KIAS YANG PALING BERMAKNA
Tempat meng-qiyas-kan
M.Rakib Ciptakarya LPMP.Pekanbaru. Riau Indonesia. 2014
Dalam al-Qur’an dan Sunnah sudah disebutkan hukum beberapa persoalan secara rinci. Hingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi persoalan. Tapi kenyataan yang dihadapi umat Islam yang beragam suku, ras, budaya, daerah dan sebagainya, masih sangat banyak hal lain yang tidak dijelaskan dengan rinci dalam kedua sumber itu.
Misalnya dalam al-Qur’an sudah disebutkan bahwa gandum (makanan pokok) wajib dizakatkan ketika panen dilakukan. Sementara gandum hanya hanya menjadi makanan pokok bagi sebagian kecil umat Islam, yang menghuni hampir seluruh permukaan bumi. Sangat banyak umat Islam lain yang makanan pokoknya bukan gandum, seperti padi (beras), jagung, sagu, ubi dan sebagainya, dan itu tidak disinggung sama sekali dalam al-Qur’an. Maka ulama menetapkan bahwa makanan pokok selain gandum itu tetap wajib dizakatkan.
Dalam kasus ini, yang disebut tempat meng-qiyas-kan atau ashl adalah gandum; wajibnya zakat pada gandum yang ditetapkan berdasarkan Sunnah disebut hukum; makanan pokok lainnya disebut yang di-qiyas-kan atau furu’; kesamaannya sebagai “makanan pokok” disebut illat. Untuk wajibnya zakat terhadap makanan pokok lainnya ini, seperti padi atau beras, fuqaha mengatakan:
Wajib zakat pada padi di-qiyas-kan pada gandum.
Maksudnya, ditetapkan wajib zakat pada furu’ di-qiyas-kan pada hukum wajib yang sebelumnya telah ada pada ashl, yaitu tempat meng-qiyas-kan furu’.
Qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul fiqh adalah :
mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang
ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena persamaan kedua itu
dalam illat hukumnya.
Maka apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai
suatu kasus dan illat hukum itu telah diketahui melalui salah satu metode untuk
mengetahui illat hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang
ada nashnya itu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus
itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya,
berdasarkan atas persamaan illatnya karena sesungguhnya hukum itu ada di mana
illat hukum ada.
1. B.
Rukun-rukun Qiyas
Setiap qiyas terdiri dari empat rukun yaitu :
1. Al-ashlu, yaitu : Sesuatu yang ada
nash hukumnya. ia disebut juga al-maqis ‘alaih (yang diqiyaskan kepadanya),
mahmul ‘alaih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang
diserupakan dengannya).
2. Al-far’u, yaitu : Sesuatu yang tidak
ada nash hukumnya. ia juga disebut al-maqis (yang diqiyaskan), al-mahmul (yang
dipertanggungkan), dan al-musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum Ashl, yaitu : Hukum syara’
yang ada nashnya pada al-ashl (pokok)nya, dan ia dimaksudkan untuk menjadi
hukum pada al-far’u (cabangnya).
4. Al-‘illat, yaitu : Suatu sifat yang
dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan
sifat itu pada cabang (far’u), maka ia disamakandengan pokoknya dari segi
hukumnya.
1. C. Macam-macam
Illat
Dari segi adanya anggapan dan ketiadaan anggapan syar’i
terhadap sifat yang sesuai, maka para ahli ilmu ushul fiqh membagi sifat yang
sesuai (munasib) menjadi empat macam, yaitu :
1. Munasib muatstsir (sifat yang sesuai
yang memberikan pengaruh).
2. Munasib mulaim (sifat yang sesuai
lagi cocok).
3. Munasib mursal (sifat yang sesuai
lagi bebas).
4. Munasib mulgha (sifat yang sesuai
yang sia-sia).
Berikut ini adalah penjelasan empat macam illat dan
contoh-contohnya. :
1. Munasib muatstsir : yaitu suatu
sifat yang sesuai dimana syari’ telah menyusun hukum sebagai illat hukm yang
disusun berdasarkan kesesuaiannya dengannya misalnya, Firman Allah SWT :
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ
اْلمَحِيْضِ.قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوْاالنِّسَاءَ فِى المَحِيْضِ.
