malaya untuk orang Melayu..
No comments:
Post a Comment