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah haidh itu adalah suatu kotoran, oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan
diri dari wanita di waktu haidh….” (Qs. Al-Baqarah (2) : 222).
Shighat nash telah jelas bahwa illathukum ini adalah kotoran
tersebut. Oleh karena itu, maka kotoran tersebut yang mewajibkan menjauhkan
diri dari wanita pada waktu haidhnya merupakan sifat yang munasib muatstsir.
1. Munasib mulaim. Yaitu suatu sifat
yang sesuai yang mana syari’ telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu,
namun tidak ada nash maupun ijma’ yang menetapkannya sebagai illat hukum
menurut pandangan syari’itu sendiri, yang disusun sesuai dengan sifat itu.
Hanya saja berdasarkan nash atau ijma’ diperoleh ketetapan bahwa sifat itu
dianggap illat hukum dari hukm sejenis yang oleh syari’ telah disusun hukumnya
sesuai dengan sifat itu, “contoh : sifat yang sesuai yang dianggap oleh syari’
sebagai illat hukum dari jenis hukum yang dia telah menyusun hukum sesuai
dengannya ialah: keadaan masih kecil bagi tetapnya kewalian seorang ayah dalam
mengawinkan anak perempuan yang masih kecil.
2. Munasib mursal. : Suatu sifat yang mana
syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat itu, dan tidak ada dalil syari’
yang menunjukkan akan anggapan-Nya dengan salah satu bentuk anggapan maupun
dengan penyia-nyiaan anggapan-Nya. Ia adalah munasib, artinya berusaha
mewujudkan kemaslahatan, akan tetapi ia juga mursal, contohnya : maslahatan
yang menjadi dasar para sahabat dalam membentuk hukum pembayaran pajak atas
tanah pertanian, pembuatan mata uang, pentatwinan Al-qur’an, dan penyabarannya.
3. Munasib mulgha, yaitu : Suatu sifat
yang ternyata bahwasanya mendasarkan hukum atas sifat itu terdapat perwujudan
kemaslahatan, namun syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengannya, dan syari’
tidak menunjukkan berbagai dalil yang menunjukkan pembatalan anggapannya,
misalnya menetapkan hukuman khusus bagi orang yang berbuka puasa dengan sengaja
pada bulan ramadhan, untuk masuk menjerakannya.
Cara Mencari Illat
(Masalah Al-Illat)
Illat ialah suatu sifat yang terdapat pada suatu ashl
(pokok) yang menjadi dasar daripada hukumnya, dan sifat itulah dapat diketahui
adanya hukum itu pada far’ (cabangnya).
Misalnya, memabukkan adalah sifat yang ada pada khamar yang
menjadi dasar pengharaman, dan dengan adanya sifat memamukkan inilah diketahui
pengharaman terhadap semua minuman keras yang memabukkan. Penganiayaan adalah
suatu sifat dalam jual beli seseorang atas jual beli saudaranya, yang menjadi
dasar pengharamannya, dan dengan adanya sifaat penganiayaan itulah diketahui
pengharaman sewa-menyewa seseorang atas sesuatu yang telah disewa saudaranya.
Inilah yang dimaksudkan oleh para ahli usul fiqh dengan perkataan mereka yang
artinya:
“Illat adalah sesuatu yang memberitahukan adanya hukum”.
Illat juga disebut juga : Manathul Hukmi (hubungan
hukum), dan sebab hukum serta tanda hukum.
Untuk mencari Illat, ada beberapa syarat yang harus kita
ketahui yaitu :
Pertama : Bahwa Illat itu haruslah berupa
suatu sifat yang jelas.
Kedua : Bahwa sifat itu
haruslah pasti.
Katiga : Bahwa sifat itu
merupakan hal yang sesuai.
Keempat : Bahwa ia merupakan suatu sifat yang terbatas
pada ashl (pokoknya).
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Ijma’ dan Qiyas
merupakan hukum islam yang mesti kita ikuti, karena tanpa Ijma’ dan Qiyas kita
tidak akan mngetahui hukum dalam suatu permasalahan jikalau kita tidak
mendapatkan dalil yang pasti dari Al Qur’an dan Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Pengantar Hukum Islam, Prof. Dr.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy –
Jakarta : Bulan Bintang, 1994
Ilmu Ushul Fiqh, Prof. Abdul Wahhab Khallaf – Semarang :
Dina Utama, 19
No comments:
Post a Comment